11 November 2009

Penutupan Akar Dalam Resesi Gingiva Terisolir Menggunakan Autograft versus Allograft: Suatu Penelitian Pendahuluan

Abstrak
Latar Belakang: Berbagai macam teknik pembedahan telah digunakan untuk merawat resesi gingiva. Penelitian pendahuluan ini membandingkan hasil pemeriksaan klinis perawatan defek gingiva yang terisolir menggunakan flap yang terletak pada koronal yang dikombinasikan dengan pencangkokkan jaringan ikat subepitelial, atau acelullar dermal matrix graft.
Metode: Dipilih 10 subyek yang mengalami defek Miller Klas I atau II. Defek tersebut memiliki kedalaman > 3 mm dan diklasifikasikan secara acak dalam grup uji, yang dirawat mengunakan flap koronal dikombinasikan dengan acellular dermal matrix, atau grup kontrol, yang dirawat menggunakan flap koronal dikombinasikan dengan pencangkokkan jaringan ikat subepitelial. Kedalaman probing [PD], tinggi perlekatan klinis [CAL], dan ketebalan [GT] jaringan berkeratin diukur pada pemeriksaan awal dan 6 bulan setelah pembedahan.
Hasil: Rata-rata penutupan akar yang terjadi adalah 50% pada grup uji [yang menunjukkan terjadinya pergeseran margin gingiva sebesar 2,1 + 0,99 mm] dan 79,5% dalam grup kontrol [menunjukkan terjadinya pergeseran margin gingiva sebesar 3,5 + 1,20 mm]. Hasil tersebut dinyatakan memiliki selisih yang signifikan secara statistik dalam perbandingan intra- dan inter-grup [P < 0.05]. Perbandingan antar-grup menunjukkan nilai CAL, GRD, dan GT yang secara signifikan, lebih besar dalam grup kontrol [P < 0.05]; namun tidak ditemukan perbedaan ukuran PD dan KT [P > 0.05].
Kesimpulan: Flap koronal yang dikombinasikan dengan pencangkokkan jaringan ikat subepitelial atau acellular dermal matrix graft terbukti efektif untuk menutup akar. Namun, flap koronal yang dikombinasikan dengan cangkok jaringan ikat memberikan hasil klinis yang lebih baik. Perlu dilakukan penelitian yang lebih luas untuk mengkonfirmasi hasil penelitian ini.
Kata Kunci: Jaringan ikat, resesi gingiva/pembedahan; pencangkokkan/graft.
Sumber: J Periodontol 2007; 78: 1017-1022.


Resesi gingiva didefnisikan sebagai suatu pergeseran jaringan lunak ke apikal di bawah batas cemento-enamel junction [CEJ]. Kondisi klinis ini sering ditemukan dalam populasi umum dan dapat memberikan pengaruh negatif terhadap tampilan estetik, serta meningkatkan kerentanan terhadap karies akar dan hipersensitivitas dentin. Patogenesis resesi gingiva berhubungan dengan inflamasi jaringan yang disebabkan oleh akumulasi biofilm atau penyikatan gigi traumatik.
Flap jaringan, dengan/tanpa autograft atau allograft, telah digunakan untuk mengatasi resesi gingiva dan memiliki prediktabilitas yang tinggi dalam penutupan akar. Integritas jaringan proksimal sangat penting untuk menentukan prediktabilitas penutupan akar yang dihasilkan, apapun teknik pembedahan yang digunakan.
Pencangkokkan jaringan ikat subepitelial [SCTG] merupakan salah satu teknik yang dapat diprediksi dan serba guna dimana dibuat lingkungan vaskuler bilaminar untuk menutrisi cangkokkan. Namun, pengambilan bagian palatal akan meningkatkan morbiditas post-operatif dan membutuhkan banyak waktu. Acellular dermal matrix [ADM] dikembangkan untuk menggantikan pencangkokkan jaringa ikat autogenous dalam prosedur bedah plastik periodontal, dan dilaporkan, hasil yang diperoleh tetap sama.
ADM merupakan suatu proses allograft kulit untuk mengekstrak komponen sel dan epidermis, dengan tetap mempertahankan lapisan kolagen. Lapisan kulit yang tersisa dicuci menggunakan larutan detergen/sabun untuk menon-aktifkan virus dan mengurangi penolakan jaringan, kemudian dilakukan cryoprotection dan dikeringkan-dibekukan menggunakan proses yang sesuai untuk menjaga integritas biokimia dan strukturalnya.
ADM dikombinasikan dengan desain flap klasik Langer dan Langer, seperti insisi vertikal. Penelitian pendahuluan ini membandingkan hasil klinis perawatan resesi gingiva Klas I dan II menggunakan flap koronal [CPF], tanpa insisi vertikal, yang dikombinasikan dengan pencangkokkan SCTG atau ADM.

BAHAN DAN METODE
Seleksi Pasien dan Desain Eksperimental
Protokol penelitian telah disetujui oleh Institutional Ethics Committee Sao Leopoldo Mandic Dental Research Institute, dan semua subyek yang ikut serta dalam penelitian telah menandatangani formulir informed consent. Para subyek dipilih dari para pasien yang datang ke Sao Leopoldo Mandic Dental Research Institute untuk menjalani pemeriksaan gigi rutin. Seleksi pasien, pembedahan, dan follow up dilakukan antara bulan Januari sampai September 2004.
Penelitian ini diikuti oleh 10 subyek, enam pria dan empat wanita berusia 27 sampai 51 tahun. Kriteria inklusi yang digunakan adalah defek resesi Miller Klas I atau II [kedalamannya > 3 mm] pada gigi kaninus atau premolar rahang atas [selisih kedalaman resesi antara defek kanan dan kiri < 2 mm], CEJ dapat diidentifikasi, jaringan periodontal sehat, tidak memiliki kebiasaan merokok, tidak mengalami gangguan oklusal, dan tidak sedang menjalani pengobatan yang dapat mengganggu kesehatan periodontal ataupun proses penyembuhan. Defek resesi yang berhubungan dengan karies atau restorasi dan gigi-geligi yang mengalami patologi pulpa tidak diikutsertakan.
Protokol penelitian terdiri dari konsultasi pemeriksaan yang dilanjutkan dengan terapi awal untuk mengontrol biofilm dan kesehatan gingiva secara optimal, terapi pembedahan, konsultasi pasca pembedahan, dan evaluasi pasca pembedahan yang dilakukan 6 bulan kemudian.

Terapi dan Pengukuran Klinis Awal

Terapi periodontal awal terdiri dari pemberian instruksi oral higiene, instrumentasi ultrasonik, dan polishing mahkota yang dilakukan 1 sampai 2 bulan sebelum pembedahan. Juga dilakukan perawatan restoratif pada gigi uji yang membutuhkannya. Dilakukan pencetakan rahang atas menggunakan alginat, dan dibuat model kerja. Model kerja digunakan untuk membuat stent akrilik. Stent tersebut digunakan selama pengukuran parameter klinis untuk memastikan reproduksibilitas posisi probe dan sudut dalam dua kali evaluasi, tidak hanya sebagai titik referensi untuk pengukuran klinis.
Indeks perdarahan gingiva [BGI] dan indeks plak yang terlihat [VPI] digunakan untuk menilai kesehatan gingiva selama penelitian.
Semua pengukuran klinis dilakukan oleh satu orang pemeriksa yang telah terlatih, pada aspek mid-bukal setiap sisi yang dipilih menggunakan probe periodontal. Sebelum pembedahan [baseline/awal] dan 6 bulan setelah pembedahan, dilakukan pencatatan beberapa parameter klinis berikut dan dibulatkan sampai milimeter terdekat: 1) kedalaman resesi gingiva [GRD]: jarak dari CEJ ke margin gingiva [GM]; 2) kedalaman probing [PD]: jarak dari GM ke dasar sulkus gingiva; 3) tinggi perlekatan klinis [CAL]: jarak dari CEJ ke dasar sulkus; 4) lebar apiko-koronal jaringan berkeratin [KT]: jarak dari mukogingival junction [MGJ[ sampai GM; lokasi MGJ ditentukan menggunakan metode visual; dan 5) ketebalan jaringan gingiva: yang diukur pada pertengahan lebar apiko-koronal KT menggunakan endodontic finger spreader yang dipasangi rubber stopper tegak lurus dengan jaringan gingiva; ketebalannya diukur sampai ketelitian 0,1 mm menggunakan kaliper.

Prosedur Pembedahan
Dilakukan antisepsi ekstraoral menggunakan larutan klorheksidin 2%, dan antisepsis intraoral dilakukan menggunakan larutan klorheksidin 0,12%. Anestesikum yang digunakan adalah lidokain 2% yang mengandung epinefrin 1:100.000.
Desain flap dimulai dengan insisi intrasulkuler pada aspek vestibuler gigi target dan diperluas ke gigi-geligi tetangga di setiap sisi. Desain flap dilengkapi dengan melakukan insisi horisontal sebatas CEJ yang menghubungkan gigi-geligi. Flap split-thickness diangkat untuk menaikkan flap sampai batas CEJ tanpa tekanan. Epitelium vestibuler papila interdental dibuang agar diperoleh jaringan luka yang baik untuk reposisi flap. Permukaan akar diinstrumentasi dengan hati-hati menggunakan alat skaler manual sehingga diperoleh permukaan yang datar dan dibasahi dengan tetrasiklin hidroklorida 50 mg/ml, selama 3 menit. Gauze yang telah dibasahi dengan larutan tersebut digosokkan pada permukaan akar dan diganti setiap 30 detik. Dilakukan irigasi salin berlimpah untuk membuang kelebihan tetrasiklin.
Defek bilateral dikelompokkan dalam grup uji secara acak menggunakan lemparan koin [CPF + ADM] atau grup kontrol [CPF + SCTG]. Pada sisi defek yang diuji, dilakukan allograft setelah rehidrasi sesuai dengan instruksi pabrik dan difiksasi pada batas CEJ untuk menutup seluruh defek menggunakan bioabsorbable proximal suture [Gambar 1A sampai 1C]. Pada sisi kontrol, dilakukan SCTG pada dimensi yang sesuai mulai dari daerah palatal menggunakan insisi berbentuk-L dan difiksasi sebatas CEJ sehingga menutup seluruh defek menggunakan bioabsorbable proximal suture [Gambar 1E sampai 1G]. Terakhir, flap diletakkan sebatas atau sedikit ke arah koronal, CEJ dan difiksasi menggunakan mattress suture [Gambar 1D dan 1H]. Kedua pembedahan dilakukan dalam satu periode konsultasi. Tidak digunakan dressing periodontal.

Protokol Pasca Pembedahan
Pasien diberikan analgesik [asetaminofen **750 mg, empat kali sehari] dan obat-obatan non-steroid [7,5 mg satu kali sehari], masing-masing, untuk hari pertama dan 3 hari berikutnya.
Pasien diminta untuk tidak menyikat atau flossing di sekitar daerah pembedahan sampai jahitan dilepaskan [14 hari pasca pembedahan] dan hanya mengkonsumsi makanan lunak selama minggu pertama setelah pembedahan. Mereka juga diminta untuk menghindari berbagai jenis trauma mekanis lainnya pada daerah yang dirawat. Selama 4 minggu, pasien harus berkumur larutan klorheksidin 0,12% selama 1 menit dua kali sehari.
Semua pasien diminta datang kembali untuk melakukan kontrol biofilm supragingiva profesional setiap minggu selama 4 minggu kemudian dilanjutkan dengan interval per bulan.

Analisis Statistik
Statistik deskriptif dinyatakan sebagai mean + SD. Dilakukan penghitungan presentase penutupan akar 6 bulan setelah pembedahan. Data dibandingkan menggunakan Student t-test observasi berpasangan untuk menilai perubahan di dalam dan antar grup. Tingkat signifikansi penolakan hipotesis null ditetapkan pada  = 0.05. Kalkulasi dilakukan menggunakan paket software statistik.

HASIL

Semua pasien dapat mentoleransi prosedur pembedahan dengan baik, tidak terjadi komplikasi postoperatif, dan bersikap kooperatif selama protokol penelitian. GBI dan VPI seluruh rongga mulut dipertahankan pada < 20%. Sebelum pembedahan dan pada akhir periode peneliitan, gigi target dinyatakan bebas plak dan inflamasi gingiva.
Statistik deskriptif berbagai parameter klinis yang diukur pada baseline dan 6 bulan setelah pembedahan diuraikan dalam Tabel 1. Pada baseline, tidak ditemukan selisih yang signifikan secara statitsik antara kedua grup, untuk semua parameter yang dievaluasi. Diperoleh selisih intra-grup yang signifikan secara statistik untuk GRD, CAL, KT dan GT pada grup kontrol dan uji [P < 0.05]. PD tidak mengalami perubahan, dari waktu ke waktu [P > 0.05]. Dalam grup kontrol, GRD berkurang sebanyak 3,5 + 1,2 mm, yang menunjukkan penutupan akar rata-rata sebesar 79,5%; dan terjadi peningkatan CAL sebesar 3,5 + 1,2 mm. KT bertambah sebanyak 1,2 + 0,75 mm, dan GT bertambah sebanyak 1,3 + 0,58 mm. Perubahan GRD, CAL, KT dan GT dalam grup uji, secara berurutan adalah 2,1 + 0,99 mm [rata-rata penutupan akar adalah 50%], 2,1 + 0,99 mm, 1,1 + 1,5 mm, dan 0,72 + 0,35 mm.
Perbandingan antar-grup menunjukkan selisih nilai CAL, GRD, dan GT yang signifikan secara statistik [P < 0.05]. Tidak ditemukan selisih yang signifikan secara statistik dalam nilai KT dan PD [P > 0.05].
Ditampilkan gambar resesi gingiva awal, ADM atau autograft terposisi, mobilisasi koronal, dan penjahitan, hasil setelah 6 bulan pada gigi-geligi yang diuji [Gambar 1A sampai 1D] dan kontrol [Gambar 1E sampai 1H].

PEMBAHASAN
Berbagai penelitian klinis telah mendeskripsikan manfaat penggunaan SCTG untuk penutupan akar. Integritas jaringan proksimal menentukan besarnya penutupan akar, dengan/tanpa SCTG dan pembukaan flap. Namun, peningkatan KT dan GT merupakan hasil klinis penting yang membenarkan penggunaan SCTG. Namun, pengambilan cangkokkan dari daerah palatal membutuhkan waktu dan meningkatkan kecenderungan terjadinya perdarahan dan nyeri. Penggunaan ADM mengatasi masalah tersebut dan menjadi salah satu sumber bahan bermakna untuk kasus-kasus yang membutuhkan jaringan cangkok yang banyak/ekstensif.
Penelitian klinis pendahuluan yang dilakukan secara random ini membandingkan hasil prosedur penutupan akar menggunakan CPF yang dikombinasikan dengan SCTG atau ADM, masing-masing, dalam grup kontrol dan uji. Dalam hal perbaikan resesi, hasil yang lebih baik diperoleh dalam grup kontrol [CPF-SCTG] dimana terjadi 79,5% penutupan akar; versus 50% dalam grup uji. Hasil tersebut memiliki relevansi klinis dan signifikan secara statistik. Kekuatan analisis menunjukkan bahwa dengan menggunakan 10 subyek, penelitian tersebut memiliki kekuatan sebesar 79% untuk mendeteksi kedalaman resesi gingiva dalam kedua grup. Beberapa penelitian mendukung hasil penelitian kami, dan menunjukkan penutupan akar yang lebih bermakna pada sisi-sisi yang dirawat menggunakan SCTG. Namun, penelitian-penelitian tersebut tidak menemukan selisih yang signifikan secara statistik antara teknik SCTG dan ADM. Perbedaan hasil penelitian kami dengan penelitian tersebut terletak pada perbedaan protokol pembedahan yang digunakan. Meskipun penelitian-penelitian tersebut menggunakan desain flap klasik yang dikembangkan oleh Langer dan Langer, yang berupa insisi vertikal untuk memperluas pengangkatan flap dan mengurangi tekanan saat penjahitan, dalam penelitian ini, kami tidak melakukan insisi vertikal. Desain flap tersebut mempertahankan suplai darah lateral, mempercepat penyembuhan luka, dan menghilangkan kemungkinan terbentuknya jaringan parut, namun, dapat meningkatkan tekanan flap, terjadi pergerakan flap secara-mikro selama penyembuhan awal, yang dapat mengganggu penutupan akar yang menggunakan pencangkokkan .
Dalam grup kontrol [CPF + SCTG], pencangkokkan tidak memiliki kekurangan yang signifikan karena suplai darah di sekitarnya menjamin vitalitas cangkokan selama fase penyembuhan awal. Namun, pembedahan ADM dalam prosedur penutupan akar dapat membatasi vaskularisasi cangkokan, sehingga mengurangi penutupan akar yang potensial. Selain itu, ADM akan hilang akibat nekrosis, dan dalam penelitian lainnya, ditemukan penutupan akar yang tidak sempurna. Dalam penelitian ini, keberhasilan perawatan berkurang pada daerah uji yang diberi perlakuan dengan teknik ADM. Dalam kasus ini, penutupan akar rata-rata berkisar antara 20% sampai 33%.
GT beperan penting dalam patogenesis defek resesi, yaitu, jaringan gingiva yang tipis akan meningkatkan kecenderungan terjadinya resesi gingiva. Perbaikan GT terjadi pada kedua grup; namun, lebih baik pada grup kontrol [1,27 + 0,58 mm] dibandingkan dalam grup uji [0,72 + 0,35 mm]. Sebaliknya, Paolantonio dkk, tidak menemukan perbedaan perbaikan GT saat membandingkan SCTG dengan ADM. Perbedaan penemuan kami dengan hasil penelitian Paolantonio dkk, terletak pada penggunaan SCTG yang seragam dalam penelitian ini, karena cangkok yang lebih seragam memberikan hasil yang lebih baik. Namun, ketebalan gingiva dalam teknik ADM diseragamkan.
GT mempengaruhi hasil estetik setelah bedah penutupan akar. Cangkokan yang lebih seragam lebih mudah beradaptasi dengan daerah penerima [resipien] dan lebih mudah dijahit. Meskipun penelitian ini tidak menilai aspek estetik, kontur gingiva dan kesesuaian warna terlihat lebih baik pada daerah yang diberi perlakuan menggunaakn ADM; hal ini mendukung penemuan Wei dkk, Zuchelli dkk, yang merelasikan bahwa SCTG setebal ~1 mm cukup ideal untuk memperoleh kontur gingiva yang baik secara estetik. Perbedaan revaskularisasi dan proses repopulasi sel antara SCTG dan ADM juga mempengaruhi hasil estetik. ADM menghasilkan lipatan sel-sel yang berkembang dan pembuluh darah yang berasal dari ligamentum periodontal dan jaringan ikat di sekitarnya, yang mempercepat proses penyembuhan dan warnanya sesuai dengan daerah di sekitarnya. Sebaliknya, proses penyembuhan pada daerah SCTG masih mempertahankan beberapa karakteristik palatal karena sel cangkokkan jaringan ikat masih hidup dan menentukan keratinisaso lokal yang dapat mengganggu kesesuaian warna gingiva. Aichelmann-Reidi dkk, menunjukkan bahwa daerah yang dirawat dengan ADM memiliki tampilan yang lebih alamiah, menurut penilaian klinisi dan pasien, hal ini sesuai dengan hasil penelitian kami.
Dalam grup uji dan kontrol, KT bertambah sebanyak 1,1 dan 1,2 mm, secara berurutan. Namun, tidak diperoleh selisih yang signifikan antara kedua grup tersebut, hal ini juga ditemukan dalam penelitian lainnya. Novaes dkk, mengamati bahwa 3 bulan setelah terapi, daerah SCTG memiliki KT yang lebih banyak dibandingkan pada daerah ADM. Perbedaan tersebut menghilang setelah 6 bulan observasi, dan menunjukkan bahwa cangkok ADM membutuhkan waktu penyembuhan yang lebih lama. Namun, penelitian lainnya, menemukan lebih banyak perbaikan jika menggunakan SCTG. Namun, perbedaan KT antara kedua cangkokkan tidak relevan secara klinis karena KT tidak mengganggu kesehatan gingiva ataupun perkembangan resesi. Keratinisasi jaringan gingiva di atas cangkokkan ditentukan oleh ketebalan flap, yang menjelaskan perbedaan dalam berbagai penelitian.
Meskipun penelitian ini menunjukkan hasil yang lebih menjanjikan dalam grup SCTG dalam evaluasi jangka pendek, penelitian lainnya menyatakan bahwa kedua perawatan memberikan hasil yang sama. Harris, membandingkan cangkok SCTG dan ADM dalam periode singkat dan panjang, daerah yang dirawat menggunakan ADM cenderung mengalami kerusakan seiring dengan berjalannya waktu, sedangkan daerah SCTG tetap stabil. Hirsch dkk, menunjukkan hasil klinis yang stabil setelah 2 tahun follow up, saat membandingkan cangkok ADM dengan SCTG. Stabilitas hasil akhir harus dipertimbangkan saat memilih tipe cangkokkan yang akan digunakan.

KESIMPULAN
CPF yang dikombinasikan dengan pencangkokkan SCTG dan ADM terbukti efektif menghasilkan penutupan akar. Namun, CPF yang dikombinasikan dengan SCTG memberikan hasil yang lebih baik. Dibutuhkan penelitian yang lebih luas untuk mengkonfirmasi hasil penelitian ini.


Read more...

Indikator Visual Chlamydial Cervicitis Terbaru

Abstrak
Tujuan: Untuk mengetahui manfaat opasitas keluaran endoservikal sebagai salah satu indikator resiko infeksi klamidia menggunakan dua indikator visual yang telah diketahui—buangan endoservikal berwarna kuning dan perdarahan mukosa serviks yang mudah terinduksi.
Metode: Para wanita dari dua klinik keluarga berencana, satu klinik aborsi terapeutik, dan satu balai kesehatan mahasiswa[n total = 1418] menjalani pemeriksaan serviks dan pengujian klamidia, serta mengisi kuesioner tentang sosiodemografik, tingkah laku seksual, riwayat medis, dan gejala-gejala. Hasil kultur atau blocked enzyme immunoassay pada apusan endoservikal menyatakan satu kasus positif klamidia.
Hasil: Prevalensi infeksi klamidia di klinik adalah 6,3%. Ketiga indikator visual—buangan endoservikal kuning, perdarahan yang mudah terinduksi, dan buangan servikal opak—dinyatakan signifikan secara statistik dan tidak berhubungan dengan infeksi klamidia [odd ratio masing-masing: 2,8; 2,3, dan 2,9], apapun jenis kliniknya. Penyesuaian indikator visual lainnya menghasilkan selisih odd ratio yang tipis.
Kesimpulan: Opasitas buangan endoservikal tidak lebih penting dibandingkan dengan dua indikator chlamydial cervicitis lainnya yang umum diketahui—buangan endoservikal kuning dan perdarahan mukosa serviks yang mudah terinduksi.
Kata kunci: faktor resiko, Chlamydia trachomatic, wanita.
Sumber: Sex Transm Inf 2000; 76: 46-48.


PENDAHULUAN
Strategi efektif untuk mendeteksi infeksi klamidia servikal, terutama pada para wanita muda, menjadi fokus pertimbangan penelitian, karena jika tidak dirawat akan menimbulkan gangguan reproduksi.
Karakteristik serviks yang diamati secara klinis dapat digunakan untuk memprediksi ada/tidaknya infeksi klamidia pada wanita. Diantaranya, buangan endoservikal non-purulen [berwarna kuning] dan perdarahan yang mudah terinduksi [friabilitas], dalam beberapa penelitian, terbukti dapat memprediksi infeksi klamidia pada serviks. Indikator visual chlamydial cervicitis tersebut banyak digunakan dalam perawatan immediate para wanita yang memiliki tanda-tanda klinis infeksi [diagnosis presumptif], dan identifikasi yang murah bagi para wanita beresiko tinggi untuk menjalani pemeriksaan klamidia [pemeriksaan selektif].
Indikator visual infeksi klamidia lainnya yang juga bermanfaat, selain warna kuning dan perdarahan yang mudah terinduksi, adalah opasitas buangan endoservikal. Dua penelitian sebelumnya yang mengukur translusensi buangan endoservikal secara spesifik menemukan hubungan antara buangan endoservikal dengan chlamydia cervicitis. Penelitian ini mengukur independensi statistik dan kekuatan asosiasi opasitas buangan terhadap buangan endoservikal mukopurulen dan friabilitas tiga sampel wanita yang tinggal di satu kota.

METODE
Spesifikasi sampel
Para wanita yang aktif secara seksual dan berusia 16 tahun atau lebih, didaftar antara tahun 1989 sampai1992 dari satu klinik keluarga berencana urban dan suburban [n total = 1002], dari klinik pelayanan kesehatan mahasiswa McMaster [n = 191], dan dari klinik aborsi terapeutik [n = 225], semuanya terletak di Hamilton, Ontario. Sebagian besar wanita dari klinik keluarga berencana dan klinik mahasiswa asimptomatik dan datang ke klinik untuk menjalani pemeriksaan rutin, serta dikeluarkan dari penelitian jika mereka dinyatakan hamil atau mengkonsumsi antibiotik dalam periode 14 hari sebelumnya. Semua wanita menyerahkan informed consent tertulis yang telah disetujui oleh McMaster University ethical review committee. Para peserta mengisi kuesioner yang menanyakan informasi demografik, seksual, riwayat ginekologi dan obstetri, serta gejala-gejalanya.

Pemeriksaan klinis dan laboratorium
Pemeriksaan ginekologis dilakukan pada semua wanita. Setelah serviks dibersihkan dari mukus yang berlebihan menggunakan apusan kapas berukuran besar, diambil tiga spesimen endoservikal untuk kultur Chlamydia trachomatis, chlamydial enzyme immunoassay [EIA] dengan blocking confirmation [Chlamydiazyme, Abbott Laboratories, North Chicago, IL, AS], dan kultur Neisseria gonorrheae pada semua wanita, seperti yang telah dideskripsikan sebelumnya. Pengambilan semua sampel sesuai dengan protokol standar.
Dilakukan penilaian translusensi buangan endoservikal [opak atau bening] secara in situ, dan warnanya [kuning atau putih] menggunakan apusan white-tipped. Perdarahan mukosa yang mudah terpicu diketahui jika perdarahan terjadi saat dilakukan apusan servikal. Karakteristik serviks dan buangan endoservikal dicatat pada lembaran yang telah distandardisasi.

Metode statistik
Suatu kasus infeksi klamidia didefinisikan berdasarkan kultur positif atau blocked EIA positif pada serviks. Data dianalisis menggunakan metode statistik eksakta, yaitu paket EGRET [Epidemiological Graphics, Estimation and Testing, Egret Statistical Software and Epidemiology Research Corporation, Seattle, WA, AS, 1990], untuk menguji hubungan antara infeksi klamidia dengan indikator-indikator visual [klinis]. Juga dilakukan pengujian heterogenisitas berdasarkan indikator klinis dan visual lainnya. Hubungan antara infeksi klamidia dengan berbagai kombinasi indikator juga diselidiki.
Probabilitas kesalahan tipe 1 ditetapkan pada 0.05.

HASIL
Karakteristik sampel
Usia rata-rata para wanita yang datang ke klinik keluarga berencana, balai kesehatan mahasiswa, dan klinik aborsi terapeutik, masing-masing, adalah 21,4 [SD 3,1]; 21,7 [1,9], dan 25,0 [6,6] tahun. Pergantian pasangan dari tahun sebelumnya dilaporkan oleh 44,8%; 51,3% dan 26,7% peserta, dan riwayat menderita penyakit kelamin menular dilaporkan oleh 23,9%; 19,5%, dan 19,9% peserta dari masing-masing klinik secara berurutan. Prevalensi C. trachomatis di klinik keluarga berencana adalah 7,0%, di balai kesehatan mahasiswa adalah 4,2%, dan di klinik aborsi terapeutik adalah 4,9%. N. gonorrhoeae ditemukan pada 4 wanita dari klinik keluarga berencana.

Hubungan antara indikasi visual dengan infeksi klamidia
Odd ratio sebelum pengelompokan [unadjusted] untuk ketiga indikator visual, yaitu opasitas buangan endoservikal [OP], warna kuning [YE], dan perdarahan mukosa yang mudah terinduksi [BL], masing-masing adalah 2,9; 2,8 dan 2,3. Semuanya dinyatakan signifikan secara statistik [p < 0.01]. Odd ratio ketiga indikator visual, yang dikelompokkan berdasarkan tiga jenis klinik [yaitu, klinik keluarga berencana, balai kesehatan mahasiswa, dan klinik aborsi terapeutik] diuraikan dalam Tabel 1. Setiap indikator visual dinyatakan signifikan secara statistik jika dihubungkan dengan infeksi klamidia setelah melakukan pemeriksaan kontrol ke klinik-klinik tersebut [Tabel 1] dan menggunakan indikator lainnya [data tidak ditampilkan]. Tidak ditemukan heterogenitas odd ratio antar strata yang didefinisikan oleh faktor-faktor klasifikasi dan odd ratio adjusted keseluruhan hanya sedikit berbeda dengan hasil perkiraan yang tidak diklasifikasikan [unadjusted].

Pengujian kombinasi tiga indikator visual
Sensitivitas, spesifitas, nilai prediksi negatif dan positif tiga indikator visual dalam berbagai kombinasi, dan odd ratio kombinasi tersebut [distratifikasikan berdasarka klinik] diuraikan dalam Tabel 2. Adanya buangan endoservikal opak dn berwarna kuning adalah kombinasi yang memiliki hubungan paling kuat [odd ratio = 4,9] dengan infeksi klamidia [p < 0.0001]. Mudahnya terjadi perdarahan mukosa pada serviks adalah satu-satunya indikator yang memiliki sensitivitas tertinggi [0,43]. Dibandingkan dengan faktor-faktor secara individual, kombinasi faktor memiliki sensitivitas yang lebih rendah dan spesifitas yang lebih tinggi. Diharapkan kombinasi faktor-faktor memiiki definisi infeksi yang lebih tegas.

PEMBAHASAN
Opasitas buangan endoservikal, selain buangan endoservikal berwarna kuning dan perdarahan servikal yang mudah terinduksi, merupakan prediktor chlamydial cervicitis yang bermanfaat bagi wanita muda. Hasil penelitian ini dapat digeneralisasikan karena melibatkan banyak dokter dalam pengujiannya. Para dokter menjalani pelatihan metode klinik hanya di klinik keluarga berencana; namun, hubungan yang diamati tidak bervariasi berdasarkan kliniknya. Meskipun amplifikasi asam nukleat tidak digunakan untuk mendeteksi klamidia, setiap wanita diuji menggunakan metode kultur dan EIA, dan kami meyakini bahwa sensitivitasnya adekuat.
Hubungan antara ketiga indikator visual dengan infeksi klamidia setelah pengelompokkan berdasarkan jenis klinik dan kemungkinan adanya efek perancu indikator lain dinyatakan signifikan secara statistik dan substansial. Meskipun penelitian lain yang menyelidiki indikator klinik chlamydial cervicitis menemukan hubungan antara buangan endoservikal berwarna kuning, perdarahan mukosa, dengan infeksi klamidial servikal, penelitian ini adalah yang pertama mendefinisikan bahwa buangan endoservikal opak berhubungan dengan infeksi, dengan/tanpa dua indikator lainnya.
Dalam penelitian di masa yang akan datang tentang pemeriksaan chlamydial cervicitis selektif versus universal pada wanita muda, opasitas buangan harus diuji lebih lanjut untuk mengetahui kemampuannya dalam memprediksi infeksi, karena diduga dapat meningkatkan keefektivan pengaturan pemeriksaan selektif, jika dibandingkan dengan penelitian terdahulu. Kemungkinan, indikator visual juga berperan dalam diagnosis presumptif chlamydial cervicitis sebelum hasil pemeriksaan diperoleh, namun pasien cenderung tidak datang kembali untuk melakukan perawatan.
Di negara-negara berkembang, penatalaksanaan sindromik dapat mengurangi masalah penyakit kelamin menular. Karena pemeriksaan internal menggunakan spekulum kini bukan lagi bagian dalam metode penatalaksanaan sindromik, maka penerapan ketiga indikator visual chlamydial cervicitis ini masih terbatas. Kami menganjurkan agar ketiga indikator tersebut dipertimbangkan dalam penelitian berikutnya yang menyelidiki tentang metode-metode inovatif untuk menegakkan diagnosis

Read more...

Vitamin D dan Penyakit Periodontal

Abstrak
1,25-dihidroksivitamin D3 [1,25(OH)2D3; 1,25-dihidrokolekalsiferol atau kalsitrol] adalah bentuk aktif vitamin D3, yaitu suatu vitamin larut-lemak yang berperan dalam metabolisme kalsium dan tulang. Baru-baru ini, dibuktikan bahwa vitamin D3 berperan dalam pencegahan kanker, imunitas, dan pengaturan kardiovaskuler. 1.25(OH)2D3 menimbulkan efek fisiologis dan farmakologis karena dapat mengaktifkan reseptor vitamin D [VDR], suatu faktor transkripsi reseptor inti/nuklear superfamily. 1,25 (OH)2D3 berperan dalam pemeliharaan kesehatan rongga mulut karena berperan dalam metabolisme tulang dan mineral, serta imunitas innate. Dan, dilaporkan bahwa beberapa gen polimorfisme VDR berhubungan dengan penyakit periodontal. Ligand VDR terbukti bermanfaat dalam perawatan dan pencegahan penyakit periodontal.
Kata Kunci: vitamin D, reseptor vitamin D, reseptor inti/nuklear, infeksi, imunitas innate, penyakit periodontal.
Sumber: J Oral Sci 2009; 51: 11-20.


PENDAHULUAN

Vitamin D berperan dalam berbagai macam proses fisiologis, seperti metabolisme tulang dan kalsium, pertumbuhan dan diferensiasi seluler, imunitas, dan fungsi kardiovaskuler. Vitamin D merupakan suatu secosteroid, dimana cincin B struktur steroid canonical mengalami kerusakan/ruptur dan disintesis dari 7-dehidrokolesterol, yaitu suatu metabolit dalam sintesis kolesterol, atau berasal dari sumber makanan. Iradiasi sinar ultraviolet pada kulit yang terpapar matahari memicu reaksi fotokimia 7-dehidrokolesterol untuk memproduksi vitamin D3 secosteroid [kolekalsiferol] [Gambar 1A]. Vitamin D dihidroksilasi pada posisi-25 oleh hidroksilase vitamin D3 hepatik, 27-hidroksilase sterol [CYP27A1] dan 25-hidroksilase vitamin D [CYP2R1], untuk menghasilkan 25-hidroksivitamin D3 [25-hidroksikolekalsiferol], bentuk utama vitamin D dalam sirkulasi. 25-hidroksivitamin D3 dihidroksilasi dalam posisi-1a oleh 25-hidroksivitamin D 1-hidroksilase [C|YP27B1]. Reaksi ini diatur dan hanya terjadi dalam ginjal dan menghasilkan metabolit aktif, yaitu 1,25-dihidroksivitamin D3 [1,25(OH)2D3; 1,25-dihidroksikolekalsiferol atau kalsitrol]. Vitamin D2 dalam makanan [ergokalsiferol] dan vitamin D3 mengalami proses aktivasi serupa, yang melibatkan 25-hidroksilasi dalam hati dan 1a-hidroksilatoin dalam ginjal, dan masing-masing dikonversi menjadi metabolit aktif, yaitu 1,25(OH)2D3 dan 1,25(OH)2D2. molekul-molekul tersebut berikatan dengan reseptor vitamin D [VDR], suatu reseptor inti yang banyak diekspresikan dalam organ target homeostasis kalsium, seperti usus halus, tulang, ginjal, dan kelenjar paratiroid. Data epidemiologi terbaru dan penelitian pada binatang percobaan yang menggunakan VDR-null mice membuktikan peran vitamin D dalam pencegahan kanker, infeksi, dan penyakit kardiovaskuler, serta kelainan tulang dan kalsium [Gambar 1B]. Pembahasan makalah ini akan difokuskan pada fungsi vitamin D dalam kesehatan rongga mulut.

TRANSAKTIVASI VDR
VDR termasuk dalam superfamily reseptor inti faktor transkripsi. Terdapat 48 reseptor inti manusia yang berhasil diidentifikasi dan dikelompokkan menjadi 3 grup berdasarkan karakteristik ikatan-ligand. Reseptor hormon steroid, yang berperan sebagai homodimer dan sinyal endokrin mediate, adalah grup pertama dan terdiri dari reseptor estrogen, progesteron, androgen, glukokortikoid, dan mineralokortikoid. Grup kedua adalah sensor metabolit yang awalnya didefinisikan sebagai orphan receptors. Asam lemak, asam empedu, oksisterol, dan xenobiotik adalah ligand yang termasuk dalam golongan reseptor ini. Reseptor metabolite-sensing tersebut membentuk heterodimer bersama dengan reseptor retinoid X [RXR]. Grup ketiga dalam orphan receptors tidak memiliki ligand fisiologis dan diatur oleh mekanisme ligand-independen, seperti fosforilasi. VDR memberikan respon terhadap sinyal endokrin, yaitu 1,25(OH)2D3 dan metabolit-metabolit, seperti lithocholic acid [Gambar 1A], hal ini menunjukkan bahwa VDR memiliki fungsi ganda yaitu sebagai suatu reseptor endokrin dan sensor metabolik. Susunan protein VDR manusia, dan dalam reseptor inti lainnya, dibagi menjadi lima regio [A-E] [Gambar 2A]. Regio C terdiri dari domain ikatan-DNA dan dua jari zinc dan merupakan domain yang memiliki rangkaian homologi terkuat diantara anggota superfamily lainnya. Terminal-C domain ikatan-ligand [regio E] membentuk interfase heterodimerisasi dan mengandung domain transaktivasi ligand-dependen yang disebut sebagai fungsi aktivasi 2 [AF2]. Terminal-N regio A/B terdiri dari suatu domain transaktivasi ligand-independen yang disebut AF1. Domain AF1 berperan dalam fungsi spesifik jaringan reseptor hormon steroid, dan fungsi AF1 VDR terbatas karena kekurangan regio A/B.
VDR membentuk suatu heterodimer bersama dengan RXR dan mencegah aktivasi ligand RXR. VDR terlokalisir dalam sitosol dan nukleus, serta berakumulasi dalam nukleus sebagai respon terhadap ikatan 1,25(OH)2D3. Heterodimer VDR-RXR cenderung berikatan dengan elemen respon DNA yang memiliki dua motif heksanukleotida [AGGTCA atau rantai serupa] berulang secara langsung, dan dipisahkan oleh tiga nukleotida [DR3] [Gambar 2B]. elemen ikatan VDR DR3 ditemukan dalam regio pengaturan berbagai gen target, yaitu 25-dihidroksivitamin D 24-hidroksilase [CYP24A1], calbindin D9k, cathelicidin antimicrobial peptide [CAMP] dan reseptor transien vanilloid tipe 6 yang potensial [TRPV6]. Pengulangan motif heksanukleotida yang dipisahkan oleh enam nukleotida [ER6] adalah eleman ikatan-VDR lainnya yang mengatur ekspresi gen CYP3A4 manusia. Mutasi jari zinc domain ikatan-DNA VDR menyebabkan riketsia resisten-vitamin D herediter ]HVDRR] akibat defisiensi induksi gen target.
Reseptor inti, termasuk VDR, mengalami perubahan konformasional dalam daerah ikatan kofaktor dan domain AF2 saat terjadi ikatan ligand, yaitu suatu susunan struktural yang menghasilkan pertukaran kompleks kofaktor secara dinamis. Jika ligand tidak ada, ko-represor berikatan dengan permukaan AF2, yang terdiri dari helix 3, loop 3-4, heliks 4/5, dan helix 11. Ikatan ligand mengubah permukaan AF2 melalui reposisi helix 12 [Gambar 2B], yang mengurangi afinitas ko-represor, dan meningkatkan afinitas rekrutmen ko-aktivator, sehingga reseptor inti dapat menginduksi transkripsi gen spesifik. Kompleks kofaktor diklasifikasikan menjadi tiga kategori fungsional. Anggota klas kompleks kofaktor pertama mengatur transkripsi secara langsung melalui interaksi dengan faktor transkripsi umum dan RNA polimerase II. Anggota klas kompleks kofaktor kedua memodifikasi ekor histon melalui proses asetilasi atau deasetilasi. Kelas ketiga berperan dalam remodeling kromatin ATP-dependen secara dinamis. VDR yang berikatan dengan ligand tidak hanya terlibat dalam transaktivasi namun dalam beberapa konteks, juga dapat memediasi transrepresi. Interaksi kompleks kofaktor dan VDR yang dinamis dan terkoordinasi diperlukan untuk pengaturan transkripsi secara efisien.

METABOLISME MINERAL DAN TULANG
1,25(OH)2D3 berperan penting dalam pemeliharaan konsentrasi kalsium dan fosfat dalam darah, yaitu melalui stimulasi absorpsi intestinal, resorpsi tulang, dan reabsorpsi ginjal [Gambar 1B]. Defisiensi vitamin D menyebabkan insufisiensi absorpsi kalsium dan fosfat dalam diet sehingga meningkatkan sekresi hormon paratiroid yang akan memobilisasi simpanan kalsium tulang, sehingga terjadi riketsia dan osteomalasia. Mutasi VDR ditemukan dalam HVDRR dan VDR-null mice memiliki fenotip yang sama dengan penderita HVDRR, yaitu penderita riketsia, hipokalsemia, hipofosfatemia, peningkatan 1,25(OH)2D3 dalam serum, dan hiperparatirodisme. Seperti pada penderita HVDRR, diet tinggi-kalsium mencegah terjadinya riketsia dan hiperparatiroidisme pada VDR-null mice. Penemuan tersebut menunjukkan bahwa mineralisasi tulang yang abnormal akibat defisiensi vitamin D dan HVDRR disebabkan oleh gangguan absorpsi kalsium dalam usus halus. VDR ligand-teraktivasi menginduksi ekspresi gen-gen yang terlibat dalam metabolisme kalsium, seperti calbindin D9k, TRPV6 dan TRPV5. Calbindin D9k merupakan suatu protein transfer kalsium intraseluler, sedangkan TRPV6 dan TRPV5 adalah saluran kalsium epitel. Meskipun calbindin D9k dinyatakan sebagai salah satu mediator vitamin D3 yang berperan penting dalam penyampaian sinyal absorpsi kalsium oleh ginjal dan usus halus, tikus yang kekurangan calbindin D9k menunjukkan bahwa calbindin D9k tidak dibutuhkan dalam homeostasis kalsium. TRPV6 terdapat dalam ginjal dan usus halus, sedangkan TRPV5 hanya ditemukan dalam ginjal. Penelitian pada tikus mati menunjukkan bahwa TRPV6 dibutuhkan untuk absorpsi kalsium dalam usus halus dan berperan penting dalam pemeliharaan konsentrasi kalsium dalam darah. Tikus yang kekurangan TRPV5 mengalami reabsorpsi kalsium yang kurang, sehingga terjadi hiperkalsiuria parah. Melalui peningkatan absorpsi kalsium intestinal yang dimediasi oleh peningkatan konsentrasi vitamin D3 dalam serum dan ekspresi TRPV6 dalam usus halus, konsentrasi kalsium dalam serum akan terus terjaga. 1,25(OH)2D3 meningkatkan absorpsi fosfat dalam makanan melalui mekanisme yang belum diketahui. Faktor pertumbuhan fibroblast 23 [FGF23] dinyatakan sebagai salah satu faktor yang dapat mengurangi konsentrasi fosfat dan 1,25(OH)2D3 dalam serum dengan menghambat ekspresi CYP27B1 dan meningkatkan ekspresi CYP24A1. Karena VDR-null mice mengalami pertumbuhan skeletal yang normal dan fenotip riketsia mereka dipulihkan oleh normalisasi konsentrasi kalsium dan fosfat dalam serum, pengaruh defisiensi vitamin D terhadap tulang dimediasi oleh disregulasi homeostasis mineral.
Aktivasi VDR melalui dosis farmakologis 1,25(OH)2D3 dapat mengatur osteoblast secara langsung, melalui induksi protein remodeling-tulang yaitu osteocalcin dan osteopontin, serta memperbaiki reseptor aktivator ligand NF-kB [RANKL], suatu sinyal parakrin osteoklastogenesis. Transplantasi tulang VDR-null mice pada binatang liar akan meningkatkan volume dan densitas tulang, hal ini menunjukkan bahwa VDR terlibat dalam peningkatan resorpsi tulang atau penurunan pembentukan tulang. RANKL merupakan suatu sitokin yang melekat pada membran dan berikatan dengan reseptornya, RANK, yang ditemukan dalam prekursor-prekursor osteoklast, dan mengaktivasi diferensiasi osteoklast. Induksi RANKL osteoblast yang dimediasi oleh VDR berperan dalam peningkatan resorpsi tulang. Tikus yang mengalami ablasi-VDR khusus-kondrosit memiliki ekspresi RANKL osteoblast yang kurang dan penundaan osteoklastogenesis. Tikus-tikus tersebut juga mengalami penurunan konsentrasi FGF23 dalam sirkulasi dan peningkatan konsentrasi fosfat dalam serum. Karena FGF23 tidak diekspresikan dalam kondrosit, VDR menginduksi suatu faktor derivat-kondrosit yang tidak diketahui, yang mengatur ekspresi FGF23 dalam osteoblast. Jadi, VDR mengatur homeostasis tulang melalui aksinya dalam osteoblast dan kondrosit, serta melalui metabolisme tulang.
Osteoporosis merupakan salah satu penyakit metabolik yang umum terjadi dan memiliki karakteristik berupa hilangnya kandungan organik dan mineral tulang, sehingga fragilitas dan fraktur tulang meningkat. Osteoporosis dan penyakit periodontal memiliki beberapa faktor resiko yang sama dan hubungan dua-arah antara osteoroporosis dengan penyakit periodontal telah dikemukakan. Osteoporosis mengakibatkan penurunan densitas mineral tulang di seluruh tubuh, termasuk maksila dan mandibula. Penurunan densitas tulang rahang akan meningkatkan porositas alveolar, yaitu perubahan pola trabekular dan peningkatan kecepatan resorpsi tulang setelah invasi patogen periodontal. Infeksi periodontal meningkatkan pelepasan sitokin proinflamasi secara sistemik, yang mempercepat resorpsi tulang sistemik. Defisiensi vitamin D merupakan salah satu faktor resiko fraktur osteoporotik, dan perawatan wanita penderita osteoporosis menggunakan 1,25(OH)2D3 dapat meningkatkan densitas mineral tulang dan mengurangi insiden fraktur kompresi vertebral. Seperti yang akan dibawah dalam sub-bab berikut ini, 1,25(OH)2D3 menghambat respon proinflamasi dan meningkatkan imunitas innate. Jadi, ligand VDR memiliki manfaat klinis dalam perawatan penyakit periodontal akibat-osteoporosis.

KANKER DAN LEUKEMIA

1,25(OH)2D3 terbukti dapat menghambat proliferasi dan menginduksi diferensiasi berbagai tipe sel ganas, seperti kanker prostat, payudara, kolon, kulit, dan otak, serta sel-sel leukemia mieloid secara in vitro. Beberapa penelitian epidemiologis menunjukkan hubungan terbalik antara mortalitas akibat kanker prostat, payudara dan kolon, dengan paparan sinar matahari. Terutama dalam kanker rongga mulut/faring, konsentrasi 25-hidroksivitamin D3 yang rendah meningkatkan insiden kanker, hal ini membuktikan aktivitas anti-kanker 1,25(OH)2D3. Lebih dari 20 tahun lalu, 1,25(OH)2D3 dinyatakan dapat menginduksi diferensiasi sel-sel murine dan leukemia pada manusia. Perawatan menggunakan 1,25(OH)2D3 atau 1-hidroksivitamin D3, yang cepet dimetabolisme menjadi 1,25(OH)2D3, memperpanjang usia tikus penderita leukemia. Ligand VDR menginduksi ekspresi inhibitor kinase cyclin-dependen, p21CIP1/WAF1 dan p27KIP1, yang berperan dalam penghambatan siklus G1 sels-sel ganas. Meskipun mekanisme anti-kanker 1,25(OH)2D3 masih harus diuraikan lebih lanjut, ligand VDR yang memiliki aktivitas penghambat-pertumbuhan efisien dan aktivitas kalsemik rendah menjadi salah satu obat anti-kanker yang menjanjikan.

GANGGUAN IMUN DAN INFEKSI
VDR banyak diekspresikan dalam sel-sel imun, seperti sel-sel antigen, natural killer cells, sel T dan sel B, selain itu, 1,25(OH)2D3 dinyatakan memiliki efek imunomodulator yang poten. Efek imun 1,25(H)2D3 pada dasarnya dimediasi oleh aksi pada sel-sel dendritik. Aktivasi sel T alloreactive dan maturasi sel-sel dendritik dihambat oleh 1,25(OH)2D3. Hipertrofi akibat peningkatan sel-sel dendritik matur dalam limfonodus tikus yang kekurangan VDR menunjukkan bahwa 1,25(OH)2D3 dapat memodulasi respon imun antigen-spesifik secara in vivo. 1,25(OH)2D3 juga mempengaruhi sel T CD4 naive untuk meningkatkan pembentukan sel Th2. Efek terapeutik 1,25(OH)2D3 telah dibuktikan dalam model beberapa penyakti imun, seperti multiple sclerosis, rheumatoid arthritis, penyakit inflamasi pencernaan, lupus eritematosus sistemik, dan penolakan transplan.
Peptida yang dihasilkan oleh host berperan dalam pertahanan imunitas innate melawan infeksi mukosa. VDR yang diaktivasi oleh 1,25(OH)2D3 menginduksi ekspresi CAMP dan -defensin 4 dan membunuh Mycobacterium tuberculosis dalam makrofag. Aktivasi reseptor Toll-like oleh lipopeptida yang dihasilkan oleh bakteri meningkatkan ekspresi VDR dan CYP27B1 dalam makrofag, suatu mekanisme yang meningkatkan induksi gen target. Berkurangnya konsentrasi 25-hidroksivitamin D3 pada keturunan Afrika-Amerika disebabkan oleh inefisiensi ekspresi mRNA CAMP dan meningkanya kerentanan terhadap infeksi mikroba. CAMP banyak diekspresikan dan disekresi oleh keratinosit dan kelenjar epidermal, dan tikus yang mengalami defisiensi CAMP rentan terhadap infeksi kulit nekrotik. -defensin memiliki aktivitas antimikroba terhadap mikroba rongga mulut, termasuk bakteri penyebab-periodontitis seperti Actinobacilus actinomycetemcomitans, Porphyromonas gingivalis, dan Fusobacterium nucleatum, Candida, dan virus papiloma. Penderita HVDRR yang seringkali mengalami abses dental, memberikan bukti lain bahwa vitamin D berperan dalam imunitas innate rongga mulut.

POLIMORFISME VDR DAN PENYAKIT PERIODONTAL

Seiring dengan hilangnya fungsi, mutasi VDR berperan dalam HVDRR, pernah dilaporkan adanya hubungan antara polimorfisme beberapa fragmen panjang khusus VDR [RFLP] dengan beberapa penyakit, seperti hiperparatiroidisme sekunder dalam gagal ginjal, osteoporosis, kanker, nefrolitiasis, diabetes dan penyakit periodontal. BsmI, Tru9I, TaqI, EcoRV, dan ApaI RFLP terletak di antara ekson 8 dan 9, serta dapat mempengaruhi stabilitas mRNA [Gambar 3A]. FokI RFLP membuat kodon start dalam ekson 2, yang menghasilkan daerah start alternatif. Hubungan antara TaqI RFLP [Gambar 3B] dengan periodontitis pernah dilaporkan. Selain itu, juga pernah dilaporkan hubungan antara kurangnya frekuensi alel t dengan early onset periodontitis lokalisata [periodontitis agresif] pada subyek Kaukasia [Tabel 1]. Genotip TT dan alel T merupakan penyebab periodontitis kronis pada subyek keturunan Jepang dan Kaukasia, sedangkan genotip tt dan alel t menyebabkan early onset periodontitis [periodontitis agresif] pada subyek keturunan Cina. Ditemukan hubungan yang kuat antara pasien wanita keturunan Cina penderita periodontitis agresif dengan genotip tt dan genotip Tt. Meskipun genotip tt berhubungan dengan insiden tuberkulosis yang rendah dan infeksi virus hepatitis B kronis, genotip tt dan alel t berhubungan dengan penurunan densitas mineral tulang dan insiden osteoporosis. Penemuan tersebut menunjukkan bahwa RFLP TaqI berhubungan dengan fungsi imun dan metabolisme tulang. Perbedaan etnik dan mekanisme patogenesis antara periodontitis agresif dengan periodontitis kronis dapat mempengaruhi hasil analisis RFLP taqI. RFLP BsmI yang dikombinasikan dengan RFLP lainnya berhubungan dengan early onset periodontitis [periodontitis agresif] dan periodontitis kronis. RFLP FokI yang menghasilkan pemendekan protein VDR terbukti dapat meningkatkan resiko periodontitis agresif generalisata pada keturunan Korea. RFLP ApaI, BsmI, dan FokI dilaporkan dapat meningkatkan resiko periodontitis kronis yang parah pada pria keturunan Jepang. RFLP tersebut merupakan penyebab penyakit tulang dan mineral, sedangkan TaqI dan FokI RFLP meningkatkan resiko kanker, seperti keganasan prostat dan payudara. Dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk menguraikan relevansi fungsional antara VDR RFLP dengan patogenesis penyakit. Hubungan terbalik antara konsentrasi 25-hidroksivitamin D3 dalam serum dengan penyakit periodontal pernah dilaporkan. Penemuan tersebut menunjukkan bahwa 1,25(OH)2D3 berperan penting dalam pencegahan penyakit periodontal dan alel VDR hipomorfik, sedangkan penurunan konsentrasi 1,25(OH)2D3 berhubungan dengan penyakit periodontal.

APLIKASI TERAPEUTIK LIGAND VDR
Seperti yang telah dibahas di atas, ligand VDR merupakan kandidat obat yang menjanjikan dalam perawatan gangguan tulang dan mineral, kanker serta leukemia, penyakit autoimun dan infeksi, termasuk penyakit periodontal. Beberapa penelitian klinis membuktikan bahwa defisiensi vitamin D dapat meningkatkan resiko penyakit kardiovaskuler. Ligand yang diaktivasi oleh VDR menghambat ekspresi renin dan VDR-null mice mengalami penyakit kardiovaskuler, seperti hipertensi dan hipertrofi jantung, akibat disregulasi sistem renin-angiotensin. VDR berperan sebagai suatu sensor metabolik untuk asam empedu sekunder, seperti lithocholic acid, dan menginduksi ekspresi gen-gen yang terlibat dalam metabolisme dan ekskresi asam empedu toksik [Gambar 1]. Penemuan tersebut menunjukkan bahwa terapi yang menargetkan VDR dapat diaplikasikan dalam penyakit kardiovaskuler dan gangguan akibat metabolisme kolesterol/asam empedu. Pembasmian bakteri periodontopatik yang kurang sempurna dan kerusakan tulang yang disebabkannya merupakan penyebab periodontitis agresif. Ligand VDR dapat menstimulasi imunitas innate dengan menginduksi peptida antimikroba dan efek anabolik tulang, hal ini menunjukkan bahwa ligand VDR dapat diaplikasikan untuk pencegahan periodontitis agresif. Disregulasi pelepasan sitokin proinflamasi oleh monosit/makrofag dan limfosit dinyatakan dapat menginduksi periodontitis kronis. Karena 1,25(OH)2D3 memiliki efek imunomodulator yang poten, seperti inhibisi pelepasan sitokin proinflamasi, ligand VDR dinyatakan efektif untuk perawatan periodontitis kronis. Beberapa penelitian epidemiologis dan eksperimental menunjukkan bahwa ligand VDR juga bermanfaat dalam pencegahan dan perawatan kanker orofaring. Baru-baru ini, ditemukan bahwa beberapa efek samping, terutama hiperkalsemia, membatas aplikasi klinis 1,25(OH)2D3 dan derivatnya dalam perawatan gangguan tulang dan mineral, dan psoriasis, yaitu suatu penyakit kulit kronis yang ditandai dengan hiperproliferasi keratinosit dan infiltrasi inflamasi ke dalam dermis dan epidermis. Kombinasi dosis 1,25(OH)2D3 ­dengan obat-obatan lain merupakan salah satu cara untuk mengatasi timbulnya efek samping tersebut. Pengembangan modulator VDR selektif-jaringan atau fungsi yang memiliki aktivitas kalsemik rendah merupakan metode lain yang dapat dilakukan. Meskipun aplikasi topikal ligand VDR, seperti dalam perawatan psoriasis, dapat diaplikasikan dalam penyakit periodontal tanpa menginduksi efek samping sistemik, dibutuhkan penelitian klinis dan farmakologis lebih lanjut.

KESIMPULAN
Selain diketahui karena aktivitasnya dalam pencegahan riketsia dan osteomalasia, 1,25(OH)2D3 terbukti memiliki efek anti-kanker, modulator imun, dan imun innate, melalui aktivasi VDR. Sistem VDR-1,25(OH)2D3 berperan dalam homeostasis rongga mulut dan disfungsinya mengakibatkan terjadinya penyakit periodontal. Penelitian tentang vitamin D berperan penting dalam ilmu penyakit mulut lanjutan.

Read more...

Berhitung!

Pasang Aku Yaa

go green indonesia!
Solidaritas untuk anak Indonesia

  © Blogger templates Newspaper III by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP