29 May 2009

Antibiotik Profilaksis Dalam Odontologi Pediatrik

Abstrak
Sebagian besar infeksi orofasial berasal dari odontogenik, dan bersifat self-limiting, yang memiliki karakteristik berupa drainase spontan. Bakteri penyebabnya biasanya adalah saprofit. Di sisi lain, intervensi gigi invasif meningkatkan bakterimia transien.
Jika lesi rongga mulut terkontaminasi oleh bakteri ekstrinsik, perawatan antibiotik harus diberikan sesegera mungkin. Dalam kasus pulpitis, perawatan semacam itu tidak diindikasikan jika infeksi hanya mencapai jaringan pulpa, atau pada jaringan di sekitarnya. Dalam kasus avulsi gigi, dianjurkan untuk mengaplikasikan antibiotik lokal, serta antibiotik sistemik.
Profesional dental harus mengetahui keparahan infeksi dan kondisi umum anak agar rujukan ke rumah sakit dapat dilakukan.
Semua pasien immunocompromised [rentan] membutuhkan profilaksis, serta individu yang menderita penyakit jantung akibat endokarditis, memakai kateter atau protesa vaskuler.
Penisilin V yang mengandung asam klavulanat dan diadministrasikan melalui jalur oral dikenal efektif melawan infeksi odontogenik. Dalam kasus alergi terhadap penisilin, dapat diberikan obat alternatif yaitu klindamisin. Sebagian besar infeksi akut akan sembuh dalam 2-3 hari.
Beberapa tahun terakhir, kita cenderung mengurangi penggunaan antibiotik umum untuk tujuan preventif atau terapeutik.
Kata kunci:antibiotik, antibioterapi, odontologi pediatrik, pasien pediatrik, infeksi, antibiotik profilaksis.
Sumber: Med Oral Patol Oral Cir Bucal 2006;11:E352-7.


PENDAHULUAN
Serangkaian karakteristik banding yang berhubungan dengan perawatan antibiotik pada anak-anak harus diketahui.
Riwayat medis anak-anak lebih sedikit, hal ini meningkatkan kemungkinan terjadinya alergi atau reaksi sampingan obat-obatan.
Jaringan anak-anak mengandung lebih banyak air, dan kerapuhan tulang mereka tinggi, hal ini mempercepat difusi infeksi. Di sisi lain, pasien semacam itu membutuhkan kesesuaian dosis obat-obatan yang tepat.
Sebagian besar anak memiliki oral higiene yang buruk, dan konsumsi makanan kaya-gula, berperan dalam peningkatan kuman dalam mulut—sehingga meningkatkan resiko bakterimia setelah perawatan rongga mulut.
Dalam praktek klinis pediatrik dan telinga, hidung dan tenggorokan, anak-anak kecil dapat terkena infeksi yang menyerang Waldeyer’s lymphatic ring. Perawatan antibiotik jangka panjang—yang terkadang tidak diperlukan atau akibat self-medication—merupakan salah satu faktor etiologi yang mendasari berbagai kondisi resistensi bakteri terhadap antibiotik yang diberikan pada anak-anak di Spanyol, hal ini sangat berbeda dengan situasi pada orang dewasa. Masalah tersebut harus dipertimbangkan sebelum memberikan antibiotik pada anak-anak. Jika merasa ragu-ragu, profesional dental harus berkonsultasi dengan dokter anak atau spesialis yang khusus menangani perawatan anak.

ETIOPATOGENESIS
Etiologi infeksi odontogenik pada anak-anak
Sebagian besar infeksi orofasial berasal dari odontogenik, dan bersifat self-limiting, yang memiliki karakteristik berupa drainase spontan. Perawatan didasarkan pada dua prinsip: eliminasi penyebab yang mendasarinya, serta drainase dan debridemen lokal. Jika infeksi lokal tidak dirawat, infeksi akan menyebar ke bagian atas dan bawah wajah.
Prosedur dental invasif akan meningkatkan resiko bakterimia transien. Hanya sejumlah spesies bakteri yang diimplikasikan dalam infeksi. Jika diindikasikan, antibiotik harus diadministrasi segera sebelum melakukan prosedur dental. Jika prosedur semacam itu dilakukan di sekitar jaringan yang terinfeksi, dibutuhkan dosis tambahan.
Beberapa penelitian telah mengevaluasi prevalensi dan perluasan bakterimia akibat berbagai macam prosedur dental pada anak-anak. Dalam kaitan ini, telah dibuktikan bahwa menyikat gigi menyebabkan bakterimia pada lebih dari sepertiga anak-anak, dan pemasangan/pelepasan wedge/splint dan braket atau band meningkatkan jumlah kasus bakterimia dalam kasus pediatrik secara bermakna.
Tingkat oral higiene sangat mempengaruhi tingkat bakterimia. Oleh karena itu, oral higiene yang optimal merupakan faktor paling penting untuk mencegah komplikasi yang mungkin timbul akibat bakterimia—meskipun menurut beberapa penulis, dibutuhkan lebih banyak perawatan antibiotik.
Pencabutan gigi sederhana dapat menyebabkan bakterimia pada 40-50% kasus. Tingkat bakterimia tertinggi disebabkan oleh injeksi intraligamen dalam prosedur yang dilakukan di bawah kondisi anestesi lokal [96,6% anak].
Trauma gigi merupakan salah satu faktor resiko infeksi rongga mulut, terutama jika terjadi pembukaan pulpa dan/atau perubahan ruang periodontal. Kecenderungan infeksi akan meningkat jika trauma pada jaringan keras gigi atau pendukungnya mengakibatkan luka membran mukosa atau kulit terbuka.

Mikrobiologi infeksi odontogenik
Bakteri penyebab infeksi odontogenik umumnya adalah saprofit. Mikrobiologinya bervariasi, dan melibatkan berbagai macam mikroorganisme yang memiliki karakteristik berbeda-beda. Biasanya, terdapat bakteri aerob dan anaerob. Dalam kasus semacam ini, berbagai spesies bakteri aerob menyebabkan infeksi odontogenik—yang paling sering adalah streptococci.
Dalam rangkaian proses karies gigi, bakteri yang berpenetrasi ke dalam tubulus dentinalis umumnya adalah anaerob fakultatif [yaitu, streptococci, staphylococci, dan lactobacilli]. Jika jaringan pulpa mengalami nekrosis, bakteri masuk melalui saluran pulpa, dan proses tersebut mengakibatkan inflamasi periapikal—yang didominasi oleh Prevotella, Porphyromonas, Fusobacterium, dan Peptostreptococci.
Sejak pertama kali karies gigi dinyatakan sebagai suatu fenomena infeksi, telah dilakukan berbagai macam usaha untuk mengeliminasi bakteri kariogenik dari rongga mulut. Telah diketahui bahwa sebelum gigi erupsi, lebih dari 50% bayi memiliki kolonisasi Streptococcus mutans. Setelah erupsi, kolonisasi organisme tersebut tergantung pada kontagion bakteri langsung—biasanya, dari ibu. Resiko meningkat jika oral higiene buruk, memiliki kebiasaan makan yang tidak sehat terutama makanan bergula, dan tampilan gigi setelah erupsi dalam mulut. Streptococcus mutans memanfaatkan kemampuannya untuk melekat pada permukaan yang keras. Lactobacilli memiliki potensi kariogenik lebih kecil dibandingkan streptococci, dan tidak melekat pada permukaan gigi.

Komplikasi infeksi
Komplikasi dapat terjadi akibat transmisi langsung ataupun hematogenous. Jika perawatan ditunda, infeksi akan menyebar ke jaringan di sekitarnya, menyebabkan selulitis, pembengkakan wajah dan demam dalam beberapa tingkatan. Terjadi inflamasi lokal, dan fistula gingiva akan terbentuk pada regio apikal—ini merupakan karakteristik khas pada gigi-geligi sulung [pembentukan abses]. Lengkung gigi rahang bawah dapat mengalami abses sublingual atau submandibula, sedangkan infeksi pada lengkung rahang atas dapat menyebar ke ruang temporal.

PERAWATAN
Pertimbangan penatalaksanaan infeksi odontogenik
Berikut ini adalah beberapa hal yang harus dipertimbangkan sebelum mengadministrasikan antibiotik pada anak-anak:
1.Keparahan infeksi, saat anak datang ke dokter gigi
2.Status pertahanan imun pasien
3.Dalam kasus infeksi akut, jika terjadi inflamasi sedang dan prosesnya terjadi dengan cepat, dan dalam kasus selulitis difus yang disertai dengan nyeri sedang sampai parah, atau jika anak mengalami demam, tanda-tanda yang ada mengindikasikan pemberian resep antibiotik serta perawatan gigi yang mengalami kerusakan.
4.Infeksi pada anak yang rentan secara medis [medically compromised]
5.Infeksi yang meluas ke ruang ekstraoral wajah. Dalam situasi semacam ini, infeksi cukup agresif dan dapat meluas sampai ke bibir—hal ini mengindikasikan bahwa pertahanan tubuh host tidak mampu mengendalikan infeksi. Untuk kasus yang parah, anak perlu dirawat inap di rumah sakit.
6.Antibiotik jarang diberikan alam perawatan traumatisme ringan, meskipun kasus tersebut melibatkan lesi jaringan lunak atau dentoalveolar, dibutuhkan antibiotik profilaksis untuk melawan infeksi. Anak yang mengalami avulsi gigi dan direncanakan akan dilakukan reimplantasi, perlu diberi antibiotik yang bagus. Sejak digunakannya antibiotik sistemik dalam kasus semacam ini, insiden reabsorbsi akar eksternal berkurang. Kalender vaksinasi [vaksinasi antitetanus] perlu dipertimbangkan jika trauma terjadi di lingkungan yang terkontaminasi.
7.Pemberian antibiotik perlu dipertimbangkan pada pasien yang menderita juvenile periodontitis lokal atau tipe early periodontitis lainnya.
8.Adanya abses lokal, kronis, atau minor. Anak-anak sehat yang perlu menjalani pencabutan gigi sulung yang mengalami abses, atau perawatan endodontik gigi permanen, dapat menjalani prosedur tersebut tanpa pemberian antibiotik. Sebaliknya, pada anak-anak yang immunocompromised, atau pasien yang menderita gangguan jantung, membutuhkan antibiotik meskipun infeksi tidak selalu terjadi.

Prosedur dental yang mengindikasikan antibiotik profilaksis [Tabel 1 dan 2]
*Penatalaksanaan lesi rongga mulut:
Jika rongga mulut terkontaminasi oleh bakteri ekstrinsik, antibiotik harus diadministrasikan sesegera mungkin agar diperoleh hasil yang optimal—dengan mempertimbangkan jalur administrasi yang paling efektif untuk setiap kasus [intravena, intramuskuler, dan oral]. Jika perawatan tersebut telah dimulai, khasiatnya harus diawasi, diindikasikan untuk melakukan uji kerentanan jika pasien tidak memberikan respon terhadap obat-obatan yang diberikan dalam perawatan pendahuluan.

*Penatalaksanaan pulpitis, periodontitis apikal, inflamasi intraoral terlokalisir:
Bakteri dapat mencapai pulpa melalui lesi karies, jaringan pulpa yang terbuka akibat trauma, atau mekanisme iatrogenik. Penetrasi dapat terjadi di sepanjang tubulus dentinalis, retakan dentin, atau restorasi gigi yang buruk. Jika seorang anak mengalami pulpitis akut, maka harus dilakukan perawatan gigi [pulpotomi, pulpektomi, atau ekstraksi]. Biasanya, perawatan antibiotik tidak diindikasikan jika proses infeksi hanya mencapai pulpa atau jaringan sekitarnya, tanpa tanda-tanda infeksi sistemik [yaitu, demam, atau pembengkakan wajah].

*Penatalaksanaan inflamasi akut yang berasal dari gigi:
Seorang anak yang mengalami pembengkakan wajah akibat infeksi gigi membutuhkan perawatan gigi segera. Tergantung pada tanda-tanda klinisnya, penatalaksanaannya dapat berupa perawatan atau ekstraksi gigi, serta terapi antibiotik. Alternatifnya, antibiotik dapat diberikan selama beberapa hari untuk menghindari penyebaran infeksi, yang dilanjutkan dengan perawatan gigi kausal. Profesional dental harus mengetahui keparahan infeksi dan kondisi umum anak dalam menentukan rujukan ke rumah sakit untuk administrasi antibiotik melalui jalur intravena.

*Penatalaksanaan traumatisme dental:
Aplikasi antibiotik secara lokal pada permukaan akar gigi yang mengalami avulsi [doksisisklin 1 mg/20 ml] mengurangi kemungkinan terjadinya reabsorbsi akar dan meningkatkan vaskularisasi pulpa. Administrasi antibiotik sistemik dapat dilakukan sebagai perawatan kombinasi [penisilin dan derivatnya dalam dosis tinggi, atau doksisiklin dosis-normal].

*Penatalaksanaan penyakit periodontal pediatrik:
Dalam penyakit periodontal yang berhubungan dengan neutropeni, Papillon-Lefevre syndrome, dan defisiensi adhesi leukosit, sistem imun anak tidak dapat mengendalikan pertumbuhan patogen periodontal. Jadi, dalam kasus semacam itu, dibutuhkan terapi antibiotik. Kultur dan uji kerentanan dapat dilakukan untuk memilih obat yang paling tepat dalam kasus semacam ini. Antibioterapi jangka panjang diindikasikan untuk penatalaksanaan penyakit periodontal kronis.

*Penatalaksanaan penyakit viral:
Primary herpetic gingivostomatitis bukanlah subyek terapi antibiotik kecuali jika terdapat tanda-tanda infeksi bakteri sekunder.

Pasien yang termasuk dalam indikasi antibiotik profilaksis
Antibiotik profilaksis pada pasien sehat diindikasikan jika direncanakan untuk melakukan pembedahan di lokasi yang terkontaminasi parah [misalnya, bedah periodontal]. Auto-transplantasi gigi juga dapat dilakukan bersamaan dengan terapi antibiotik. Pada pasien immunocompromised, profilaksis semacam itu harus selalu diberikan.
Dalam administrasi suatu antibiotik untuk keperluan profilaksis, konsentrasi obat dalam plasma harus jauh lebih tinggi dibandingkan jika antibiotik digunakan untuk tujuan terapeutik. Jadi, dosis profilaktik yang diberikan sebelum pembedahan haruslah dua kali lipat dibandingkan dosis terapeutik.
Antibiotik profilaksis diindikasikan untuk situasi berikut ini:
a)Pasien yang mengalami gangguan jantung akibat endokarditis; banyak pasien yang beresiko menderita endokarditis setelah menjalani perawatan dental, akibat riwayat gangguan jantung.
The American Academy of Pediatric Dentistry [AAPD] telah menyetujui pedoman pencegahan bakterial endokarditis yang dibuat oleh American Heart Association. Pedoman tersebut menegaskan abhwa anak-anak yang memiliki riwayat administrasi obat-obatan melalui intravena, dan anak-anak yang menderita sindrom tertentu [seperti, Down syndrome, atau Marfan syndrome], beresiko mengalami bakteriall endokarditis, akibat anomali jantung.
b)Pasien immunocompromise: pasien semacam ini tidak dapat mentolerir bakterimia transien setelah perawatan dental invasif. Jadi, pasien yang sedang menjalani kemoterapi, iradiasi, atau transplantasi sumsum tulang harus dirawat dengan hati-hati. Kriteria tersebut juga berlaku pada pasien yang mengalami kondisi berikut ini: infeksi human immunodeficiency virus [HIV], defisiensi imun, neutropenia, imunosupresi, anemia, splenectomy, terbiasa mengkonsumsi steroid, lupus eritematosus, diabetes, dan transplantasi organ.
c)Pasien yang memakai shunt, kateter atau protesa vaskuler: bakterimia setelah perawatan dental invasif akan meningkatkan kolonisasi pada kateter atau shunt vaskuler. Pasien yang menjalani dialisis atau kemoterapi, atau transfusi darah, juga sangat rentan terhadap gangguan ini.

Pemilihan antibiotik
Antibiotik oral yang efektif melawan infeksi odontogenik antara lain penisilin, klindamisin, eritromisin, cefadroxil, metronidazole, dan tetrasiklin. Antibiotik-antibiotik tersebut efektif melawan streptococci dan anaerob rongga mulut. Penisilin V adalah penisilin pilihan untuk kasus infeksi odontogenik. Yang bersifat bakterisidal, dan meskipun spektrum aksinya relatif terbatas, agen ini dapat digunakan untuk perawatan indeksi odontogenik. Untuk profilaksis endokarditis, yang berkaitan dengan perawatan dental, amoksisilin adalah antibiotik pilihan. Amoksisilin yang dikombinasikan dengan asam klavulanat [klavulanat] dapat digunakan dalam kasus-kasus tertentu, karena dapat mempertahankan aktivitas melawan betalaktamase yang biasa diproduksi oleh mikroorganisme penyebab infeksi odontogenik.
Klindamisin merupakan salah satu alternatif untuk pasien yang alergi terhadap penisilin. Obat tersebut bersifat bakteriostatik, meskipun secara klinis, dapat diperoleh aksi bakterisidal menggunakan dosis yang umum dianjurkan. Generasi makrolid terakhir, clarithromycin dan azithromycin juga dapat digunakan jika anak alergi terhadap penisilin. Sefalosporin cefadroxil merupakan pilihan tambahan jika dibutuhkan aksi dalam spektrum yang lebih luas. Metronidazole biasanya digunakan untuk melawan anaerob, dan biasanya diberikan dalam situasi yang dicurigai hanya terdapat bakteri anaerob. Tetrasiklin sangat jarang digunakan dalam praktek kedokteran gigi karena obat-obatan ini dapat menyebabkan perubahan warna gigi, sehingga tidak boleh diberikan pada anak yang berusia kurang dari 8 tahun, atau wanita hamil dan menyusui.

Durasi terapi antibiotik dalam infeksi odontogenik
Durasi ideal terapi antibiotik adalah siklus tersingkat yang mampu mencegah relaps klinis dan mikrobiologis. Sebagian besar infeksi akut akan sembuh dalam waktu 3-7 hari. Jika digunakan antibiotik oral, perlu dipertimbangkan pemberian dosis yang lebih tinggi agar diperoleh batas terapeutik dengan cepat.

KESIMPULAN
Sebelum melakukan perawatan dental pada anak-anak yang menderita beberapa jenis sindrom, gangguan medis atau penyakit lain yang kurang familier, dianjurkan untuk berkonsultasi dengan dokter anak, agar kerentanan anak terhadap infeksi yang diinduksi melalui bakterimia dapat ditentukan.
Dalam beberapa tahun terakhir, penggunaan antibiotik untuk tujuan preventif atau terapeutik cenderung dikurangi. Langkah ini didasarkan pada bukti-bukti ilmiah yang ada, dan berdasarkan pengalaman profesional. Perkembangan resistensi bakteri, keraguan terhadap khasiat perawatan preventif, dan kemungkinan terjadinya reaksi toksik atau sampingan memunculkan berbagai pertanyaan tentang resiko dan manfaat penggunaan antibiotik. American Academic of Pediatric Dentistry telah menyajikan serangkaian pedoman klinis penggunaan antibiotik yang menganjurkan pemberian resep konservatif, hal ini dipicu oleh meningkatnya prevalensi resistensi.
Di Spanyol, dianjurkan untuk membuat suatu sistem pengawasan epidemiologis agar resistensi semacam itu dapat diawasi. Penelitian follow up periodik tingkat nasional yang dilakukan berbasis multi-center merupakan langkah yang bermanfaat untuk mengambil keputusan tentang cara terbaik menghindari insiden dan penyebaran resistensi bakteri.

Read more...

08 May 2009

Hubungan Trauma from Occlusion Dengan Penyakit Periodontal

Pendahuluan
Oklusi dan hubungannya dengan penyakit periodontal telah dan masih menjadi bahan kontroversi. Selama bertahun-tahun, sejumlah penelitian pada manusia dan binatang percobaan berusaha menyelidiki hubungan tersebut. tujuan Clinical Update ini adalah untuk meringkas penelitian terdahulua, mendeskripsikan tanda dan gejala trauma oklusi, dan membahas pertimbangan-pertimbangan perawatan.

Definisi
Sebelum membahas trauma oklusi, pemaparan definisi yang umum digunakan dapat membantu memahami subyek ini.

Trauma oklusal: Suatu perlukaan pada apparatus perlekatan akibat tekanan oklusal yang berlebihan. Trauma oklusal adalah perlukaan jaringan, bukan tekanan oklusal. Trauma oklusal dapat dibagi menjadi 3 kategori umum:
1)Trauma oklusal primer: Perlukaan akibat tekanan oklusal berlebihan yang diaplikasikan pada gigi-geligi yang memiliki dukungan normal. Contohnya, restorasi yang tinggi, bruksisme, pergeseran atau ekstrusi ke ruang edentulous, dan pergerakan ortodontik.
2)Trauma oklusal sekunder: Perlukaan akibat tekanan oklusal normal yang diaplikasikan pada gigi-geligi tanpa dukungan yang adekuat.
3)Trauma oklusal kombinasi: Perlukaan akibat tekanan oklusal berlebihan pada periodonsium yang berpenyakit. Dalam kasus ini, terjadi inflamasi gingiva, pembentukan poket, dan tekanan oklusal berlebihan yang umumnya disebabkan oleh tekanan parafungsional.

Oklusi traumatogenik: Oklusi yang dapat menghasilkan tekanan penyebab perlukaan pada apparatus perlekatan.

Traumatisme oklusal: Proses keseluruhan dimana oklusi traumatogenik mengakibatkan perlukaan apparatus perlekatan periodontal.


Latar Belakang
Kurang lebih 100 tahun lalu, diduga bahwa oklusi berperan signifikan dalam penyakit periodontal dan pembentukan celah vertikal. Glickman memperkenalkan Theory of Codestruction untuk menjelaskan hubungan antara oklusi dengan penyakit periodontal. Beliau mendeskripsikan dua regio dalam periodonsium: zona iritasi [gingiva marginal dan interdental dan serat transeptal] dan zona kodestruksi [ligamentum periodontal, tulang alveolar, sementum, serat transeptal dan crest alveolar]. Beliau menduga bahwa inflamasi gingiva yang diinduksi oleh plak terjadi di zona iritasi. Tekanan oklusi atau oklusi traumatogenik menyerang zona kodestruksi namun tidak menyebabkan inflamasi gingiva. Namun, trauma oklusal yang dikombinasikan dengan inflamasi yang diinduksi oleh plak menimbulkan tekanan kodestruktif akibat perubahan jalur normal inflamasi dan pembentukan defek tulang angular serta poket infrabony.

Berbeda dengan teori kodestruksi, Warhaug menyatakan bahwa tidak ada bukti bahwa trauma oklusal menyebabkan atau berperan sebagai suatu kofaktor dalam pembentukan defek angular. Beliau menduga bahwa poket infrabony disebabkan oleh peningkatan “plaque front” atau perkembangan plak subgingiva di apikal, dan pembentukan defek tulang horisontal ataupun angular tergantung pada lebar tulang interproksimal. Gigi-geligi yang memiliki tulang interproksimal sempit mengalami defek horisontal sedangkan gigi-geligi yang memiliki tulang interproksimal lebar cenderung mengalami defek angular atau vertikal.

Sejumlah penelitian pada binatang percobaan menggunakan Squirrel Monkey dan Beagle Dog mengevaluasi efek tekanan jiggling/goncangan yang berlebihan dalam kondisi periodontitis eksperimental. Kedua kelompok ini memberikan hasil yang berbeda dan mungkin disebabkan oleh perbedaan desain penelitian dan model binatang yang digunakan.

Kesimpulan penelitian tersebut adalah sebagai berikut:
1)Trauma oklusal tidak memicu inflamasi gingiva
2)Jika tidak terjadi inflamasi, oklusi traumatogenik akan meningkatkan mobilitas, pelebaran PDL, penurunan tinggi tulang crestal dan volume tulang, namun tidak terjadi kehilangan perlekatan.
3)Jika terjadi inflamasi gingiva, tekanan jiggling yang berlebihan tidak akan mempercepat kehilangan perlekatan pada squirrel monkey namun peningkatan tekanan oklusal akan mempercepat kehilangan perlekatan pada Beagle dog.
4)Perawatan inflamasi gingiva dalam kondisi mobilitas kontinyu atau trauma jiggling akan mengurangi mobilitas dan meningkatkan densitas tulang, namun tidak akan mengubah tinggi perlekatan atau tulang alveolar.

Tanda dan Gejala
Saat mengevaluasi pasien yang dicurigai mengalami trauma oklusal, terdapat sejumlah gejala klinis dan radiografik. Indikator trauma oklusi tersebut adalah sebagai berikut:

Klinis
1.mobilitas [progresif]
2.nyeri saat mengunyah atau perkusi
3.fremitus
4.prematuritas/diskrepansi oklusal
5.keausan yang disertai dengan beberapa indikator klinis lainnya
6.migrasi gigi
7.gigi retak atau fraktur
8.sensitivitas termal

Radiografik
1.pelebaran ruang PDL
2.kehilangan tulang [furkasi, vertikal, sirkumferensial]
3.resorpsi tulang

Tujuan terapeutik dan pertimbangan perawatan
Tujuan terapi periodontal dalam perawatan traumatisme oklusal harus dilakukan untuk memelihara kenyamanan dan fungsi periodonsium. Untuk mencapai tujuan tersebut, perlu dipertimbangkan beberapa pilihan perawatan, sebagai berikut:
a.penyesuaian oklusal [occlusal adjustment]
b.penatalaksanaan kebiasaan parafungsional
c.stabilisasi gigi-geligi yang goyang secara temporer, provisional, atau jangka panjang menggunakan alat lepasan ataupun cekat
d.pergerakan gigi ortodontik
e.rekonstruksi oklusal
f.pencabutan gigi tertentu

Penyesuaian oklusal atau grinding selektif didefinisikan sebagai reshaping permukaan oklusi gigi-geligi melalui grinding untuk menciptakan relasi kontak yang harmonis antara gigi-geligi rahang atas dan bawah. Karena terdapat kontroversi dalam hal trauma oklusi dan perannya dalam perkembangan penyakit periodontal, hal tersebut juga berlaku dalam subyek penyesuaian oklusal. Workshop in Periodontics tahun 1989 membuat daftar indikasi dan kontraindikasi penyesuaian oklusal sebagai berikut:

Indikasi penyesuaian oklusal
1)Untuk mengurangi tekanan traumatik gigi-geligi yang menimbulkan:
- Peningkatan mobilitas atau fremitus agar terjadi perbaikan apparatus perlekatan periodontal
- Ketidaknyamanan selama kontak atau fungsi oklusal
2)Untuk memperoleh hubungan fungsional dan efisiensi pengunyahan melalui perawatan restoratif, ortodontik, bedah ortognatik, ataupun trauma rahang jika diindikasikan.
3)Sebagai terapi tambahan untuk mengurangi kerusakan akibat kebiasaan parafungsional
4)Reshape gigi-geligi yang berperan dalam perlukaan jaringan lunak ini
5)Untuk menyesuaikan relasi marginal ridge dan cusp yang menyebabkan impaksi makanan


Kontraindikasi penyesuaian oklusal
1)Penyesuaian oklusal tanpa pemeriksaan, dokumentasi, dan penyuluhan pasien pra-perawatan yang cermat
2)Penyesuaian profilaktik tanpa tanda dan gejala trauma oklusal
3)Sebagai perawatan primer inflamasi penyakit periodontal yang diinduksi oleh mikroba
4)Jika status emosional pasien tidak memberikan hasil yang memuaskan
5)Kasus ekstrusi parah, mobilitas atau malposisi gigi-geligi yang tidak akan memberikan respon jika hanya dilakukan penyesuaian oklusal saja.

Sejumlah penelitian melaporkan bahwa terjadinya diskrepansi oklusal tidak berhubungan dengan peningkatan kerusakan yang disebabkan oleh penyakit periodontal. Burgett menemukan bahwa pasien yang menjalani perawatan penyesuaian oklusal sebagai salah satu bagian dari perawatan periodontal, secara statistik, memperoleh peningkatan tinggi perlekatan yang lebih baik dibandingkan dengan pasien yang tidak menjalani perawatan penyesuaian oklusal. Meskipun hasil tersebut dinyatakan signifikan secara statistik, perbedaan klinis tersebut tidak memiliki signifikansi klinis. World Workshop in Periodontics pada tahun 1996 menemukan beberapa penelitian tentang peran oklusi dalam penyakit periodontal. Mereka tidak menemukan penelitian prospektif terkontrol tentang peran oklusi dalam penyakit periodontal yang tidak dirawat dan pertimbangan etika membatasi dilakukannya penelitian semacam itu. Baru-baru ini, dua penelitian pada manusia menemukan bahwa gigi-geligi yang mengalami diskrepansi oklusal memiliki kedalaman probing yang lebih dalam, mobilitas yang lebih besar dan prognosis yang lebih buruk dibandingkan dengan gigi-geligi tanpa diskrepansi oklusal. Penelitian tersebut juga menemukan bahwa perawatan diskrepansi oklusal berhasil mengurangi perkembangan penyakit periodontal, secara signifikan, dan merupakan salah satu faktor penting dalam keseluruhan perawatan penyakit periodontal.

Telah diketahui bahwa penyesuaian oklusal yang hanya ditujukan untuk menentukan pola konseptual yang ideal, dikontraindikasikan. Perawatan tersebut sebaiknya hanya dilakukan jika ditujukan untuk mempermudah perawatan atau menghambat tekanan destruktif aktif. Jika direncanakan untuk melakukan terapi oklusal sebagai bagian dari perawatan periodontal, biasanya ditunda sampai terapi awal yang ditujukan untuk meminimalisir inflamasi periodonsium telah selesai. Langkah ini didasarkan pada fakta bahwa inflamasi saja dapat berperan signifikan dalam mobilitas gigi.

Berikut ini adalah indikasi dan kontraindikasi splinting seperti yang dibuat dalam World Workshop in Periodontics tahun 1989:
Indikasi splinting
1.Menstabilkan gigi-geligi yang memiliki mobilitas tinggi dan tidak memberikan respon terhadap penyesuaian oklusal dan perawatan periodontal.
2.Menstabilkan gigi-geligi yang memiliki mobilitas tinggi dan tidak memberikan respon terhadap penyesuaian oklusal dan perawatan, serta terjadi gangguan fungsi normal dan kenyamanan pasien
3.Mempermudah perawatan gigi-geligi pasien yang sangat mobile melalui splinting sebelum instrumentasi periodontal dan prosedur penyesuaian oklusal
4.Mencegah tipping atau pergeseran gigi-geligi dan ekstrusi gigi-geligi yang tidak memiliki antagonis
5.menstabilkan gigi-geligi setelah pergerakan ortodontik, jika perlu
6.Menciptakan stabilitas oklusal yang adekuat jika akan dilakukan penggantian gigi-geligi
7.Splint gigi-geligi sehingga akar dapat dicabut dan mahkota tertahan di tempatnya
8.Menstabilkan gigi-geligi setelah trauma akut

Kontraindikasi splinting
1)jika perawatan inflamasi penyakit periodontal belum dilakukan
2)jika penyesuaian oklusal untuk mengurangi trauma dan/atau gangguan belum pernah dilakukan
3)jika tujuan splinting hanya untuk mengurangi mobilitas gigi setelah splint dilepas

Beberapa penelitian menunjukkan terjadinya peningkatan resorpsi tulang dan kehilangan perlekatan pada gigi-geligi yang mobile dan fremitus. Mobilitas gigi dapat disebabkan oleh trauma oklusi, resorpsi tulang alveolar dan kehilangan perlekatan periodontal, serta inflamasi periodontal. Pada kenyataannya, splinting gigi-geligi dalam kondisi hiperoklusi akan membahayakan gigi-geligi lainnya yang di-splint. Sejumlah penelitian menunjukkan tidak adanya perbedaan antara gigi-geligi yang di-splint selama atau setelah terapi awal [skeling dan root planing], atau bedah resektif tulang dibandingkan dengan gigi-geligi yang tidak di-splint. Meskipun data yang ada sangat terbatas, mobilitas gigi pada gigi-geligi yang sangat mobile perlu dilakukan saat mempertimbangkan prosedur regeneratif.

Ringkasan
Meskipun peran oklusi dalam perkembangan penyakit periodontal telah dibahas dan diselidiki selama lebih dari 100 tahun, serta telah dan masih menjadi salah satu subyek kontroversi. Telah dipahami bahwa trauma oklusi tidak memicu atau mempercepat kehilangan perlekatan akibat penyakit periodontal inflamasi. Namun, masih dipertanyakan apakah ada hubungan antara trauma oklusi dengan peningkatan mobilitas gigi progresif menyebabkan kehilangan perlekatan pada pasien yang mengalami penyakit periodontal inflamasi. Oleh karena itu, perawatan pasien periodontal yang mengalami gangguan oklusal merupakan tujuan pertama terapi harus ditujukan untuk meredakan inflamasi yang diinduksi oleh plak. Jika hal ini telah dilakukan, kemudian dapat dilakukan perawatan untuk menyesuaikan oklusi. Hal ini akan mengurangi mobilitas, mengurangi lebar ruang ligamentum periodontal, dan meningkatkan volume tulang. Terakhir, untuk kasus terapi degeratif, perlu dipertimbangkan untuk menstabilkan gigi-geligi yang mobile, sebelum pembedahan dilakukan.

Read more...

Berhitung!

Pasang Aku Yaa

go green indonesia!
Solidaritas untuk anak Indonesia

  © Blogger templates Newspaper III by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP