16 March 2009

To live and to love life as a ‘half’ dentist

Tulisan ini ditujukan untuk para koas gigi di luar sana, outside of me.

Koas = kumpulan orang serba salah [true/false?]
Hari ini aku membaca sebuah tulisan koas juniorku, tentang pesimisme menjadi seorang dokter gigi di negara Indonesia yang sebagian besar masyarakatnya masih menganut paham “ngapain ke dokter gigi, kalo gue gak sakit gigi?” sebuah tantangan besar untuk memajukan bangsa ini. Ia mengatakan, “Masihkah dokter gigi diperlukan?”

Semua hal pasti ada tantangannya. Pengumpulan ilmu dan ketrampilan menjadi dokter gigi membutuhkan waktu yang sangat panjang, mengeluarkan banyak biaya untuk membeli alat dan bahan yang mahal, mengeluarkan keringat dan berjalan di siang bolong mencari pasien untuk memenuhi tuntutan kasus, membaca buku-buku tebal yang membunuh, serta menghadapi penyakit malas, dan dokter-dokter senior yang merepotkan dan selalu merasa benar. Lika-liku hidup sebagai seorang koas. Setelah semua itu terlewati dan berhasil wisuda sebagai dokter gigi yang membanggakan, kita harus berhadapan dengan masyarakat yang ‘keras kepala’ dan ‘tidak sadar diri’ tentang kondisi rongga mulutnya. Weleh...weleh...sebenarnya dimana letak kesalahannya? Kenapa penderitaan selalu menerpa kehidupan seorang dokter gigi?

If you take all of the problem in your head, then it would never be solved.
You have to start from your own brain and self, to change the way you think about people and duty to be a dentist.

Seorang dokter senior pernah berkata padaku, “Seharusnya profesi dokter ini menjadi pekerjaan sampingan...” Ngerti nggak apa maksudnya kalimat itu?

Yup!! Saat kau memutuskan menjadi seorang dokter, maka kamu sudah harus siap mengabdikan diri dan hidupmu untuk orang lain yang membutuhkan jasamu, bukan untuk mencari uang, tapi untuk menolong tanpa pamrih. Status dokter dengan segala atributnya yang membanggakan, seharusnya hanya menjadi efek samping. Humanity come first.

So, stop complaining and face the world.
Sekolah ini memang butuh waktu lama, banyak biaya, mengeluarkan air mata dan darah, merontokkan rambutmu dan membuatmu berkaca mata tebal, but this is all worthed, it is valuable, it is balancing your life with helping other people.

Everything should be hard, because if it’s not, then it wouldn’t be worthed.

Kita memiliki tugas mengubah pemikiran masyarakat tentang dokter gigi. That’s why we are here, we are needed.
In the near future, hasil semua pengorbanan itu akan terlihat. Akan ada rasa bahagia dan kebanggaan tersendiri, lebih dari mendapatkan status atau uang banyak sebagai dokter. The pure tears of happiness.

You’ll see it.
Just moving on, it wouldn’t be easy but you have to keep walking. Don’t stop in the middle of nowhere. You’ll catch anything that you wish for.



Read more...

07 March 2009

Keluhan Pasien Skeling Gigi : Laporan kasus

Seorang laki-laki berusia 28 tahun datang ke klinik PDGI makassar dengan keluhan gusi berdarah dan giginya patah-patah. Pasien memiliki riwayat penyakit asma dan beberapa macam alergi, serta fobia ke dokter gigi.

Pasien pernah memiliki kebiasaan merokok dan mengkonsumsi alkohol, namun kebiasaan tersebut telah berhenti sejak 5 tahun yang lalu, sedangkan kebiasaan alkoholismenya berhenti sejak 1 tahun yang lalu. Pasien tidak sedang menjalani pengobatan untuk penyakit sistemik.

Saat dilakukan pemeriksaan intraoral, ditemukan 1 sisa akar gigi molar satu kanan rahang atas, yang pernah gagal diekstraksi, dan 1 sisa akar pada gigi premolar dua kiri rahang bawah. Terdapat dua gigi nekrose pada gigi insisivus sentralis dan lateralis kanan rahang atas, yang sudah berubah warna dan tidak vital dan gingiva di sekitarnya hiperemis. OHIS pasien 3,3 dan terdapat kalkulus sub dan supra-gingiva pada keempat gigi insisivus rahang bawah.

Tidak dilakukan pemeriksaan radiografi karena kondisi dan peralatan yang tidak memungkinkan.

Setelah dilakukan skeling gigi-geligi rahang atas dan bawah, ditemukan resorpsi gingiva pada keempat gigi-geligi anterior rahang bawah, hal ini disebabkan oleh timbunan kalkulus dalam jangka waktu lama, sehingga membuat gigi terlihat bercelah, gingiva hiperemis, dan pasien mengeluhkan gigi sensitif setelah perawatan. Pasien juga mengeluhkan hipersalivasi yang tak terkontrol dan terkumpul pada keempat gigi anterior rahang bawah. Hal ini mengganggu performanya sehari-hari yang membutuhkan komunikasi dengan orang lain.

Pasien diminta untuk berkumur menggunakan larutan klorheksidin glukonat tiga kali sehari dan melakukan prosedur oral higiene secara rutin, termasuk flossing. Dalam jangka waktu tiga hari, gingiva yang hiperemi telah membaik namun pasien masih mengeluhkan gigi sensitif dan hipersalivasi.

PEMBAHASAN
Keluhan gigi sensitif post-operatif seringkali ditemukan pada pasien yang menjalani perawatan skeling. Hal ini disebabkan oleh terbukanya jaringan akibat timbunan kalkulus yang meluruhkan gingiva di sekitar gigi, sehingga sementum akar gigi terpapar dan gigi menjadi lebih sensitif terhadap rangsang termal, seperti minuman/ makanan panas dan dingin, hal ini pulalah yang membuat gigi terlihat bercelah setelah skeling.

Keluhan gigi patah/retak bukan disebabkan oleh karies yang luas, namun akibat patahnya karang gigi. Penilaian gigi berlubang dan patah-patah bersifat subyektif akibat timbunan kalkulus yang telah menahun sehingga pasien merasa kalkulus tersebut adalah bagian dari gigi.

Trauma pada masa kanak-kanak membuat pasien fobia ke dokter gigi, sehingga ia cenderung tidak memperdulikan kondisi rongga mulutnya meskipun seringkali mengeluhkan gusi berdarah saat menyikat gigi. Cara menyikat gigi yang kurang efektif juga menjadi penyebab penumpukan kalkulus pada regio anterior rahang bawah. Gusi berdarah merupakan tanda-tanda klinis gingivitis, jika tidak dirawat akan berkembang menjadi periodontitis yang merusak struktur jaringan pendukung gigi dan membuat gigi goyang.

Setelah perawatan ini, pasien dianjurkan melakukan pemeliharaan oral higiene, termasuk flossing dan menyikat lidah, berkonsultasi rutin ke dokter gigi, serta menjalani pemeriksaan radiografi untuk melihat kondisi sisa akar sehingga dapat dilakukan perawatan lebih lanjut agar estetik dan fungsi gigi-geligi kembali normal.


Acknolewdgement
Drg. Rachmawaty Sudjaroh yang sementara ini berpraktek di klinik PDGI wilayah Sulawesi Selatan, sebelum berangkat PTT pada tanggal 1 April 2009.


PS:
This is my first case report, and there will be more coming up.
Note to the patient, hope your complaints are answered and keep up the good work.

Dental Minded Indonesia!!

Read more...

04 March 2009

Penelitian Pencegahan Pembentukan Plak Gigi 24 Jam Menggunakan Pasta Gigi Stannous Fluorida Yang Mengandung Heksametafosfat

Abstrak
Baru-baru ini, diperkenalkan pasta gigi berfluorida antibakterial terbaru yang mengandung stannous fluorida dan sodium heksametafosfat (Crest, PRO-HEALTH). Teknik digital plaque image analysis (DPIA) digunakan untuk mengkuantifikasi pembentukan plak in situ dalam suatu populasi menggunakan protokol intervensi satu fase, yang terdiri dari (1) rangkaian perlakuan pertama, yaitu menyikat gigi menggunakan pasta gigi sodium fluorida standar dengan teknik menyikat konvensional, (2) rangkaian perlakuan kedua adalah aplikasi perawatan higiene modifikasi menggunakan pasta gigi sodium fluorida standar dan periode 24 jam tanpa menyikat gigi, dan (3) perlakuan ketiga adalah periode tanpa menyikat gigi selama 24 jam dilanjutkan dengan menyikat gigi menggunakan pasta gigi antimikroba stannous/sodium fluorida yang mengandung heksametafosfat. Evaluasi kuantitatif plak yang terbentuk dinilai pada pagi hari setelah perawatan higiene standar pada malam hari (perlakuan 1) atau 24 jam setelah menyikat gigi (perlakuan 2 dan 3). Juga dilakukan pengukuran plak setelah menyikat gigi dalam setiap perlakuan. Enam belas subyek menyelesaikan ketiga rangkaian perlakuan tanpa efek samping ataupun keluhan. Pada perlakuan 1, plak yang terbentuk pada pagi hari adalah 13,3%. Dalam perlakuan 2, jumlah plak bertambah secara signifikan karena kegiatan menyikat gigi sebelum tidur dihentikan, plak 24 jam menutupi 18,4% permukaan gigi-geligi. Intervensi pasta gigi antimikroba berfluorida/heksametafosfat dalam perlakuan 3 berhasil menghambat pertumbuhan plak selama 24 jam (terdapat 15,2% plak yang menutupi gigi-geligi, berkurang sebanyak 17% dibandingkan grup kontrol yang menggunakan pasta gigi sodium fluorida). Hasil tersebut mendukung efek antimikroba jangka panjang dan retensi kuat dari pasta gigi stannous/sodium fluorida heksametafosfat yang sangat stabil.
Kata Kunci: Stannous fluorida, sodium heksametafosfat, plak, pasta gigi, pasta gigi Crest PRO-HEALTH, sistem polyfluorite.
Sumber: J Contemp Dent Pract, July 2006; 3(7): 001-011.


PENDAHULUAN
Gingivitis disebabkan oleh perkembangan infeksi mikroba plak gigi pada interfase gingival gigi yang memicu respon host. Meskipun beberapa populasi mikroba tertentu dikorelasikan dengan proses penyakit, korelasi umum non-spesifik antara plak dengan penyakit jaringan lunak ditandai dengan inflamasi dan perdarahan gingiva saat terjadi gingivitis, bersama dengan pemulihan kesehatan jika prosedur higiene dilakukan kembali. Meskipun manfaat prosedur oral higiene yang efektif bagi kesehatan jaringan lunak telah terbukti, para pasien masih saja belum dapat melaksanakan kontrol plak yang ideal. Sehingga, prevalensi gingivitis tetap tinggi, dan dilaporkan menyerang kurang lebih separuh orang dewasa di AS.

Meskipun sebagian besar pasien merasa kesulitan melakukan kontrol plak dan oral higiene yang sempurna, sebagian besar pasien menggunakan produk pasta gigi dalam prosedur higiene sehari-harinya. Karena diaplikasikan secara rutin, pasta gigi menjadi sistem yang menguntungkan untuk menghantarkan efek kemoterapeutik berbagai jenis agen antimikroba. Perkembangan inovatif pasta gigi dan formulasi larutan kumur yang mengandung antimikroba topikal menjadi salah satu fokus bidang akademik dan penelitian-penelitian yang disponsori oleh industri. Bahan-bahan yang terkandung dalam produk-produk perawatan rongga mulut komersil saat ini, antara lain klorheksidin, triklosan, cetylpiridinium klorida, minyak esensial, dan berbagai macam garam logam, seperti kompound zinc dan stannous fluorida. Secara umum, formulasi perawatan rongga mulut yang mengandung bahan-bahan tersebut terbukti memberikan efek antiplak dan antigingivitis, dalam kadar tertentu. Manfaat yang diberikan oleh formulasi ini bervariasi dan dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti: (1) spektrum efek antimikroba; (2) bioavailabilitas adekuat, yang dapat dilihat dari penetrasi dan reaktivitas plak; dan (3) bukti-bukti adanya efek antimikroba setelah penggunaannya.

Stannous fluorida merupakan salah satu bahan antikaries yang, baru-baru ini, terbukti dapat memberikan efek antimikroba, antiplak, dan antigingivitis dalam bentuk yang stabil atau bioavailable. Dalam penelitian-penelitian klinis, stannous fluorida terbukti berhasil mengurangi plak (6,9-22,7%), gingivitis (18-22%), dan perdarahan gingival (27,5-5,57%) yang signifikan, dibandingkan kontrol negatif. Baru-baru ini dilaporkan bahwa pasta gigi stannous fluorida diformulasikan dengan kandungan sodium heksametafosfat sebagai agen kalkulus dan pemutih. Teknologi pasta gigi baru ini, yang dipasarkan sebagai Crest PRO-HEALTH Polyfluorite System, terbukti memiliki berbagai manfaat klinis, seperti efek yang lebih baik terhadap gingivitis dan perdarahan gingiva.

Pemulihan kesehatan gingiva yang signifikan secara terapeutik hasil penggunaan antimikroba seperti stannous fluorida dibuktikan oleh tingginya substantivitas dan aktivitas setelah penggunaannya. Dalam penelitian ini, substantivitas kemoterapeutik stannous fluorida dikombinasikan dengan sodium heksametafosfat. Pasta gigi Crest PRO-HEALTH dinilai dalam suatu model prosedur menyikat gigi yang telah dimodifikasi untuk mengetahui apakah efek antipplak-nya dapat bertahan selama 24 jam setelah penggunaannya.

BAHAN DAN METODE
Desain Penelitian Umum
Penelitian ini menggunakan desain intervensi tiga periode-perlakuan pada suatu kelompok pembentukan plak pre-kualifikasi. Dalam perlakuan 1, para subyek menyikat gigi pada pagi dan malam hari menggunakan pasta gigi sodium fluorida (Crest Cavity Protection Regular). Selama periode ini, para subyek menjalani evaluasi plak sebelum dan sesudah menyikat gigi pada pagi dan sore hari, setelah menyikat gigi pada pagi hari. Dalam perlakuan 2, pada subyek menggunakan pasta gigi sodium fluorida dan prosedur menyikat gigi modifikasi selama satu minggu agar dapat dilakukan penilaian efek antiplak. Langkah ini dilakukan dengan ‘tidak’ menyikat gigi pada malam hari sebelum waktu penilaian, jadi, terdapat interval waktu 24 jam antara prosedur higiene dengan waktu evaluasi plak. Penilaian plak dilakukan pada pagi hari, sebelum dan sesudah menyikat gigi. Perlakuan 3 adalah menyikat gigi menggunakan pasta gigi baru stannous fluorida/heksametafosfat (Crest PRO-HEALTH) selama satu minggu dan menggunakan prosedur menyikat gigi dan jadwal penilaian plak yang sama dengan perlakuan 2, agar dapat dilakukan pengukuran efek antiplak yang dihasilkan. Logistik penelitian ini diuraikan dalam Gambar 1.

Kualifikasi Subyek
Para subyek yang melaksanakan protokol penelitian ini adalah bagian dari tim panel pre-kualifikasi di Health Care Research Center dan sebelumnya pernah berpartisipasi dalam penelitian klinis tentang plak. Aplikasi metodologi digital plaque image analysis (DPIA) dalam panel pengujian pasta gigi telah ditinjau dan disetujui oleh Institutional Ethics Review Committee. Subyek menandatangani informed consent sebelum berpartisipasi dalam protokol penelitian ini. Para subyek mengalami perkembangan plak ‘off treatment/tanpa perlakuan’ pada gigi-geligi, sebelum ataupun setelah aplikasi higiene, dan menjalani pelatihan protokol dan teknik oral higiene yang baru.

Pertama-tama, para subyek menjalani pemeriksaan untuk mengetahui:
Setuju untuk membatasi (tidak) menggunakan produk oral higiene lain selama penelitian, termasuk larutan kumur, pasta gigi, dsb. Para subyek yang rutin melakukan flossing diijinkan menjalankan prosedur tersebut hanya pada gigi-geligi posterior saja. Para subyek diminta untuk tidak mengunyah permen karet kecuali hal ini telah menjadi kebiasaannya sehari-hari dan harus dipertahankan secara konsisten selama penelitian berlangsung.
Selama menjadi peserta panel, tidak merencanakan kunjungan ke dokter gigi.
Tidak sedang (atau dalam 2 minggu terakhir) mengkonsumsi antibiotik.
Tidak memiliki pantangan makanan dan/atau sedang menjalani diet selama penelitian berlangsung
Tidak memiliki restorasi ‘sewarna gigi’ pada permukaan fasial gigi-geligi anterior.
Mampu mengikuti semua jadwal kunjungan yang ditetapkan dalam penelitian dan memenuhi instruksi yang diberikan.
Setuju mengundurkan diri dari penelitian lainnya dan setuju tidak menggunakan produk perawatan rongga mulut selain yang diberikan oleh peneliti, termasuk permen karet pemutih atau terapeutik, dan bahan-bahan pemutih lainnya.
Memiliki kesehatan umum dan gigi-geligi yang baik (berdasarkan penilaian pribadi dan dibuktikan dengan penguraian jadwal kunjungan rutin ke dokter gigi).
Tidak memiliki gangguan alergi apapun atau alergi spesifik terhadap bahan pewarna [dye].
Pada pemeriksan awal, memiliki kadar plak yang memenuhi kriteria penelitian.
Tidak sedang dalam kondisi hamil atau menyusui
Tidak sering mengalami reaksi efek samping terhadap produk-produk perawatan rongga mulut yang dipasarkan saat ini.
Bersedia menguji-coba produk.

Pasta gigi yang diberikan dalam perlakuan 1 dan 2 adalah pasta gigi standar Crest Cavity Protection Regular (NaF, silica abrasif, perasa biasa, The Procter & Gamble Co., Cincinnati, OH, AS). Pasta gigi ini mengandung sodium fluorida sesuai dengan konsentrasi yang ditetapkan oleh FDA untuk proteksi kavitas, bahan abrasif standar, surfaktan dan pengawet dalam konsentrasi konvensional/biasa, tidak ada kandungan antimikroba atau kontrol tartar khusus. Jadi, penggunaan pasta gigi ini kurang-lebih sesuai dengan prosedur higiene standar. Pasta gigi disediakan dalam bentuk paket komersil overtube (blind) yang diberi label penelitian dan instruksi pemakaian. Pasta gigi untuk perlakuan 3 adalah Crest PRO-HEALTH, terdiri dari stannous fluorida 0,454% yang dilengkapi dengan sodium heksametafosfat (kandungan antitartar dan pemutih) dan silika. Pasta gigi ini disediakan dalam bentuk tube yang hanya diberi label penelitian. Pasta gigi yang diberikan untuk digunakan di rumah adalah sikat gigi standar Oral-B 40 (Oral B, The Procter & Gamble Company, Cincinnati, OH, AS). Untuk prosedur menyikat gigi di klinik yang diawasi, para subyek diberi sikat gigi manual satu kali pakai.

Rincian Protokol Perlakuan
Periode Perlakuan 1: Para subyek datang ke klinik gigi panel pada hari Jumat kemudian diberi pasta gigi sodium fluorida dan sikat gigi Oral-B 40 lunak. Para subyek diminta untuk menyikat gigi secara normal dua kali sehari selama satu minggu dan waktunya ditentukan yaitu sebelum tidur dan pada pagi hari saat bangun tidur. Selama satu minggu, para subyek dievaluasi sebanyak tiga kali dalam waktu yang berbeda (Senin—Jumat) sehingga ada hari libur. Pada malam hari sebelum waktu penilaian, para subyek melakukan prosedur higiene standar pada malam hari beberapa saat sebelum tidur. Para subyek diminta untuk tidak makan ataupun minum setelah melakuakn prosedur tersebut. Para subyek dirujuk ke laboratorium pencitraan pada ‘pagi hari penilaian’ sebelum mengkonsumsi makanan/minuman dan tanpa melakukan prosedur oral higiene. Di klinik pencitraan, para subyek menunjukkan banyaknya plak gigi yang terbentuk dan melakukan ‘pencitaan plak pagi hari sebelum menyikat gigi’. Kemudian, para subyek menyikat gigi selama 40 detik menggunakan pasta gigi sodium fluorida yang diberikan dalam dosis terukur, yaitu 1,5 gram, dan sikat gigi sekali-pakai. Setelah menyikat gigi, para subyek menunjukkan plak gigi yang terbentuk dan menjalani ‘pencitraan plak pagi hari setelah menyikat gigi’. Kemudian, para subyek dibebaskan untuk melakukan sarapan dan makan siang, serta mengkonsumsi camilan selama hari pemeriksaan. Selama fase I, para subyek juga dirujuk ke klinik pencitraan untuk menjalani pengukuran perkembangan plak malam hari, sebagai pelengkap protokol ini, meskipun protokol ini tidak dapat dilakukan sampai 24 jam hari berikutnya. Para subyek diminta untuk menghindari mengkonsumsi makanan dan minuman sekurang-kurangnya setengah jam sebelum evaluasi ini. Pada subyek berpartisipasi dalam tiga kali kunjungan dan menjalani tiga perlakuan setiap hari selama periode perlakuan ini (Gambar 2).

Periode Perlakuan 2: Para subyek datang ke klinik penelitian dan diberi pasta gigi sodium fluorida baru, sikat gigi Oral B 40 lunak, dan instruksi higiene baru. Para subyek diminta untuk menyikat gigi seperti biasa sebanyak dua kali sehari, sebelum tidur dan pada pagi hari saat bangun, selama satu minggu. Selama satu minggu tersebut, para subyek menjalani tiga kali pemeriksaan pada waktu yang berbeda (Senin—Jumat), sehingga memiliki waktu libur. Satu hari sebelum waktu pemeriksaan, para subyek melakukan prosedur higiene pagi hari seperti biasa sebelum sarapan. Para subyek diminta untuk makan dan minum secara normal selaam hari itu, namun tidak melakukan prosedur higiene pada malam hari sebelum tidur. Para subyek diminta datang ke laboratorium pada ‘pagi hari pemeriksaan’ sebelum mengkonsumsi makanan/minuman dan tanpa melakukan prosedur oral higiene. Jadi, terdapat interval 24 jam sejak subyek melakukan prosedur oral higiene. Para subyek datang ke klinik pencitraan untuk melakukan pengukuran plak menggunakan prosedur yang sama dengan perlakuan 1.

Periode Perlakuan 3: Perlakuan dan prosedur pencitraan yang digunakan dalam periode ini sama dengan perlakuan 2, kecuali dalam hal penggunaan pasta gigi stannous fluorida 0,454% dan heksametafosfat, bukan pasta gigi sodium fluorida.

Pengukuran Plak Gigi
Parameter Evaluasi
Pembentukan plak gigi dianalisis menggunakan protokol pencitraan digital yang telah diuraikan secara rinci. Langkah kunci metode ini diilustrasikan dalam video klip berikut ini: [untuk melihat klip ini, buka artikel ini secara online].

Pencitraan digital yang dilakukan antara lain pengambilan gambar UV plak subyek. Plak diiluminasi menggunakan two Balcar long wave UV flashes (model FX60) yang dilengkapi dengan filter pada 265 nm. Kilatan sinar [flash] tersebut ditenagai oleh two Balcar 2400 power pack dan dikendalikan oleh sistem komputer penangkap gambar. Sinar diarahkan dalam sudut 45 derajat terhadap subyek untuk meminimalisir refleksi. Untuk melindungi mata subyek, dipakaikan kacamata penyaring sinar UV saat pencitraan berlangsung, atau pada subyek yang telah berpengalaman, diminta untuk menutup mata saat pengambilan gambar. Gambar sinar UV diambil menggunakan kamera Fuji 1000 CCD yang dikendalikan oleh komputer. Untuk mengukur plak, subyek duduk di depan kamera dan permukaan fasial gigi-geliginya diletakkan pada posisi dagu istirahat pada jarak kurang lebih 45,5 cm dari kamera penangkap gambar. Para subyek dipakaikan retraktor bibir, dan telah menjalani pelatihan tentang posisi tubuh saat pencitraan, sehingga diperoleh penyinaran yang merata pada gigi-geligi dan menangkap gambar yang utuh. Untuk memastikan ketepatan posisi subyek, ditampilkan satu gambar hidup pada positioning monitor. Jika posisi yang baik telah tercipta, dilakukan pengambilan gambar UV dan gambar posisi referensi disimpan sesuai nomor tanda pengenal subyek.

Sistem pencitraan dikalibrasi menggunakan diagram warna Munsell standar, nilai Merah, Hijau dan Biru (RGB) dikoreksi (< 5%) untuk stabilitas sistem dalam pengukuran terstandardisasi. Gambar yang diperoleh dianalisis dan diklasifikasikan menggunakan Optimas R Macros. Analisis diskriminan digunakan untuk mengklasifikasikan pixel secara statistik menjadi beberapa kategori anatomis, yaitu, gigi-geligi, gusi, plak pada gusi, gigi bersih, gusi bersih, dsb. Jumlah total pixel gambar dihitung dan dimasukkan sesuai kategori masing-masing. Analisis yang paling mudah direproduksi adalah rasio pixel plak gigi terhadap pixel total gigi (gigi bersih + gigi yang tertutup plak); yang mewakili perkiraan ‘daerah’ yang tertutup plak pada setiap gambar, dan analisis ini mudah dilakukan. Teknik DPIA memiliki sejumlah kelebihan pada setiap kategori indeks. Metode ini mudah digunakan, mencakup keseluruhan permukaan fasial gigi-geligi, dan bersifat kuantitatif. Yang paling penting adalah mudah diadaptasi menjadi berbagai tingkatan diurnal dan dalam pengukuran-berulang. Metode pencitraan digital untuk mengukur jumlah plak secara obyektif didukung oleh proporsi kecepatan perkembangan plak pada daerah lingual, fasial, gigi-geligi rahang atas dan bawah. Daerah plak yang didesain pada komputer digunakan untuk menghitung presentase gigi-geligi yang tertutup plak fasial, yang kemudian dibandingkan dengan efek perlakuan. Harus diingat bahwa dalam pengukuran ini, operator/analis hanya berperan dalam standardisasi peraturan analisis untuk klasifikasi pixel ‘gigi yang tertutup plak’ atau ‘gigi yang bebas plak’, dsb. Jika suatu peraturan pengukuran kuantitatif telah ditentukan, pengukuran plak diatur secara kualitatif menggunakan komputer, dan tidak dilakukan penilaian subyektif oleh klinisi. Jadi, dalam konteks ini, DPIA adalah operator yang independen dan tidak ada efek subyektif klinisi.

Untuk keperluan pencitraan, plak dipaparkan menggunakan larutan buffer fluorosen yang mengandung fluoroscein 1240 ppm. Sebelum pemotretan, plak subyek disingkap/diperlihatkan menggunakan fluoroscein, dengan prosedur sebagai berikut:
1.Pembilasan selama 10 detik menggunakan buffer fosfat sebanyak 25 ml
2.Pembilasan selama 1 menit menggunakan 5 ml fluoroscein 1240 ppm dalam buffer fosfat;
3.Pembilasan selama 3 x 10 detik menggunakan buffer fosfat sebanyak 25 ml.

Buffer fosfat terdiri dari 3,62 gram monosodium fosfat dan 0,349 gram sodium difosfat yang dilarutkan dalam 2 liter air ultra-murni. pH akhir campuran ini adalah 5,5. Larutan ini dibuat setiap hari.

Analisis Statistik
Hasil utama penelitian ini adalah presentase permukaan fasial gigi yang tertutup plak. Dalam setiap perlakuan, analisis efek ditentukan berdasarkan nilai rata-rata data perkembangan plak dalam tiga hari pengukuran per subyek. Skor plak sebelum dan sesudah menyikat gigi dianalisis secara terpisah. Digunakan paired difference t-test untuk membandingkan nilai rata-rata perkembangan plak antar perlakuan. Semua pengujian statistik dilakukan secara dua arah menggunakan tingkat signifikansi sebesar 5%.

HASIL
Terdapat 16 subyek yang menyelesaikan panel, tanpa dropout atau keluhan tentang efek samping. Informasi demografik diuraikan dalam Tabel 1. Terdapat 10 wanita dan 10 pria. Kisaran usia para subyek adalah 24 sampai 38 tahun. Sebagian besar subyek (75%) adalah keturunan Kaukasia.

Tabel 2 menguraikan hasil analisis efek dalam evaluasi plak pagi hari sebelum menyikat gigi. Tabel tersebut menunjukkan bahwa modifikasi oral higiene menggunakan pasta gigi sodium fluorida, yang berupa ‘tidak’ melakukan prosedur higiene pada malam hari menghasilkan pertambahan jumlah plak sebanyak 38% yang menutupi gigi-geligi, dengan rata-rata perkembangan plak mulai dari 13,3% sampai 18,4%. Selisih tersebut dinyatakan signifikan secara statistik (p < 0.0001). Intervensi menggunakan pasta gigi stannous/sodum fluorida heksametafosfat dalam protokol 24 jam berhasil mengurangi perkembangan plak pagi hari sebelum menyikat gigi sebanyak 17,4%, dibandingkan dengan subyek yang menggunakan pasta gigi sodium fluorida. Selisih tersebut juga dinyatakan signifikan secara statistik (p = 0.0002).

Tabel 3 menguraikan hasil analisis plak pada evaluasi plak pagi hari setelah menyikat gigi. Tabel tersebut menunjukkan bahwa menyikat gigi pada pagi hari menggunakan pasta gigi sodium fluorida menghasilkan kebersihan gigi-geligi yang relatif sama, meskipun mengabaikan prosedur higiene pada malam hari. Jadi, perkembangan plak setelah menyikat gigi terhitung sebanyak 7,3% pada subyek yang tidak melakukan prosedur higiene dan 6,4% pada subyek yang melakukan higiene 24 jam. Selisih tersebut dinyatakan tidak signifikan. Dan, subyek yang menyikat gigi menggunakan pasta gigi stannous/sodium fluorida heksametafosfat memiliki 6,8% plak yang menutupi permukaan gigi-geliginya, secara numeris sama dan tidak memiliki selisih yang signifikan secara statistik dengan evaluasi setelah menyikat gigi menggunakan pasta gigi sodium fluorida dan kedua prosedur higiene. (Dalam semua kasus, kegiatan menyikat gigi pada pagi hari memberikan hasil yang signifikan [p < 0.05] dan mengurangi timbunan plak pada gigi-geligi, seperti yang diharapkan).

Untuk menilai pengulangan pembentukan plak dan validitas prosedur intervensi perlakuan dalam populasi penelitian, kami membandingkan hasil perkembangan plak pada semua prosedur pengulangan. Dan, rata-rata timbunan plak sebelum dan setelah menyikat gigi dihitung secara terpisah berdasarkan ketiga proses pencitraan per perlakuan. Dari gambar 3 dan 4 terlihat jelas bahwa tidak ada pertambahan ataupun pengurangan timbunan plak yang konsisten dalam periode perlakuan, hal ini menunjukkan bahwa para panelis memiliki tahapan pembentukan plak yang tetap/konstan.

Analisis pengukuran berulang juga dilakukan untuk membandingkan nilai mean antar kunjungan berdasarkan perlakuan, dan tidak ditemukan selisih yang signifikan pada tingkat signifikansi 10%.

PEMBAHASAN
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk menilai pengaruh pasta gigi baru stannous/sodium fluorida heksametafosfat terhadap pencegahan pembentukan plak 24 jam setelah menyikat gigi, yang dibandingkan dengan pola higiene menggunakan pasta gigi sodium fluorida standar. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pasta gigi stannous/sodium heksametafosfat berhasil mengurangi statistik timbunan plak gigi yang signifikan secara statistik dalam waktu 24 jam setelah terakhir kali digunakan, dibandingkan dengan penggunaan pasta gigi sodium fluorida. Meskipun menyikat gigi dilakukan secara rutin, hasil tersebut menunjukkan bahwa pasien dapat melindungi setelah penggunaan pasta gigi fluorida/sodium fluorida heksametafosfat dibandingkan dengan pola higiene menggunakan pasta gigi sodium fluorida standar. Yang terpenting, hasil penelitian ini berbicara secara umum tentang substantivitas efek pasta ggi Crest PRO-HEALTH dalam menghambat pembentukan plak, meskipun pola penggunaan pasta gigi bervariasi pada setiap konsumen. Data yang mendukung aplikasi pengukuran berulang desain protokol intervensi DPIA dapat dilihat dalam Gambar 3 dan 4, dimana pengukuran berulang pertumbuhan plak malam hari dan setelah menyikat gigi terlihat tetap stabil selama periode perlakuan 1. Stabilitas plak menggunakan pasta gigi kontrol membuktikan bahwa efek intervensi perlakuan baru menghasilkan efek perawatan bukan pergeseran panel/penelitian. Bukti-bukti yang menunjukkan manfaat signifikan pembersihan plak menghasilkan standardisasi internal tambahan untuk setiap protokol pengujian DPIA.

Kemampuan untuk membandingkan perluasan dan durasi efek antiplak-termasuk periode sebelum dan setelah prosedur higiene pada subyek yang memiliki kadar akumulasi plak biasa- adalah manfaat utama teknik DPIA. Penggunaan pencitraan fluorosens mempermudah penilaian kuantitatif invasi plak di sekitar garis gusi, dan biasanya oleh klinisi konvensional/biasa, regio tersebut diperiksa menggunakan probing gingiva dengan mengaplikasikan indeks kategorikal. Penilaian kadar plak marginal ini, pada subyek yang menjalankan prosedur higiene normal, diperumit dengan teknik konvensional, sehingga penggunaannya terbatas. Jadi, teknik DPIA dapat digunakan untuk menilai pencegahan pembentukan plak dan manfaat pembersihan plak selama satu hari, memberikan suatu hasil kuantitatif, tidak hanya untuk menilai besarnya, tapi juga durasi efek antiplak. Yang terpenting, sensitivitas pengukuran ini dapat dilakukan tanpa penilaian subyektif, namun menggunakan peraturan yang terstandardisasi tanpa pengaruh klinisi.

Pengurangan plak supragingiva akibat penggunaan pasta gigi stannous/sodium fluorida heksametafosfat berperan dalam efek terapeutik formulasi ini karena dapat mengurangi gingivitis dan perdarahan gingiva. Secara umum, kemoterapeutik dan prosedur higiene yang ditujukan untuk mengendalikan plak gigi dinyatakan sebagai langkah preventif penting dalam menghambat dan memulihkan perkembangan penyakit periodontal pasien dari waktu ke waktu. Kontrol plak supragingival dapat mengurangi perkembangan dan manifestasi gingivitis kronis, karena: (a) menekan kandungan bakteri secara keseluruhan, sehingga dapat mengurangi paparan patogen spesifik atau metabolit bakteri pada gingiva; (b) mengurangi daerah yang tertutup plak sehingga secara alamiah, plak menjadi lebih tipis, hal ini dapat mengurangi potensi perkembangan patogen periodontal anaerob; (c) mengurangi inflamasi gingiva sehingga arsitektur gingiva-gigi lebih baik—mengurangi pemerangkapan patogen periodontal dan menghasilkan higiene yang lebih baik; dan (d) mengurangi inflamasi, sehingga produksi eksudat berkurang—serta membatasi ekspresi/pelepasan dan proliferasi patogen periodontal yang berkembang dalam lingkungan inflamasi.

KESIMPULAN
Dengan menggunakan teknik DPIA, penelitian ini membuktikan bahwa pasta gigi baru yang mengandung stannous fluorida dan sodium heksametafosfat yang stabil dapat menghambat perkembangan plak selama periode 24 jam, yang secara signifikan, lebih baik dibandingkan penggunaan pasta gigi standar sodium fluorida.

Read more...

Resin-Modified Glass Ionomer Cement dan Bahan Resin-Based sebagai Sealant Oklusal: Suatu Penelitian Klinis Longitudinal

Abstrak
Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah untuk membandingkan retensi, keefektivan pencegahan karies dan karakteristik superfisial dua jenis bahan yang digunakan sebagai sealant oklusal.
Metode: Sampel terdiri dari 108 anak sekolah dengan mean usia 7,5+1,25 tahun, dimana terdapat 364 gigi molar satu permanen dibagi menjadi 6 kelompok: (1) grup 1 = Delton + rubber dam [hanya digunakan dalam kelompok ini]; (2) = Delton + cotton roll; (3) grup 3 = Prime&Bond 2,1 + Delton; (4) grup 4 = Vitremer dengan perbandingan bubuk/larutan 0,25:1; (5) grup 5 = Primer + Vitremer dengan perbandingan bubuk/larutan 0,25:1; dan (6) grup 6 = Vitremer dengan perbandingan bubuk/laruran 1:1.
Hasil: Setelah 12 bulan, rata-rata retensi total kelompok 6, 1, 2, 3, 4 dan 5, secara berurutan, adalah 92%, 79%, 67%, 52%, 41%, dan 12%. Pada ketiga daerah oklusal, retensinya adalah 97%, 92%, 86%, 77%, 69% dan 36%. Untuk kriteria modifikasi: proporsi yang diuji menunjukkan selisih yang signifikan secara statistik (P < 0.05) antara grup 1 dan 3; grup 6 dan 2; serta grup 3,4 dan 5 dengan grup lainnya. Jika mempertimbangkan ketiga daerah, ditemukan perbedaan yang signifikan secara statistik (P < 0.05) antara grup 1 dan 6 dengan grup 3 dan 4, grup 2 dengan grup 4, dan grup 6 dan 5 dengan grup lainnya.
Kesimpulan: Resin-modified glass ionomer cement menjadi salah satu alternatif membandingkan sebagai suatu sealant oklusal.
Kata Kunci: Pit dan fissure sealant, resin-modified glass ionomer cement, sealant berbasis-resin
Sumber: J Dent Child 2008; 75: 134-43.

Pit dan fissure sealant telah digunakan dalam strategi preventif sejak tahun 1970an, dan menjadi perawatan non-invasif yang paling efektif untuk mencegah karies oklusal yang terhenti [arrested]. Namun, menurut suatu penelitian dari Third National Health and Nutrition Examination Survey (1988-1991) satu dari lima anak yang memperoleh manfaat metode pencegahan yang aman dan efektif ini.
Saat ini, tersedia 2 tipe pit dan fissure sealant, yaitu sealant berbasis-resin dan semen glass ionomer (GIC). Sebagian besar sealant yang dipasarkan adalah resin-based. Manfaat preventif dan retensi tipe sealant tersebut hanya dapat diperoleh dan dipertahankan selama sealant tetap utuh dan melekat pada tempatnya.
Isolasi yang kurang adekuat dan kontaminasi adalah alasan utama kegagalan sealant. Dan, gigi yang erupsi cenderung mengalami karies gigi, namun, akibat kondisi yang menguntungkan untuk akumulasi plak. Selain itu, penggunaan rubber dam pada gigi-geligi tersebut sulit dilakukan. Jadi, perlekatan bonding agent dengan sealant resin-based atau tumpatan GIC dapat menjadi alternatif dalam kasus-kasus yang tidak memungkinkan dilakukannya kontrol kelembaban secara adekuat.
Sejak mulai diperkenalkan, GIC berhasil digunakan dalam beberapa situasi klinis. Adhesi semen dengan email dan dentin yang tidak diberi perlakuan dalam kondisi lembab, biokompabilitas jaringan gigi dengan potensi pelepasan fluorida dan diperkenalkannya resin-modified GIC yang lebih kuat dan resisten merupakan alasan utama penggunaan bahan ini secara luas sebagai bahan restoratif dan bonding, terutama dalam kedokteran gigi anak. Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mengevaluasi berbagai jenis bahan dan teknik aplikasi GIC. Namun, retensi semen ini sebagai pit dan fissure sealant masih kurang memuaskan.
Penelitian terbaru membuktikan hasil yang lebih baik jika diaplikasikan lapisan bonding alternatif antara email dan sealant resin-based, setelah email yang dietsa berkontak dengan saliva. Selain mengurangi terjadinya microleakage [kebocoran mikro], teknik ini juga mengurangi efek negatif kontaminasi terhadap bond strength.
Menurut hasil tinjauan asimetrik, keefektivan sealant resin dalam mengunrangi karies sangat jelas, namun data tentang glass ionomer kurang meyakinkan. Dalam tinjauan sistematik lain oleh Mejare dkk, disimpulkan bahwa bukti-bukti yang menyatakan efek pencegahan-karies oleh fissure sealant GIC kurang lengkap. Di sisi lain, Beirute dkk, menyimpulkan bahwa tidak ada bukti bahwa bahan resin-based ataupun GIC memiliki keunggulan dalam pencegahan perkembangan karies pada pit dan fissure dari waktu ke waktu. Dalam pembahasannya, Feigal dan Donly menyatakan bahwa bahan glass ionomer dapat digunakan sebagai sealant transisional dan terbukti efektif sebagai pit dan fissure sealant jangka panjang.
Jadi, tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi dan membandingkan resin-modified GIC dengan sealant resin-based dengan atau tanpa suatu bonding agent, berdasarkan aspek-aspek berikut: retensi, keefektivan dalam mencegah karies, karakteristik marginal, dan karakteristik superfisial.

METODE
Penelitian ini memperoleh persetujuan dari Ethics Committee of Bauru Dental School, University of Sao Paulo, Sao Paulo, Brazil, dimana penelitian ini dikembangkan. Kriteria inklusi penelitian ini adalah surat ijin tertulis dari orang tua dan/atau wali serta setiap anak memiliki sekurang-kurangnya 2 gigi molar satu permanen tanpa kavitas.
Seluruhnya, terdapat 108 anak dengan mean usia 7,5 + 1,25 tahun (kisaran = 5 sampai 10 tahun, 11 bulan) yang direkrut dari populasi pasien di klinik gigi anak. Gigi-geligi dipilih setelah profilaksis menggunakan air-polishing prophylaxis unit (Profident, Dabi-Atlante, S. A. Ribeirao Preto, Sao Paulo, Brazil) dan dilakukan 2 radiografi bite wing untuk mengevaluasi ada/tidaknya lesi karies oklusal atau proksimal.
Digunakan sealant resin-based chemical cured (Delton, Dentsply Ind Com Ltda. Rio de Janeiro, Brazil) dengan dan tanpa bonding agent (Prime & Bond 2.1, Dentsply Ind Com Ltda). Juga digunakan resin-modified glass ionomer (Vitremer 3M Dental Product, St Paul, Minn) dalam dua macam proporsi bubuk/cairan: (1) 0,25:1 (dengan dan tanpa primer) dan (2) 1:1 (tanpa primer).
Distribusi setiap anak dalam 1 dari 6 grup mengikuti desain yang direncanakan, yaitu berdasarkan indeks DFS dan DMFS yang sama, jumlah gigi-geligi permanen (gigi molar satu kanan dan kiri rahang atas dan bawah), dan tingkat erupsinya. Multivariate analysis of variance (MANOVA) diaplikasikan pada hasil indek, dengan tingkat signifikansi 5%. Seluruh sampel terdiri dari 364 gigi, dimana terdapat sekurang-kurangnya 50 gigi dalam setiap kelompok. Split-mouth design tidak digunakan dalam penelitian ini. Jadi, setiap anak diberi perlakuan menggunakan satu bahan atau variasi teknik yang serupa dalam satu kelompok.
Pada semua kelompok, sealant diaplikasikan setelah aplikasi profilaksis menggunakan air-polishing jet (Profident, Dabi-Atlante S.A, Riberao Preto, Sao Paulo, Brazil) yang dilanjutkan dengan etsa menggunakan gel asam fosfat [37%] (Dentsply Ind Com Ltda, Petropolis, Rio de Janeiro, Brazil) selama 15 detik, kemudian dibilas dengan air selama 30 detik, dan dikeringkan. Rubber dam hanya digunakan pada grup 1. Aplikasi sealant pada kelompok lainnya dilakukan dalam isolasi relatif menggunakan cotton roll.
Peralatan yang sama juga digunakan untuk polimerisasi bonding agent, primer dan Vitremer (Optilux Demetron Research Corporation, Danburry, Conn). Intensitas sinar (550 mW/cm) yang digunakan diperiksa dengan radiometer (model no. 100 curing radiometer P/N 10503 DFL Ind Com S.A, Rio de Janeiro, Brazil) sebelum penelitian dimulai setiap hari. Semua sealant hanya diaplikasikan oleh satu operator. Oklusi tidak diperiksa, karena unfilled resin sealant atau GIC akan aus akibat oklusi tanpa menimbulkan efek samping yang berbahaya. Deskripsi keenam kelompok adalah sebagai berikut:
1.Grup 1 (Delton + rubber dam) dan 2 (Delton + cotton roll). Delton diaplikasikan sesuai dengan instruksi pabrik.
2.Grup 3 (Prime & Bond 2.1 + Delton). Selapis tipis bonding agent diaplikasikan selama 20 detik menggunakan brush, dan ditipiskan menggunakan tekanan udara [air-thinned] selama 5 detik, dan curing selama 10 detik. Delton diaplikasikan di atas lapisan bonding agent sesuai dengan petunjuk pabrik.
3.Grup 4 (Vitremer 0,25:1). Bahan dicampurkan untuk memperoleh konsistensi yang lebih cair, sesuai dengan proporsi berikut ini—seperempat bubuk yang dianjurkan untuk setiap tetes cairan. Untuk memperoleh perbandingan tersebut, satui sendok penuh bubuk (Vitremer) ditimbang sebanyak 10 kali (Analytic Balance Model PL 3002, Mettler Toledo, Greinfensee, Swiss). Nilai mean (0,14629) dibagi menjadi empat untuk memperoleh jumlah bubuk yang akan digunakan (0,037 g). Kemudian, disiapkan sendok plastik lainnya dan sand paper disc (Soft Lex 3M do Brazil Ltda, Sao Paulo, Brazil) untuk memuat bubuk dalam jumlah yang disebutkan di atas, sehingga diperoleh perbandingan bubuk/cairan baru yang terstandardisasi. Bahan cair ini diinsersikan dalam fissure menggunakan sonde dan dilakukan curing selama 40 detik.
4.Grup 5 (Primer + Vitremer 0,25:1): Primer diaplikasikan menggunakan brush (KG Brush-KG Sorensen Ind Com Ltda Barueri S.P, Brazil) selama 30 detik, kemudian dikeringkan dengan semprotan udara selama 15 detik, dan curing selama 20 detik. Cara aplikasi Vitremer sama dengan grup 4.
5.Grup 6. Vitremer (1:1): Digunakan perbandingan bubuk/cairan sesuai dengan aturan pabrik. Bahan diinsersikan ke dalam fissure menggunakan spatula logam (Thompson no. 9-Dental MFG Co. Missoula, Mont, AS) dan dilakukan curing selama 40 detik.

Prosedur blinding pemeriksa terhadap bahan tidak mungkin dilakukan, karena Delton dan Vitremer terlihat sangat berbeda satu sama lain. Namun, blinding pemeriksaan mungkin dilakukan, karena menggunakan berbagai macam teknik pada setiap bahan.
Retensi sealant (total = TR’ parsial = PR, dan hilang = L) dievaluasi pada bulan ke 6 dan 12 oleh dua orang pemeriksa yang telah dikalibrasi dan bekerja sama menggunakan kriteria yang dimodifikasi dari Ryge dan Snyder (Tabel 5). Retensi berdasarkan area, yaitu pada mesio-oklusal (MO), sentral-oklusal (CO) dan disto-oklusal (DO) juga dievaluasi. Sealant diperiksa secara klinis menggunakan inspeksi visual dan lampu operasi yang terang, serta sonde dan dikeringkan dengan semprotan udara. Reproduksibilitas intra- dan inter-pemeriksa pada gigi-geligi yang ditumpat, untuk karakteristik superfisial dan retensi tumpatan selama proses pemeriksaan-ulang kurang lebih 20%, berdasarkan Cohen’s kappa test. Hasilnya dianalisis menggunakan uji perbandingan multipel Tukey, dengan tingkat signifikansi 5%.

HASIL
Dalam hal retensi, reproduksibilitas inter- dan intra-pemeriksa, secara berurutan, adalah 0,88 dan 0,93. Dalam hal karakteristik superfisial, reproduksibilitasnya, masing-masing, adalah 0,889 dan 0,80 sampai 0,85.
Pada awal penelitian, sealant diaplikasikan pada 108 anak, 98 diantaranya menjalani pemeriksaan follow up selama 6 bulan dan 88 anak lainnya kembali setelah 12 bulan. Dan pada dua kesempatan tersebut, masing-masing, terdapat 329 dan 293 gigi yang diperiksa.
Retensi semua grup yang menggunakan kriteria modifikasi atau kriteria area, masing-masing, diuraikan dalam Tabel 1 dan 2.
Retensi total (Alfa) menunjukkan perbedaan yang signifikan pada kedua periode evaluasi. Pada periode 6 bulan, ditemukan perbedaan yang signifikan antara: (1) grup 5 dengan kelima grup lainnya, dan (2) grup 6 dengan grup 3 dan 4. Pada periode 12 bulan, ditemukan perbedaan yang signifikan antara (1) grup 5 dengan kelima grup lainnya, (2) grup 6 dengan grup 2 dan 3; dan (3) grup 4 dengan grup 1 dan 6.
Pada bulan keenam, jika mempertimbangkan retensi total pada ketiga area secara bersamaan, diperoleh perbedaan yang signifikan, antara: (1) grup 1 dengan grup 3, (2) grup 6 dengan grup 2, (3) grup 3 dengan grup 4, dan (4) grup 4 dan 5 dengan keempat grup lainnya. Perbedaan yang signifikan juga ditemukan pada periode 12 bulan, antara: (1) grup 1 dan 6 dengan grup 3 dan 4, (2) grup 2 dengan grup 4 dan 6, dan (3) gruip 5 dengan kelima grup lainnya. Dalam hal 3 kategori retensi (TR, PR, L), tidak ditemukan perbedaan yang signifikan secara statistik pada ketiga area, pada periode 6 dan 12 bulan. Meskipun tidak ada daerah TR yang prevalen pada kedua periode evaluasi, L paling prevalen pada daerah MO, meskipun perbedaan tersebut tidak signifikan secara statistik.
Gigi yang tidak ditumpat mengalami karies pit dan fissure selama 6 bulan pertama penelitian (Tabel 3). Setelah 12 bulan, ditemukan 7 karies gigi pada grup 2,3 dan 5, namun perbedaannya tidak signifikan. Dua dari lesi-lesi tersebut mencapai dentik dalam grup 2 dan 5 (Tabel 4).
Diskrepansi marginal ditemukan pada semua kelompok. Pada bulan ke 6, grup 5 memiliki jumlah gigi terbanyak yang mengalami diskontinyuitas marginal (63%), yang sama dengan kurang dari 50% kontur asli, sedangkan grup 6 tidak memiliki kasus. Grup 5 memiliki perbedaan yang signifikan dengan kelima grup lainnya (P < 0.05). Grup 6 memiliki perbedaan yang signifikan dengan grup 3, 4 dan 5 (Tabel 3). Setelah 6 bulan, semua kelompok memiliki penambahan jumlah gigi yang mengalami diskrepansi marginal. Hanya 6 gigi (10%) dalam grup 5 yang masih memiliki kontur asli. Hasil tersebut dinyatakan signifikan jika dibandingkan dengan grup 2, 3, 4 dan 6 (Tabel 4).
Pada bulan ke 6, hanya gigi-geligi yang ditumpat dengan resin-modified GIC yang mengalami diskolorisasi marginal. Diskolorisasi dinyatakan prevalen dalam grup 4 (24%) yang diikuti dengan grup 5 (12%). Ditemukan perbedaan yang signifikan antara (1) grup 4 dengan grup 1, 2, 3 dan 6; dan (2) grup 5 dengan grup 2 dan 3 (Tabel 3). Pada periode 12 bulan, meskipun grup 3 mengalami diskolorisasi marginal pada 2 gigi, insiden terbesarnya ditemukan dalam grup 6 (33%), dimana ditemukan perbedaan yang signifikan antara: (1) grup 4 dan 6 dengan grup 1 dan 2, dan (2) grup 3 dan 5 dengan grup 1 dan 2 (Tabel 4).
Pada periode 6 dan 12 bulan, perubahan tekstur superfisial hanya ditemukan pada gigi-geligi yang ditumpat dengan resin-modified GIC. Perbedaan antara grup 4, 5 dan 6 dibandingkan dengan grup 1,2 dan 3 dinyatakan signifikan secara statistik (Tabel 3), dan kemajuan ditemukan dalam grup 6 (Tabel 4) pada evaluasi kedua.
Pada periode 6 bulan, tidak ditemukan perbedaan yang signifikan dalam hal diskolorisasi superfisial pada setiap kelompok (Tabel 3). Namun, pada periode 12 bulan, grup 4 dan 5 memiliki jumlah gigi terbanyak yang tidak mengalami diskolorisasi superfisial, dan ditemukan perbedaan yang signifikan secara statistik antara grup tersebut dengan grup 1 (Tabel 4). Gambar 1 sampai 3 menunjukkan foto klinis beberapa tumpatan pada periode 12 bulan.

PEMBAHASAN
Sealant merupakan salah satu komponen penting dalam praktek modern, berbasis-ilmiah dan berorientasi pada pencegahan. Jika diaplikasikan pada masa kanak-kanak, memiliki efek preventif-karies jangka panjang. Bahan ini paling efektif diaplikasikan pada pasien yang beresiko mengalami karies oklusal. Strategi penumpatan gigi-geligi yang beresiko tinggi dan rendah akan memberikan hasil yang lebih baik, namun dibutuhkan biaya tambahan dibandingkan dengan penumpatan yang dilakukan hanya pada gigi-geligi beresiko saja. Seperti yang ditemukan oleh Bhuridei dkk, gigi-geligi molar satu permanen yang telah diberi sealant, jarang membutuhkan perawatan restoratif dibandingkan dengan gigi-geligi tanpa sealant. Menurut Badovinac dkk, penggunaan kriteria dmfs + DMFS > 0 dapat membantu tenaga profesional kesehatan masyarakat dalam menentukan anak-anak yang harus diberi aplikasi sealant, jika sumber dayanya tidak memungkinkan untuk aplikasi sealant pada semua anak.
Terdapat beberapa aspek yang dapat mempengaruhi keberhasilan atau kegagaln aplikasi sealant, seperti karakteristik pasien atau gigi, bahan yang digunakan, teknik aplikasi, dan ketrampilan operator.
Beberapa penelitian yang membandingkan sealant resin-based dan GIC sebagai sealant seringkali menggunakan desain split mouth untuk mengurangi pengaruh pasien. Desain ini tidak digunakan dalam penelitian ini karena kedua bahan yang dievaluasi dengan/tanpa 2 macam bonding agent dan menggunakan 4 macam teknik. Maka, diputuskan untuk menggunakan 1 macam variasi per anak. Untuk distribusinya, digunakan indeks karies yang sama, dimana 15% anak berpartisipasi dalam penelitian klinis lain yang menguji Vitremer dan bahan berbasis-komposit. Menggunakan dasar pemikiran bahwa aplikasi restorasi glass ionomer akan meningkatkan konsentrasi fluorida dalam saliva selam periode waktu yang cukup lama. Diketahui bahwa sistem pelepasan fluorida secara perlahan dan jangka panjang dapat menjadi langkah preventif karies yang efektif, menurut Koch dan Hatibovic-Kofman, serta dapat menutupi beberapa perbedaan bahan dalam rongga mulut yang sama.
Aplikasi sealant dalam kondisi normal sangat penting (angka kegagalan yang tinggi cenderung disebabkan oleh kontaminasi kelembaban yang tidak diinginkan). Beberapa penelitian yang membandingkan aplikasi Delton menggunakan isolasi rubber dam dan cotton roll tidak menunjukkan selisih nilai retensi yang signifikan. Berdasarkan hasil tinjauan sistematik, penggunaan rubber dam tidak mempengaruhi retensi sealant resin-based autopolimerisasi. Dalam penelitian ini, penggunaan rubber dam untuk meningkatkan retensi Delton, tidak dibutuhkan. Meskipun aplikasi sealant menggunakan cotton roll kurang nyaman bagi pasien anak dan membutuhkan ketrampilan operator, isolasi rubber dam dianjurkan jika gigi telah cukup erupsi agar dapat menahan klem-nya, dan jika gigi terletak dalam satu kuadran yang membutuhkan operative denistry. Namun, isolasi rubber dam tidak dianjurkan jika hanya untuk satu tumpatan karena dibutuhkan anestetik lokal untuk memasangkan klem. Dan, jika menunggu sampai gigi molar erupsi sempurna untuk aplikasi fissure sealant menggunakan rubber dam, dibutuhkan biaya yang lebih banyak, serta gigi mungkin saja mengalami karies selama fase eruptif.
Khasiat sealant dalam pencegahan karies berhubungan dengan kinerja jangka panjang dan masa retensi. Evaluasi sealant seringkali menggunakan tiga kriteria: (1) retensi sempurna, (2) retensi parisal, dan (3) terlepas seluruhnya. Beberapa penelitian melakukan evaluasi retensi berdasarkan area. Evaluasi berdasarkan tipe area mempermudah analisis yang lebih jelas tentang retensi tumpatan dan insiden lokal karies, serta hubungannya.
Telah banyak penelitian yang dilakukan untuk menyelidiki bahan atau teknik yang dapat meminimalisir kesulitan memperoleh kontrol saliva yang adekuat dan meningkatkan bonding email-sealant. Bonding agent dibuat untuk meningkatkan perlekatan/adhesi resin terhadap email. Beberapa penelitain terbaru mendukung hipotesis bahwa bahan tersebut menghasilkan adhesi yang sempurna terhadap email dan dapat mengatasi efek negatif kontaminasi saliva. Namun, hasil penelitian ini tidak membuktikan penemuan Feigal dkk, tersebut. Jika Delton digunakan bersama bonding agent (grup 3), TR—dengna mempertimbangkan kedua kriteria evaluasi (Tabel 1 dan 2)—lebih inferior dibandingkan dengan penggunaan bahan yang sama tanpa adhesif, meskipun perbedaannya tidak signifikan.
Hasil penelitian ini mendukung penemuan terdahulu oleh Boksman dkk, yang tidak membuktikan peningkatan nilai retensi menggunakan bonding agent, yang diaplikasikan sebelum sealant resin-based dan rubber dam. Jadi, sepertinya kontaminasi, ada ataupun tidak, tidak dipengaruhi oleh kinerja sealant-adhesif. Dalam penelitian ini, hanya satu lapisan bonding agent yang di-curing sebelum aplikasi Delton, karena untuk menggunakan prosedur tambahan maka dibutuhkan tingkat kooperatif anak yang lebih tinggi—yang terkadang, menjadi salah satu masalah dalam kedokteran gigi anak. Hasil penelitian ini juga mendukung penemuan Pinar dkk, yang tidak menemukan perbedaan antar sealant, dengan dan tanpa bonding agent, yang dihubungkan dengan integritas marginal, diskolorisasi marginal dan bentuk anatomis.
Dilaporkan bahwa retensi sealant resin-based lebih baik dibandingkan dengan sealant glass ionomer. Dalam penelitian ini, Vitremer dengan perbandingan bubuk/cairan 1:1 memiliki nilai retensi tertinggi pada kedua sistem evaluasi, pada bulan ke 6 dan 12 (Tabel 1 dan 2). Dibandingkan dengan grup 4 dan 5, hasil ini mungkin disebabkan oleh beberapa faktor. Karena dalam grup 6, tidak digunakan Vitremer dalam konsistensi cairan, sifat fisik dan mekanisnya tetap terjaga, sehingga kelarutannya berkurang. Dan diapilkasikan menggunakan tekanan, yang mengurangi pembentukan gelembung internal, sehingga porositas yang berperan dalam kelemahan bahan. Namun, ditemukan juga bahwa primer berperan dalam TR terparah dalam grup 5, yang mengganggu adhesi Vitremer terhadap email. Hasil ini sesuai dengan penelitian lainnya, dimana primer diaplikasikan tanpa perlakuan etsa asam email terlebih dahulu.
Etsa asam email berperan penting dalam retensi bahan adhesif. Hasil penelitian in vitro dan in vivo menunjukkan bahwa etsa permukaan oklusal akan meningkatkan perlekatan GIC pada email. Hal ini meningkatkan tampilan bahan, yang juga dibuktikan dalam beberapa penelitian lain menggunakan GIC konvensional atau resin-modified, yang diaplikasikan setelah etsa, dibandingkan dengan aplikasi tanpa etsa asam.
Hubungan antara Vitremer dalam perbandingan bubuk/cairan 1:2, dan primer menghasilkan nilai retensi sebesar 59% dan 36%, masing-masing pada periode 6 dan 12 bulan. Nilai tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan nilai yang diperoleh dalam penelitian ini (yaitu, 30% dan 12%) pada periode evaluasi yang sama, mungkin disebabkan oleh tingginya proporsi bubuk yang digunakan dan ketrampilan operator dalam penggunaan berbagai macam evaluasi klinis. Dengan perbandingan bubuk/cairan 1:3, Villela menemukan nilai retensi yang sama pada periode 6 dan 12 bulan, yang lebih tinggi dibandingkan hasil penelitian ini. Namun, dalam penelitian tersebut, para peserta berusia lebih tua dan gigi-geligi yang ditumpat adalah gigi premolar, yang terbukti memiliki angka retensi lebih tinggi dibandingkan dengan gigi molar karena bentuk anatomi permukaan oklusal dan lokasinya dalam rongga mulut, dimana gigi premolar memperoleh tekanan mastikasi yang lebih ringan.
Evaluasi retensi juga dilakukan dengan membandingkan 3 area pada permukaan oklusal (mesial-oklusal, sentral-oklusal, dan distal-oklusal) untuk mendeteksi area yang memiliki adhesi terburuk. Setelah 12 bulan, Valsecki dkk memperoleh nilai retensi total sebesar 83% untuk Delton, dalam penelitian ini, hasil yang sama diperoleh dari grup 2. Meskipun memiliki nilai retensi terkecil di daerah distal, penelitian ini tidak dapat mendeteksi perbedaan yang signifikan. Bahkan, retensi terendah yang ditemukan dalam penelitian ini adalah pada area DO dan MO, pada kedua periode evaluasi. Harus ditekankan bahwa observasi ini dilakukan pada berbagai area dan menemukan keberhasilan (TR) dan kegagalan (PR/L) pada semua kelompok. Untuk gigi yang sedang erupsi, kontrol kelembaban di area DO paling sulit dilakukan, dan MO adalah area yang pertama kali berkontak dengan gigi antagonisnya. Jadi, aspek ini menjelaskan retensi yang terjadi. CO adalah area yang paling terlindungi dari kontak oklusal dan kontaminasi, dan karena memiliki ketebalan bahan yang lebih besar, jumlah sealant yang larut lebih sedikit.
Dalam penelitian ini, angka retensi grup 4 pada ketiga area adalah 69% pada periode 12 bulan, lebih tinggi dibandingkan presentase sebesar 50% yang diperoleh dalam penelitian lainnya, yang mengaplikasikan bahan dan teknik yang sama, hanya memiliki perbedaan dalam hal usia peserta. Jadi, selisih nilai retensi yang ditemukan mungkin berhubungan dengan ketrampilan dan pengalaman klinis operator.
Beberapa penelitian laboratorium yang mengevaluasi Vitremer dengan rasio 0,25:1 menunjukkan aspek-aspek menarik dalam konsistensi tersebut. Dengan menggunakan proporsi tersebut atau yang direkomendasikan oleh pabrik, penetrasi Vitremer ke dalam fissure, serta microleakage marginal, adalah sama. Aspek lain yang harus dipertimbangkan adalah pelepasan fluorida. Telah dibuktikan bahwa campuran Vitremer dengan rasio 0,25:1 melepaskan fluorida dalam jumlah yang lebih banyak dibandingkan dengan penggunaan bahan sesuai indikasi pabrik (1:1). Meskipun hasil penelitian klinis dan laboratorium tersebut masih membutuhkan konfirmasi lebih lanjut, mereka menunjukkan bahwa Vitremer merupakan salah satu alternatif yang tepat sebagai bahan tumpatan, sehingga aplikasinya pada anak-anak bertambah.
Penemuan karies dalam penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian terdahulu yang tidak menemukan perbedaan signifikan antara sealant glass ionomer dan resin-based. Hanya pada periode 12 bulan ditemukan karies pada 7 gigi, dimana 5 diantaranya ditumpat dengan sealant resin-based dan 2 gigi ditumpat dengan primer dan Vitremer (0,25:1). Mungkin, hasil dalam grup 5 berhubungan dengan nilai retensi terendah.
Seperti yang ditemukan oleh Winkler dkk, jenis kegagalan yang terjadi dalam penggunaan tumpatan resin-based dan glass ionomer berbeda-beda. Sealant resin-based terlihat terlepas dalam bentuk potongan, yang meninggalkan iregularitas. Sebaliknya, resin-modified GIC tidak mengalami iregularitas marginal namun mengalami keausan secara berlebihan. Hal ini disebabkan oleh ketahanan fraktur dan kecepatan keausan akibat sikat gigi atau tekanan gesekan bahan resin-modified GIC lebih besar dibandingkan dengan sealant resin.
Diskolorisasi marginal pada sealant resin-modified glass ionomer ditandai dengan kontur yang lebih cerah/muda. Warna gelap (A3) dan waktu pengeringan yang berlebihan digunakan dalam pemeriksaan klinis, hal ini mungkin mempengaruhi klasifikasi tersebut.
Perubahan tektur superfisial terbesar juga ditemukan pada resin-modified GIC. Karakteristik bahan ini, seperti porositas dan protrusi partikel kaca, berperan dalam kekasaran bahan. Untuk diskolorisasi superfisial, grup 1 memiliki jumlah terbanyak gigi yang mengalami perubahan. Meskipun kelompok lainnya juga mengalami perubahan marginal dan superfisial, tumpatan tidak mengalami kerusakan.
Beberapa penelitian klinis menggunakan GIC sebagai sealant menunjukkan bahwa retensi sempurna tidak dibutuhkan untuk pencegahan karies. Meskipun, dilaporkan bahwa fissure yang ditumpat menggunakan glass ionomer lebih resisten terhadap demineralisasi in vitro dibandingkan dengan fissure yang tidak ditumpat, meskipun tampilan klinisnya telah hilang, akan menarik jika menyelidiki apakah bahan mampu memperoleh retensi sempurna. Resin-modified GIC yang digunakan sebagai sealant mampu berperan sebagai suatu barier fisik. Ditemukan peningkatan retensi yang signifikan, setelah dilakukan etsa asam email sebelum aplikasi semen, hal ini mengkonfirmasi data penelitian ini.
Secara umum, nilai retensi sealant dievaluasi setelah satu kali aplikasi, dan aplikasi-ulang tidak dinyatakan sebagai kasus retensi parsial bahan. Namun, pada anak-anak yang beresiko-karies tinggi, perbaikan sealant harus dilakukan jika terjadi kehilangan retensi parsial atau secara keseluruhan.
Pada periode 12 bulan, tidak ada gigi (Tabel 1) dan hanya beberapa area gigi (Tabel 2) yang mengalami kehilangan seluruh tumpatan sealant-nya. Jika mempertimbangkan hasil tersebut, semua teknik dinyatakan efektif, sesuai dengan protokol klinis periode pemeriksaan sealant. Dibutuhkan lebih banyak penelitian klinis longitudinal untuk membandingkan berbagai jenis bahan sealant dalam mencegah karies. GIC—terutama resin-modified GIC yang memiliki resistensi abrasi, adhesi pada fissure gigi, nilai retensi dan sifat kariostatik yang lebih baik—merupakan salah satu alternatif tumpatan sealant yang menarik.

KESIMPULAN
Penelitian ini menunjukkan bahwa resin-modified glass ionomer cement dapat menjadi salah satu alternatif yang efisien dan menjanjikan sebagai bahan sealant oklusal, meskipun dibutuhkan lebih banyak penelitian jangka panjang. Vitremer dengan perbandingan bubuk/cairan yang normal (1:1) memiliki sifat retensi yang lebih baik dibandingkan dengan Delton dan isolasi menggunakan cotton roll, dengan atau tanpa bonding agent. Prime & Bond 2:1 yang digunakan sebagai lapisan intermediet tidak meningkatkan angka retensi Delton. Lesi karies ditemukan pada beberapa gigi, namun tidak ditemukan selisih yang signifikan pada setiap kelompok. Meskipun ditemukan perubahan superfisial dan marginal pada semua kelompok, secara klinis, tumpatan sealant masih cukup baik setelah periode 12 bulan.

Read more...

Berhitung!

Pasang Aku Yaa

go green indonesia!
Solidaritas untuk anak Indonesia

  © Blogger templates Newspaper III by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP