31 July 2009

Prevalensi Actinobacillus Actinomycetemcomitans Pada Pasien Periodontitis Kronis Dan Orang Dewasa Yang Memiliki Periodontal Sehat Di Cina

Abstrak
Tujuan: Actinobacillus actinomycetemcomitans merupakan salah satu patogen periodontal utama. Penelitian ini ditujukan untuk menyelidiki prevalensi A. actinomycetemcomitans pada pasien periodontitis kronis dan orang dewasa yang memiliki periodontal sehat di Cina. Metode dan Bahan: Secara keseluruhan, penelitian ini diikuti oleh 116 pasien periodontitis kronis dan 111 orang dewasa yang memiliki periodontal sehat. Pada setiap pasien periodontitis, diambil sampel plak subgingival dari 2 sisi gigi molar yang memiliki poket terdalam dan 1 daerah periodontal yang sehat. Sampel orang dewasa yang memiliki periodontal sehat diambil dari sisi mesiobukal 1 gigi molar pertama rahang atas. A. actinomycetemcomitans dideteksi menggunakan rRNA polymerase chain reaction. Kedalaman poket, kehilangan perlekatan klinis, dan berdarah saat probing pada sisi sampel juga dicatat. Hasil: Pada subyek yang memiliki periodontal sehat, A. actinomycetemcomitans hanya dideteksi di 1 sisi [0,90%]. Pada pasien periodontitis kronis, prevalensi daerah yang mengalami periodontitis [33,62%], secara signifikan, lebih tinggi dibandingkan dengan pada daerah yang sehat [0,90%] [P < 0.05]; insiden tersebut mengalami penurunan seiring dengan pertambahan usia pasien; paling tinggi dalam kelompok usia 20-35 tahun [44,12%], kemudian dalam kelompok usia 36-55 tahun [36,36%] dan kelompok usia 56-75 tahun [22,73%] [P < 0.05]. A. actinomycetemcomitans seringkali dideteksi pada sisi yang memiliki kedalaman poket 7 mm atau lebih dan kehilangan perlekatan klinis sebesar 6 mm atau lebih [P < 0.05] dan lebih banyak dideteksi pada daerah yang mengalami berdarah saat probing [37,07%] dibandingkan pada daerah yang tidak berdarah saat probing [7,41%] [P < 0.05]. Kesimpulan: A. actinomycetemcomitans lebih sering ditemukan pada daerah periodontitis dibandingkan dengan daerah periodontal sehat. Pada pasien periodontitis kronis, prevalensi yang tinggi ditemukan pada daerah periodontitis parah dibandingkan dengan daerah periodontitis sedang atau ringan. A. actinomycetemcomitans dinyatakan sebagai salah satu patogen utama dalam etiologi periodontitis kronis.
Kata kunci: Actinobacillus actinomycetemcomitans, periodontitis kronis, polymerase chain reaction.
Sumber: Quintessence Int, 2009; 40: 53-60.


Sebagai penyakit periodontal yang paling umum terjadi, periodontitis kronis [PK] disebabkan oleh infeksi bakteri dan dapat mengakibatkan kerusakan jaringan periodontal. Plak gigi dinyatakan berperan penting dalam inisiasi periodontitis. Banyak bukti yang menunjukkan bahwa Actinobacillus actinomycetemcomitans adalah salah satu patogen utama periodontal. A. actinomycetemcomitans memiliki berbagai macam faktor virulensi dan dinyatakan sebagai agen etiologi utama periodontitis agresif. Bakteri ini pertama kali dinyatakan sebagai salah satu patogen periodontal karena frekuensi deteksinya meningkat dan jumlah yang banyak pada pasien yang menderita periodontitis agresif lokalisata [LAgP]. Karena prevalensinya dalam LAgP tinggi; A. actinomycetemcomitans dinyatakan sebagai bakteri kausatif dan proporsinya dalam LAgP meningkat.
Banyak penelitian tentang prevalensi A. actinomycetemcomitans pada penderita PK membuktikan keberadaan mikroorganisme ini dalam kasus-kasus tersebut, namun laporan prevalensi A. Actinomycetemcomitans pada pasien-pasien tersebut sangat bervariasi. Perbedaan tersebut mungkin disebabkan oleh perbedaan kondisi periodontal atau etnik ataupun lokasi geografik subyek yang diteliti. Selain itu, deteksi bakteri dan metode identifikasi juga mempengaruhi hasilnya.
Dibandingkan dengan prevalensi A. actinomycetemcomitans yang dilaporkan pada pasien di Jepang dan Korea, laporan dalam populasi di Cina menunjukkan perbedaan besar. Penelitian-penelitian terdahulu menunjukkan prevalensi A actinomycetemcomitans yang tinggi dalam populasi Cina, baik pada sampel subgingiva yang dianalisis dari pasien ataupun subyek sehat, hal ini menunjukkan bahwa A actinomycetemcomitans adalah mikroorganisme residen yang umumnya terdapat dalam flora oral etnik Cina. Namun, laporan lainnya menunjukkan prevalensi A actinomycetemcomitans yang rendah dalam populasi Cina. Diskrepansi tersebut mendorong kami untuk menyelidiki distribusi A actinomycetemcomitans pada subyek Cina yang memiliki berbagai macam kondisi periodontal.
Dalam penelitian ini, dilakukan penyelidikan prevalensi A actinomycetemcomitans pada pasien keturunan Cina penderita PK dan orang dewasa yang memiliki jaringan periodontal sehat. Diaplikasikan 16S ribosome RNA-based polymerase chain reaction untuk mengidentifikasi A actinomycetemcomitans. Dan, penelitian ini dilakukan untuk menganalisis hubungan indeks klinis dengan prevalensi A actinomycetemcomitans.

METODE DAN BAHAN
Subyek dan daerah sampel

Secara keseluruhan, terdapat 116 subyek yang didiagnosa menderita PK, berdasarkan klasifikasi baru penyakit dan kondisi periodontal, mereka dipilih dari Bagian Periodontologi, West China Hospital of Stomatology, Sichuan University. Penderita PK memiliki sekurang-kurangnya 16 gigi, termasuk lebih dari 4 gigi molar, dimana 2 sisi gigi molar memiliki kedalaman probing 4 mm atau lebih. Secara keseluruhan, terdapat 111 orang dewasa sukarelawan yang memiliki periodontal sehat dari 4 komunitas di kota Chengdu. Individu yang memiliki periodontal sehat memiliki lebih dari 20 gigi, termasuk 4 gigi molar, dan kedalaman probing rata-rata pada semua gigi adalah 3 mm atau kurang, serta kehilangan perlekatan klinis minimal atau tidak ada, atau mengalami tanda-tanda gingivitis.
Kriteria eksklusi yang digunakan antara lain administrasi obat-obatan seperti antibiotik, steroid, atau obat-obatan anti-inflamasi non-steroid 3 bulan sebelum ikut serta dalam penelitian dan menderita penyakit sistemik yang dapat mempengaruhi aktivitas penyakit periodontal. Tidak seorang pun peserta yang menjalani terapi periodontal dalam waktu 6 bulan sebelum penelitian ini. Semua subyek menandatangani informed consent sebelum berpartisipasi dalam penelitian, dan protokol penelitian ini telah disetujui oleh Review Committee for Ethical Norms of the Faculty of Stomatology, Sichuan University.
Pada pasien penderita PK, sampel subgingival diambil dari 2 sisi berpenyakit yang memiliki poket periodontal terdalam pada dua jenis gigi molar rahang atas dan 1 sisi sehat dari gigi molar atau premolar yang memiliki periodontal sehat, dimana kehilangan perlekatan klinis minimal atau tidak ada, kedalaman probing 3 mm atau kurang, dan tidak berdarah saat probing. Pada orang dewasa sehat, sampel diambil dari daerah mesiobukal gigi molar satu rahang atas. Jadi, diperoleh 348 sampel plak subgingival dari pasien penderita PK—232 dari daerah berpenyakit dan 116 dari daerah yang sehat—dan 111 sampel dari orang dewasa sehat.

Sampel plak subgingiva
Kalkulus dan plak supragingiva pada gigi-geligi sampel dibersihkan terlebih dahulu menggunakan kuret steril. Kemudian, daerah tersebut diisolasi menggunakan cotton roll steril dan dikeringkan dengan udara. Dua paper point steril dimasukkan ke dalam poket atau sulkus gingiva sampai ke bagian bawah, dibiarkan pada tempatnya selama 10 detik, kemudian segera dicelupkan ke dalam tabung Eppendorf yang mengandung 1 mL cairan transpor. Sampel disimpan dalam suhu -20oC sampai tahap penelitian selanjutnya.

Manipulasi DNA

Sampel dicairkan pada suhu ruang selama 30 menit dan plak subgingival diuraikan menggunakan brief vortex. Bagian dari setiap sampel dicampur dengan tiga-kali volume Chelex 100 25% untuk ekstraksi DNA. Dilusi campuran tersebut dipanaskan dalam wadah air bersuhu 56oC selama 30 menit dan dalam 100oC selama 10 menit kemudian disentrifugasi pada 15.000 rpm selama 3 menit pada suhu 4oC. Supernatan dipindahkan ke dalam tabung Eppendorf lain sebagai template DNA dan disimpan pada suhu -20oC.

Deteksi polymerase chain reaction
Primer spesifik untuk 16S RNA A. actinomycetemcomitans adalah sebagai berikut: 5` GCTAATACCGCGTAGAGATCGG 3`, 5` ATTTCACACCTCACTTAAAGGT 3`. Produk polymerase chain reaction [PCR] A Actinomycetemcommitans diperkirakan adalah 443 bp [base pair] [Gambar 1]. Volume total campuran reaksi PCR adalah 50 mL, yaitu 10; 180; Taq buffer 2,5 L, 2,5 L deoksiribonukleotida trifosfat [dNTP] 2 mmol/L, 2,5 L magnesium klorida 25 mmol/L, primer sense dan antisense 0,01 mmol/L masing-masing sebanyak 0,625 L, template DNA 2,5 L, dan Taq DNA polimerase 0,125 L. ddH2O steril [double-distilled/suling-ganda] digunakan untuk melengkapi volume total sebanyak 50 L. strain A Actinomycetemcommitans standar ATCC29523 digunakan sebagai kontrol positif dan ddH2O steril sebagai kontrol negatif.
Setelah proses denaturasi DNA awal pada suhu 94oC selama 5 menit, amplifikasi PCR dilakukan dalam thermocycler sebanyak 35 siklus proses denaturasi pada suhu 94oC selama 1 menit, proses penguat pada suhu 60oC selama 1 menit, dan proses ekstensi pada suhu 72oC selama 1,5 menit.
Produk amplifikasi PCR dideteksi menggunakan elektroforesis gel agarose dan dianalisis menggunakan image analysis system.

Pemeriksaan periodontal
Paremeter klinis periodontal diukur oleh seorang ahli periodontik, yang terdiri dari kedalaman probing poket, kehilangan perlekatan klinis, dan berdarah saat probing. Kedalaman probing poket dan kehilangan perlekatan klinis pada gigi sampel diukur menggunakan probe berujung bulat dan dibulatkan sampai ke 6 titik milimeter terdekat.

Analisis statistik

Digunakan software analisis statistik SPSS 11.0 [SPSS] untuk memproses data. Chi-square digunakan untuk membandingkan rasio relevansi setiap kelompok. P < 0.05 dinyatakan signifikan.

HASIL
Seluruhnya, terdapat 227 orang dewasa keturunan Cina berusia 20 sampai 75 tahun yang ikut serta dalam penelitian ini, yaitu 116 penderita PK [67 pria dan 49 wanita; usia rata-rata 47,88 + 11,75 tahun] dan 111 orang dewasa yang memiliki periodontal sehat [33 pria dan 78 wanita; usia rata-rata 44,55 + 14,03 tahun]. Terdapat 232 sampel plak subgingival dari daerah yang mengalami PK, 116 dari daerah periodontal sehat pada penderita PK, dan 111 dari subyek yang memiliki periodontal sehat. Indeks klinis ketiga grup diuraikan dalam Tabel 1.
A actinomycetemcomitans ditemukan pada 78 dari 232 daerah yang mengalami PK, dan frekuensi deteksinya adalah 33,62%. Hanya 1 sampel dari daerah periodontal sehat pada pasien PK dan orang dewasa berperiodontal sehat yang dinyatakan positif memiliki kandungan A actinomycetemcomitans.
Prevalensi A actinomycetemcomitans dari daerah berpenyakit pada pasien pria dan wanita penderita PK, masing-masing adalah 33,58% dan 33,67%, hal ini menunjukkan tidak adanya perbedaan distribusi bakteri tersebut pada pasien pria dan wanita penderita PK [Tabel 2]. Tabel 3 menunjukkan distribusi A actinomycetemcomitans pada berbagai kelompok usia. A actinomycetemcomitans paling sering dideteksi pada penderita PK berusia 20 sampai 30 tahun, yang dilanjutkan dengan pasien berusia 36 sampai 55 tahun, dan 56 sampai 77 tahun. Prevalensi mikroorganisme ini mengalami penurunan seiring dengan pertambahan usia pasien.
Hubungan antara prevalensi A actinomycetemcomitans dengan kedalaman poket periodontal diuraikan dalam Tabel 4. Kedalaman poket distrafitikasi menjadi tiga grup yang mewakili berbagai tingkatan kerusakan jaringan periodontal, yaitu ringan [< 4 mm], sedang [4-6 mm] dan parah [> 7 mm]. Pada penelitian ini, tidak ditemukan A actinomycetemcomitans dalam poket yang dangkal. Pada poket sedang dan dalam, terdapat 39 sampel [masing-masing, 29,10% dan 42,86%] yang dinyatakan positif mengandung bakteri dalam plak subgingival. Prevalensi mikroorganisme tersebut meningkat secara signifikan seiring dengan peningkatan kedalaman poket [P < 0.05].
Kehilangan perlekatan klinis juga diklasifikasikan menjadi tiga klas dan hasilnya sama dengan kedalaman poket. Dalam grup kehilangan perlekatan klinis < 3 mm, tidak ditemukan A actinomycetemcomitans, dan 27,63% dan 42,86% subyek dalam grup keilangan perlekatan 3-5 mm dan > 6 mm dinyatakan positif memiliki kandungan A actinomycetemcomitans.
Dari total 232 daerah PK, 88,36% [n = 205] mengalami perdarahan saat probing, hal ini menunjukkan adanya aktivitas penyakit. A actinomycetemcomitans ditemukan pada 37,07% daerah aktif tersebut dan 7,41% pada daerah inaktif, dan selisihnya dinyatakan signifikan [P = 0.022]. Prevalensi A actinomycetemcomitans pada daerah yang mengalami perdarahan saat probing secara signifikan dinyatakan lebih tinggi di daerah negatif.

PEMBAHASAN

Peran A actinomycetemcomitans dalam periodontitis kronis belum diketahui dengan pasti, meskipun mikroorganisme ini dinyatakan memiliki hubungan kuat dengan periodontitis agresif lokalisata. Penelitian-penelitian terdahulu melaporkan bahwa A actinomycetemcomitans dapat ditemukan dalam 25% sampai 30% lesi periodontitis pada orang dewasa, yang secara signifikan, lebih tinggi dibandingkan pada subyek yang memiliki periodontal sehat. Para peneliti lainnya melaporkan prevalensi A actinomycetemcomitans yang lebih tinggi pada penderita PK, berkisar antara 60,4% sampai 84,4%. Dalam kasus-kasus tertentu, diskrepansi tersebut disebabkan karena subyek dalam setiap penelitian berasal dari etnik atau lokasi geografis yang berbeda.
Angka prevalensi A actinomycetemcomitans bervariasi antar kelompok etnik. Umeda dkk, mengidentifikasi bahwa ras atau etnisitas merupakan faktor resiko potensial dalam kepemilikan A actinomycetemcomitans. Keturunan Spanyol dan Asia-Amerika beresiko tinggi memiliki kandungan A actinomycetemcomitans dalam poket periodontal jika dibandingkan dengan keturunan Kaukasia. Meskipun prevalensi A actinomycetemcomitans telah banyak diselidiki, hanya sedikit penelitian yang dilakukan di Cina, yang memiliki populasi terbesar di dunia.
Metode pengambilan sampel bakteri dan identifikasi juga mempengaruhi hasil analisis bakteri. Dalam penelitian ini, sampel plak subgingival diambil dari 2 poket terdalam, seperti yang diuraikan oleh Savitt dkk, yang menemukan bahwa pengambilan sampel di daerah yang memiliki kedalaman probing tertinggi dan yang berdarah saat probing cenderung bersifat pariopatogen pada subyek yang memiliki kandungan spesies tersebut. Selain itu, penelitian ini menggunakan teknik PCR untuk mengetahui prevalensi A actinomycetemcomitans pada penderita PK dan orang dewasa yang memiliki periodontal sehat, karena memiliki sensitivitas dan spesifitas yang tinggi serta sesuai untuk mendeteksi sejumlah bakteri dalam flora campuran. Sensitivitas PCR mempermudah deteksi patogen periodontal dalam sampel plak subgingival di bawah batas deteksi normal dalam teknik klutur, imunofluorosens, pengujian biokimia enzyme-based, dan metode DNA probe.
Mombelli dkk, menyelidiki keberadaan A actinomycetemcomitans subgingival pada 66 orang dewasa muda keturunan Cina yang menderita periodontitis ringan atau sedang. Organisme tersebut ditemukan pada 62% subyek penelitian tersebut. Tan dkk, melaporkan bahwa A actinomycetemcomitans ditemukan pada 69% penderita periodontitis dan 78% pada subyek yang memiliki periodontal sehat. Dari angka prevalensi yang tinggi tersebut, mereka menyimpulkan bahwa A actinomycetemcomitans umum ditemukan dalam flora normal etnik Cina, karena prevalensinya pada pasien dan orang sehat sama saja. Penemuan tersebut konsisten dengan hasil yang diperoleh dari prevalensi penelitian Mombelli dkk, pada subyek keturunan Cina.
Penelitian ini menyelidiki prevalensi A actinomycetemcomitans, dan ditemukan perbedaan kecenderungan tanda-tanda mikrobiologis pada penderita PK keturunan Cina. Tidak ditemukan perbedaan prevelansi A actinomycetemcomitans antara penderita PK berjenis kelamin pria dan wanita. Penelitian ini juga mengidentifikasi hubungan antara prevalensi dengan usia subyek. Pada penderita PK, A actinomycetemcomitans lebih sering ditemukan pada pasien berusia muda dibandingkan pada lansia. Hal ini konsisten dengan penelitian terdahulu bahwa keberadaan A actinomycetemcomitans banyak ditemukan pada kelompok usia muda namun jarang pada kelompok lansia. Para peneliti lainnya menemukan bahwa A actinomycetemcomitans memiliki korelasi positif dengan subyek berusia muda [< 29 tahun]. Dalam laporan lainnya, prevalensi A actinomycetemcomitans sesuai-usia dan berkurang seiring dengan pertambahan usia.
Penelitian ini menemukan bahwa prevalensi A actinomycetemcomitans lebih tinggi pada daerah PK yang memiliki kedalaman probing dan kehilangan perlekatan yang tinggi, hal ini menunjukkan bahwa A actinomycetemcomitans memiliki korelasi positif dengan kerusakan jaringan periodontal. Hasil tersebut mendukung penemuan Wolff dkk, yang membuktikan hubungan linear positif antara keberadaan patogen dengan kedalamam poket, untuk lima jenis bakteri patogen termasuk A actinomycetemcomitans. Namun, Hamlet dkk, melaporkan hasil yang berlawanan: A actinomycetemcomitans berkorelasi negatif dengan kedalaman probing. Mereka menjelaskan bahwa kondisi lingkungan yaitu, poket yang dalam dan anaerob, menguntungkan A actinomycetemcomitans yang bersifat kanofilik. Meskipun poket yang lebih dalam menjadi tempat perkembangan obligat anaerob, seperti Porphyromonas gingivalis, bagian dan simbiosis pertumbuhan bakteri lingkungan yang kompleks dalam poket periodontal bervariasi. Komposisi bakteri pada bagian yang dangkal berbeda dengan komposisi pada bagian yang dalam, dan kompound infeksi periopatogen telah dibuktikan. Van Winkelhoff dkk, menyimpulkan bahwa A actinomycetemcomitans dan patogen periodontal lainnya, secara signifikan, lebih prevalen pada penderita periodontitis sedang sampai parah, dibandingkan dengan kontrol.
A actinomycetemcomitans dinyatakan sebagai patogen utama dalam periodontitis agresif lokalisata dan prevalensinya rendah dalam populasi yang memiliki periodontal sehat. Penelitian-penelitian tentang prevalensi A actinomycetemcomitans dalam sampel subgingival individiu yang memiliki periodontal sehat menemukan prevalensi sebesar 1,0% dalam populasi Korea dan nol dalam populasi Jepang, yang diukur menggunakan DNA probe, dan 1,7% jika diuji menggunakan kultur bakteri. Laporan tentang A actinomycetemcomitans pada subyek keturunan Cina yang sehat juga tidak menemukan bakteri tersebut jika diuji menggunakan DNA probe dan metode 16S rRNA PCR. Penelitian ini hanya menemukan 1 sampel dari subyek sehat yang dinyatakan positif mengandung A actinomycetemcomitans [prevalensi 0,9%], hal ini konsisten dengan hasil yang disebutkan di atas. Namun, terdapat laporan lain tentang A actinomycetemcomitans pada subyek keturunan Cina yang sehat. Tan dkk, mengaplikasikan PCR untuk mendeteksi A actinomycetemcomitans dan menemukan prevalensi yang tinggi pada subyek sehat, yaitu sebesar 78,0%, lebih tinggi dibandingkan pada penderitaPK [69,0%]. Peneliti lainnya melaporkan hasil yang berbeda, yaitu berkisar antara 6,7% sampai 66,0%. Perlu diselidiki dan diklarifikasi lebih lanjut apakah bakteri ini merupakan salah satu spesies residen dalam rongga mulut.
Choi dkk, melaporkan bahwa 8 dari 28 daerah periodontal sehat pada penderita PK memiliki kandungan A actinomycetemcomitans, dengan prevalensi sebesar 28,6%, secara signifikan lebih tinggi dibandingkan dalam penelitian ini. Perbedaan tersebut mungkin disebabkan oleh penggunaan kriteria yang berbeda dalam pemilihan daerah periodontal sehat pada penderita PK.

KESIMPULAN
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa distribusi A actinomycetemcomitans sebagai salah satu patogen periodontal utama pada penderita periodontitis kronis merupakan penyebab kerusakan jaringan periodontal dan aktivitas penyakitnya, dan bahwa subyek yang memiliki periodontal sehat mengandung spesies bakteri dalam jumlah rendah. Dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk menyelidiki patologi A actinomycetemcomitans dalam inisiasi dan perkembangan periodontitis kronis.

Read more...

Pengaruh Kesesuaian dan Panjang Pasak Terhadap Resistensi Fraktur

Abstrak
Tujuan
: Untuk menyelidiki (i) pengaruh kesesuaian pasak [kongruensi-bentuk] dan (ii) pengaruh panjang pasak terhadap resistensi fraktur akar yang mengalami kerusakan parah dan diobturasi pada gigi yang telah diekstraksi.
Metodologi: Sembilan puluh enam gigi manusia berakar tunggal diisi dan dibagi menjadi empat kelompok [n = 24 per grup]. Ruang pasak dipreparasi sampai kedalaman 6 mm [Grup 1,3] dan 3 mm [Grup 2,4]. Kongurensi-bentuk yang memiliki kesesuaian pasak maksimal dalam runag saluran akar ditemukan dalam Grup 1 dan 2, sedangkan dalam Grup 3 dan 4 tidak terjadi kongruensi-bentuk. Dalam semua kelompok, pasak glass fibre reinforced composite [FRC] disementasi menggunakan bahan adhesif dan dibuatkan mahkota komposit secara direct tanpa ferrule. Setelah diberi beban termo-mekanis [1.200.000x, 5-50oC], diaplikasikan tekanan statis sampai terjadi fraktur. Dilakukan perbandingan pemberian beban-sampai-fraktur [dalam satuan N] antar kelompok.
Hasil: Kesesuaian pasak tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap resistensi fraktur, seberapapun panjang pasak yang digunakan. Dalam dua kelompok dimana pasak diinsersikan sedalam 6 mm, menghasilkan beban fraktur rata-rata yang lebih tinggi Grup 1, 394 N; Grup 3, 408 N] dibandingkan dengan kelompok yang preparasi ruang pasaknya 3 mm [Grup 2, 275 N; grup 4, 237 N].
Kesimpulan
: Meskipun penelitian ini memiliki beberapa kelemahan, resistensi fraktur gigi-geligi yang direstorasi menggunakan pasak FRC dan mahkota komposit resin direct tanpa ferrule tidak dipengaruhi oleh kesesuaian pasak dalam saluran akar. Hasil penelitian ini mengimplikasikan bahwa preparasi ruang pasak yang berlebihan untuk memperoleh kesesuaian pasak sirkumferensial yang optimal tidak meningkatkan resistensi fraktur akar.
Kata Kunci: Pasak endodontik; kecocokan-bentuk; resistensi fraktur; penelitian in vitro; ruang pasak.
Sumber: International Endodontic Journal, 2009;42: 47-53.


PENDAHULUAN
Karena gigi-geligi yang telah diisi seringkali memiliki struktur koronal gigi yang tidak mencukupi, pemasangan pasak perlu dilakukan untuk memberikan retensi yang adekuat bagi inti dan restorasi akhirnya. Telah dikembangkan beberapa alternatif cast post-and-core termasuk pembuatan pasak sediaan dan inti custom-made dari bahan komposit yang mempermudah prosedur restoratif di kursi unit. Pasak fibre-reinforced composite [FRC] yang direkatkan menggunakan bahan adhesif menjadi lebih populer karena memiliki sifat mekanis dan estetik yang menguntungkan. Antara lain, modulus elastisitas pasak FRC hampir sama dengan dentin, sehingga tekanan yang ditransmisikan oleh pasak ke dentin akar lebih rendah dibandingkan jika menggunakan bahan lain, seperti titanium atau zirconia. Masih diperdebatkan apakah transmisi tekanan dan rigiditas pasak mempengaruhi resistensi fraktur dan/atau mode kegagalan akar gigi yang diisi dengan pasak. Faktor lain yang mempengaruhi kemampuan pembebanan gigi yang telah diisi antara lain morfologi gigi, teknik restoratif, dan banyaknya jaringan gigi yang hilang.
Dalam pemasangan pasak yang sesuai dengan protokol klinis standar, digunakan pilot drill untuk membuat kongruensi-bentuk saluran akar sampai ke sepertiga apikal akar untuk memperoleh kesesuaian dan retensi pasak primer. Kesesuaian pasak yang dioptimalkan ini dinamakan ‘form-congruence/kecocokan-bentuk’ dan ditujukan untuk memaksimalkan adaptasi pasak pada dinding saluran akar di sekitarnya dengan interfase semen dentin-pasak yang tipis dan merata. Diduga bahwa kongruensi-bentuk memungkinkan terjadinya distribusi tekanan pada dinding saluran akar selama fungsi klinis. Schmage dkk, [2005] menyelidiki kongruensi-bentuk lima pasak titanium sediaan yang direkatkan menggunakan semen zinc fosfat dan menemukan bahwa celah semen rata-rata bervariasi antara 33 sampai 62 m, tergantung pada sistem pasak yang digunakan. Pada gigi yang diisi menggunakan cast post-and-core dan mahkota yang direkatkan dengan semen zinc fosfat, ditemukan peningkatan resistensi fraktur yang signifikaan jika terjadi adaptasi maksimum pasak taper pada struktur akar yang tersisa. Efek tersebut tidak ditemukan jika menggunakan pasak paralel. Namun, preparasi ruang pasak memiliki beberapa resiko. Kurvatura dan potongan-melintang setiap saluran akar dapat mempengaruhi preparasi tersebut dan melemahkan akar atau bahkan mengakibatkan perforasi akar. Lang dkk, [2006] menyelidiki pengaruh prosedur endodontik terhadap deformasi gigi-geligi anterior dan menemukan bahwa stabilitasnya semakin berkurang seiring dengan dilakukannya setiap tahap preparasi saluran akar. Penurunan stabilitas yang signifikan terjadi jika ruang pasak dipreparasi, terutama setelah transformasi preparasi pasak konis/kerucut menjadi bentuk silindris/bulat. Disimpulkan bahwa jika struktur gigi yang dihilangkan cukup banyak dan geometri alami saluran akar berubah, maka akan timbul efek de-stabilitas pada akar gigi yang diisi. Salah satu penelitian terbaru menggunakan analisis komputasional, eksperimental, dan fraciographic menguraikan pengaruh inner dentine [dentin bagian dalam], yang terletak di sekitar saluran akar, terhadap resistensi fraktur gigi. Jelas, bukan hanya ketebalan dinding dentin yang menstabilkan akar tapi juga keberadaan inner dentine yang memiliki modulus elastisitas lebih rendah dibandingkan dengan dentin bagian luar yang lebih termineralisasi. Pada saluran akar ireguler yang memiliki potongan-melintang oval, dibutuhkan diameter drill yang besar untuk memastikan kesesuaian pasak sirkumferensial, jadi banyak struktur inner dentine yang dibuang. Namun, pemilihan pasak yang sesuai dengan diameter alami slauran akar tanpa preparasi, yang ditujukan untuk mempertahankan substansi inner dentine, menyebabkan longgarnya pasak dalam saluran ireguler [tidak ada kongruensi-bentuk].
Segera setelah pasak direkatkan menggunakan bahan adhesif pada dinding saluran akar, kesesuaian pasak yang ideal dalam saluran akar [kongurensi-bentuk] tidak terlalu penting, seperti jika ruang diisi menggunakan luting komposit. Namun, penyusutan lapisan semen resin yang lebih tebal akibat pasak yang tidak sesuai, akan mengganggu kinerja klinis jangka panjang. Sebaliknya, setelah dilakukan preparasi ruang pasak terstandardisasi [menggunakan post hole drill yang disuplai oleh pabrik] dan prosedur bonding optimal., faktor konfigurasi kavitas yang tinggi akan mengakibatkan pembentukan celah pada interfase semen-dentin ataupun pada interfase semen-pasak. Untuk mengurangi ketebalan semen resin dalam ruang pasak ireguler, Grandini, dkk [2003, 2005] menganjurkan dilakukannya relining pasak pra-sementasi menggunakan komposit flowable [pasak anatomis] untuk sementasi pasak fiber guna meningkatkan kesesuaiannya dalam ruang pasak. Dengan latar belakang tersebut, penggunaan teknik adhesif untuk sementasi pasak dan preparasi ruang pasak minimal untuk mengurangi pembuangan jaringan keras lebih banyak dipilih dalam praktek klinis.
Tujuan penelitian ini adalah untuk menyelidiki pengaruh kongurensi-bentuk pasak glass FRC yang direkatkan menggunakan bahan adhesif dan panjang pasak terhadap resistensi fraktur akar gigi yang diisi. Hipotesis null yang digunakan adalah (i) adanya kongurensi-bentuk antara pasak dengan preparasi ruang pasak dan/atau (ii) mengurangi panjang pasak tidak akan mempengaruhi beban fraktur gigi yang akarnya telah diisi dan direstorasi menggunakan pasak glass FRC yang direkatkan menggunakan bahan adhesif dan mahkota komposit direct.

BAHAN DAN METODE

Sembilan puluh enam gigi manusia berakar tunggal [gigi insisivus lateral rahang atas dan gigi premolar dua rahang bawah] yang telah dicabut dipilih sesuai dengan kriteria berikut: lurus, akar sehat, bagian apikal telah terbentuk sempurna, tidak ada karies akar, dan tidak terdapat garis fraktur di sepanjang akar. Gigi-geligi yang memiliki dimensi sama pada cementoenamel junction [CEJ], yaitu diameter akar dan ketebalan dinding dentin, didistribusikan secara merata ke dalam empat kelompok. Gigi-geligi direndam dalam larutan timol 0,1% sampai proses selanjutnya. Mahkota klinis dipotong pada 1 mm di bawah CEJ bukal menggunakan bur intan, sehingga menyisakan akar sepanjang 13 + 1 mm. Semua akar dibersihkan menggunakan skaler.
Preparasi saluran akar dilakukan menggunakan instrumen rotary NiTi [Race, FKG, La Chaux-de-Fonds, Swiss] dengan bilasan sodium hipoklorit 1% secara intermiten sampai ukuran apikal 45. Kemudian saluran akar dikeringkan menggunakan paper point dan diisi dengan gutta percha menggunakan kompaksi vertikal [Obtura II, Obtura Corp. Fenton, MO, AS] dan sealer epoksi [AH plus, Dentsply De Trey, Konstanz, Jerman].
Dalam setiap kelompok, digunakan pasak glass FRC sediaan [FRC Postec, Ivoclar Vivadent, Schaan, Liechenstein] dengan taper/keruncingan sebesar 9,3%. Ruang pasak dipreparasi menggunakan drill yang sesuai dan keruncingan yang sama dalam handpiece contra-angle berkecepatan-rendah, yaitu pada 1000 rpm. Untuk panjang pasak 3 mm [Grup 2 dan 4], 3 mm apikal pasak dipotong agar diperoleh dimensi diameter pasak yang sama pada regio servikal semua spesimen [Gambar 1].
Dalam Grup 1 dan 2, ukuran dan bentuk bur disesuaikan dengan pasak FRC untuk memastikan kesesuaian pasak yang optimal [kongruensi-bentuk antara pasak dengan ruang pasak]. Dalam Grup 3 dan 4, dilakukan preparasi ruang pasak yang lebih ekstensif untuk mensimulasi kongruensi-bentuk yang hilang antara pasak dengan ruang pasak. Oleh karena itu, pilot drill diperpendek menjadi 3 mm apikal [Grup 2] dan 6 mm [Grup 4]. Karena drill berbentuk konus/kerucut, diameter preparasi ruang pasak bertambah kurang lebih sebanyak 300 m sesuai dengan panjangnya. Secara teoretis, diskrepansi antara ruang pasak dengan diameter pasak dalam luas ruang sirkumferensial sebesar 150 m menunjukkan bahwa pasak terletak di bagian tengah ruang pasak. Bagian koronal pasak pada setiap grup direduksi pada batas yang sama, yaitu 2,5 mm di atas orifisium saluran akar.

Prosedur Restoratif
Sebelum dilakukan sementasi pasak, ruang pasak dibilas menggunakan air selama 30 detik kemudian dikeringkan dengan semprotan udara selama 5 detik dan paper point. Kemudian, semua permukaan dentin dietsa menggunakan one step [Ultra-etch, asam fosfat 35%] selama 15 detik, dibilas dengan semprotan udara selama 5 detik dan paper point, sehingga permukaan sedikit lembab. Sistem adhesif dual-cure [Excite DSC, Ivoclar, Vivadent] dicampurkan dan diaplikasikan pada permukaan sampel selama 30 detik. Digunakan aliran udara lembut untuk menguapkan larutan disolusi. Pasak FRC dibersihkan menggunakan alkohol dan silanate [Monobond-S Ivoclar Vivadent] selama 60 detik. Bahan luting resin dual-cure [Multicore Flow, Ivoclar Vivadent] dicampurkan dan diinjeksikan ke dalam saluran akar yang telah dipreparasi menggunakan tip yang sesuai [C-R NeedleTubes, Centrix, Shelton, CT, AS]. Kemudian, pasak dimasukkan menggunakan tekanan jari selama 10 detik. Kelebihan semen diratakan menggunakan brush menjadi suatu lapisan tipis yang menutupi permukaan oklusal spesimen. Dilakukan light-curing semen [Optilux 500, Demetron/Kerr, Danburry, CT, AS] selama 40 detik dalam arah oklusal.
Untuk merestorasi bagian koronal gigi, dibuat mahkota komposit secara direct menggunakan bahan yang sama [Multicore Flow]. Meskipun diameter servikal akar sedikit berbeda, dibuat mahkota standar [tinggi 4 mm] menggunakan cetakan transparan [Pella crowns, Odus, Dietikon, Swiss] yang sesuai dengan bentuk anatomis permukaan oklusal. Resin komposit diaplikasikan ke dalam cetakan, tanpa gelembung udara bebas, diadaptasikan pada permukaan gigi kemudian dilakukan light curing pada setiap sisi selama 40 detik. Terakhir, kelebihan resin komposit pada daerah servikal dibersihkan dan dilakukan finishing tepi-tepi restorasi menggunakan bur intan yang halus. Pada setiap spesimen, ujung pasak dilapisi dengan komposit resin setinggi kurang lebih 1,5 mm.

Beban Mekanis

Akar semua spesimen dilapisi dengan polyvinylsiloxane setebal 0,3 mm [President light body, Coltene-Whaledent AG, Altstatten, Swiss] untuk mensimulasi ligamentum periodontal [PDL]. Spesimen difiksasi menggunakan komposit light-curing pada holder logam custom-made [Provac, Balzers, Liechtenstein]. Kemudian, akar-akar tersebut ditanam dalam resin akrilik self-curing [Demotec 20, Demotec Siegfried Demel, Nidderau, Jerman] sehingga CEJ terletak kurang lebih 1,5 mm di atas batas tinggi tulang simulasi [yaitu, batas atas medium tanam]. Setelah penanaman, sampel direndam dalam air sampai proses pemberian beban.
Semua spesimen diberi beban mekanis pada bagian tengah permukaan oklusal menggunakan computer-controlled masticator [CoCoM 2, PPK, Zurich, Swiss]. Pemberian tekanan terdiri dari 1,2 juta beban sebesar 49 N pada 1,7 Hz yang dihasilkan oleh cusp manusia. Tekanan termal diaplikasikan secara simultan [3000 siklus termal antara 5/50oC]. Kondisi tersebut diduga mensimulasikan fungsi klinis selama 5 tahun [Krejet dkk, 1994].
Setelah pemberian beban termo-mekanis [TML], resistensi fraktur diuji menggunakan universal testing machine [Zwick, Ulm, Jerman]. Spesimen difiksasi pada suatu holder logam dimana sumbu panjang akar berada pada sudut 45o terhadap arah beban. Tin foil [ketebalan 0,5 mm] diletakkan di antara steel sphere dengan mahkota untuk menghindari puncak beban pada permukaan mahkota resin komposit. Beban kompresif linear diaplikasikan [kecepatan cross-head = 0,5 mm/menit] pada fissure sentralis permukaan oklusal dari arah cusp bukal sampai terjadi fraktur.

Analisis Statistik

Variabel hasil primer adalah fraktur saat TML [fatigue testing]. Kedua, jika spesimen tidak mengalami fraktur saat TML, dilakukan pembandingan loads-to-failure [dalam satuan N]. Sehingga, nilai mean dan interval kepercayaan dikalkulasi pada spesimen dalam setiap grup yang tidak mengalami fraktur. Selisih yang signifikan antar kelompok ditentukan jika tidak melebihi batas interval kepercayaan.

HASIL

Dua spesimen, satu dalam Grup 2 dan 1 dari Grup 4, dinyatakan hilang karena kesalahan teknis. Semua gigi-geligi yang tersisa dan restorasi yang masih utuh setelah TML tanpa kehilangan retensi atau mengalami fraktur, diuji kembali dalam universal testing machine untuk mengetahui resistensi frakturnya. Beban fraktur rata-rata setelah pemberian beban statis diuraikan dalam Tabel 1. Tidak ditemukan selisih yang signifikan secara statistik antara spesimen yang memiliki panjang pasak 6 mm tanpa kongruensi-bentuk [Grup 3] dengan Grup 1 [6 mm, kongruensi-bentuk]. Diperoleh nilai yang secara signifikan lebih rendah pada spesimen yang memiliki panjang pasak 3 mm [Grup 2 dan 4]. Besar beban terendah ditermukan dalam Grup 4. Dalam kondisi eksperimental ini, kongruensi-bentuk tidak mempengaruhi resistensi fraktur, seberapapun kedalaman insersi pasak.

PEMBAHASAN
Penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi pengaruh kongurensi-bentuk antara pasak dengan ruang pasak, serta pengurangan panjang pasak pada akar gigi yang telah diisi dan mengalami kerusakan parah. Ditemukan bahwa kesesuaian pasak tidak menimbulkan pengaruh yang signifikan terhadap resistensi fraktur, meskipun pasak yang pendek akan mengurangi besar beban secara signifikan, ini berarti bahwa pasak tersebut lebih mudah fraktur.
Untuk memperoleh informasi tentang kebutuhan potensial untuk adaptasi maksimum pasak pada dinding saluran akar, kongruensi-bentuk yang kurang dalam bahan tersebut disebabkan oleh sementasi pasak dalam saluran akar yang terlalu-diperluas. Celah yang terbentuk diisi oleh resin flowable, yang juga digunakan untuk pembuatan mahkota agar prosedur lebih sederhana. Langkah ini sesuai dengan penelitian ini yang menunjukkan bahwa bahan tersebut menghasilkan retensi yang lebih baik dibandingkan luting cement, sehingga dianjurkan sebagai alternatif untuk sementasi pasak. Hasil penelitian ini jelas menunjukkan bahwa kongruensi-bentuk yang hilang tidak mempengaruhi beban fraktur. Berbeda dengan penemuan tersebut, Schmage dkk, [2005] melaporkan bahwa hanya pasak yang beradaptasi baik pada dinding saluran akar yang menghasilkan retensi tinggi dan mencegah tekanan memuncak. Mereka mengaplikasikan bahan luting [semen zinc fosfat] dan menemukan bahwa selapis tipis semen homogenous, dimana ketebalan lapisan < 50 m, berperan penting untuk meningkatkan retensi pasak. Namun, jika digunakan komposit sebagai bahan luting, ketidaksesuaian diameter ruang pasak dengan diameter pasak tidak akan mengurangi retensi, meskipun penyusutan lapisan semen resin yang lebih tebal menambah tekanan pada interfase antara dentin dengan pasak. Perez, dkk [2006] menyelidiki pengaruh ketebalan resin semen terhadap bond strength pada dentin saluran akar. Jelas, pertambahan ketebalan semen tidak mengurangi bond strength secara signifikan jika dilakukan insersi pasak FRC. Penemuan tersebut mendukung hasil penelitian ini yang menunjukkan bahwa keakuratan kesesuaian antara pasak dengan saluran akar tidak mempengaruhi bond strength.
Kecuali akibat kesalahan teknis, dalam eksperimen ini, semua gigi dan restorasi masih tetap utuh tanpa kehilangan retensi pasak ataupun fraktur mahkota. Saat diberi beban sampai terjadi fraktur, beban fraktur dalam semua kelompok dinyatakan melebihi tekanan pengunyahan normal pada orang dewasa, yaitu berkisar antara 7 sampai 15 kg. Gigi-geligi yang dipreparasi sampai 6 mm untuk pemasangan pasak [Grup 1 dan 3] memiliki beban kegagalan yang sama meskipun terdapat kongurensi-bentuk antara pasak dengan saluran akar. Spesimen yang direstorasi menggunakan pasak sepanjang 3 mm dengan atau tanpa kongurensi-bentuk [Grup 2 dan 4] memiliki nilai yang secara signifikan lebih rendah. Dan, kongruensi-bentuk pasak FRC tidak mempengaruhi kemampuan pembebanan akar gigi yang telah diisi. Selama dekade terakhir ini, penggunaan komposit resin untuk pembuatan mahkota direct pada gigi yang akarnya telah diisi hanya dianjurkan sebagai restorasi sementara. Namun, penyelidikan laboratorium tentang resistensi fraktur mahkota komposit resin [dengan atau anpa pasak endodontik] memberikan hasil yang menjanjikan, hal ini menunjukkan bahwa aplikasi klinisnya dapat diterima. Penelitian klinis prospektif selama 5 tahun tentang restorasi inti tanpa mahkota, Creugers, dkk [2005a] membuktikan bahwa hanya dua dari 99 restorasi yang mengalami kegagalan. Mereka menemukan bahwa pembuatan restorasi komposit secara langsung memiliki durabilitas yang tinggi dan angka keberhasilan yang sama dengan pembuatan restorasi mahkota dalam penelitian paralel.
Agar menyerupai dengan periodonsium manusia [PDL], akar gigi-geligi yang diuji dilapisi dengan polyvinylsiloxane yang telah di-curing. Keberadaan simulasi PDL ini sangat mempengaruhi hasil pengujian fraktur. Hasil pencabutan gigi-geligi yang digunakan dalam penelitian ini dipotong pada batas 1 mm di bawah CEJ bukal, sehingga seluruh email hilang. Permukaan dentin yang tersisa dianggap memiliki karakteristik bonding yang lebih buruk dibandingkan dengan email. Akar yang telah preparasi dipasangi pasak dengan panjang berbeda-beda dan mahkota komposit, namun tidak ditambahkan ferrule. Keunggulan ferrule adalah meningkatkan efek stabilisasi karena memeluk dentin. Namun, morfologi gigi yang ditentukan disini mensimulasikan morfologi gigi dengan akar yang telah diisi dan mengalami kerusakan parah. Menurut pedoman klinis yang ditentukan, situasi tersebut idealnya direstorasi dengan pasak dan inti serta mahkota laboratorium custom-made yang memiliki ferrule sirkuler. Dalam sebagian besar penelitian laboratorium, anjuran klinis tersebut dipertimbangkan dan spesimen yang diuji memiliki beban fraktur yang lebih tinggi dibandingkan dengan hasil yang ditemukan dalam penelitian ini. SEcara umum, desain ferrule pada mahkota dinyatakan sebagai salah satu faktor terpenting untuk meningkatkan resistensi beban pada gigi yang akarnya telah diisi. Jadi, penelitian ini hanya merefleksikan kinerja pasak dan inti saja, tanpa perancu manfaat tambahan mahkota yang memiliki ferrule.
Dalam materi penelitian ini, TML dilakukan untuk melemahkan sampel sebelum pemberian beban statis. Beban yang diaplikasikan secara berulang dalam lingkungan lembab mensimulasikan kondisi klinis, bukan hanya pemberian beban statis saja. Dengan menggunakan lingkungan semacam itu, faktor-faktor seperti tekanan fatigue atau ketuaan, yang mempengaruhi daya tahan bahan, dapat dipertimbangkan. Namun, desain uji penelitian laboratorium hanya merefleksikan sebagian situasi klinis. Secara klinis, proses dinamis dan pembebanan, frekuensi dan arahnya, sangat bervariasi. Karena banyak variabel lain yang terlibat, seperti kondisi gigi, tipe gigi, prosedur restorasi yang diaplikasikan, dan bahan restorasi yang digunakan, kita sulit membandingkan nilai resistensi fraktur yang diperoleh dalam berbagai penelitian laboratorium lainnya. Faktor yang paling tidak dapat diprediksi adalah kondisi gigi-geligi, yang sangat mempengaruhi dentin. Ini merupakan salah satu kelemahan karena menggunakan gigi-geligi manusia. Dilaporkan bahwa pengujian pada gigi-geligi manusia menghasilkan standar deviasi yang besar, sedangkan gigi-geligi artifisial jauh lebih konsisten. Dalam penelitian ini, besar sampel sebanyak 24 gigi manusia per kelompok dipilih untuk mengurangi SD dan memperoleh hasil yang lebih reliabel.
Hasil penelitian ini jelas membuktikan bahwa preparasi ruang pasak yang berlebihan untuk memaksimalkan kesesuaian pasak dan mengurangi jumlah semen resin, tidak perlu dilakukan. Hasil penelitian ini cocok untuk diaplikasikan pada gigi-geligi yang memiliki potongan-melintang akar oval atau oval-panjang. Dalam kasus semacam itu, dengan tidak berusaha memperoleh kesesuaian pasak sirkumferensial yang baik, membantu mempertahankan inner dentine dan menghindari pelemahan akar. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk menyelidiki pengaruh pasak sediaan yang berbentuk lebih oval terhadap kemampuan pembebanan.

KESIMPULAN

Gigi-geligi yang akarnya telah diisi dan mengalami kerusakan parah direstorasi menggunakan pasak FRC dan mahkota komposit resin secara direct tanpa ferrule memiliki resistensi fraktur yang sama, tidak dipengaruhi oleh kesesuaian pasak, yaitu apapun bentuk kongruensi-bentuknya ataupun tanpa kongurensi-bentuk. Hal ini menunjukkan bahwa untuk meningkatkan resistensi fraktur, preparasi ruang pasak dan kesesuaian pasak tidak diperlukan.


Read more...

18 July 2009

Matriks Oklusal Pra-Operatif Membantu Pembentukan Kontur Oklusal Restorasi Komposit Resin Pada Oklusal Posterior—Rasional Klinis Dan Teknik

Ringkasan
1. Mendeskripsikan suatu alternatif teknik aplikasi komposit resin pada oklusal.
2. Menjelaskan bagaimana mereproduksi morfologi oklusal secara lebih akurat dan menghemat waktu penyesuaian oklusal.
3. Menjelaskan bagaimana mempertahankan dimensi oklusal yang ada saat aplikasi restorasi dalam kasus-kasus erosi.

Abstrak
Artikel klinis ini mendeskripsikan dan membahas suatu teknik, menggunakan matriks oklusal pra-operatif, yang dapat mereplikasi morfologi gigi saat aplikasi komposit resin pada gigi posterior. Dideskripsikan dua kasus klinis. Teknik ini menawarkan penghematan waktu klinisi karena kebutuhan penyesuaian oklusal minimal.
Sumber: British dental journal, 2009; 206(6): 315-317.


PENDAHULUAN
Kekhawatiran tentang pengaruh dental amalgam terhadap lingkungan telah diekspresikan. Topik tersebut difokuskan pada pelepasan merkuri dari dental unit ke dalam air lingkungan dan dari kremasi orang meninggal yang memiliki tumpatan amalgam. Polusi lingkungan yang dihasilkan membuat banyak negara melarang penggunaan dental amalgam. Hal ini mengharuskan penggunaan bahan tumpatan alternatif dan komposit resin adalah salah satunya. Bahan tersebut tidak mengandung merkuri dan merupakan suatu proses kimiawi, yang dikembangkan oleh R. L Bowen, bahan ini terdiri dari matriks resin 2,2 bis-[-4,(2-hydroxy-3-methacryloyloxy-propyloxy]-phenyil-]-propane [umum dikenal sebagai BIS-GMA atau resin Bowen] yang dicampur dengan filler anorganik, di-bonding pada matriks, oleh coupling agent y-methacryloxypropyltrimethoxy silane. Derivat modern bahan tersebut diatur oleh reaksi polimerisasi yang dipicu oleh paparan sinar tampak warna biru pada bahan. Dalam restorasi gigi-geligi posterior, aplikasi klinisnya telah diajarkan di fakultas kedokteran gigi di Irlandia dan Inggris karena menawarkan berbagai kelebihan, jika diaplikasikan bersama dengan etsa asam dan bonding dentin, yaitu mengurangi pembuangan substansi gigi sehat untuk keperluan retensi, estetik baik, memperkuat struktur gigi yang tersisa dan meningkatkan resistensi fraktur gigi yang direstorasi. Penggunaan bahan ini juga mengurangi kontaminasi merkuri di masa yang akan datang. Namun, disadari bahwa dalam pembentukan kembali morfologi oklusal menggunakan bahan tumpatan ini dibutuhkan banyak waktu dan tergantung pada ketrampilan yang tinggi. oleh karena itu, sebagian ahli menganjurkan pembuatan matriks oklusal, sebelum dilakukan preparasi kavitas, yang dapat digunakan untuk membentuk kontur akhir tumpatan komposit resin. Bahan yang dapat digunakan untuk tujuan tersebut adalah clear polyvinyl siloxane bite registration material [Memosil, Heraus Kulzer, Jerman] atau suatu Vaseline yang memisahkan resin komposit light-cured temporer [Fermit, Vivadent, Brazil]. Namun, teknik replikasi semacam itu sangat tergantung pada morfologi oklusal yang masih utuh, seperti dalam kasus karies yang tersembunyi, atau terdapat restorasi gagal dengan morfologi oklusal baik. Jika menemukan kondisi semacam itu, teknik matriks oklusal pra-operatif dilakukan dengan benar, maka restorasi komposit resin dapat: (a) mereproduksi morfologi dan oklusi awal; (b) finishing dan polishing minimal atau tidak perlu dilakukan; (c) mengurangi insiden terbentuknya ruang hampa pada permukaan oklusal; (d) meminimalisir jumlah flash pada margin restorasi; (e) menghasilkan permukaan oklusal yang terpolimerisasi secara optimal karena tidak udara tidak terperangkap dalam matriks selama proses curing.
Sejak tahun 2000, semua lesi karies oklusal pada gigi posterior de novo yang ditemukan di klinik restoratif pra-sarjana Dundee Dental Hospital and School, dan membutuhkan restorasi, telah direstorasi menggunakan komposit resin bonded secara langsung. Digunakan salah satu teknik matriks oklusal pra-operatif, jika perlu. Selain itu, teknik ini juga digunakan sebagai pengganti restorasi posterior untuk mereplikasi bentuk oklusal akibat keausan gigi, dimana terjadi submarginasi restorasi karena dibutuhkan banyak waktu untuk merestorasi skema oklusal yang sama. Submarginasi timbul jika substansi gigi asli, yang mengelilingi restorasi intra-koronal logam, mengalami erosi akibat paparan asam secara kronis. Hal tersebut membuat restorasi terlihat lebih menonjol dibandingkan dengan struktur gigi di sekitarnya.
Makalah teknik klinis ini ditujukan untuk mendeskripsikan metode restorasi tersebut yang diilustrasikan dalam suatu kasus yang dirawat oleh salah satu penulis, yaitu seorang mahasiswa kedokteran gigi [Kasus satu] dan juga, untuk mendeskripsikan bagaimana teknik dasar dapat dimodifikasi untuk meniru morfologi oklusal suatu restorasi dimana terjadi submarginasi akibat keausan gigi, seperti yang diilustrasikan dalam Kasus dua.

Studi Kasus Satu dan Teknik Klinis
Pasien adalah seorang mahasiswi berusia 20 tahun yang datang ke Rumah Sakit Gigi Dundee, ia tidak pernah melakukan kunjungan ke dokter gigi sejak masa sekolah. Pada banyak gigi posteriornya, pasien memiliki tanda-tanda karies oklusal meskipun secara virtual, permukaan oklusal terlihat utuh. Karies tersebut banyak ditemukan dalam radiografi bitewing. Salah satu gigi tersebut adalah gigi molar satu kiri permanen rahang atas [Gambar 1]. Karena pasien tidak memiliki tumpatan amalgam, dan kavitas yang terbentuk dikelilingi oleh email, maka bahan restoratif yang dipilih adalah komposit resin. Sebelum dilakukan preparasi kavitas, diadministrasikan anestetik lokal [lignokain dengan adrenalin 1: 80000] melalui infiltrasi bukal. Sementara menunggu efeknya timbul, dibuat matriks oklusal pra-operatif menggunakan pasta transparan polyvinyl siloxane bite registration [Memosil]. Yang diaplikasikan menggunakan automix tip yang disediakan pabrik [Gambar 2] pada permukaan oklusal gigi-geligi yang saling berantagonis dan pasien diminta untuk memposisikan gigi-geligi dalam oklusi sentrik. Setelah cetakan mengeras, matriks oklusal [Gambar 3] dilepaskan dari gigi-geligi dan dipasangkan pada salah satu gigi untuk digunakan dalam kunjungan ini dan berikutnya. Sama dengan kavitas oklusal lainnya, untuk restorasi menggunakan komposit resin, pasien diminta untuk melakukan kunjungan kembali, matriks menutupi sebagian besar lengkung gigi. kemudian, kavitas dipreparasi menggunakan bur berkecepatan tinggi dan rendah, karies dibersihkan menggunakan ekskavator tangan dan bur bulat berkecepatan rendah. Kavitas yang terbentuk diberi liner semen kalsium hidroksida Alkaliner [3M ESPE, UK] dan light activated resin modified glass polyalkenoate Vitrebond [3M ESPE, AS]. Tepi-tepi email kavitas diberi etsa asam menggunakan gel etsa asam fosfat 37% [Unogel, Unodent, UK] yang diaplikasikan selama 30 detik. Kemudian diaplikasikan dentine bonding agent Clearfil SE [Kurray, Jepang] pada dinding-dinding kavitas, sesuai dengan instruksi pabrik. Kemudian, kavitas ditumpat secara bertahap menggunakan komposit resin nano-filled Filtek Supreme [3M ESPE, AS] dimana setiap lapisan di-curing menggunakan unit light curing sinar tampak warna biru selama 30 detik [Smart Lite, DENTSPLY De Trey, Jerman]. Setelah aplikasi lapisan terakhir, matriks Memosil dipasangkan kembali pada gigi-geligi sebelum diberi paparan unit light curing. Setelah proses curing selesai, matriks oklusal dilepaskan dan dilakukan pemeriksaan oklusi restorasi akhir. Dalam kasus ini, tidak dilakukan penyesuaian morfologi restorasi, namun jika diperlukan, dapat dilakukan menggunakan bur finishing komposit. Gambar 4 menunjukkan restorasi yang telah selesai.

Studi Kasus Dua dan Teknik Klinis
Pasien adalah seorang pria berusia 50 tahun yang menjalani perawatan restoratif untuk mengatasi keausan gigi-geliginya. Dalam kasus ini, ditemukan adanya karies di sekitar margin oklusal yang defisien pada tumpatan amalgam distobukal gigi premolar dua rahang bawah disertai dengan submarginasi substansi gigi di sekitarnya [Gambar 5]. Gigi tersebut terletak pada posisi strategis untuk mempertahankan dimensi vertikal oklusal pasien [Gambar 6] oleh karena itu, diinginkan agar restorasi penggantinya memiliki skema oklusal yang sama. Dalam kasus ini, sebelum pembentukan matriks Memosil pra-operatif [Gambar 7], diskrepansi marginal restorasi lama diperbaiki menggunakan semen glass polyalkenoat konvensional [Fuji IX, GC, Jepang]. Kemudian, matriks dilepaskan serta dilakukan pembersihkan karies dan restorasi. Kavitas yang terbentuk diberi liner Vitrebond dan dilakukan etsa asam dan bonding dentin [Prime and Bond NT, Dentsply, UK] pada tepi-tepi kavitas sebelum dilakukan penumpatan menggunakan komposit resin [Spectrum, Dentsply, UK]. Matriks dipasangkan kembali setelah insersi lapisan komposit yang terakhir kemudian dilakukan light curing melalui matriks. Setelah matriks dilepaskan, restorasi yang telah di-curing hanya membutuhkan sedikit penyesuaian [Gambar 8].
Harus diperhatikan bahwa dalam semua kasus yang dilaporkan, rubber dam tidak diaplikasikan, namun digunakan saliva ejector dan isolasi kapas selama prosedur.

DISKUSI

Selama 8 tahun pengalaman kami menggunakan teknik aplikasi matriks oklusal pra-operatif ini, pada tumpatan komposit resin gigi posterior, dapat mereproduksi morfologi dan oklusi gigi yang asli. Finishing dan polishing restorasi semacam itu minimal atau bahkan, tidak diperlukan. Seperti dalam kasus yang disajikan di sini, jika aplikasi lapisan terakhir komposit resin dilakukan dengan hati-hati, tidak mengisi kavitas secara berlebihan, tingkat flash pada tepi-tepi restorasi minimal. Keuntungan teknik ini telah dilaporkan oleh penulis lainnya. Kami yakin bahwa tekanan yang diaplikasikan melalui kontak ujung unit light curing pada matriks Memosil yang dipasangkan, sebelum curing lapisan komposit terakhir, dapat mencegah pembangunan restorasi secara berlebihan. Meskipun dalam kasus yang diuraikan disini rubber dam tidak digunakan, aplikasinya tidak mencegah penggunaan matriks oklusal pra-operatif. Dalam kasus semacam itu, harus diingat bahwa pembentukan matriks harus dilakukan terlebih dahulu sebelum aplikasi rubber dam dan preparasi kavitas sehingga matriks dapat mencetak oklusi sentrik pasien.
Aplikasi baru teknik ini, yang dilaporkan dalam makalah ini, adalah meniru morfologi oklusal restorasi yang gagal dan mengalami submarginasi. Pengoreksian defisiensi, menggunakan semen glass polyalkenoat sementara, sebelum pembuatan matriks pra-operatif, menjamin kenyamanan pasien dan mempermudah pembuatan tiruan relasi oklusal dan morfologi oklusal pada restorasi baru yang telah dikoreksi. Aplikasi tersebut belum pernah dilaporkan.
Karena makalah ini merupakan suatu laporan kasus, kami tidak dapat membuktikan kelebihan teknik ini terhadap sifat-sifat fisik restorasi. Menurut Hamilton dkk, kelebihan tersebut antara lain:
Selama proses curing, oksigen akan dikeluarkan dari permukaan restorasi sehingga terjadi polimerisasi yang optimal.
Dalam restorasi akhir, ruang hampa berkurang, dibandingkan dengan restorasi komposit yang diaplikasikan secara konvensional. Terjadinya porositas dalam restorasi komposit resin dibuktikan menimbulkan efek samping bagi ketahanan bahan.
Meskipun terdapat suatu pendapat bahwa diperlukan waktu kunjungan tambahan untuk membuat matriks pra-operatif, kami dan penulis lainnya menemukan bahwa waktu yang hilang seimbang dengan waktu yang dibutuhkan untuk membentuk kontur permukaan dan melakukan penyesuaian oklusal. Penulis lainnya menyatakan bahwa penyesuaian dan finishing permukaan oklusal komposit resin posterior, menggunakan metode konvensional, agar harmonis dengan oklusi antagonisnya membutuhkan waktu yang banyak. Aplikasi teknik matriks oklusal pra-operatif, seperti yang dideskripsikan di sini, menghilangkan kebutuhan tersebut dan menghemat lebih banyak waktu.

Read more...

Berhitung!

Pasang Aku Yaa

go green indonesia!
Solidaritas untuk anak Indonesia

  © Blogger templates Newspaper III by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP