27 August 2009

Analisis Jangka Pendek Pulpa Gigi Manusia Setelah Direct Capping Menggunakan Semen Portland

Abstrak: Penelitian ini mengevaluasi respon jangka pendek jaringan pulpa manusia terhadap direct capping menggunakan semen Portland. Dalam seri kasus ini, digunakan 20 gigi molar tiga manusia yang akan diekstraksi. Setelah dilakukan preparasi kavitas, dilakukan pembukaan pulpa dan dilakukan pulp capping menggunakan semen Portland. Gigi-geligi dicabut pada 1, 7, 14 dan 21 hari setelah perawatan dan disiapkan untuk pemeriksaan histologis dan deteksi bakteri. Setiap kelompok terdiri dari 5 gigi. Hasilnya dianalisis secara deskriptif. Terjadi pembentukan dentine bridge pada dua gigi dengan jarak tertentu dari interfase bahan [14 dan 21 hari]. Dalam sebagian besar kasus, ditemukan respon inflamasi ringan. Dalam semua spesimen, tidak ditemukan adanya bakteri. PC memiliki fitur biokompabilitas dan mampu menginduksi respon mineral pulpa dalam evaluasi jangka pendek. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa PC berpotensi untuk digunakan sebagai salah satu bahan pulp capping yang murah, dibandingkan dengan bahan capping lainnya.
Kata Kunci: Biokompabilitas, endodontik, semen Portland, terapi pulpa
Sumber: The Open Dentistry Journal, 2009; 3: 31-35.


PENDAHULUAN
Pemeliharaan vitalitas pulpa selama prosedur restorasi merupakan salah satu fokus dalam operative dentistry. Sebagian peneliti membuktikan bahwa perubahan pulpa di bawah berbagai jenis bahan restorasi disebabkan oleh keberadaan bakteri akibat kebocoran-mikro [microleakage]. Selain itu, penyebab utama kegagalan perawatan pulp capping adalah kontaminasi bakteri, bukan sifat iritan bahan capping. Jika hipotesis ini valid, pemulihan pulpa dapat terjadi jika bahan menutup rapat dan mencegah microleakage. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kalsium hidroksida bukanlah satu-satunya bahan yang mampu menstimulasi deposisi dentin reparatif atau pembentukan dentine bridge. Pembentukan dentine bridge merupakan salah satu respon instrinsik pulpa yang terbuka, tanpa-bakteri.

Selama beberapa tahun terakhir, beberapa penelitian membandingkan efek pemulihan dan komposisi PC dengan Mineral trioxide Aggregate [MTA]. Dalam hal efek pemulihan, ditemukan bahwa sel-sel osteoblast-like memiliki perkembangan dan pembentukan matriks yang serupa jika dikembangbiakkan dalam PC, sedangkan peneliti lainnya menemukan bahwa PC memungkinkan terbentuknya dentine bridge setelah pulpotomi pada anjing dan menginduksi deposisi granulasi kristal calcite jika diaplikasikan pada tubulus dentinalis yang ditanamkan secara subkutan pada tikus. Telah dibuktikan bahwa PC dan MTA memiliki efek yang sama terhadap sel-sel pulpa jika digunakan sebagai bahan direct pulp capping pada tikus, serta memiliki aktivitas antibakterial yang sama. Persamaan efek pemulihan kedua semen tersebut disebabkan oleh persamaan komposisinya. PC memiliki komposisi utama yang sama dengan MTA, seperti kalsium fosfat, kalsium oksida, dan silika. MTA juga mengandung bismuth oksida, yang meningkatkan radiopasitasnya, namun bahan ini tidak terkandung dalam PC. Karena berharga murah, cukup beralasan jika kita mempertimbangkan PC sebagai salah satu pengganti MTA dalam aplikasi endodontik.

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengevaluasi respon pulpa jangka-pendek setelah aplikasi PC pada pulpa gigi manusia yang terbuka.

BAHAN DAN METODOLOGI
Pemilihan Gigi

Gigi-geligi diperoleh dari tujuh pasien yang datang ke Klinik Seminologi Fakultas Kedokteran Gigi Univesitas Pernambuco. Sampel terdiri dari 20 gigi molar tiga manusia non-karies yang akan diekstraksi untuk perawatan ortodontik. Usia pasien berkisar antara 19 sampai 31 tahun [usia rata-rata = 24,8 tahun], pada laki-laki atau perempuan. Pasien menandatangani surat ijin setelah memperoleh penjelasan tentang eksperimen, prosedur klinis dan resiko yang mungkin terjadi. Para pasien diminta untuk membaca dan menandatangani surat ijin pelaksanan prosedur klinis. Surat ijin dan proyek penelitian telah disetujui oleh Komite Etik [Protokol 78/03] Universitas Pernambuco, Brazil.

Preparasi Kavitas dan Pembukaan Pulpa
Anestesi lokal dan regional dihasilkan dari injeksi mepivakain 2% [DFL, Sao Paulo, SP, Brazil]. Dental dam digunakan untuk mengisolasi gigi selama perawatan. Sebelum dilakukan preparasi kavitas, gigi-geligi dibersihkan menggunakan pasta profilaktik.
Kavitas Klas I dipreparasi menggunakan bur intan baru [#1015 – KG Sorensen, Sao Paulo, SP, Brazil] pada kecepatan tinggi dan aliran udara/air suling-pendingin. Dasar pulpa diperluas 0,5 – 1 mm dari pulpa, sesuai dengan pemeriksaan radiografik yang telah dilakukan. Pembukaan pulpa dilakukan menggunakan bur intan [berdiameter 1,2 mm – KG Sorensen, Sao Paulo, SP, Brazil] pada kecepatan tinggi dan aliran air. Perdarahan dikontrol menggunakan larutan saline steril dan cotton pellet steril. Pada setiap gigi, digunakan bur baru.

Aplikasi Bahan
Semen Portland [CP II – F32, ITAPESSOCA AGRO-INDUSTRIAL S.A., Goiania, PE, Brazil] dicampur dengan air suling untuk memperoleh konsistensi yang diinginkan. Dilakukan pulp capping menggunakan pasta PC dan kavitas ditutup dengan semen glass ionomer [DFL, Sao Paulo, SP, Brazil]. Gigi-geligi diekstraksi pada hari ke 1, 7, 14 dan 21 setelah perawatan pulp capping, dan dibagi menjadi empat kelompok berdasarkan waktu pencabutan. Setiap kelompok terdiri dari 5 spesimen [n = 5] yang menghasilkan sampel berjumlah 20 gigi.

Preparat Histologis
Setelah interval post-operatif pada hari 1, 7, 14 dan 21, gigi-geligi dicabut, dan sepertiga apikal akar dipotong agar formalin dapat berpenetrasi dan dilakukan fiksasi [larutan buffer formalin 10%]. Demineralisasi dilakukan menggunakan asam nitrat 5% setelah 4-5 minggu. Spesimen direndam dalam parafin dan dibuat potongan 3 m, yang diberi pewarna Hematoxylin-Eosin dan teknik Bron & Hopps. Gigi yang memiliki pulpa nekrotik atau terinfeksi digunakan sebagai kontrol teknik Brown & Hopps, untuk menunjukkan keberadaan bakteri.

Kriteria Evaluasi
Potongan dievaluasi secara blind oleh seorang ahli patologi menggunakan kriteria yang telah ditentukan sebelumnya dan dideskripsikan dalam Tabel 1.

Analisis Statistik
Data dianalisis menggunakan statistik deskriptif sesuai dengan fitur-fitur yang ditemukan dalam setiap kelompok eksperimental.

HASIL
Nilai respon sel inflamasi, organisasi jaringan lunak, pembentukan dentine bridge, dan pewarnaan bakteri diuraikan dalam Tabel 2. Setelah hari 1, tidak terjadi pembentukan dentine bridge pada kelima gigi dalam kelompok ini. Respon sel inflamasi berkisar antara lunak sampai ringan [Gambar 1A]. Jaringan pulpa yang terletak di bawah daerah paparan [berdiameter 1,2 mm] umumnya tidak terorganisir dan berisi pembuluh darah yang tersumbat.

Pembentukan dentine bridge terjadi pada 5 gigi dalam kelompok hari ke 7. Respon sel inflamasi tidak ditemukan dalam semua kasus, pada satu spesimen ditemukan jaringan pulpa yang tidak teratur dan penyumbatan pembuluh darah [4G2] di bawah daerah paparan [Gambar 1B] sedangkan pada spesimen 2G2, terjadi konsentrasi serat kolagen [Gambar 1C].

Setelah 14 hari, hanya satu spesimen [2G3] dalam kelompok ini yang memiliki dentine bridge; pada jarak tertentu dari interfase bahan pulp-capping [Gambar 1D]. Tidak ditemukan respon sel inflamasi dalam semua kasus, namun jaringan pulpa di bawah daerah paparan umumnya tidak beraturan dan berisi pembuluh darah yang tersumbat.

Jaringan di bawah daerah paparan memiliki karakteristik jaringan pulpa normal setelah 21 hari, disertai dengan perkembangan sel odontoblast-like di dalam interfase pulpa-PC. Dalam periode ini, satu spesimen memiliki dentin reparatif. Pada gigi-geligi yang tidak mengalami pembentukan dentine bridge, jaringan pulpa tidak mengalami perubahan morfologi, dan dalam semua kasus, tidak ditemukan respon sel inflamasi. Daerah deposisi serat kolagen ditemukan pada satu spesimen [Gambar 1E].

Teknik Brown & Hopps menunjukkan tidak adanya bakteri dalam semua potongan spesimen gigi [Gambar 1F].

PEMBAHASAN
Tujuan utama penelitian ini adalah untuk mengukur respon jangka pendek pulpa manusia yang di-capping menggunakan PC. Ini adalah pertama kali penggunaan PC pada pulpa manusia diuji. PC memiliki biokompabilitas yang sama dengan MTA jika diaplikasikan pada kavitas yang dalam pada gigi-geligi binatang. Berdasarkan pada anggapan bahwa penutupan yang efektif lebih penting dibandingkan dengan sifat bahan capping, dentine bridge parsial hanya ditemukan pada gigi-geligi yang mengalami kebocoran koronal, hal ini menunjukkan bahwa keberadaan mikroorganisme berperan dalam gangguan proses penyembuhan.

Beberapa peneliti melaporkan bahwa kontrol awal perdarahan pulpa adalah masalah biologis dan klinis paling kritis. Salah satu cara menentukan bahan terbaik untuk digunakan dalam kontrol perdarahan awal selama direct pulp capping adalah analisis histologis jangka pendek bahan-bahan yang digunakan sebagai agen direct pulp capping, seperti PC dan MTA. Dalam penelitian kami, tidak ditemukan perdarahan setelah aplikasi PC. Bukti tersebut menunjukkan sifat PC yang menguntungkan dengan mempertimbangkan fakta bahwa adanya bekuan darah di antara bahan capping dan jaringan pulpa dapat mengganggu pemulihan pulpa dan menarik mikroorganisme, yang mengakibatkan infeksi. Prosedur restorasi memiliki pengaruh signifikan terhadap keefektivan pulp capping sedangkan perdarahan dapat mengurangi khasiat dan durabilitas adhesi, penggunaan PC sebagai bahan direct pulp capping dapat menghasilkan adhesi semen glass ionomer atau sistem adhesif, yang mencegah kontaminasi bakteri akibat microleakage dalam jangka pendek ataupun panjang.

Reaksi biologis jaringan pulpa terhadap PC dinyatakan memuaskan, dan pemeriksaan jaringan menunjukkan bahwa bahan tersebut tidak menyebabkan iritasi. Sel-sel inflamasi pada hari pertama selalu terkumpul tepat di bawah daerah yang terpapar, diduga hal ini disebabkan oleh prosedur sel-sel itu sendiri. Dalam dua kasus tidak ditemukan morfologi pulpa reguler dan organisasi seluler di bawah daerah paparan.

Mekanisme aksi MTA dan PC sama. Karena kedua bahan mengandung kalsium hidroksida. Jika bahan ini digunakan, akan terjadi reaksi kalsium dari kalsium hidroksida dengan karbondioksida dalam jaringan pulpa menghasilkan kristal calcite.

Penemuan penting dalam penelitian ini adalah relasi antar berbagai zona reaksi pulpa. Zona PC menutupi pulpa yang terbuka dan menginduksi reaksi. Zona degenerasi, meskipun disebabkan oleh perlukaan pulpa dan efek kimia bahan, melindungi jaringan vital di bawahnya selama tahap awal penyembuhan. Diduga, PC dapat mengakibatkan denaturasi sel-sel di sekitarnya karena tingginya pH permukaan, terutama saat baru dicampur.

Jembatan kalsifikasi primer, sebagai suatu barier awal antara jaringan pulpa dengan kavitas, memungkinkan pulpa untuk mengorganisir elemen selulernya dan membentuk dentine bridge permanen. Dalam penelitian kami, ditemukan 1 spesimen [2G3] yang memiliki dentine bridge baru pada jarak tertentu dari interfase bahan. Respon terhadap direct pulp capping menggunakan bahan seperti PC adalah pembentukan barier dentin, yang dihasilkan dari pengerahan dan proliferasi sel-sel tak-terdiferensiasi, yang berupa sel batang ataupun sel-sel mature de- dan trans-differentiated. Jika telah terdiferensiasi, sel-sel mensintesis suatu matriks yang akan mengalami mineralisasi. Komponen matriks ekstraseluler dapat menginduksi pembentukan dentin reaksioner ataupun barier dentin.

Penemuan ini mendukung hasil penelitian Berman. Adanya dentine bridge di bawah PC diduga berhubungan dengan kemampuan pemulihan pulpa, apapun jenis bahan capping yang digunakan. Namun, tidak ditemukan pembentukan dentin tubuler setelah hari ke 21. Dengan menggunakan kalsium hidroksida, Demarco dkk, menemukan pembentukan 2-lapis dentine bridge, yaitu regio osteodentin di bagian luar dan regio tubular di bagian dalam, dalam waktu 90 hari. Pembentukan tubular ini merupakan salah satu sinyal maturasi dentin.

Beberapa penelitian pada binatang bebas-kuman menunjukkan peran bakteri dalam respon jaringan pulpa. Dalam penelitian ini, tidak ditemukan kontaminasi bakteri pada gigi-geligi yang diteliti. Ini menunjukkan bahwa aksi bakteriostatik CP cukup untuk mengurangi jumlah bakteri hidup di sekitar pulpa yang terpapar. Namun, harus diperhatikan bahwa tidak dilakukannya pewarnaan bakteri tidak menunjukkan sterilitas kasus-kasus tersebut menimbulkan respon inflamasi. Sejumlah kecil bakteri dapat memberikan hasil false-negative atau tereliminasi dari spesimen selama pembuatan preparat histologis. Atau, bakteri melekat pada restorasi yang hilang selama proses histologis.

Hasil penelitian ini harus dievaluasi dengan cermat karena prosedur capping dilakukan pada gigi sehat. Dalam sebagian besar kondisi klinis, paparan pulpa biasanya disebabkan oleh proses karies, dimana tingkat inflamasi dan kandungan bakterinya lebih tinggi. Kami menganjurkan untuk menguji prosedur ini dalam kondisi serupa untuk memastikan reproduksibilitas penemuan yang dilaporkan dalam evaluasi klinis ini. Meskipun penggunaan gigi vital yang sehat dalam penelitian semacam ini memiliki beberapa kelemahan, namun bermanfaat dalam standardisasi dan dinyatakan sebagai dapat diterima, dalam hal pemilihan dan perlakuan bahan.


KESIMPULAN
Meskipun penelitian ini memiliki beberapa kelemahan, dapat disimpulkan bahwa setelah dilakukan evaluasi histologis jangka pendek:
1.Dalam sebagian besar kasus, tidak ditemukan respon sel inflamasi
2.Dentine bridge ditemukan pada 10% spesimen
3.Jaringan di bawah daerah paparan memiliki karakteristik jaringan pulpa normal, dimana terdapat sel-sel odontoblast-like di bawah interfase pulpa/PC setelah 21 hari.
Secara ringkas, hasil penelitian kami mendukung pernyataan bahwa PC memiliki potensi untuk digunakan sebagai salah satu bahan pulp capping karena mampu menginduksi respon mineral pulpa jangka pendek. Dan, dibutuhkan penelitian lebih lanjut sebelum pembuatan rekomendasi penggunaan klinisnya.

Read more...

19 August 2009

Relaps atau Late Reversal Reaction?

Gejala klinis penyakit lepra aktif dan reaksi reversal merefleksikan respon imun seluler terhadap antigen mycobacterium. Secara klinis, sulit untuk membedakan antara relaps dan reaksi reversal. Kriteria histopatologis diferensiasi tersebut seringkali tidak-konklusif. Pemeriksaan bakteriologis dapat membantu, kecuali dalam multibacillary leprosy, karena hasil smear pasien paucibacillary leprosy biasanya negatif. Secara umum, meskipun reaksi reversal muncul lebih dini setelah perawatan dihentikan, dibandingkan dengan relaps, terkadang reaksi reversal ditemukan satu atau dua tahun setelah perawatan dihentikan. Data tentang relaps setelah multidrug therapy [MDT] belum mencukupi, namun data awal menunjukkan bahwa relaps jarang terjadi pada beberapa tahun pertama setelah MDT selesai.
Secara teoretis, kriteria konvensional untuk relaps adalah: a) kemunculan-kembali dan multiplikasi Mycobacterium leprae, yang direfleksikan dalam peningkatan indeks bakteri [BI]; b) kemunculan lesi kulit pada daerah yang sebelumnya tidak berpenyakit; dan c) terjadinya neuritis pada saraf yang sebelumnya tidak berpenyakit. Namun, dalam praktek, jika kita mempertimbangkan variabilitas hasil smear-kulit, hanya peningkatan BI rata-rata sebanyak satu unit atau lebih saja yang harus dipertimbangkan sebagai indikasi re-multiplikasi M. leprae.
Dalam prakteknya, lesi kulit dan saraf yang lama seringkali tidak dipetakan secara akurat dan tidak dapat dipastikan bahwa lesi tersebut baru terbentuk. Jadi, manfaat kriteria konvensional untuk membedakan relaps dengan reaksi reversal diragukan, dan dibutuhkan kriteria yang lebih jelas.
Kriteria potensial pertama adalah respon fenomena reaktif terhadap perawatan kortikosteroid yang terjadi dengan cepat. Kriteria potensial kedua adalah hasil pemeriksaan serologis menggunakan antibodi monoklonal melawan antigen M.leprae-spesifik.

Penyebab relaps
Klasifikasi salah. Jika kasus multibacillary leprosy keliru diklasifikasikan sebagai paucibacillary, kemungkinan terjadinya relaps lebih tinggi. Hal ini dapat dikorelasikan dengan: a) jumlah lesi; b) distribusi lesi; c) jumlah saraf yang terkena; d) pola kehilangan sensoris pada ekstremitas; e) klasifikasi histopatologis; dan f) pemeriksaan lepromin.
Kemoterapi yang tidak adekuat. Dalam kasus paucibacillary leprosy, dimana durasi terapi telah ditetapkan, durasi pengobatam yang adekuat berperan penting untuk mengurangi resiko relaps.
Resistensi obat. Secara teoritis, infeksi strain M. leprae yang resisten terhadap rifampin akan meningkatkan kemungkinan relaps dalam kasus paucibacillary.
Reinfeksi. Individu yang tertular penyakit lepra beresiko tinggi mengalami reinfeksi dibandingkan dengan individu yang tidak tertular penyakit. Jika pengobatan MDT tidak adekuat [< 75% kasus yang diperkirakan], maka resiko relaps akibat reinfeksi mungkin saja terjadi. Resiko reinfeksi ini juga dapat terjadi akibat migrasi individu rentan ke daerah endemik dimana MDT belum diperkenalkan atau jika pengobatannya tidak adekuat.
Persister. Fenomena M. leprae persisten dapat ditemukan dalam paucibacillary dan multibacillary leprosy. Namun, peran persister dalam resiko relaps belum diketahui.

Dugaan penyebab late reversal reaction
Pembersihan antigen M. leprae. Telah diketahui bahwa obat-obatan dalam MDT ditujukan untuk membunuh bakteri. Pembasmian bakteri diduga berhubungan dengan kompetensi sistem fagositik seorang individu. Dalam kasus paucibacillary dan sebagian besar kasus multibacillary, sistem ini mengalami penurunan. Keberadaan antigen M. leprae yang mati merupakan salah satu faktor resiko terjadinya reaksi reversal. Terdapat beberapa metode yang dapat digunakan untuk menghitung kandungan antigen dalam seorang pasien pada akhir fase kemoterapi dan memperkirakan resiko reaksi reversal di masa yang akan datang.
Relaps. Reaksi reversal dapat terjadi akibat remultiplikasi M. leprae, peningkatan kandungan antigen yang pada akhirnya menyebabkan relaps dan reaksi reversal. Secara teoritis, relaps akan mendahului reaksi reversal jika terjadi akibat remultiplikasi M. leprae. Namun, kita belum dapat melakukan pemeriksaan untuk membedakan kandungan antigen antara M. leprae yang hidup dan mati.
Durasi perawatan. Dahulu, fenomena reaksi reversal setelah monoterapi dapsone dihentikan jarang diamati, dan reaksi reversal yang terjadi setelah terapi dihentikan dinyatakan sebagai relaps. Dalam sebagian besar program, perawatan kasus paucibacillary dilanjutkan selama 5 tahun dan untuk kasus multibacillary leprosy, dilanjutkan seumur hidup. Dapat diasumsikan bahwa resiko reaksi reversal dalam paucibacillary leprosy, setelah perawatan dimulai, adalah + 5 tahun, sedangkan untuk kasus multibacillary leprosy adalah seumur hidup, karena untuk kasus paucibacillary, pembersihan antigen yang dilepaskan oleh basil mati membutuhkan waktu 5 tahun, dan dalam kasus multibacillary, proses tersebut tidak pernah selesai. Jadi, kita perlu mencari cara untuk meningkatkan pembasmian bakteri, seperti imunoterapi menggunakan M. leprae dan BCG, selama atau pada akhir kemoterapi untuk mengurangi resiko terjadinya reaksi reversal.
Faktor lain. Beberapa faktor lain, seperti kehamilan, vaksinasi, penyakit utama, prosedur pembedahan, tekanan emosi, transfusi darah, dsb, dapat memicu terjadinya reaksi reversal, jika faktor-faktor tersebut ditemukan sebelum pembasmian bakteri atau antigen selesai.
Secara ringkas, jika kita dapat membedakan keberadaan M. leprae hidup dengan M. leprae mati, maka diagnosis relaps atau reaksi reversal tidak sulit ditegakkan. Namun, dalam prakteknya, sulit untuk membedakan kedua fenomena tersebut jika hanya didasarkan pada manifestasi klinisnya saja. Perlu dilakukan pengumpulan data klinis yang akurat dan spesimen pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui perbedaan tersebut dalam suatu penelitian prospektif berskala besar

Read more...

Perbandingan Khasiat Sodium Hipoklorit Dengan Sodium Perborat Dalam Menghilangkan Stain Pada Heat Cured Clear Resin Akrilik

Abstrak
Latar Belakang: Basis resin akrilik menarik stain dan bau yang membentuk deposit organik dan anorganik. Penggunaan larutan kimia pembersih gigitiruan merupakan metode pembersihan gigitiruan yang paling populer. Tujuan: Untuk membandingkan khasiat 2 jenis pembersih gigitiruan dalam menghilangkan stain teh, kopi, turmeric, paan pada heat cured clear resin akrilik. Bahan dan Metode: Disiapkan 200 sampel heat cured clear resin akrilik. Sampel dibagi menjadi 4 kelompok dan direndam dalam larutan teh, kopi, turmeric, dan paan pada suhu 37oC selama 10 hari. Sampel yang telah terwarnai direndam dalam larutan pembersih gigitiruan komersil sodium perborat [Clinsodent], sodium hipoklorit [VI-Vlean] dan air suling [kontrol]. Nilai densitas optik [OD] diukur sebelum dan sesudah perendaman dalam larutan pembersih selama 20 menit dan 8 jam. Analisis statistik data dilakukan menggunakan Fischer’s test [ANOVA satu arah] dan perbandingan multipel dilakukan menggunakan Bonferroni test. Hasil: Larutan Clinsodent dan VI-clean terbukti dapat membersihkan stain kopi secara efektif dan yang terbaik untuk menghilangkan stain tumeric. Kesimpulan: Profesional dental harus memastikan bahwa para pemakai gigitiruan mengetahui bagaimana cara memilih bahan pembersih gigitiruan yang tepat untuk mendukung protokol perawatan gigitiruan di rumah.
Kata Kunci: Resin akrilik, pembersih gigitiruan, sodium hipoklorit, sodium perborat, khasiat pembersihan stain.
Sumber: The Journal of Indian Prosthodontic Society, 2009; 9(1):6-12


PENDAHULUAN
Protesa lepasan bertugas menggantikan gigi-geligi asli yang hilang atau dicabut beserta struktur di sekitarnya. Karena sebagian besar gigitiruan yang ada saat ini dibuat dari gigi resin akrilik dan bahan basis gigitiruan tipe resin polimetilmetakrilat [resin PMMA], metode pembersihan tanpa aksi abrasif yang kuat selalu lebih baik. Alasannya adalah, karena basis resin akrilik ini menarik stain dan bau yang membentuk deposit organik dan anorganik. Gigitiruan yang tidak bersih seringkali menimbulkan bau repulsif kuat yang umum disebut sebagai ‘napas gigitiruan/denture breath’. Untuk mengatasi hal tersebut, kini banyak tersedia pembersih gigitiruan di pasaran dan masing-masing mengklaim sebagai bahan yang efisien. Stain paan [dengan atau tanpa tembakau], teh, kopi, dan turmeric serta plak bakteri berakumulasi pada gigitiruan yang dipakai sebagian pasien di India meskipun gigitiruan didesain untuk self-cleansing. Kebiasaan intake minuman, seperti kopi, coklat, dan larutan kumur, misalnya klorheksidin, beberapa kali sehari juga cenderung membentuk stain dan mengubah warna resin. Konsentrasi dan periode paparan bahan stain dalam minuman dapat mempengaruhi pigmentasi resin. Pembersihan adekuat pada gigitiruan yang di-polish dengan baik menggunakan sabun dan sikat gigitiruan berdesain khusus adalah metode pembersihan gigitiruan terkini yang direkomendasikan oleh American Dental Association. Penggunaan larutan kimia pembersih gigitiruan adalah metode kedua yang paling populer untuk membersihkan gigitiruan dan tersedia secara komersil dalam bentuk peroksida alkali, hipoklorit alkali, larutan asam organik atau anorganik, desinfektan dan enzim. Umumnya, produk-produk tersebut mengandung bahan antimikroba, seperti hipoklorit atau agen oksida, yang mampu membunuh mikroorganisme dalam plak gigitiruan.

Meskipun banyak klaim yang dibuat oleh perusahaan pembuat bahan pembersih gigitiruan komersil, khasiat bahan pembersih tersebut masih dipertanyakan. Meskipun terdapat beberapa penelitian dalam literatur yang membandingkan aktivitas antimikroba bahan pembersih gigitiruan ternama, bahan yang digunakan bukanlah formulasi dari India. Dahulu, bahan pembersih gigitiruan berfungsi untuk menghilangkan deposit dan stain pada gigitiruan. Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan masa kini, peran mikroorganisme dalam etiologi denture stomatitis, difokuskan pada kemampuan bahan pembersih gigitiruan untuk mensanitasi gigitiruan. Bahan pembersih gigitiruan yang ideal harus memenuhi berbagai persyaratan, seperti memiliki kemampuan untuk menghilangkan deposit organik dan anorganik serta stain. Sebagian besar bahan pembersih gigitiruan mengklaim memiliki berbagai khasiat, namun komposisinya dirahasiakan.

Penelitian ini dilakukan untuk membandingkan khasiat dua jenis bahan pembersih gigitiruan ternama dalam menghilangkan stain yang dibentuk oleh teh, kopi, turmeric dan paan pada spesimen heat cure clear resin akrilik.

BAHAN DAN METODE
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Spektrofotometer, yaitu Thermo Spectronic 10 UV dari Genesys [UV-VIS], Pittsford, New York [Gambar 1]
Inkubator Julabo SW1 [Swiss] untuk mempertahankan suhu pada 37 + 1oC, Kavo Dental Flask and Clamp, Jerman
Acrylizer unit, Kavo, Jerman
Brass mold [Gambar 2] untuk standardisasi ukuran sampel [10 x 50 x 2 mm]

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
Dental carving wax [malam pengukir]
Gips lunak/keras model
Bahan clear heat cure acrylic [DPI]
Dua jenis bahan pembersih gigitiruan [Gambar 3]

1.Bubuk Clinsodent dari ICPA Health Product Ltd Ankleshwar, yang mengandung sodium perborat dan bekerja dengan membebaskan O2 yang terbentuk
2.Cairan pembersih gigitiruan VI-Clean dari Vishal Pharma Ltd. Ahmedabad, yang mengandung sodium hipoklorit dan memiliki efek bleaching/memutihkan.

Jenis pewarna/stain yang digunakan dalam penelitian ini adalah [Gambar 4]:
Daun teh Brooke Bond Taaza
Kopi Golden Blend Laxmi
Bubuk akar turmeric
Campuran Paan Beeda

Metode yang digunakan
Dipilih 2 bahan pembersih gigitiruan tipe larutan [telah disebutkan di atas] yang memiliki komposisi kimia berbeda dan larutan sampel disiapkan sesuai dengan instruksi pabrik [1 sendok teh dalam 200 ml air]. Air suling digunakan sebagai kontrol.
Proses pembuatan sampel adalah sebagai berikut:
Dental carving wax dicairkan dalam brass mold standar sepanjang 50 mm, tebal 2 mm dan lebar 10 mm untuk setiap grup sehingga sesuai dengan kuvet atau ruang spesimen dalam spektrofotometer. Dilakukan flasking pola malam dalam dental flask menggunakan gips lunak dan keras. Setelah malam dihilangkan, dilakukan packing menggunakan resin akrilik clear heat cure dan setelah penutupan percobaan, dilakukan penutupan akhir. Dilakukan bench cured selama 30 menit dan diaplikasikan siklus curing selama satu setengah jam. Kemudian, dilakukan deflasking sampel, di-trim dan polish menggunakan sandpaper/amplas yang kekasarannya diubah secara bertahap, terakhir, memastikan bahwa dimensi berukuran 50 x 10 x 2 mm tetap terpelihara. Setelah dilakukan finishing dan polishing, sampel direndam dalam air suling pada suhu 37 + 1oC selama 24 jam untuk menghilangkan sisa-sisa monomer. Densitas optis awal setiap sampel yang belum diberi stain/pewarna diukur sebelum proses pewarnaan untuk prosedur perbandingan dan mengeliminasi sampel yang mengalami porositas. Setelah metode tersebut, diperoleh 240 sampel akrilik clear, heat cured, dan 40 diantaranya dipakai dalam penelitian pendahuluan guna menentukan kuantitas agen pewarna yang dibutuhkan untuk menghasilkan pewarnaan yang adekuat dalam 200 ml air suling. Juga dilakukan pengukuran absorpsi maksimum [ maks], yaitu panjang gelombang dimana sinar spektrofotometer [UV-VIS] sensitif terhadap setiap media pewarna spesifik. pH setiap pewarna juga diukur. Prosedur ini dilakukan menggunakan indikator pH kertas litmus Indikrom yang memiliki kisaran pH spesifik antara 2,0 – 7,5 [Tabel 1].

Dua ratus sampel lainnya digunakan dalam penelitian inti. Sampel dibagi menjadi 4 kelompok yang masing-masing terdiri dari 50 sampel [200], dan direndam dalam larutan pewarna turmeric, teh, paan [tembakau], dan kopi selama 10 hari pada suhu 37 + 1oC dalam sebuah inkubator [untuk mensimulasi kondisi in vivo].

Bahan pewarna diganti dengan yang baru setiap hari untuk mencegah kolonisasi mikroba dan mempertahankan konsentrasi yang seragam. Kemudian, spesimen dibilas dan dikeringkan selama 2 jam. Pada tahap ini, dilakukan pengukuran densitas optik [yaitu, pembacaan awal] sampel yang telah diwarnai untuk perbandingan setelah perendaman dalam bahan pembersih gigitiruan.

Semua spesimen yang telah terwarnai direndam dalam dua jenis larutan bahan pembersih gigitiruan yang baru disiapkan, dan 40 sampel direndam dalam air suling [sebagai kontrol] selama 20 menit [untuk mensimulasi perendaman antar-waktu makan] dan 8 jam [mensimulasi perendaman semalam]. Kemudian, dibilas, dikeringkan, dan dilakukan evaluasi khasiat pembersihan stain setiap bahan pembersih gigitiruan dengan mengukur densitas optis spesimen [pada berbagai  maks setiap zat pewarna] menggunakan spektrofotometer. Proses ini diulangi untuk setiap jenis stain dan nilai rata-ratanya dihitung. Dari sini, ditentukan densitas optis awal spesimen yang telah terwarnai oleh setiap zat pewarna untuk standardisasi dan perbandingan.

Analisis Statistik
Nilai yang diperoleh dianalisis secara statistik menggunakan software SPSS versi 13.0. Dilakukan penghitungan nilai mean dan standar deviasi setiap sampel pada setiap kelompok bahan pewarna [pembacaan awal]. Nilai mean dibandingkan menggunakan ANOVA satu arah—Fisher’s test untuk perbandingan kelompok. Perbandingan multipel dilakukan menggunakan Bonferroni test untuk mengidentifikasi kelompok yang signifikan pada batas 5% dan mempertahankan pembacaan awal sebagai variabel dependen. Perbandingan dilakukan pada setiap jenis zat pewarna dan periode untuk setiap jenis bahan pembersih gigitiruan. Dalam penelitian ini, P < 0.05 dinyatakan sebagai batas signifikansi.

HASIL
Nilai rata-rata densitas optis awal sampel yang telah diwarnai, setelah analisis spektrofotometrik pada setiap  maks diuraikan dalam Tabel 2. Hasilnya menunjukkan bahwa kopi, yang diikuti oleh teh, turmeric, dan paan memiliki nilai densitas optis dalam urutan menurun. Kemudian, nilai rata-rata tersebut dianalisis menggunakan ANOVA [Fischer’s test] antar grup zat pewarna dan dinyatakan sangat signifikan untuk membentuk stain [yaitu, P = 0.001, dimana P < 0.05].

Nilai rata-rata densitas optis sampel akrilik heat-cured yang terwarnai setelah direndam dalam bahan pembersih gigitiruan selama 20 menit digambarkan dalam Grafik 1. Hasilnya menunjukkan bahwa untuk sampel yang direndam dalam larutan Clinsodent, turmeric memiliki nilai densitas optis terendah, yang diikuti oleh paan, kemudian teh dan terakhir, kopi. Untuk sampel yang direndam dalam VI-clean, nilai densitas optis terendah adalah paan, kemudian teh, turmeric, dan kopi.

Nilai mean densitas optis terendah sampel akrilik heat-cured setelah direndam dalam bahan pembersih gigitiruan selama 8 jam digambarkan dalam Grafik 2. Hasilnya menunjukkan bahwa sampel yang direndam dalam larutan Clinsodent, turmeric memiliki nilai densitas optis terendah, kemudian paan, teh dan terakhir, kopi. Untuk sampel yang direndam dalam VI-clean, paan memiliki nilai densitas optis terendah, yang diikuti oleh teh, turmeric dan kopi. Untuk sampel kontrol yang direndam dalam air suling, tidak ada selisih nilai densitas optis yang signifikan.

Tabel 3 menguraikan perbandingan multipel perubahan densitas optis [dengan menghitung selisih nilai mean] antar bahan pembersih gigitiruan untuk setiap jenis zat pewarna dan periode perendaman [yaitu, 20 menit dan 8 jam] dan aplikasi Bonferroni test yang menggunakan pembacaan awal sebagai variabel dependen.
Hasil [Grafik 3 dan 4] menunjukkan bahwa, setelah perendaman selama 20 menit dan 8 jam, Clinsodent dan VI-clean kurang efektif membersihkan stain kopi, dan paling unggul dalam membersihkan stain turmeric.

PEMBAHASAN
Masalah kosmetik utama bagi para pemakai gigitiruan adalah stain yang berakumulasi pada gigitiruannya, yang pada akhirnya memicu terjadinya denture stomatitis. Penelitian ini dilakukan untuk membahas masalah tersebut, dengan memanfaatkan metode ilmiah terstandardisasi dalam menganalisis khasiat pembersihan stain berbagai jenis larutan bahan pembersih gigitiruan. Stain disebabkan oleh berbagai macam proses, seperti ingesti makanan berwarna, tembakau, dan minuman, seperti kopi, teh, dsb. Penelitian sebelumnya dilakukan oleh Gispin dan Caputo yang memanfaatkan larutan kopi, teh, dan anggur sebagai bahan pewarna. Mereka menemukan bahwa larutan anggur memiliki potensi staining lebih besar, yang meningkatkan pH. Yannikakis dkk, menyelidiki efek staining kopi dan teh terhadap enam merek resin yang digunakan dalam pembuatan restorasi sementara. Tujuh hari perendaman menghasilkan perubahan warna yang jelas pada semua merek resin. Stain yang terbentuk pada sampel akrilik resin dalam penelitian ini serupa dengan stain gigi yang umum ditemukan secara in vivo jadi, secara klinis, dinyatakan relevan.


Dalam penelitian ini, dibuat sampel heat cured clear akrilik yang memiliki dimensi lebar 10 mm x 50 mm panjang x 2 mm tebal, yang berbeda dengan spesifikasi dimensi ADA No. 12 untuk polimer basis gigitiruan. Sampel dibuat dalam spesifikasi tersebut agar sesuai dengan ruang kuvet spektrofotometer yang digunakan dalam penelitian ini.

Setelah proses perendaman selama 20 menit dan 8 jam, sampel stain kopi dan teh dinyatakan memiliki stain residu tertinggi dibandingkan dengan sampel yang diberi pewarna turmeric dan paan. Untuk melihat perbedaan larutan pewarna, dilakukan pengujian pH dan ditemukan bahwa kopi memiliki pH 3,0; teh memiliki pH 3,5, turmeric 5,5 dan paan 7,0. Hal ini membuktikan pengaruh sifat asam kopi dan teh terhadap sampel akrilik berwarna bening, diduga menyebabkan erosi lapisan permukaan yang telah di-polish sehingga meningkatkan uptake stain. Penemuan ini mendukung hasil penelitian Gispin dan Caputo yang mengklaim hasil serupa, meskipun menggunakan larutan pewarna anggur [yang sangat asam]. Di sisi lain, dalam skala pH, turmeric dan paan cenderung berada pada sisi alkali, hal ini menjelaskan rendahnya derajat pewarnaan zat ini.

Meskipun sabun dan sikat adalah metode pembersihan gigitiruan yang umum digunakan, seiring dengan pertambahan usia, banyak pasien geriatrik [dimana sebagian besar merupakan pemakai gigitiruan] telah kehilangan ketrampilan manual dan lumpuh, sehingga tidak mampu melakukan pembersihan gigitiruan secara efektif.

Pembersih gigitiruan konvensional tipe larutan alkali peroksida adalah bahan yang lebih sering digunakan oleh masyarakat untuk membersihkan gigitiruan, dibandingkan dengan jenis bahan lainnya. Penggunaan pembersih cair membantu mereka menjaga gigitiruannya tetap bersih dan menghindari pembentukan deposit. Dengan melihat sudut pandang tersebut, dipilih dua jenis bahan pembersih gigitiruan cair [larutan Clinsodent dan VI-Clean] yang umum dipasarkan di India Selatan, untuk menguji khasiatnya dalam menghilangkan stain.

Clinsodent mengandung sodium perborat, yang merupakan salah satu pembersih gigitiruan tipe peroksida. Jika dilarutkan dalam air, akan membentuk hidrogen peroksida. Tipe pembersih ini mengkombinasikan deterjen alkali untuk mengurangi tekanan permukaan dan pelepasan oksigen secara kimiawi dari larutan. Gelembung oksigen menimbulkan efek pembersihan mekanis. VI-Clean mengandung sodium hipoklorit, sebagai salah satu zat aktif. Jika dilarutkan dalam air, akan membersihkan melalui efek bleaching yang dihasilkan dari pelepasan ion klorida ke dalam larutan.

Dipilih waktu perendaman selama 20 menit untuk mengetahui apakah aksi pembersihan stain optimum dapat terjadi dalam periode tersebut, seperti yang direkomendasikan oleh beberapa perusahaan tentang ‘perendaman antar-waktu makan’ dan didukung oleh penelitian Russel dan Elahi, yang menyatakan bahwa waktu perendaman selama 10 menit adalah cukup. Waktu perendaman selama 8 jam dipilih untuk mensimulasi ‘perendaman gigitiruan malam hari’ dalam larutan pembersih sesuai dengan rekomendasi perusahaan pembuat bahan pembersih gigitiruan yang digunakan dalam penelitian ini.

Nilai densitas optis diukur pada setiap absorpsi maksimum [ maks] dalam berbagai jenis zat pewarna untuk mengetahui perluasan staining dan kemampuan setiap bahan pembersih gigitiruan dalam menghilangkan stain, prosedur ini berbeda dengan penelitian Tulsi dan Sabita, dimana densitas optis diukur tanpa mengukur absorpsi maksimum zat pewarna.

Penelitian ini merupakan suatu pengujian in vitro yang lebih cepat dari kondisi klinisnya. Hasil penelitian ini menunjukkan perubahan warna resin akrilik yang signifikan setelah 10 hari perendaman dalam bahan pewarna teh, turmeric, kopi dan paan. Dalam penelitian ini juga dilakukan penyimpanan sampel dalam inkubator yang diletakkan di ruang gelap pada suhu 37 + 1oC untuk mensimulasi kondisi rongga mulut asli, seperti yang diuraikan oleh Thakral dkk, dan Jagger dkk.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Clinsodent kurang efektif membersihkan stain kopi dan paling baik untuk menghilangkan stain turmeric setelah perendaman berdurasi 20 menit dan 8 jam. Hal ini disebabkan oleh sifat asam kopi, dibandingkan dengan turmeric dan paan yang mempengaruhi uptake lebih banyak stain oleh sampel akrilik, sehingga mengakibatkan penguraian lapisan permukaan yang telah di-polish. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Hutchins dan Parker yang menunjukkan bahwa tablet berbuih tidak efektif membersihkan deposit pada permukaan gigitiruan.

Di sisi lain, VI-Clean terbukti kurang efektif membersihkan stain kopi, namun sangat efektif menghilangkan stain paan dalam durasi perendaman 20 menit dan 8 jam. Berdasarkan hasil penelitian di atas, stain kopi dinyatakan paling sulit dibersihkan oleh kedua jenis bahan pembersih. Pada sampel akrilik yang terwarnai oleh kopi, selisih rata-rata nilai densitas optis antara waktu perendaman 20 menit dan 8 jam dalam larutan pembersih lebih besar pada VI-Clean dibandingkan dengan Clinsodent, hal ini menunjukkan bahwa VI-Clean memiliki aktivitas pembersihan yang lebih baik dibandingkan dengan Clinsodent. Hasil serupa juga didapatkan oleh Jagger dkk, yang memanfaatkan pembersih gigitiruan sodium hipoklorit dan menemukan efek pembersihan yang lebih baik jika menggunakan Boots Denture Cleaning Powder. Sebagai kontrol [air suling] menghasilkan derajat pembersihan stain yang rendah, hal ini disebabkan oleh peningkatan suhu, yang menambah penyerapan air ke dalam bahan dan pelepasan komponen stain terlarut dari bahan gigitiruan, seperti yang diutarakan oleh Gupta dkk.

Kelemahan Penelitian
1.Setiap jenis zat pewarna diambil dan diteliti secara terpisah; hal ini tidak ditemukan pada gigitiruan pasien karena terdapat pengaruh multifaktorial dalam staining gigitiruan.
2.Positas mikro sampel gigitiruan dapat mempengaruhi absorpsi zat pewarna, meskipun semua sampel di-polish dengan baik dan dilakukan pemeriksaan visual untuk mengetahui porositasnya sebelum pengujian.
3.Sampel gigitiruan yang digunakan disini berwarna putih/bening, jadi efek pemutihan tidak dapat diketahui, seperti akrilik berwarna yang digunakan dalam pembuatan gigitiruan.

Ruang Lingkup Penelitian
1.Penelitian ini dapat diperluas menjadi suatu penelitian klinis untuk membuktikan khasiat bahan pembersih gigitiruan. Jadi, dapat diperoleh hasil yang lebih signifikan secara klinis.
2.Efek pemutih [bleaching] bahan pembersih gigitiruan yang diselidiki dalam penelitian ini dapat dianalisis lebih lanjut menggunakan sampel berwarna dengan durasi perendaman yang lebih lama.
3.Sampel yang telah diwarnai dapat dianalisis lebih lanjut dengan refleksi spektrofotometri menggunakan cie lab system.


RINGKASAN DAN KESIMPULAN
Dari hasil yang diperoleh, dapat ditarik beberapa kesimpulan berikut ini:
1.Dari jenis zat pewarna yang diselidiki, kopi dinyatakan memiliki kapasitas absorpsi maksimum dan paling sulit dibersihkan oleh kedua jenis bahan pembersih gigitiruan.
2.Bahan pembersih gigitiruan VI-Clean terbukti lebih efektif menghilangkan stain yang digunakan dalam penelitian ini, dibandingkan dengan Clinsodent.
Jadi, para profesional dental, harus memastikan bahwa masyarakat pemakai gigitiruan mengetahui bagaimana cara memilih bahan pembersih gigitiruan yang tepat untuk mendukung protokol pemeliharaaan gigitiruan di rumah.

Read more...

18 August 2009

Letak Antitragus

Untuk menentukan kesejajaran gigitiruan lepasan [terutama untuk gigitiruan lengkap dan sebagian], dokter gigi harus melakukan pengukuran menggunakan fox plane yang disejajarkan dengan garis khayal tragus kanan-alae nasi-tragus kiri...

Jadi, tadi dokter bertanya kepada salah seorang temanku yang sedang menentukan kesejajaran...'kalian sudah tau letak tragus, lalu dimana posisi anti-tragus?'
And she couldn't answer...so ini dia jawabannya. pengetahuan baru juga buat kalian-kalian para koas yang belum tau [including me, of course].


Dikutip dari Wikipedia...

Antitragus adalah salah satu fitur pada telinga manusia yang berupa tuberkel kecil yang menonjol ke anterior. Letaknya di depan tragus, dipisahkan oleh intertragic notch.
Itu tadi sekedar info ringan...semoga bisa membantu siapa saja yang diberi pertanyaan serupa...small things shouldn't be forgotten!

Read more...

Pengaruh Oklusi Posterior Saat Merestorasi Gigi-geligi Anterior

Abstrak. Dalam mempertimbangkan atau melaksanakan prosedur restorasi estetik apapun, dibutuhkan diagnosis dan rencana perawatan yang komprehensif. Memperhatikan tanda-tanda diagnosis kehilangan dukungan posterior [loss of posterior support/LPS] dan pengaruhnya terhadap gigi-geligi anterior akan menjamin hasil yang lebih baik. Solusi historis dan ketidakadekuatannya harus diatasi. Presentasi pasien digunakan untuk menunjukkan perawatan kontemporer bagi pasien yang membutuhkan rehabilitas estetik namun kekurangan dukungan posterior.
Sumber: CDA journal, 2008; 36(8): 567-574.


Secara umum, telah disepakati bahwa retensi gigi dalam populasi lansia memberi kepercayaan kepada kedokteran gigi pencegahan dan edukasi pasien. Penampilan merupakan salah satu kekhawatiran utama dalam kelompok pasien ini. Pemeriksaan komprehensif mempermudah klinisi untuk menegakkan diagnosis faktor resiko yang berperan dalam penurunan kesehatan rongga mulut dan fungsinya. Pasien-pasien tersebut seringkali meminta perawatan restoratif menggunakan restorasi indirect untuk memperbaiki penampilannya [Gambar 1]. Selama fase diagnosis, elemen-elemen penting oklusi posterior seringkali diabaikan demi daya tahan perawatan yang direncanakan [Gambar 2 dan 3]. Kesehatan, fungsi, dan estetik haruslah menjadi tujuan utama rencana perawatan komprehensif medis ataupun dental.

Diagnosis
Penegakkan diagnosis dan rencana perawatan tidak hanya didasarkan pada keinginan estetik saja. Terdapat sejumlah faktor yang harus dievaluasi sebelum keputusan ditetapkan, antara lain:
Stabilitas oklusal
Status periodontal dan penyakit gigi-geligi
Kelemahan anatomis
Penatalaksanaan ruang

Dukungan posterior merupakan salah satu faktor penting yang harus dipertimbangkan untuk memperoleh stabilitas oklusal. Hilangnya dukungan posterior didefinisikan sebagai kehilangan dimensi vertikal oklusi akibat kehilangan atau pergeseran gigi-geligi posterior. Trauma oklusal sekunder didefinisikan sebagai efek yang dipicu oleh aksi tekanan oklusal [normal ataupun abnormal] pada gigi-geligi yang memiliki dukungan periodontal kurang. Oleh karena itu, seorang pasien yang memiliki gigi-geligi hampir lengkap namun kondisi periodonsium buruk, akan mengalami tanda-tanda LPS [Gambar 4].
Secara klinis, diagnosis tersebut didasarkan pada lima tanda kardinal [Gambar 2 dan 3], yaitu:
Pelebaran ligamentum periodontal/PDL
Fremitus
Restorasi yang fraktur
Pergeseran
Keausan yang berlebihan

Solusi perawatan untuk mengatasi hilangnya dukungan posterior

Solusi untuk perawatan pasien yang memiliki tanda-tanda klinis kehilangan dukungan posterior antara lain:
Gigitiruan sebagian lepasan [removable partial denture/RPD]
Cross-arch splinting
Restorasi dukungan-implan

Gigitiruan sebagian lepasan
Terdapat sekelompok pasien yang secara medis, psikologis dan finansial termasuk dalam kandidat yang buruk untuk perawatan prostodontik cekat. Fungsi pada pasien tersebut dapat direstorasi menggunakan gigitiruan sebagian lepasan [GTSL]. Pemilihan pasien dan diagnosis yang tepat berperan penting dalam menentukan apakah perawatan menggunakan gigitiruan lepasan adalah langkah yang benar. Dalam perawatan seorang pasien yang mengalami tanda-tanda kardinal LPS, GTSL [yang didukung atau disangga] dengan gigi atau implan akan memberikan dukungan tambahan. Jika penegakkan diagnosis dan pemilihan kasus tepat, tipe GTSL tersebut dapat memenuhi kebutuhan fungsional pasien.
Namun, masih saja ada sekelompok pasien yang tidak memiliki jumlah gigi-geligi posterior atau implan yang adekuat untuk mendukung atau meretensi GTSL. Pada kelompok pasien ini, penggantian gigi-geligi menggunakan GTSL dukungan-mukosa tidak memberi manfaat fungsional dan dukungan posterior tidak akan diperoleh kembali, yang pada akhirnya mengakibatkan kematian gigi-geligi.
Dari sudut pandang mekanis dan periodontal, pengembalian dukungan posterior menggunakan GTSL dukungan-mukosa masih diperdebatkan. Saat diberi tekanan, mukosa akan bergerak beberapa milimeter sedangkan gigi-geligi asli hanya akan bergerak sebanyak 25-50 mikron. Hal ini didasarkan pada konsep gerakan-banding jaringan mukosa [milimeter] dan gigi-geligi [25-50 mikron]. Masalah biomekanis tersebut diperumit oleh tingkat kooperatif pasien [25% pemakai gigitiruan tidak pernah memakai gigitiruannya] sehingga GTSL dukungan-mukosa semakin sulit memberikan dukungan posterior yang adekuat [Gambar 3]. Beberapa penelitian prospektif terkontrol juga membuktikan bahwa fungsi rongga mulut para subyek yang memiliki lengkung gigi pendek [short dental arch/SDA] sama dengan subyek yang memiliki SDA dan memakai GTSL.
Jadi, perluasan sayap distal GTSL tidak akan memberikan dukungan posterior tambahan ataupun stabilitas oklusal bagi pasien. Survei lain pada 77 pasien yang memakai GTSL, dilaporkan bahwa fungsi sosial dan rongga mulut pasien meningkat dibandingkan dengan pasien yang tidak memakai gigitiruan. Dapat dilihat kurangnya kebutuhan untuk mengganti kehilangan gigi-geligi posterior dengan gigitiruan sampai individu tersebut memiliki kurang dari tiga unit gigi posterior fungsional. Para peneliti tidak mendeteksi manfaat jangka panjang pemakaian GTSL.
Manfaat fungsional GTSL masih diperdebatkan karena belum dilakukan penelitian klinis terkontrol definitif. Namun, berdasarkan pada data terbaru dan pendekatan logis tentang penegakkan diagnosis dan rencana perawatan, kita harus lebih berhati-hati saat memilih untuk merestorasi pasien yang mengalami LPS menggunakan GTSL.

Pengaruh GTSL terhadap status periodontal
Terdapat banyak penelitian yang menyelidiki pengaruh GTSL terhadap struktur gigi-geligi dan periodontal. Sebagian menyimpulkan bahwa jika dilakukan pemeliharaan periodontal dan oral higiene tingkat-tinggi, GTSL tidak akan mengakibatkan penyakit periodontal. Namun, bukti-buktinya berlawanan. Dalam satu penelitian in vivo terkontrol pada 99 pasien, ditemukan bahwa “Terdapat korelasi yang kuat antara insiden perubahan patologis lokal yang menyertai penggunaan GTSL dengan oral higiene yang buruk.”
Delapan sampai 25 persen abutmen GTSL dinyatakan “goyang” dan 68 persen abutmen mengalami inflamasi periodontal. Dalam penelitian lain yang dilakukan selama 10 tahun, tentang tingkat daya tahan gigi-geligi di sekeliling ruang edentulous yang dirawat dan tidak dirawat, ditemukan bahwa tidak ada hubungan antara tingkat daya tahan gigi tetangga di sekitar ruang edentulous posterior tunggal dengan pemasangan GTSL, dibandingkan dengan jika tidak dilakukan perawatan sama sekali. Jika pasien yang memakai GTSL dukungan-mukosa tidak mampu mempertahankan tingkat oral higiene secara adekuat, akan terjadi kehilangan gigi lebih lanjut. Kehilangan lebih banyak gigi akan memperburuk masalah yang disebabkan oleh LPS.
Manfaat fungsional GTSL masih diperdebatkan karena belum pernah dilakukan penelitian klinis terkontrol-definitif. Kemampuan untuk membuat kesepakatan tentang manfaat dan pengaruhnya berdasarkan data yang ada sekarang, tidak akan sempurna. Sebagian besar bukti berasal dari penelitian korelasional tak-terkontrol yang memiliki bias atau dilakukan pada sampel tertentu. Namun, data terbaru tidak boleh diabaikan karena memberikan informasi yang bermanfaat tentang hasil dan kecenderungan klinis.

Cross-arch splinting
Cross-arch splinting juga digunakan untuk merawat pasien yang didiagnosa mengalami LPS. Oral higiene yang adekuat, dan jumlah gigi abutmen yang cukup berperan penting dalam keberhasilan modalitas perawatan ini [Gambar 5]. Pasien dalam Gambar 5 memakai protesa periodontal sejak lebih dari 20 tahun lalu. Hal ini harus dinyatakan sebagai restorasi yang berhasil. Namun, jika terjadi kegagalan dalam waktu singkat setelah pemasangan restorasi definitif, maka konsekuensinya dinyatakan membahayakan. Karena setiap gigi digabungkan dalam satu protesa, akan terjadi gangguan lokal pada restorasi atau sebagian besar tidak akan berfungsi dengan baik, sehingga harus diganti. Rasio resiko-manfaat restorasi tersebut rendah. Dikatakan bahwa “untuk setiap keunggulan splinting yang ditawarkan, terdapat sekurang-kurangnya satu kelemahan yang harus dapat diterima.”
Gambar 6 menunjukkan pembuatan-ulang protesa yang memanfaatkan dukungan implan gigi. “Kini, teknik baru yang rumit ini telah diperkenalkan, namun konsep diagnosis yang tepat, identifikasi faktor-faktor etiologi, perumusan rencana perawatan dan pembuatan urutan perawatan yang logis tetap berperan penting, sama seperti lima dekade yang lalu.”

Restorasi dukungan-implan
Penggunaan implan gigi osseointegrasi menentang berbagai pedoman empiris yang digunakan sebelumnya. Telah didokumentasikan daya tahan restorasi kantilever yang didukung oleh empat atau lima implan gigi pendek dalam simfisis mandibula. Gigitiruan penuh rahang bawah ini, yang menggantikan 12 sampai 14 gigi dan memiliki kantilever sepanjang 10-15 mm, jelas menentang aturan empiris yang selama ini digunakan dalam kedokteran gigi klinis [Gambar 7]. Era baru dalam kedokteran gigi klinis telah tiba. Dipilih dua pasien untuk menunjukkan perawatan kontemporer kehilangan dukungan posterior.
Pasien dalam Gambar 4 dan 8 memiliki tanda-tanda kardinal LPS. Untuk mengembalikan dukungan posteriornya, dirumuskan rencana perawatan sebagai berikut:
1.Mencabut gigi-geligi yang memiliki prognosis buruk atau tidak dapat dipertahankan lagi
2.Pengangkatan sinus bilateral
3.Penggantian gigi-geligi yang hilang dengan restorasi dukungan-implan

Setelah dilakukan pencabutan gigi-geligi rahang atas dan sebelum penanaman implan gigi, dipasangkan gigitiruan sementara untuk merestorasi gigi-geligi dan mengembalikan dukungan posterior. Tiga implan gigi transisional digunakan sebagai abutmen gigitiruan imediet agar dukungan posterior dapat diperoleh kembali [Gambar 9]. Kontrol penyakit, oklusi, fungsi, fonetik dan estetik pasien dinyatakan stabil. Implan gigi transisional imediet dikeluarkan setelah implan gigi definitif dipasangkan dan mengalami osseointegrasi. Prosedur tambahan berupa pemasangan restorasi sementara-dukungan implan transisional memberikan kenyamanan bagi pasien selama periode osseointegrasi serta meminimalisir resiko beban tak-terkontrol dan pergerakan-mikro implan gigi definitif.

Setelah terjadi osseointegrasi implan definitif, dibuat restorasi sementara indirect untuk mempertahankan dukungan posterior. Restorasi sementara [Gambar 10] memungkinkan dilakukannya evaluasi stabilitas oklusal, fonetik, dan estetik secara obyektif sebelum pembuatan restorasi definitif [Gambar 11]. Perbandingan foto-foto dalam Gambar 10 dan 11 menunjukkan bagaimana tujuan perawatan yang ditetapkan dan diuji menggunakan restorasi sementara diduplikasi dalam restorasi definitif. Dukungan posterior diperoleh kembali dengan bantuan restorasi dukungan-implan.
Pasien dalam Gambar 12 mengalami kehilangan struktur gigi secara patologis, yang mengakibatkan gigitan poterior terganggu dan dimensi vertikal oklusi hilang. Radiograf jelas menunjukkan luasnya kerusakan gigi-geligi [Gambar 12]. Banyak gigi yang telah mengalami kehilangan permukaan gigi secara patologis akibat atrisi dan erosi. Tanda-tanda bruksisme diurnal dan nokturnal terlihat jelas. Kedekatan jarak antara dagu dengan hidung, serta adanya lipatan angular dan angular chelitis memastikan diagnosis kehilangan dimensi vertikal oklusi [Gambar 13].

Untuk mengembalikan dukungan posterior pada pasien ini, diputuskan untuk merestorasi gigi-geligi rahang atas menggunakan restorasi tuang dukungan-gigi, dan pada gigi-geligi rahang bawah dibuatkan restorasi dukungan-implan. Restorasi sementara memungkinkan dilakukannya evaluasi stabilitas oklusal, fonetik dan estetik secara obyektif sebelum pembuatan restorasi definitif. Keputusan untuk segera memasangkan lengkung rahang bawah didasarkan pada kombinasi beberapa faktor [Gambar 14].
Pertama, adanya dokumentasi keberhasilan pemasangan gigitiruan rahang bawah secara imediet. Kedua, karena memakai gigitiruan penuh sebagian yang berantagonis dengan gigitiruan cekat rahang atas, pasien cenderung tidak dapat menerima perawatan dengan baik. Ketiga, pemasangan gigitiruan cekat rahang bawah akan mengatasi dua diagnosis utama pada pasien ini. Dukungan posterior dan dimensi vertikal pasien segera terbentuk kembali. Selama periode osseointegrasi dapat dilakukan pengujian bentuk, fungsi, fonetik, dan estetik restorasi sementara. Kontrol penyakit, oklusi, fungsi, fonetik dan estetik pasien dinyatakan stabil.

Setelah proses osseointegrasi, dilakukan pembuatan restorasi definitif. Radiograf seluruh rongga mulut menunjukkan keharmonisan anatomi dan kesehatan rongga mulut yang optimal [Gambar 15]. Gambar 15 menampilkan bagaimana stabilitas oklusal dan keharmonisan fungsional pada pasien ini terbentuk kembali. Estetik yang adekuat diperoleh kembali secara terkontrol, obyektif dan sesuai harapan [Gambar 16]. Hard occlusal guard dipasangkan untuk melindungi restorasi dari tekanan berlebih akibat bruksisme diurnal dan nokturnal.

PEMBAHASAN

LPS merupakan salah satu gangguan nyata yang seringkali diabaikan. Diagnosis penyakit tersebut ditegakkan berdasarkan tanda-tanda dan gejala klinis kardinal. Meskipun dalam armamentarium kita diperkenalkan peralatan baru [yaitu, implan gigi], prinsip diagnosis dan rencana perawatannya tetap sama. Perawatan LPS masih diperdebatkan dan perawatan yang komprehensif harus menyertakan diagnosis oklusal dan periodontal secara rinci untuk menjamin daya tahan restorasi. Dukungan posterior yang adekuat menjadi salah satu persyaratan untuk memperoleh restorasi anterior yang tahan lama.
Sejak dulu, seringkali terjadi kekeliruan-konsep yang berhubungan dengan efek merugikan kehilangan gigi-geligi posterior terhadap gigi-geligi yang tersisa dan kesehatannya. Diyakini bahwa 80 abnormalitas dental dan medis disebabkan oleh hilangnya gigi-geligi posterior. Kepercayaan bahwa gigi yang hilang mengakibatkan resorpsi lengkung rahang dan hilangnya integritas lengkung rahang, telah dibuktikan dalam literatur dental terbaru. Pada kenyataannya, terlihat bahwa kehilangan gigi-geligi posterior tidak selalu mengakibatkan LPS atau kehilangan integritas oklusal. Tidak semua gigi posterior yang hilang harus diganti untuk menghindari masalah akibat LPS. Khasiat pemendekan lengkung gigi telah dibuktikan. Pemendekan lengkung gigi didefinisikan sebagai gigi-geligi yang mengalami reduksi unit oklusal [pasangan oklusi gigi premolar dan molar] yang dimulai dari bagian posterior. Prevalensi pemendekan lengkung gigi diperkirakan sebanyak 25 persen pada usia 41-45 tahun, dan 70 persen pada usia 61-65 tahun. Pertanyaan tentang fungsi, integritas oklusal, kemampuan adaptif, dan estetik dalam kelompok usia 61-65 tahun telah diungkapkan dan dijawab. Telah dibuktikan bahwa tuntutan fungsional dapat dipenuhi meskipun terjadi kehilangan dukungan molar.
Beberapa penelitian epidemiologi menunjukkan lemahnya korelasi antara kehilangan dukungan molar dengan gangguan fungsi rongga mulut. Dalam lengkung gigi yang pendek dimana terdapat gigi premolar, terdapat kemampuan adaptif yang cukup untuk memperoleh fungsi rongga mulut yang baik. SDA dapat menghasilkan stabilitas oklusal jangka panjang. Estetik juga tidak terganggu oleh kehilangan gigi-geligi posterior. Dalam suatu survei pada pasien yang mengalami pemendekan lengkung gigi, ditunjukkan bahwa pasien semacam ini menilai penampilannya memuaskan.
Keputusan untuk merawat seorang pasien yang mengalami kehilangan gigi-geligi posterior harus didasarkan pada diagnosis dan rencana perawatan yang komprehensif. LPS sebagai hasil diagnosis utama harus diketahui sebelum intervensi dan perawatan dilakukan. Kombinasi penyakit periodontal dan peningkatan beban oklusal, seperti dalam kasus kehilangan banyak gigi, merupakan faktor resiko potensial kehilangan gigi lebih lanjut.


KESIMPULAN DAN SIGNIFIKANSI KLINIS
Dalam mempertimbangkan atau melaksanakan berbagai tipe prosedur restorasi estetik, dibutuhkan diagnosis dan rencana perawatan yang komprehensif. Yaitu, menganalisis sistem stomatognatik secara keseluruhan dan cermat, terutama pada dukungan posterior.

Read more...

12 August 2009

Komplikasi Langka Akibat Pembedahan Gigi Molar Tiga

Tujuan: Pencabutan gigi molar tiga merupakan prosedur pembedahan yang sering dilakukan. Komplikasi yang umum terjadi akibat pembedahan gigi molar tiga telah diketahui dan dijelaskan kepada pasien selama proses informed consent. Dokter gigi umum, serta dokter bedah mulut dan maksilofasial, harus mengetahui semua komplikasi yang mungkin terjadi. Tinjauan sistematis ini berperan sebagai pengingat komplikasi-komplikasi yang jarang terjadi dalam prosedur rutin tersebut. Bahan dan Metode: Penelitian dilakukan menggunakan pencarian sistematis dalam database elektronik Medline dan Cochrane Library, serta pencarian kata kunci, referensi, dan tinjauan tentang bidang yang relevan. Kata kunci yang digunakan antara lain third molar, wisdom tooth, complications, unusual, dan rare. Referensi dari artikel-artikel relevan juga diperiksa-ulang. Penelitian ini dibatasi hanya untuk artikel berbahasa Inggris atau Jerman yang diterbitkan dalam 18 tahun terakhir. Hasil: Komplikasi yang telah diketahui dan umum ditemukan antara lain kerusakan saraf permanen dan fraktur mandibular immediate atau late. Ditemukan 24 komplikasi lainnya dalam 22 artikel. Diantaranya adalah proses inflamasi, pembentukan abses, dan pergeseran gigi atau instrumen. Satu kasus mendeskripsikan kematian asfiksial akibat hematoma pasca-pencabutan, perdarahan hebat, abses otak, abses epidural, benign paroxysmal positional vertigo, emfisema ruang jaringan dan subkutan, empiema subdural, dan sindrome herpes zoster. Kesimpulan: Untuk melakukan perawatan pasien dengan baik, kita harus mengetahui berbagai komplikasi yang mungkin terjadi. Komplikasi yang langka harus diketahui sejak dini sehingga terapi yang adekuat dapat segera dilakukan.
Kata kunci: efek samping, komplikasi, ekstraksi, langka, pencabutan, molar tiga, tidak biasa/unusual, wisdom tooth/gigi bungsu.
Sumber: Quintessense Int 2009; 40: 565-572.


Pembedahan gigi molar tiga merupakan salah satu prosedur yang umum dilakukan dalam praktek bedah mulut dan maksilofasial. Namun, pencabutan gigi molar tiga membutuhkan perencanaan yang akurat dan ketrampilan bedah. Dari prosedur pembedahan secara umum, kita mengetahui bahwa komplikasi mungkin saja terjadi. Dalam literatur, diungkapkan frekuensi komplikasi setelah pencabutan gigi molar tiga berkisar antara 2,6 sampai 30,9%. Spektrum komplikasi berkisar antara efek samping yang tak-berbahaya [nyeri dan pembengkakan] sampai kerusakan saraf, fraktur mandibula, dan infeksi yang membahayakan. Biasanya, komplikasi minor didefinisikan sebagai komplikasi yang dapat pulih tanpa perawatan. Komplikasi utama didefinisikan sebagai komplikasi yang membutuhkan perawatan lebih lanjut dan menimbulkan akibat-akibat ireversibel.
Meskipun impaksi gigi molar tiga tidak menimbulkan gejala, namun dapat menjadi penyebab satu atau beberapa gangguan. Komplikasi minor pra-operatif antara lain, nyeri, perikoronitis, penyakit periodontal pada gigi molar dua, resorpsi mahkota atau akar gigi molar dua, karies pada gigi molar tiga atau dua, gejala gangguan sendi temporomandibula, dan pembengkakan pra-operatif. Komplikasi utama dalam kasus ini adalah pembentukan abses, fraktur spontan pada mandibula, dan kista atau tumor odontogenik. Gangguan pra-operatif yang sering ditemukan adalah perikoronitis. Banyak penelitian terbaru yang mencoba mengidentifikasi faktor resiko komplikasi intra dan/atau post-operatif. Komplikasi intra dan post-operatif serta efek samping yang umum terjadi akibat pencabutan gigi molar tiga diringkas dalam Tabel 1. Dokter gigi umum, dan dokter bedah mulut dan maksilofasial, harus mengetahui semua komplikasi yang mungkin terjadi. Di sisi lain, edukasi dan pemberitahuan kepada pasien juga bermanfaat; komplikasi yang jarang terjadi juga harus diketahui sejak dini untuk memperoleh terapi yang adekuat.
Dalam penelitian ini, suatu komplikasi dinyatakan langka atau jarang terjadi jika insidennya terhitung kurang dari 1%. Tujuan penulisan tinjauan sistematis ini adalah untuk mengingatkan para praktisi tentang komplikasi-komplikasi langka yang disebabkan oleh pembedahan gigi molar tiga.

BAHAN DAN METODE
Penelitian-penelitian ditelusuri menggunakan pencarian sistematis database elektronik dalam Medline dan Cochrane Library antara tahun 1990 sampai 2008. Selain itu, dilakukan pencarian manual kata kunci, referensi, dan artikel yang berhubungan dengan bidang ini. Kata kunci yang digunakan antara lain third molar, wisdom tooth, complications, unusual, dan rare.
Data diikutsertakan jika memenuhi kriteria berikut ini:
1.Penelitian membahas tentang komplikasi intra- atau post-operatif dalam pencabutan gigi molar tiga
2.Tanggal publikasi berkisar antara tahun 1990 sampai 2008.
3.Artikel dipublikasikan dalam bahasa Inggris atau Jerman.
Untuk mengumpulkan semua penelitian yang relevan, dilakukan pemeriksaan-ulang referensi dari penelitian-penelitian yang ditemukan.

HASIL

Ditemukan banyak penelitian yang menyelidiki tentang perlukaan saraf lingual dan alveolaris inferior permanen serta fraktur mandibula selama dan setelah pencabutan gigi molar tiga rahang bawah. Dua puluh tiga artikel mendeskripsikan komplikasi berbeda dengan yang disebutkan di atas, insiden yang langka namun telah dikenal dengan baik. Yang termasuk dalam komplikasi tersebut adalah proses inflamasi, pembentukan abses yang langka, dan pergeseran gigi-geligi. Uraiannya ditampilkan dalam Tabel 2. Semuanya digolongkan sebagai komplikasi mayor.
Satu laporan kasus mendeskripsikan insiden-insiden ekstrim: kematian asfiksial akibat hematoma pasca-pencabutan, perdarahan parah, benign paroxysmal positional vertigo, empiema subdural, dan sindrom herpes zoster. Laporan kasus tersebut diuraikan dalam Tabel 3.
Usia rata-rata pasien dalam ke-24 kasus tersebut adalah 28 [SD 12,8] tahun. Dalam sebagian besar kasus, komplikasi terjadi setelah pencabutan gigi molar tiga rahang bawah. Dalam hampir semua kasus, dibutuhkan pembedahan kedua. Untuk mencari penyebab komplikasi dalam semua kasus, diperlukan computed tomography [CT] atau magnetic resonance imaging [MRI]. Dalam sebagian besar kasus, prosedur pembedahan pertama dinyatakan rumit, dan perawatannya dianggap ekstensif atau lama.

PEMBAHASAN
Kerusakan saraf permanen

Kerusakan saraf alveolaris inferior atau lingual permanen sangat jarang terjadi namun merupakan salah satu resiko yang umum diketahui dalam pembedahan gigi molar tiga. Perlukaan saraf alveolaris inferior atau lingual selama pencabutan gigi molar tiga rahang bawah merupakan penyebab utama tuntutan hukum dalam kedokteran gigi. Kedekatan anatomis saraf-saraf tersebut dengan gigi molar tiga membuatnya beresiko mengalami kerusakan. Insiden komplikasi langka ini bervariasi dalam setiap penelitian dan sulit untuk ditentukan dengan pasti karena populasi penelitian kecil. Insiden lesi saraf alveolaris inferior permanen berkisar antara 0% smapai 0,9%. Jumlah komplikasi untuk perlukaan saraf lingual sementara adalah 0,4% dan lebih rendah untuk perlukaan saraf lingual permanen.

Fraktur mandibula
Fraktur mandibula immediate atau late jarang terjadi namun tergolong sebagai komplikasi utama. Komplikasi tersebut terjadi jika tulang tidak cukup kuat untuk menahan tekanan yang digunakan. Berkurangnya kekuatan tulang dapat disebabkan oleh atrofi fisiologis, osteoporosis, atau proses patologis, dapat juga terjadi akibat pembedahan. Tidak ada data valid tentang insiden, dan faktor resikonya belum dipahami dengan jelas. Libersa dkk, menemukan insiden sebesar 0,0049%. Dalam penelitian Arrigoni dan Lambrecht yang menganalisis 3,980 pencabutan gigi molar tiga, ditemukan angka komplikasi sebesar 0,29%. Insiden tertinggi terjadi pada pasien berusia 25 tahun, dengan usia rata-rata 40 tahun. Karena memiliki tekanan mastikasi yang lebih besar, pria cenderung mengalami late fracture. Fraktur intraoperatif terjadi akibat instrumentasi yang tidak tepat dan tekanan yang berlebihan pada tulang. Sebagian besar late fracture terjadi selama proses pengunyahan, 13 sampai 21 hari setelah pembedahan. Selama periode tersebut, jaringan granulasi tergantikan oleh jaringan ikat dalam soket alveolar.

Proses inflamasi dan pembentukan abses yang langka
Dalam laporan kasus, dibahas tentang perluasan proses inflamasi sampai ke regio atipikal otak dan regio servikal. Dalam 1 kasus, ditemukan abses superiosteal orbit pada seorang pria berusia 57 tahun setelah pencabutan gigi molar tiga kiri rahang atas yang baik; hal ini disebabkan oleh penyebaran infeksi melalui regio pterigopalatina dan infratemporal ke siffura orbit inferior. Artikel lain menyajikan kasus empiema subdural dan sindrom herpes zoster [Hunt syndrome]. Dalam kasus tersebut, seorang pria berusia 24 tahun menjalani pencabutan keempat gigi molar tiganya. Abses terbentuk dalam ruang pterigomandibular dan submasseter, dan menyebar ke fossa infratemporal. Meskipun dilakukan terapi antibiotik dan drainase, pasien mengalami sakit kepala frontal parah dan muntah, serta memiliki skor Glasgow coma 13. MRI menunjukkan penyumbatan subdural dalam regio temporoparietal. Pasien menjalani kraniotomi darurat dan drainase subdural.
Burgess melaporkan suatu kasus abses epidural pada seorang wanita berusia 20 tahun setelah pencabutan gigi molar tiga. Pada awalnya, pasien didiagnosa mengalami keseleo leher muskuloskeletal akibat postur selama pembedahan. Tiga hari kemudian, pasien mengalami nyeri leher parah pada sisi kanan dan mati rasa pada lengan kanan. Sembilan hari setelah pembedahan, dalam MRI terlihat abses epidural pada sisi kanan vertebra C4/C5. Dalam kasus lainnya, terbentuk abses otak setelah pencabutan gigi molar tiga pada seorang pria berusia 26 tahun. Pasien membutuhkan bedah-saraf segera dan perawatan antibiotik selama 8 minggu.

Pergeseran gigi molar tiga dan instrumen
Pergeseran gigi molar tiga yang impaksi, atau fragmen gigi, mahkota atau seluruh gigi secara tidak sengaja, jarang terjadi selama pencabutan, namun hal ini merupakan komplikasi yang telah diketahui dan sering disebutkan. Informasi tentang insiden dan penatalaksanaan komplikasi ini masih kurang. Biasanya terjadi jika gigi terletak lebih ke lingual, plat kortikal lingual terfenestrasi, dan jika teknik pembedahannya kurang adekuat. Jika sebuah fragmen akar “hilang” saat pencabutan, sebaiknya tidak dilakukan usaha untuk mengeluarkannya. Segera rujuk ke dokter spesialis.
Kemungkinan lain pergeseran gigi molar tiga rahang atas adalah luksasi ke dalam fossa infratemporal. Laporan lain mendeskripsikan pergeseran gigi molar tiga ke dalam ruang submandibular, sublingual, pterigomandibular, faringeal lateral, atau daerah servikal lateral. Dalam 1 kasus, gejala dimulai setelah 2 bulan. Pasien mengalami pembengkakan ifnlamasi rekuren pada ruang submaksila kanan. Selama 14 bulan, klinisi yang sama memberikan antibiotik. Setelah dilakukan prosedur pencitraan dan pembedahan ekstensif, gigi ditemukan di balik otot platysma.
Satu laporan menemukan benda asing. Seorang wanita berusia 35 tahun mengalami trismus, pembengkakan, dan nyeri parah, 3 minggu setelah pencabutan gigi molar tiga rahang bawah. Ditemukan bur intan 20 mm dalam ruang submandibula.

Komplikasi langka lainnya
Gangguan jalan napas dideskripsikan oleh Moghadam dan Caminiti. Seorang pria berusia 32 tahun mengalami pembengkakan palatum lunak akibat perdarahan post-ekstraksi setelah pencabutan gigi molar tiga kanan rahang atas dan kedua gigi molar tiga rahang bawah di tempat praktek klinisi pada hari yang sama. CT menunjukkan adanya hematoma dalam ruang submandibula dan faringeal lateral yang mengakibatkan deviasi orofaring dan konstriksi jalan napas di sekitar orofaring. Pasien harus diintubasi selama 2 hari serta diberi antibiotik dan steroid dosis tinggi.
Terdapat 1 laporan kematian akibat asfiksiasi yang disebabkan oleh hematoma post-ekstraksi pada seorang wanita berusia 71 tahun. Gangguan pernapasan terjadi 12 jam setelah perawatan. Hematoma terjadi dalam ruang submandibula, lingual dan bukal yang mengakibatkan penyempitan orofaring.
Algoritma penatalaksanaan perdarahan intraoral akut seharusnya dapat mengingatkan klinisi bahwa perdarahan intra ataupun post-operatif merupakan salah satu komplikasi dimana seorang klinisi harus mulai melakukan penatalaksanaannya. Keterlibatan jalan napas sampai ke paru-paru dideskripsikan dalam beberapa kasus, satu kasus pneumothorax bilateral setelah pencabutan gigi molar tiga kiri rahang bawah pada seorang pria berusia 45 tahun. Dan, terdapat 3 kasus empisema. Dalam 2 kasus tersebut, digunakan handpiece dental turbin-udara. Satu kasus mendeskripsikan benign positional paroxysmal vertigo setelah pencabutan semua gigi molar tiga. Mengenali empisema mediastinal setelah pencabutan sulit dilakukan karena tidak ada gejala dan tanda-tanda klinis yang absolut.

Usia
Meskipun pembedahan gigi molar tiga umum dilakukan, prosedur tersebut tidak selalu lancar. Meskipun gigi molar tiga dianjurkan untuk dicabut pada usia remaja dan dewasa muda, sebagian besar laporan kasus mendeskripsikan komplikasi parah terjadi jika pencabutan dilakukan pada usia lanjut. Kecenderungan usia tersebut seringkali dideskripsikan sebagai salah satu faktor resiko komplikasi pasca-pencabutan. Faktor-faktor yang menyebabkan fenomena tersebut antara lain peningkatan densitas tulang, kesulitan pembedahan yang tinggi, pembentukan akar telah sempurna, dan berkurangnya kemampuan penyembuhan luka. Oleh karena itu, klinisi harus sangat berhati-hati menangani pasien lanjut usia.

KESIMPULAN
Pencabutan gigi molar tiga rahang bawah memiliki angka komplikasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan rahang atas. Pasien lanjut usia beresiko tinggi. Untuk menegakkan diagnosis dan memulai perawatan lebih lanjut, dibutuhkan pencitraan radiologis berupa CT atau MRI. Harus disadari adanya berbagai kemungkinan komplikasi parah dan diperlukan penatalaksanaan segera untuk mengoptimalkan perawatan pasien.

Read more...

06 August 2009

Pengaruh Larutan Kumur Terhadap Stabilitas Warna Komposit Resin

Abstrak
Tujuan: Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengevaluasi pengaruh tiga larutan kumur komersil terhadap stabilitas warna 4 jenis bahan restoratif komposit resin-based.
Metode: Dibuat 40 spesimen berbentuk cakram [10 x 2 mm] yang masing-masing terbuat dari: Komposit nanofil Filtek Supreme XT [3M/ESPE, St. Paul, MN, AS]; packable low-shrinkage compsite, AeliteLS Packable [BISCO, Inc, Shaumburg, IL, AS]; komposit resin nano-keramik Ceram-X [Dentsply, Konstanz, Jerman]; komposit mikro-hibrid, dan Aelite All-Purpose Body [BISCO]. Kemudian, spesimen diinkubasi dalam air suling dalam suhu 37oC selama 24 jam. Nilai warna awal [baseline] [L*, a*, b*] setiap spesimen diukur menggunakan kolorimeter berdasarkan skala warna CIELAB. Setelah pengukuran warna awal, 10 spesimen yang dipilih secara acak dari setiap kelompok direndam dalam salah satu dari 3 larutan kumur dan air suling sebagai kontrol. Spesimen direndam dalam 20 mL setiap jenis larutan kumur [Oral B bebas-alkohol, Listerine Tooth Defense Anti-cavity Fluoride Rinse dan Klorhex] selama 12 jam. Setelah proses perendaman, nilai warna semua spesimen diukur kembali, dan dilakukan penghitungan perubahan nilai warna E*ab. Data dianalisis menggunakan analysis of variance 2-arah dengan tingkat signifikansi 0.05.
Hasil: Semua spesimen mengalami perubahan warna setelah perendaman, dan diperoleh selisih yang signifikan secara statistik antar bahan restoratif dan larutan kumur [P < 0.05]; namun, perubahan tersebut tidak tampak secara visual [E*ab < 3,3]. Interaksi antara pengaruh larutan kumur dan tipe bahan restoratif dinyatakan tidak signifikan secara statistik [P > 0.05].
Kesimpulan: Dapat disimpulkan, meskipun tidak tampak secara visual, semua bahan restorati resin yang diuji mengalami perbedaan warna setelah proses perendaman dalam berbagai jenis larutan kumur.

Kata Kunci: Larutan kumur, komposit resin, warna
Sumber: Eur J Dent, 2008; 2: 247-253.


PENDAHULUAN

Bahan restoratif sewarna-gigi telah banyak digunakan untuk memenuhi permintaan estetik pasien dalam praktek kedokteran gigi. Di pasaran dental, terdapat berbagai tipe resin komposit yang memiliki karakteristik fisik berbeda-beda, dan diklasifikasikan berdasarkan ukuran partikel, bentuk, dan distribusi filler. Sejak nano-teknologi diperkenalkan dalam kedokteran gigi, dikembangkan filler nano-komposit yang ukurannya berkisar antara 0,01 sampai 0,04 mm. Nano-komposit memiliki berbagai keunggulan, seperti penyusutan saat polimerisasi [polimerization shrinkage] kurang, memiliki sifat mekanis, karakteristik optik, dan retensi permukaan yang baik. Resistensi nano-komposit terhadap keausan terbukti sama atau lebih unggul dibandingkan komposit resin microfill dan mikro-hibrid.
Komposit nano-keramik, ceramic-based yang dimodifikasi secara organis juga dikembangkan menggunakan teknologi serupa. Bahan tersebut mengandung nanofiller yang mengandung silikon-dioksida metakrilat-termodifikasi dan matriks resin digantikan dengan suatu matriks yang penuh dengan partikel polisiloxane metakrilat-termodifikasi yang mudah terurai. Baru-baru ini, diperkenalkan komposit low-shrinkage yang memiliki polimerization shrinkage rendah untuk digunakan dalam klinik. Bahan tersebut memiliki modulus elastisitas yang tinggi karena memiliki kandungan filler yang banyak.
Diskolorisasi bahan resin-based sewarna-gigi dapat disebabkan oleh beberapa faktor intrinsik dan ekstrinsik. Faktor-faktor intrinsik yang berperan dalam diskolorisasi bahan resin itu sendiri, antara lain perubahan matriks resin dan interfase matriks dengan filler. Matriks resin dilaporkan memiliki stabilitas warna yang kritis, dan staining disebabkan oleh kandungan resin dan absorpsi air yang tinggi. Pencocokan warna berperan penting untuk memperoleh hasil yang baik. Namun, diskolorisasi resin komposit dapat terjadi dari waktu ke waktu, dan perubahan warna yang merugikan tersebut dapat mengakibatkan penggantian restorasi.
Faktor-faktor ekstrinsik diskolorisasi komposit resin antara lain staining akibat adsorpsi atau absorpsi bahan pewarna dari sumber-sumber eksogen, seperti kopi, teh, nikotin, minuman ringan, dan larutan kumur.
Penggunaan larutan kumur antimikroba merupakan salah satu cara untuk mengurangi akumulasi plak gigi, tujuan utamanya adalah mengendalikan perkembangan penyakit periodontal dan karies gigi. Namun, penggunaan larutan kumur secara rutin menimbulkan efek yang merugikan bagi rongga mulut dan jaringan gigi-geligi. Meskipun penggunaan larutan kumur semakin bertambah, penelitian yang membandingkan perubahan warna komposit resin dengan penggunaan larutan kumur masih terbatas. Pengaruh larutan kumur yang mengandung-alkohol, -klorheksidin glukonat, dan larutan kumur hibrid terhadap stabilitas warna bahan resin komposit microhybrid, kompomer dan glass ionomer pernah dievaluasi dalam penelitian terdahulu. Namun, menurut sepengetahuan kami, belum ada penelitian yang membandingkan pengaruh larutan kumur komersil terhadap bahan komposit resin yang baru dikembangkan.
Diskolorisasi dapat dievaluasi menggunakan berbagai teknik dan instrumen. Untuk menilai perbedaan kromatik, dalam penelitian ini digunakan sistem Commission Internationale de l’Eclairage [CIE L*, a*, b*]. Menurut sistem ini, L* menunjukkan lightness [penerangan] sampel, a* mendeskripsikan aksus hijau-merah [-a=hijau;+a=merah] dan b* mendeskripsikan aksis biru-kuning [-b=biru; +b=kuning]. Dapat juga dilakukan kalkulasi perubahan warna total [E*ab], yang menunjukkan perubahan L*, a*, dan b*. Berbagai penelitian memiliki nilai ambang perbedaan warna yang berbeda-beda sesuai dengan penampakannya pada mata manusia. Namun, nilai perubahan warna bahan-bahan dental yang dapat diterima secara klinis adalah E*ab < 3,3.
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengevaluasi pengaruh larutan kumur yang mengandung alkohol, bebas-alkohol, dan klorheksidin glukonat terhadap stabilitas warna bahan komposit resin nanofill, packable low-shrinkage, nanoceramic dan microhybrid. Hipotesis null yang diuji dalam penelitian ini adalah bahwa penggunaan larutan kumur setiap hari mempengaruhi kemampuan pewarnaan komposit resin dan perbedaan warnanya dapat dilihat.

BAHAN DAN METODE

Bahan restoratif yang digunakan dalam penelitian ini antara lain komposit nanofill, Filtek Supreme XT; komposit packable low-shrinkage, yaitu AeliteLS Packable; resin komposit nanoceramic Ceram-X; dan komposit microhybrid, Aelite All-Purpose Body berwarna A2 [Tabel 1]. Dibuat 40 spesimen berbentuk-cakram dari setiap bahan restoratif, diameternya 10 mm dan ketebalannya 2 mm, dalam cincin politetrafluoroetilen yang dilapisi dengan matriks seluloid dan glass slide. Resin komposit dipolimerisasi menggunakan unit LED [Elipar Freelight 2, 3M ESPE, St. Paul, MN, AS] dalam mode standar [20 detik] selama 2 siklus dengan intensitas sinar sebesar 400 mW/cm2 pada permukaan atas dan bawah spesimen. Output curing unit diperiksa menggunakan radiometer [Kerr, Demetron, Orange, CA, AS]. Jarak antara sinar dengan spesimen distandardisasi menggunakan glass slide setebal 1 mm. Setelah polimerisasi, permukaan atas spesimen diasah menggunakan kertas carbide silikon 1200-grit dan air mengalir.
Spesimen diinkubasi dalam air suling dalam suhu 37oC selama 24 jam. Kemudian, dilakukan pengukuran nilai warna awal [baseline] [L*, a*, b*] setiap spesimen menggunakan kolorimeter [Minolta Chroma Meter CR-321, Minolta Co, Osaka, Jepang] dengan latar belakang berwarna putih. Kualitas warna diperiksa menggunakan sistem Commission Internationale de l’Eclairage [CIE Lab] sebagai nilai tristimulus dan dilaporkan sebagai perbedaan warna [L*, a*, b*] yang dibandingkan dengan kondisi standar.
Sebelum setiap grup spesimen diukur, kolorimeter dikalibrasi menggunakan kartu putih standar. Pengukuran diulangi sebanyak tiga kali pada setiap sampel dan nilai rata-ratanya dihitung.
Grup perlakuan adalah larutan kumur komersil [Oral B bebas-alkohol, Listerine Tooth Defense Anti-cavity Fluoride Rinse, Klorhex] dan air suling sebagai kontrol [Tabel 2]. Empat puluh spesimen yang terbuat dari setiap grup bahan restoratif dikelompokkan secara acak menjadi 4 subgrup [n = 10], dan setiap subgrup direndam dalam 20 mL setiap jenis larutan kumur selama 12 jam, yang dinyatakan sama dengan 2 laruta kumur per hari selama 1 tahun. Selama penelitian berlangsung, spesimen disimpan dalam suhu 37oC, dan larutan uji dikocok setiap 3 jam agar diperoleh homogenitas. Pada akhir periode pengujian, spesimen diambil dan direndam dalam air suling. Setelah proses perendaman, nilai warna setiap spesimen diukur kembali, dan dilakukan penghitungan perubahan nilai warna E*ab menggunakan rumus berikut ini:
E*ab = [(L*)2 + (a*)2 + (b*)2]1/2
dimana L* adalah lightness/ penerangan; a* adalah hijau-merah [-a=hijau; +a=merah] dan b* adalah biru-kuning [-b=biru; +b=kuning].
Analisis statistik dilakukan menggunakan analysis of variance 2-arah dan Tukey’s HSD [Honestly Significant Differences] dengan tingkat signifikansi 0.05.

HASIL

Tabel 3 dan Gambar 1 menunjukkan nilai mean dan standar deviasi nilai perubahan warna E*ab bahan restoratif setelah direndam dalam 3 jenis larutan kumur dan air suling sebagai kontrol.
Semua sampel menunjukkan perubahan warna setelah proses perendaman, dan diperoleh selisih yang signifikan secara statistik antar bahan restoratif dan larutan kumur [P < 0.05]; namun, interaksi antara pengaruh larutan kumur dengan tipe bahan restoratif dinyatakan tidak signifikan secara statistik [P > 0.05] [Tabel 4]. Bahan restoratif nanoceramic, yaitu spesimen Ceram-X memiliki nilai E*ab tertinggi dibandingkan dengan bahan restoratif uji lainnya, dan diperoleh selisih yang signifikan antara nilai E*ab Ceram-X dengan Filtek Supreme XT, Aelite LS Packable, dan All-Purpose Body [P = 0.014]. Analysis of variance 2-arah juga menunjukkan selisih yang signifikan antara nilai E*ab antar larutan kumur [P = 0.046]. Tukey honestly signifikan difference post-hoc menyatakan bahwa selisih nilai E*ab grup kontrol dengan grup Oral B dinyatakan signifikan secara statistik [P = 0.04]. Tidak ditemukan selisih yang signifikan secara statistik antar larutan kumur [Listerine, Oral B bebas-alkohol, Klorhex] dalam Grup kontrol/Listerine dan Kontrol/Klorhex [P > 0.05].
Dalam penelitian ini, nilai E*ab < 3,3 dinyatakan tampak secara visual dan tidak menguntungkan secara klinis. Dalam grup Ceram-X, spesimen yang direndam dalam larutan kumur Oral B dan Klorhex memiliki nilai E*ab yang lebih tinggi dibandingkan dengan larutan lainnya. Meskipun hasil tersebut dapat tampak secara visual, nilai E*ab yang diperoleh mendekati angka 3,3. Selain itu, dalam grup lainnya nilai rata-rata E*ab yang diperoleh kurang dari 3,3, dan perbedaannya tidak tampak secara visual.

PEMBAHASAN
Penelitian ini mengevaluasi pengaruh tiga larutan kumur komersil terhadap stabilitas warna empat jenis bahan restoratif komposit resin-based. Berdasarkan hasil penelitian ini, hipotesis null yang diuji hanya diterima sebagian saja, karena penggunaan larutan kumur setiap hari meningkatkan kemampuan pewarnaan komposit resin meskipun perubahan warnanya tidak tampak secara visual.

Villalta dkk, membuktikan bahwa pH rendah dan larutan yang mengandung alkohol dapat mempengaruhi integritas permukaan resin komposit dan menyebabkan staining. Dalam penelitian ini, diperoleh selisih perubahan nilai warna yang signifikan secara statistik antara larutan kumur bebas-alkohol, Oral B dan air suling, namun perbedaan tersebut tidak tampak secara visual. Konsentrasi alkohol [21,6%] dan nilai pH [4,5] Listerine sangat tinggi, namun stabilitas warna bahan resin tidak dipengaruhi oleh faktor tersebut, dan tidak ada perbedaan yang signifikan antara larutan kumur yang diuji. Asmussen melaporkan bahwa larutan kumur yang mengandung alkohol tinggi dapat melunakkan bahan resin komposit. Etanol memiliki efek pelunakan terhadap polimer BIS-GMA-based. Gurgan dkk, menunjukkan bahwa berapapun konsentrasi alkoholnya, larutan kumur yang mengandung- atau bebas-alkohol dapat mempengaruhi kekerasan bahan restorasi resin.

Pengaruh larutan staining terhadap perubahan warna resin komposit tergantung pada jenis bahannya, dan kerentanan staining bahan restorasi dipengaruhi oleh matriks resin atau tipe filler-nya. Scotti dkk, menunjukkan bahwa tipe bahan berperan penting dalam resistensi stain. Berdasarkan hasil penelitian ini, diperoleh selisih yang signifikan secara statistik antara Ceram-X dengan komposit resin lainnya. Komposit resin nanoceramic, yaitu Ceram-X, memiliki nano-partikel keramik yang dimodifikasi secara organis [ormocer] dan glass filler [1,1-1,5 mm]. Berbeda dengan polimer konvensional, ormocer memiliki rantai anorganik yaitu, silikon dioksida yang dapat difungsionalisasi menggunakan polymerizable organic unit untuk membentuk kompound polimer 3-dimensi. Konsentrasi filler Ceram-X adalah 76% berdasarkan berat dan 57% berdasarkan volume. Menurut data dari pabrik, partikel nanoceramic adalah partikel hibrid organik-anorganik. Partikel nanoceramic dan nanofiller memiliki grup metakrilat yang dapat dipolimerisasi. Selain itu, Ceram-X tidak mengandung trietilen glikol dimetakrilat. Penelitian ini menunjukkan bahwa Ceram-X mengalami perubahan warna terbesar dan perubahan tersebut diduga disebabkan oleh perbedaan struktural tersebut.

Dalam penelitian terdahulu, Jung dkk, menunjukkan bahwa Ceram-X tidak memiliki kualitas permukaan yang lebih baik dibandingkan dengan komposit nanofill lainnya, yaitu Filtek Supreme dan Tetric Evoceram. Perbedaan tersebut disebabkan oleh kandungan filler volumetrik bahan yang rendah dan porositas yang dideteksi pada spesimen Ceram-X. Permukaan yang kasar terbukti dapat meretensi stain secara mekanis, dibandingkan dengan permukaan yang halus. Dalam berbagai penelitian, diskolorisasi dinyatakan dapat diterima jika nilai E*ab = 3,3, yang dinyatakan sebagai batas atas akseptabilitas/penerimaan evaluasi visual. Potensi staining berbagai jenis larutan kumur pada jaringan keras gigi dan jaringan lunak telah diketahui. Dan, potensi staining larutan kumur dievaluasi pada berbagai jenis bahan restorasi. Gurdal dkk, menunjukkan bahwa pengaruh larutan kumur terhadap stabilitas warna sama dengan pengaruh air suling. Lee dkk, menemukan bahwa meskipun tidak tampak secara visual, larutan kumur dapat mempengaruhi stabilitas warna. Dalam penelitian ini, tidak satupun bahan restoratif kekurangan stabilitas warna dan menunjukkan diskolorisasi yang tampak secara visual setelah periode perendaman.
Karena pengaruh larutan kumur sama dengan air suling, dalam penelitiannya, Geutsen dkk, menyatakan bahwa komponen air dalam larutan kumur mungkin mempengaruhi perubahan warna dan kekerasan-mikro [microhardness]. Dalam penelitian ini, tidak diperoleh perbedaan yang signifikan secara statistik antara larutan kumur dengan air suling, kecuali pada Oral-B.
Dalam kondisi klinis, bagaimana perbedaan pengaruh larutan kumur terhadap bahan restorasi estetik tergantung pada berbagai faktor yang tidak dapat disimulasikan secara in vitro. Saliva, pelikel saliva, makanan, dan minuman ringan mempengaruhi stabilitas warna bahan restorasi resin. Dibutuhkan penelitian in vivo lebih lanjut untuk mengetahui potensi staining berbagai jenis larutan kumur.

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian ini, pengaruh larutan kumur terhadap perubahan warna bahan dinyatakan tidak berbeda dengan larutan kontrol. Semua bahan restorasi resin mengalami perubahan warna setelah direndam dalam larutan uji namun perbedaan tersebut tidak tampak secara visual. Namun, penelitian selanjutnya sebaiknya mempertimbangkan periode perendaman yang lebih lama. Dalam keterbatasan penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa perendaman restorasi sewarna-gigi dalam berbagai larutan akan menimbulkan efek samping pada bahan-bahan tersebut.

Read more...

Pemeriksaan Kualitatif Lesi Servikal Non-Karies Pada Gigi Manusia Yang Telah Dicabut

Abstrak
Latar Belakang: Terdapat berbagai opini tentang lesi servikal non-karies [NCCL]. Antara lain, akibat abrasi sikat gigi, korosi asam [yang umum disebut sebagai korosi gigi], dan abfraksi. Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk menyelidiki seluk-beluk microwear NCCL dalam sekumpulan gigi manusia yang telah dicabut, menggunakan scanning mikroskop elektron [SEM].
Metode: Replika negatif NCCL besar pada 24 gigi manusia yang telah dicabut dipendam dalam bahan cetak polivinylsiloxane [Light Body Imprint II, 3M, ESPE] dan diamati menggunakan SEM.
Hasil: Semua NCCL ditemukan mulai dari batas cemento-enamel junction sampai permukaan akar dan memiliki berbagai macam tampilan wedge-shape [berbentuk-baji]. Ditemukan abrasi dan korosi pada 18 dari 24 gigi [75 persen], abrasi hanya ditemukan pada satu gigi [4,2 persen] dan korosi ditemukan pada lima gigi [20,8 persen]. Galur-galur horisontal bertepi halus dan tanda gores minor, yang merupakan karakteristik abrasi dan korosi, ditemukan pada 13 gigi [54,2 persen].
Kesimpulan: Berdasarkan pada pemeriksaan mikroskopik sampel gigi yang telah dicabut, terlihat bahwa abrasi dan korosi adalah faktor etiologi yang umum ditemukan dalam pembentukan NCCL.
Kata Kunci: Abrasi, erosi, abfraksi, scanning mikroskop elektron.
Sumber: Australian Dental Association, 2008; 53: 46-51.


PENDAHULUAN

Istilah lesi servikal non-karies [non-carious cervical lesion/NCCL] merujuk pada hilangnya struktur gigi pada batas cemento-enamel junction [CEJ] gigi akibat proses keausan yang tidak berhubungan dengan aksi bakteri. NCCL memiliki berbagai bentuk, seperti groove dangkal, lesi berbentuk-cawan [saucer-shaped], dan lesi berbentu-baji [wedge-shaped] yang luas. Dilaporkan bahwa NCCL menyerang 85 persen individu, dimana prevalensi dan keparahannya meningkat seiring dengan usia. NCCL yang luas dan dentin yang terbuka dapat menyebabkan hipersensitivitas dentin, dan meningkatkan resiko terbukanya pulpa atau fraktur gigi.
Terdapat banyak teori tentang etiologi NCCL, seperti abrasi sikat gigi, korosi [yang umum disebut korosi gigi], dan abfraksi, hal ini menyebabkan kekeliruan penatalaksanaannya. Pilihan perawatan yang dianjurkan antara lain pengawasan, restorasi adhesif, modifikasi diet, prosedur pembersihan gigi, dan penyesuaian oklusal untuk mencegah perkembangan lebih lanjut. Abrasi sikat gigi dinyatakan sebagai salah satu penyebab NCCL sejak pertengahan abad-20, namun McCoy menyatakan bahwa bruksisme memiliki peran etiologi utama. Hipotesis abfraksi menyatakan bahwa tekanan tensile yang terkonsentrasi pada regio servikal gigi, akibat beban oklusal tinggi yang menyebabkan fleksi cusp, sehingga terbentuk retakan-mikro pada servikal karena ikatan antara kristal hidroksiapatit dengan email dan dentin rusak. Kemudian, retakan tersebut diduga meningkatkan kerentanan terhadap abrasi dan korosi. Namun, kita masih kekurangan bukti-bukti klinis yang meyakinkan dan mendukung hipotesis abfraksi, dan model non-klinis yang mendukung pernyataan tersebut tidak realistis. Dalam konteks ini, penyelidikan seluk-beluk microwear/keausan-mikro NCCL akan membuka pandangan tentang etiologinya.
Penelitian-penelitian yang menyelidiki tanda-tanda microwear NCCL sangat langka. Penelitian terdahulu yang memanfaatkan scanning mikroskop elektron [SEM] untuk mendeskripsikan morfologi NCCL pada pembesaran 15x, dan para peneliti menyatakan bahwa lesi wedge-shaped mungkin disebabkan oleh abfraksi. Dalam penelitian lain yang dilakukan pada 6 individu, Bevenius, dkk, menemukan goresan dan groove horisontal atau oblique dengan kedalaman dan regularitas berbeda-beda dalam NCCL yang berbentuk saucer dan wedge. Para peneliti menyatakan bahwa NCCL disebabkan oleh faktor idiopatik, meskipun mereka menemukan tanda goresan horisontal pada email dan dentin yang merupakan karakteristik abrasi. Sebaliknya, korosi menyebabkan tampilan permukaan gigi yang lebih halus, jika diamati menggunakan pembesaran mikroskop yang tinggi, email terlihat seperti struktur sarang lebah dan dentin memiliki permukaan bergelombang atau berombak. Abrasi dan korosi yang terjadi secara bersamaan menghasilkan permukaan dentin yang lebih halus, dibandingkan jika terjadi abrasi saja. Meskipun mikromorfologi rinci tentang lesi abfraksi belum diketahui, suatu penelitian in vitro menemukan fraktur dan retakan email pada regio servikal gigi premolar yang diberi beban oklusal dalam kondisi netral dan asam.
Dengan menyelidiki seluk-beluk NCCL dalam sekumpulan gigi manusia yang telah dicabut, kami ingin memastikan sifat faktor-faktor yang terlibat dalam etiologinya.

BAHAN DAN METODE

Dua puluh gigi manusia yang telah dicabut dan memiliki lesi servikal yang besar dipilih dari sekumpulan gigi yang telah dicabut sebagai bagian perawatan gigi umum di Adelaide Dental Hospital. Protokol pengumpulan gigi yang telah dicabut disetujui oleh The University of Adelaide Human Ethics Committee [H27/90]. Gigi-geligi tersebut direndam dalam Savlon, suatu agen antiseptik, yang umum digunakan dalam praktek kontrol infeksi di Adelaide Dental Hospital.
Setelah gigi-geligi dibilas menggunakan air mengalir dan dikeringkan, materi extraneous dari NCCL dibersihkan dengan melakukan pencetakan alginat [3M ESPE Palgat Plus Quick, Seefeld, Jerman], sesuai dengan deskripsi dalam penelitian sebelumnya. Kemudian, NCCL diklasifikasikan sebagai lesi wedge-shaped atau scoop [sendok] melalui pemeriksaan visual. Replika negatif NCCL diperoleh menggunakan bahan cetak polyvinylsiloxane [3M ESPE Imprint II Garant Light Body, St. Paul, AS], kemudian diamati menggunakan SEM pada berbagai pembesaran. Setiap NCCL diperiksa untuk mengetahui terjadinya abrasi dan korosi pada 9 daerah atau regio, kecuali jika terganggu oleh artefak. Untuk menentukan apakah ada variasi mikromorfologi pada berbagai regio NCCL, setiap lesi dibagi menjadi sepertiga atas, tengah dan bawah, serta sepertiga mesial, sentral, dan distal. Kesembilan daerah tersebut dalam setiap spesimen tersebut diperiksa untuk mengetahui apakah ada tanda-tanda abrasi, korosi saja, atau kombinasi keduanya. Untuk keperluan presentasi laporan ini, dipilih mikrograf representatif yang menunjukkan tanda-tanda abrasi, korosi, atau kombinasi keduanya. NCCL yang diperiksa tidak menunjukkan tanda-tanda kerusakan akibat pencabutan. Dalam penelitian terdahulu, replikasi microwear gigi-geligi asli ke dalam cetakan rubber silikon dan dye epoksi telah divalidasi pada resolusi kurang dari 1 m.

HASIL
Semua NCCL ditemukan pada sisi bukal dan meluas dari CEJ sampai ke permukaan akar. Tampilannya bermacam-macam [Gambar 1]. Tidak ada variasi mikromorfologi pada kesembilan daerah pada NCCL. Semua lesi memiliki tanda-tanda abrasi dan/atau korosi. Pada SEM, abrasi ditandai dengan adanya goresan horisontal [Gambar 2] sedangkan korosi ditandai dengan permukaan yang halus [Gambar 3]. Jika terdapat kombinasi tanda-tanda abrasi dan korosi, tanda goresan [Gambar 4] tidak terlihat sejelas seperti dalam abrasi [Gambar 2].
Diperoleh bukti definitif terjadinya abrasi dan korosi pada 18 dari 24 gigi [75 persen], abrasi hanya ditemukan pada 1 gigi [4,2 persen] dan korosi ditemukan pada 5 gigi [20,8 persen] [Tabel 1] di semua regio NCCL. Galur horisontal umumnya terlihat halus, ini merupakan karakteristik korosi, namun tanda gores horisontal minor juga ditemukan di sekitar galur tersebut, yang menunjukkan terjadinya kombinasi abrasi dan korosi [Gambar 5].

PEMBAHASAN
Meskipun dalam penelitian ini ditemukan beberapa NCCL wedge-shape yang memiliki sudut garis internal tajam, tidak dilakukan klasifikasi detail berbagai bentuk morfologi. Kelompok kami juga melakukan penelitian lain untuk mengembangkan sistem klasifikasi NCCL yang lebih detail sesuai dengan bentuk morfologi dan menghubungkannya dengan faktor-faktor etiologi. Dalam penelitian ini, ditemukan tanda-tanda abrasi dan/atau korosi pada semua NCCL, namun jaringan retakan ekstensif yang menandai NCCL akibat-abfraksi tidak ditemukan. Namun, beberapa peneliti mengimplikasikan bahwa jaringan retakan semacam itu hanya akan muncul pada email servikal. Retakan pada email servikal, yang dideskripsikan oleh Palamara dkk, harus dibuktikan secara klinis sebelum hipotesis abfraksi divalidasi. Dalam penelitian in vitro lainnya, NCCL artifisial pada gigi-geligi premolar yang telah dicabut melalui pemberian beban aksial dalam lingkungan asam memiliki garis batas membulat seperti yang terbentuk secara in vivo. Pemeriksaan mikrografik NCCL menunjukkan korosi email ekstensif, retakan pada dentin koronal NCCL, undakan konsentrik dari permukaan bagian luar ke bagian tengah dan tampilan “bergelombang” pada permukaan dentin. Tanda-tanda tersebut tidak ditemukan dalam satupun NCCL penelitian ini atau dlaam penelitian in vivo sebelumnya. Hal ini mengimplikasikan bahwa dibutuhkan kecermatan saat menerapkan hasil penelitian NCCL artifisial dalam situasi klinis.
Penelitian ini juga memberikan deskripsi komprehensif tentang galur horisontal. Yang kurang terlihat jelas dibandingkan dengan undakan konsentrik atau groove dalam yang ditemukan dalam NCCL artifisial. Salah satu penelitian in vivo terdahulu menampilkan mikrograf NCCL yang menunjukkan galur horisontal namun mereka tidak memberikan penjelasan apapun. Dalam penelitian ini, banyak NCCL [54,2 persen] yang menunjukkan tanda-tanda galur horisontal dalam berbagai ukuran. Kami menduga bahwa galur-galur kecil [lebar 5 m] akan bergabung membentuk galur yang lebih besar [lebarnya sampai 250 m], dan proses ini akan terus berlanjut sehingga ukuran NCCL bertambah. Garis-garis halus atau tampilan halus galur horisontal, yang disertai dengan beberapa tanda goresan, menunjukkan keterlibatan abrasi dan korosi dalam pembentukannya, meskipun korosi merupakan suatu proses keausan yang dominan.
Dalam penelitian in vitro, Litonjua dkk, menegaskan bahwa abrasi sikat gigi dimulai dari regio apikal CEJ yang berlanjut ke dentin, dan mengikis email servikal. Penemuan tersebut didukung oleh observasi kamu bahwa NCCL meluas mulai dari CEJ ke permukaan akar [Gambar 1]. Sebaliknya, hipotesis abfraksi menyatakan bahwa email servikal adalah tempat awal perkembangan NCCL, dan tekanan tensile yang ditimbulkan oleh flexure cusp mengakibatkan fraktur-mikro email dan kristal-kristal dentin dalam regio servikal. Hipotesis tersebut menjelaskan mekanisme-mekanisme yang terlibat dalam penguraian kristal hidroksiapatit dalam email servikal dimana kristal-kristal email terletak hampir tegak lurus dengan dentino-enamel junction. Namun, sebagian besar kristal hidroksiapatit dalam dentin terorientasi ke arah yang berbeda, hampir tegak lurus dengan sumbu panjang tubulus dentinalis. Dentin juga memiliki daerah kristal yang orientasinya berbeda-beda. Hipotesis abfraksi tidak memberikan penjelasan tentang bagaimana NCCL wedge-shape dapat terbentuk akibat penguraian kristal hidroksiapatit dalam dentin. Diduga, tekanan tensil yang bekerja pada gigi-geligi menimbulkan efek lain pada email dan dentin.
Hipotesis abfraksi hanya didasarkan pada finite element analysis [FEA] model komputer, namun sebagian besar model FEA tidak memiliki ligamentum periodontal atau tulang alveolar. Beberapa model yang memiliki struktur tersebut memberikan bukti-bukti yang mendukung hipotesis abfraksi, sedangkan yang lainnya menunjukkan bahwa jaringan periodontal cenderung menghilangkan tekanan oklusal dari daerah servikal. Sebagian besar peneliti membuat model email, dentin, ligamentum periodontal, dan tulang alveolar sebagai struktur yang memiliki sifat fisik sama pada semua bidang [isotropik], bukan struktur yang memiliki sifat fisik berbe-beda [anisotropik]. Dengan menggunakan model FEA, telah dibuktikan bahwa struktur email anisotropik menghilangkan tekanan tensile dalam regio servikal gigi secara lebih efektif dibandingkan dengan struktur isotropik. Jadi, efek tekanan tensile pada regio servikal gigi dalam sebagian besar model FEA tidak dapat menggambarkan situasi klinis yang sebenarnya secara akurat. Dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk memastikan apakah pembuatan model dentin sebagai suatu struktur anisotropik dalam FEA mengurangi tekanan servikal dan deformasi plastis gigi akibat beban oklusal.
Hanya beberapa penelitian in vitro yang menyelidiki faktor-faktor yang berperan dalam pembentukan NCCL artifisial. Whitehead dkk, melaporkan bahwa NCCL artifisial terbentuk dalam delapan persen gigi premolar setelah diberi tekanan aksial pada pH 3,0, hal ini mendukung peran faktor-faktor oklusal dalam pembentukan NCCL. Namun, karena prevalensi NCCL dalam penelitian tersebut rendah, para peneliti menyatakan bahwa model sederhana tekanan oklusal dan korosi asam kurang valid. Selain itu, Litonjua dkk, menunjukkan bahwa NCCL artifisial dapat terbentuk pada gigi premolar akibat abrasi sikat gigi dan penggunaan pasta gigi, dengan ataupun tanpa pemberian beban.
Penelitian klinis dan antropologis memberikan berbagai pemahaman etiologi NCCL. Suatu tinjauan kritis tentang abfraksi menunjukkan bahwa tekanan, frekuensi, dan metode menyikat gigi adalah faktor-faktor signifikan dalam etiologi NCCL. Sebagian peneliti menunjukkan bahwa hubungan antara keausan oklusal akibat atrisi dan keberadaan NCCL mendukung hipotesis abfraksi, namun dalam beberapa hal, hubungan tersebut dinyatakan lemah. Meskipun hubungan semacam itu cukup kuat, terbentuknya NCCL wedge-shape disebabkan oleh atrisi oklusal dan korosi. Penemuan bahwa NCCL lebih sering ditemukan pada permukaan bukal gigi, bukan pada permukaan lingual, hal ini disebabkan oleh variasi proteksi saliva terhadap korosi pada berbagai bagian intraoral, bukan tekanan oklusal. Pernah dilaporkan salah satu contoh pembentukan NCCL pada gigi premolar rahang atas yang tidak memiliki gigi antagonis. Dilaporkan pula bahwa NCCL tidak pernah ditemukan pada keturunan Aborigin Australia yang mengalami keausan parah pada gigi-geliginya, kecuali pembentukan groove interproksimal akibat kebiasaan mengunyah urat kangguru. Aaron menemukan bahwa NCCL tidak ditemukan pada keturunan India Amerika yang hidup di abad 11 dan 17, dan beliau mengimplikasikan bahwa NCCL merupakan suatu produk faktor-faktor gaya hidup modern, seperti menyikat gigi secara berlebihan dan diet asam, bukan fleksur gigi.
Secara keseluruhan, hasil penelitian ini dan penelitian in vitro, penelitian klinis dan antropologi lainnya, menunjukkan bahwa abrasi dan korosi adalah faktor penting yang berperan dalam pembentukan NCCL. Meskipun terdapat beberapa penelitian in vitro yang mendukung hipotesis abfraksi, bukti-bukti klinis yang menghubungkan tekanan oklusal dengan pembentukan NCCL, dinyatakan lemah. Dibutuhkan penelitian-penelitian in vivo longitudinal pada sampel berskala besar untuk menguraikan perkembangan awal NCCL, dan menguji validitas hipotesis abfraksi. Penelitian in vitro yang menyelidiki pengaruh menyikat gigi dalam lingkungan korosif juga dapat meningkatkan pemahaman kita bahwa penyesuaian oklusal tidak boleh digunakan sebagai bagian penatalaksanaan NCCL sampai hipotesis abfraksi dipastikan oleh bukti-bukti klinis yang lebih kuat.

KESIMPULAN

Berdasrakan pada pemeriksaan mikroskopik suatu sampel gigi manusia yang telah dicabut, penelitian ini membuktikan bahwa abrasi dan korosi adalah faktor etiologi utama yang berperan dalam pembentukan NCCL wedge-shape. Galur-galur horisontal dalam berbagai ukuran ditemukan pada kurang lebih separuh gigi yang diperiksa, hal ini menunjukkan terjadinya abrasi dan korosi. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengklarifikasi bagaimana awal pembentukan NCCL dan memberikan dasar yang pasti untuk penatalaksanaan NCCL. Sampai ditemukan bukti klinis yang mendukung hipotesis abfraksi, tidak dianjurkan untuk melakukan penyesuaian oklusal dalam penatalaksanaan NCCL.


Read more...

Berhitung!

Pasang Aku Yaa

go green indonesia!
Solidaritas untuk anak Indonesia

  © Blogger templates Newspaper III by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP