17 February 2009

Biomarker Saliva Sebagai Alat Bantu Diagnostik Kanker Rongga Mulut

PENDAHULUAN
Saliva adalah suatu cairan rongga mulut yang kompleks dan terdiri atas campuran sekresi kelenjar ludah mayor dan minor yang ada pada mukosa rongga mulut. Saliva yang terbentuk dalam rongga mulut, kurang lebih 90% dihasilkan oleh kelenjar submaksilaris dan parotis, 5% oleh kelenjar sublingual, dan 5% lainnya dihasilkan oleh kelenjar ludah minor.[1]
Setiap hari, kelenjar saliva manusia menghasilkan 600 mL serosa dan mucin saliva yang mengandung mineral, elektrolit, buffer, enzim dan inhibitor enzim, faktor pertumbuhan dan sitokin, imunoglobulin, mucin, dan glikoprotein lainnya. Setelah melewati duktus dan masuk ke dalam rongga mulut, saliva akan bercampur dengan sel-sel darah, mikroorganisme (virus, bakteri dan jamur) dan produk-produknya, sel-sel epitel rongga mulut dan produk sel, sisa makanan, serta sekresi saluran pernapasan atas.[2,3]

Meskipun kandungan terbesarnya adalah air, saliva memiliki peran fisiologis dalam lubrikasi dan perbaikan mukosa rongga mulut, pembentukan dan penelanan bolus makanan, pencernaan karbohidrat, memungkinkan fungsi indera pengecap, dan mengendalikan populasi mikroba orofaring. Saliva juga membantu pembentukan plak, melalui sifat supersaturasi dengan mineral gigi, suatu proses dimana email gigi dapat termineralisasi. Selain itu, saliva juga memiliki komponen antimikroba dan agen buffer yang melindungi dan memelihara jaringan rongga mulut. Protein yang ditemukan dalam saliva, antara lain laktoferin, lisozim, peroksidase, defensin, dan histatin, dapat menghancurkan atau menghambat perkembangan mikroorganisme, yang memiliki sifat fungisidal.[2]
Komponen multifaktorial dalam saliva tidak hanya melindungi integritas jaringan rongga mulut, tapi juga memberikan petunjuk terjadinya penyakit atau kondisi sistemik dan lokal. “Biormarker” saliva ini telah seringkali dieksplorasi untuk memonitoring kesehatan dan diagnosis dini suatu penyakit. Biomarker saliva, seperti kalikrein, faktor pertumbuhan epidermal, dan p53 diperkirakan sebagai penanda tumor dalam keganasan pada payudara, ovarium, paru-paru, dan usus besar.. Pemeriksaan menggunakan saliva sebagai alat diagnostik membuka jalan bagi berbagai pengujian dan penelitian klinis. Molekul-molekul yang disebutkan di atas juga dinyatakan sebagai penanda tumor potensial dalam karsinoma sel squamous rongga mulut.[2,4]

BIOMARKER SALIVA SEBAGAI ALAT BANTU DIAGNOSIS KANKER RONGGA MULUT
Meskipun kanker rongga mulut cukup sering ditemukan pada pasien yang menjalani pemeriksaan rongga mulut, belum ada penanda tumor spesifik yang mampu mendeteksi dan menegakkan diagnosis kanker sacara sederhana dan efektif. Dalam berbagai macam kasus kecurigaan kanker di tempat pelayanan kesehatan primer (puskesmas), tidak dilakukan penegakkan diagnosis, pasien cenderung dirujuk ke dokter spesialis di rumah sakit sekunder atau tersier, setelah penyakit berkembang ke stadium lanjut. Penundaan tersebut menghalangi dilakukannya perawatan dini dan mengharuskan pasien menjalani perawatan yang lebih ekstensif.[5]
Peningkatan konsentrasi beberapa biomarker saliva dihubungkan dengan kanker payudara dan ovarium. Dan peningkatan kandungan protein dalam saliva juga dihubungkan dengan karsinoma sel squamous. Kemungkinan kanker rongga mulut, seperti kanker lidah juga dilaporkan pada individu yang memiliki kandungan nitrit dan nitrat tinggi.[6]
Salah satu penelitian yang dilakukan oleh Katakura dkk, untuk mencari informasi tentang biomarker saliva khusus untuk kanker rongga mulut menggunakan 4 macam sitokin dalam saliva dan ELISA, menemukan bahwa konsentrasi keempat sitokin lebih tinggi pada grup pasien yang menderita kanker rongga mulut dibandingkan dengan grup kontrol. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa saliva berpotensi untuk mendeteksi lesi pra-kanker.[5]
Glikoprotein saliva berperan penting dalam kandungan dan fungsi saliva. Penyimpangan glikosilasi merupakan tanda universal kanker. Glikoprotein dan glikolipid merupakan kandungan penting membran sel; sehingga, mereka berperan penting dalam keganasan. Glikokonjugat tersebut dilepaskan dalam sirkulasi melalui peningkatan turn-over [arus balik], sekresi, atau pelepasan sel-sel maligna. Penelitian terdahulu melaporkan peningkatan asam sialat (TSA), dan rasio protein total dalam serum berbagai jenis keganasan.[4]

Asam Sialat
Beberapa penelitian melaporkan signifikansi asam sialat sebagai salah satu penanda tumor. Perubahan proses glikosilasi dalam sel-sel tumor berperan dalam biosintesis beberapa oligosakarida tertentu; jadi, sel-sel ganas mengandung residu asam sialat dalam jumlah besar.[4]
Asam sialat merupakan unsur pokok dalam berbagai macam glikoprotein saliva dan merupakan mediator adhesi bakteri. Konsentrasi asam sialat saliva dipengaruhi oleh berbagai jenis penyakit rongga mulut.[4,7]
Beberapa penelitian melaporkan peningkatan konsentrasi asam sialat dalam saliva ibu hamil, penderita Down’s syndrome, dan diabetes mellitus. Dablesteen dkk, melaporkan terjadinya peningkatan kandungan asam sialat dalam kanker rongga mulut. Baxi dkk, menyelidiki konsentrasi asam sialat dalam berbagai macam kanker dan menemukan konsentrasi asam sialat dalam serum penderita kanker lebih tinggi dibandingkan dengan subyek sehat. Peningkatan kandungan asam sialat dalam serum penderita kanker rongga mulut menunjukkan peran potensial biomarker saliva ini dalam diagnosis dan menentukan stadium klinis penyakit keganasan.[4]

Protein Total
Konsentrasi protein dan gula total pada penderita karsinoma sel squamour rongga mulut juga meningkat. Namun, peran kedua substansi tersebut dalam keganasan belum diketahui.[4]
Perkembangan terbaru dalam proteomik berhasil mengidentifikasi berbagai macam protein, dalam whole saliva dan sekresi setiap kelenjar. Para peneliti telah menemukan sekitar 309 protein dalam whole saliva, dan 130 protein dalam pelikel email. Namun, proteomik tidak dapat digunakan untuk mengidentifikasi konsentrasi setiap protein, yang sebagian besar hanya berupa trace amount [sedikit]. Dari database peptida beberapa jenis protein yang diketahui, para peneliti dapat mengidentifikasi protein yang terkandung dalam saliva. Ditemukannya beberapa jenis protein tertentu dalam saliva dapat digunakan untuk memprediksi terjadinya karsinoma sel squamous.[3]
Streckfus dkk, dan Bonassi dkk, melaporkan bahwa jenis protein tertentu, yang merupakan biomarker perkembangan penyakit dalam organ selain rongga mulut, juga ditemukan dalam saliva. Namun, tidak ada protein dalam saliva yang mengindikasikan kanker rongga mulut secara spesifik.[5]
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Shpitzer dkk, untuk mengevaluasi parameter biokimia dan imunologis dalam saliva penderita karsinoma sel squamour, menemukan terjadinya perubahan komposisi saliva pada penderita karsinoma sel squamous, yang menunjukkan gangguan lingkungan rongga mulut pasien tersebut dan menganjurkan analisis saliva sebagai alat diagnostik baru untuk kanker rongga mulut.8


PERKEMBANGAN ANALISIS SALIVA UNTUK MENDETEKSI KANKER RONGGA MULUT
Dengan diketahuinya manfaat saliva sebagai suatu cairan diagnostik, pada tahun 1992, New York Academy of Sciences mensponsori konferensi besar yang membahas masalah ini. Para peserta konferensi menganjurkan pengembangan pengujian yang lebih sensitif dan spesifik untuk mengukur dan memahami perubahan dalam saliva akibat terapi dan penyalahgunaan obat-obatan, fungsi endokrin, penyakit sistemik dan rongga mulut, kelainan genetik, status nutrisi, serta perubahan akibat-pertambahan usia. Konferensi tersebut menyadarkan potensi diagnosis menggunakan saliva, dan penelitian yang dilakukan berhasil mengembangkan pengujian saliva yang lebih sensitif, dan mampu meningkatkan pemahaman kita tentang hubungan antara kesehatan mulut dengan kesehatan umum.[2]
Telah dikembangkan teknik baru yang dapat memisahkan dan menganalisis semua protein yang ditemukan dalam saliva manusia, bukan hanya yang terlarut didalamnya. Teknik ini dinamakan “fraksionasi peptida tiga-tahap” [three-step peptide fractionation], yang dapat menguraikan protein penanda kanker rongga mulut dan penyakit lainnya dalam rongga mulut. Metode ini dikembangkan oleh Timothy Griffin dkk, di American Society of Biochemistry and Molecular Biology.[9]
Mereka memeriksa sampel saliva dari empat pasien kanker dan menemukan lebih dari 1000 protein manusia, termasuk protein penyebab kanker. Mereka juga memisahkan protein-protein dari lebih dari 30 jenis bakteri, yang belum pernah ditemukan dalam saliva, dan beberapa diantaranya juga memiliki hubungan dengan kanker.[9]
Chih-Ming Ho, seorang profesor, dan beberapa koleganya di UCLA Micro Systems Laboratories, mengembangkan suatu sensor yang dapat digunakan untuk mendeteksi biomarker dalam sampel saliva yang berhubungan dengan kanker rongga mulut. Sensor tersebut dihubungkan dengan microchip yang telah diprogram untuk berikatan dengan protein spesifik, dan akan menghasilkan sinyal fluorosens saat molekul-molekulnya saling berikatan.[10]
Mereka menggunakan 20 sampel saliva-10 saliva sehat, dan 10 saliva dari penderita kanker- dan sensor tersebut mampu membedakan setiap kasus antara saliva penderita kanker dan individu sehat. Sensor optik dalam alat tersebut mendeteksi protein IL-8 yang lebih tinggi dari konsentrasi normalnya dalam saliva, hal ini merupakan penanda terjadinya keganasan. Sensor protein ultra-sensitif tersebut dinyatakan dapat diaplikasikan dalam diagnosis berbagai macam penyakit. Deteksi klinis biomarker-penyakit menggunakan saliva merupakan metode yang non-invasif dan sederhana, dan menjadi alternatif pemeriksaan darah, urin, ataupun biopsi.[10]

RINGKASAN
Saliva merupakan cairan kompleks yang mengandung berbagai unsur organik dan anorganik, yang secara kolektif, berperan dalam lingkungan rongga mulut. Glikoprotein saliva berperan penting dalam sifat dan fungsi saliva. Minat dalam saliva sebagai alat bantu diagnostik telah berkembang dalam beberapa tahun terakhir.
Di klinik dan laboratorium, saliva relatif mudah diperoleh dalam jumlah yang cukup untuk keperluan analisis, biaya penyimpanan dan pengirimannya juga lebih rendah dibandingkan dengan pemeriksaan serum dan urin. Bagi pasien, teknik pengambilan saliva yang non-invasif akan mengurangi kecemasan dan ketidaknyamanan. Namun, hanya sedikit penelitian yang menggunakan saliva sebagai cairan diagnostik untuk kanker rongga mulut. Analisis biokimia saliva belum dievaluasi dalam laboratorium klinis. Sehingga kita dapat menghitung kandungan asam sialat dan protein total pada penderita kanker rongga mulut untuk mengembangkan metode diagnostik yang hemat biaya dan sederhana.

DAFTAR PUSTAKA

1.Kidd EAM, Bechal SJ. Karies dan saliva. In: Dasar-dasar karies dan penanggulangannya, Sumawinata N, Faruk F, alih bahasa. Jakarta: EGC. P.66-67.

2.Lawrence HP. Salivary markers of systemic disease: Noninvasif diagnosis of disease and monitoring of general health. J Can Dent Assoc, 2002; 68(3): 170-4.

3.Dawes C. Salivary flow pattern and the health of hard and soft oral tissues. JADA, 2008; 139: 185-146. Downloaded from http://www.jada.ada.org on Feb, 4 2009/

4.Sanjay PR, Hallikeri K, Shivashankara AR. Evaluation of salivary sialic acid, total protein, and total sugar in oral cancer: A preliminary report. Indian J Denta Rest, 2008; 19(4): 288-291. Downloaded from http://www.ijdr.in on Jan, 21 2009.

5.Katakura A, Kamiyama I, Takano N, et al. Comparison of salivary cytokine levels in oral cancer patients and healthy subjects. Bull Tokyo Dent Coll, 2007; 48(4): 199-203.

6.Rai B, Kharb S. Saliva as a diagnostic tool in medical science: a review study. Adv in med dent, 2008; 2(9): 9-12.

7.Ozturk LK, Furunculoglu H, Atala MH, et al. Association between dental-oral health in young adults and salivary glutathione, lipid, peroxidation and sialic acid levels and carbonic anhydrase activity. Braz |J Med Biol Res Online Ahead of Print, 2008. Downloaded from http://www.bjournal.com.br on Feb, 4 2009.

8.Shpitzer T, Gideon B, Raphael F, et al. A comprehensive salivary analysis for oral cancer diagnosis. Jou Ca Res and Clin Oncol, 2007; 133(9): 613-617.

9.Anonim. Analyzing saliva-proteins may help to detect oral cancer. Available at: http://www.medindia.com/cancernews.htm. Accessed at: Feb, 4 2009.

10.Piquepaille R. Sensors to detect oral cancer in saliva. Available at: http://CBS.us/article/emergingtech.htm. Accessed at: Feb, 4 2009.

Read more...

Visualisasi dan Kuantifikasi Senyuman Dinamis

Abstrak
“Seni senyuman” terletak pada kemampuan klinisi untuk mengenali elemen kecantikan yang positif dari setiap pasien kemudian menyusun suatu strategi untuk memperbaiki fitur-fitur yang berada di luar parameter konsep estetik yang berlaku. Teknologi baru telah mengembangkan kemampuan kita untuk melihat pasien secara lebih dinamis dan memungkinkan kuantifikasi dan komunikasi konsep fungsi dan penampilan terbaru. Dalam artikel bagian-2 ini, kami menyajikan metode komprehensif untuk mencatat, menilai, dan membuat rencana perawatan senyuman dalam 4-dimensi. Dalam bagian pertama, kami akan membahas evolusi analisis senyuman dan meninjau catatan dinamis yang dibutuhkan. Dalam bagian kedua, kami membahas analisis senyuman dan strategi perawatannya, serta menguraikan satu laporan kasus singkat.
Sumber: Am J Orthod Dentofacial Orthop 2003; 124: 116-27.


Dahulu, analisis senyuman dibuat dalam 1 tampilan—yaitu, dari sisi frontal/depan. Namun karena penampilan seseorang berbentuk 3-dimensi (kita melihat individu secara frontal hanya pada satu fraksi waktu), maka dalam perawatan senyuman diberlakukan hal yang sama. Kami telah mengembangkan analisis senyuman dan menyertakan 3 dimensi lainnya—oblique, sagital, dan keseluruhan—masing-masing memiliki peran penting dalam komposisi senyuman.
Perbedaan antara senyuman sosial dengan senyum kebahagiaan/ekspresif. Senyum sosial merupakan suatu senyum voluntary/sengaja yang digunakan seseorang dalam kondisi sosial atau saat berpose untuk pemotretan. Saat anda diperkenalkan kepada seseorang, senyum anda menunjukkan bahwa anda ramah dan “senang” bertemu orang tersebut. Senyum kebahagiaan merupakan senyum involuntary/alamiah yang mengungkapkan emosi anda rasakan saat itu. Jadi senyum kebahagiaan memiliki berbagai deskripsi, seperti tertawa, masam, lebar, atau hambar. Perbedaan tampilan visual merefleksikan emosi di dalam hati dan diatur secara mekanis oleh semua otot ekspresi wajah, perbedaan nuansa dan penggunaan otot-otot tersebut. Sebagai contoh, dalam senyum yang disadari/disengaja, ujung mulut sedikit terangkat, dan alis mata juga ikut naik. Kita menyebutnya tersenyum, namun bibir tidak terbuka lebar dan memperlihatkan gigi-geligi. Menurut Darwin dan Duchenne, kita “tersenyum dengan mata.”
Dalam perawatan diskrepansi oklusal, ahli ortodontik harus mengulangi posisi hubungan gigi-geligi dengan rahang agar dapat digunakan sebagai titik referensi. Dalam kedokteran gigi, posisi referensi oklusi yang paling sering digunakan adalah mandibula yang terletak dalam posisi sedikit retrusi. Dalam perawatan senyum, senyum sosial mewakili senyuman berulang. Namun pada beberapa pasien, senyum sosial akan bertambah matang dan tidak konsisten dari waktu ke waktu.
Kami memilih senyum sosial sebagai representasi yang akan dianalisis secara 4 dimensi: frontal, oblique, sagital, dan waktu-khusus (Gambar 1).

DIMENSI FRONTAL
Untuk memvisualisasi dan mengkuantifikasi senyuman frontal, Ackerman dan Ackerman mengembangkan suatu rasio, bernama indeks senyum [smile index], yang mendeskripsikan daerah yang dibatasi oleh vermilion border bibir saat menampilkan senyum sosial. Indeks senyum ditentukan dari pembagian lebar inter-komisura dengan celah interlabial saat tersenyum (Gambar 2). Rasio ini digunakan untuk membandingkan senyum setiap pasien atau pada satu pasien, dari waktu ke waktu.
Secara frontal, kita dapat memvisualisasi dan mengkuantifikasi 2 dimensi utama senyuman: karakteristik vertikaldan transversal. Karakteristik vertikal senyuman dikategorikan menjadi 2 fitur utama: senyuman yang memperlihatkan gigi-geligi insisivus dan senyuman yang memperlihatkan gingiva. Pertama-tama, klinisi harus memastikan apakah pasien menampilkan arsitektur gingiva dan gigi-geligi dalam kerangka senyum secara adekuat. Sebagai contoh, jika pasien menampilkan kurang dari 75% mahkota gigi insisivus sentralis saat tersenyum, tampilan gigi tersebut dinyatakan kurang adekuat. Kemudian timbul pertanyaan, elemen apa dalam sistem tersebut yang berperan? Dalam contoh tersebut, tampilan gigi insisivus yang kurang adekuat mungkin disebabkan oleh kombinasi defisiensi vertikal rahang atas, keterbatasan daerah senyum (indeks senyum yang besar), dan tinggi mahkota klinis kurang. Jika mahkota klinis rendah adalah penyebab utama ketidakadekuatan tampilan gigi, maka kita harus membedakan antara kurangnya erupsi gigi-geligi (yang diatasi melalui observasi), pelanggaran batas gingiva (yang diatasi dengan periodontik kosmetik), dan pemendekan gigi-geligi insisivus akibat atrisi (yang dirawat dengan cosmetic dentistry).

Karakteristik senyum vertikal lainnya adalah hubungan antara incisal edge dengan gigi-geligi insisivus rahang atas dan bibir bawah, dan antara margin gingiva gigi-geligi insisivus rahang atas dan bibir atas. Margin gingiva gigi kaninus harus sejajar dengan bibir atas dan gigi insisivus lateral terletak sedikit ke inferior dibandingkan gigi-geligi tetangganya. Secara umum, dalam senyuman sosial, margin gingiva harus sejajar dengan bibir atas. Namun, hal ini dipengaruhi oleh fungsi usia, karena anak-anak menampilkan lebih banyak gigi-geligi saat istirahat dan cenderung menampilkan gingiva saat tersenyum, dibandingkan pada orang dewasa.
Terdapat tiga karakteristik transversal senyuman dalam dimensi frontal, yaitu bentuk lengkung, batas bukal, dan kemiringan transversal bidang oklusal rahang atas. Bentuk lengkung berperan penting dalam dimensi transversal senyuman. Akhir-akhir ini, perawatan ortodontik lebih difokuskan pada bentuk lengkung persegi dan lebar. Jika bentuk lengkung sempit atau kurang berkembang, senyuman juga akan terlihat lebih sempit, sehingga karakteristik senyuman transversal kurang adekuat. Pertimbangan penting dalam memperluas bentuk lengkung rahang yang sempit, terutama pada orang dewasa, adalah inklinasi aksial ke segmen bukal. Pasien yang gigi-geligi posteriornya melebar ke lateral bukan kandidat yang tepat untuk pemasangan ekspansi. Pasien yang gigi premolar dan molarnya miring ke kanan memiliki kemampuan lebih untuk ekspansi transversal; hal ini terbukti pada remaja, namun sangat penting pada orang dewasa karena ekspansi sutural kurang berkembang. Ekspansi ortodontik dan perluasan bentuk lengkung yang tidak berkembang dapat memperbaiki senyuman secara dramatis, yaitu dengan menambah ukuran koridor bukal dan memperbaiki dimensi senyum transversal (Gambar 3). Dimensi senyum transversal (dan koridor bukal) berhubungan dengan proyeksi lateral gigi premolar dan molar terhadap koridor bukal. Semakin lebar bentuk lengkung di daerah premolar, semakin besar porsi koridor bukal yang terisi.

Ekspansi rahang mungkin dapat mengisi dimensi transversal senyuman, namun mengakibatkan 2 efek yang tidak diinginkan, dan dibutuhkan observasi yang cermat untuk menghindari terjadinya hal tersebut, jika memungkinkan. Pertama, koridor bukal dapat dihilangkan, menghasilkan senyuman pemakai-gigitiruan. Kedua, jika bagian anterior lengkung rahang atas diperluas (Gambar 4A), senyuman akan tampak hambat (Gambar 4B, C). Pada masa sekarang, hal ini sangat penting karena kecenderungan bentuk lengkung yang lebih luas. Meskipun aspek-aspek dalam ekspansi tersebut tidak dapat dihindari, klinisi harus membuat penilaian yang sesuai dengan keinginan pasien sehingga perawatan untuk mencari senyum yang ideal dapat diterima.
Istilah koridor bukal pada awalnya ditambahkan dalam terminologi dental pada akhir tahun 1950an di bidang prostodontik lepasan. Dalam pembuatan gigitiruan, mereka harus membuat-ulang tampilan gigi-geligi alami secara transversal. Senyuman molar-ke-molar dinyatakan sebagai salah satu karakteristik pembuatan gigitiruan yang kurang baik. Koridor bukal diukur dari sudut mesial gigi premolar satu rahang atas sampai bagian dalam komisura bibir. Yang dinyatakan dalam rasio lebar interkomisura dibagi dengan jarak antar gigi premolar satu kanan dan kiri. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, dimensi koridor bukal berhubungan erat dengan bentuk lengkung dan akan dibahas lebih lanjut dalam hubungan dengan posisi sagital rahang atas.
Pada remaja, lebar lengkung rahang ingin diperluas menggunakan rapid maxillary expansion untuk menciptakan ruang dalam perawatan non-ekstraksi. Gambar 5A menunjukkan seorang pasien yang gigi kaninusnya terhalang dan tidak memiliki ruang yang cukup untuk erupsi. Saat tersenyum, ia memiliki ruang negatif yang berlebihan. Dalam tujuan perawatan keseluruhan, dibutuhkan ekspansi untuk menciptakan ruangan yang cukup bagi gigi kaninus. Dimensi senyuman transversal akhir pada usia 14 tahun dinyatakan lebih luas, secara signifikan (Gambar 5B), dan tergantung pada selera anda, ekspansi sebanyak ini mungkin dianggap berlebihan. Namun, seiring dengan proses pematangan (jangan lupa, empat dimensi dan waktu), karakteristik senyum transversal sesuai dengan wajahnya, dan tujuannya dalam karir modeling tidak terhalangi (Gambar 5C).

Karakteristik senyuman transversal akhir adalah kemiringan transversal bidang oklusal rahang atas. Kemiringan transversal dapat terbentuk akibat perbedaan erupsi dan letak gigi-geligi anterior atau asimetri skeletal rahang bawah yang menghasilkan suatu kemiringan penyeimbang pada rahang atas. Gambaran intraoral, ataupun model gigi-geligi, tidak merefleksikan hubungan rahang atas dengan senyuman secara adekuat. Hanya visualisasi senyuman frontal yang memungkinkan ahli ortodontik untuk melihat asimetri gigi-geligi atau skeletal secara transversal. Foto senyuman frontal, baik wajah secara keseluruhan ataupun jarak dekat [close up], merupakan indikator yang lebih baik untuk mengetahui asimetri dental transversal dibandingkan dengan gambaran retraktor frontal. Dengan visualisasi yang baik dan dokumentasi hubungan bibir-gigi, ahli ortodontik dapat membuat adaptasi pemakaian alat dengan baik atau membuat keputusan tentang kebutuhan perkembangan diferensial atau memodifikasi erupsi gigi-geligi rahang atas pada pasien remaja, atau melakukan pembedahan, pada pasien dewasa.
Ketidaksimetrisan senyuman juga berhubungan dengan pertimbangan jaringan lunak, seperti tirai senyum asimetris. Dalam tirai senyuman asimetrik, terdapat perbedaan pengangkatan bibir saat tersenyum, yang menghasilkan ilusi kemiringan rahang atas ke arah transversal. Karakteristik senyuman ini menekankan pada pentingnya pemeriksaan klinis langsung dalam rencana perawatan, karena animasi jaringan lunak ini tidak dapat dilihat dalam radiograf frontal atau tercermin dalam model kerja. Serta, tidak dapat didokumentasikan dalam foto statis dan paling baik didokumentasikan dalam video klip digital.

DIMENSI OBLIQUE
Gambaran oblique senyuman menunjukkan karakteristik senyuman yang tidak dapat diperoleh dalam gambaran frontal dan jelas tidak dapat diperoleh melalui analisis sefalometrik apapun. Bidang palatal dapat dimiringkan ke arah anteroposterior dalam sejumlah orientasi. Dalam orientasi yang paling tepat, bidang oklusal sesuai dengan kurvatura bibir bawah saat tersenyum (lengkung senyuman, akan dibahas kemudian). Deviasi orientasi ini dapat berupa kemiringan bagian posterior rahang atas ke arah bawah, kemiringan bagian anterior rahang atas ke atas, atau variasi keduanya. Dalam pemeriksaan awal dan fase diagnostik perawatan, hubungan bidang oklusal dengan bibir bawah harus divisualisasikan. Gambar 6 mengilustrasikan suatu kondisi open bite saat menjelang pembedahan rahang atas untuk menutup open bite anterior. Keputusan apakah bagian posterior rahang atas harus ditekan atau bagian anterior rahang atas yang diturunkan, tergantung pada jumlah gigi-geligi insisivus yang terlihat saat posisi istirahat dan saat tersenyum, serta hubungan lengkung senyuman, hal ini paling baik dilihat dalam gambaran oblique.
Lengkung senyuman [smile arc] didefinisikan sebagai hubungan kurvatura incisal edge gigi-geligi insisivus rahang atas, kaninus, premolar dan molar dengan kurvatura bibir bawah saat menampilkan senyum sosial. Dalam lengkung senyuman yang ideal, kurvatura incisal edge rahang atas sejajar dengan kurvatura bibir bawah saat tersenyum; konsonan digunakan untuk mendeskripsikan hubungan paralel ini. Lengkung senyuman datar atau non-konsonan ditandai dengan kurvatura insisal rahang atas yang lebih datar dibandingkan dengan kurvatura bibir bawah saat tersenyum. Dahulu, definisi lengkung senyum dibatasi pada kurvatura gigi kaninus dan gigi-geligi insisivus rahang bawah saat tersenyum, karena evaluasi senyuman dibuat dari tampilan frontal langsung. Visualisasi lengkung senyuman sempurna yang diperoleh dari tampilan oblique memperluas definisi lengkung senyum sampai menyertakan gigi premolar dan molar, seperti yang ditampilkan dalam Gambar 7.

DIMENSI SAGITAL
Kedua karakteristik senyuman yang paling baik dilihat dari dimensi sagital adalah overjet dan angulasi gigi-geligi insisivus. Overjet positif yang berlebihan merupakan salah satu sifat dental yang paling dikenali oleh orang awam. Istilah ejekan, seperti “Andy Gump” dan “Bucky Beaver,” melekat pada anak-anak yang tidak beruntung karena mewarisi pola dentofasial semacam itu. Pengoreksian overjet secara ortodontik melibatkan elemen-elemen makro, seperti pola rahang, dan elemen jaringan lunak, seperti proyeksi hidung. Dalam hal senyuman, overjet positif yang berlebihan tidak selalu dapat diketahui dari dimensi frontal, seperti dalam dimensi sagital. Sebagai contoh, dalam berbagai kasus pola Klas II, senyuman tersebut dinyatakan estetik secara frontal, namun gangguannya terlihat jelas saat melihat senyuman itu dari samping. Dalam pola Klas III, hal serupa juga berlaku: senyuman frontal terlihat lebih estetik (Gambar 8A), namun tampilan oblique dan sagital menunjukkan pola skeletal di bawahnya dan kompensasi gigi-geliginya (Gambar 8B). Pasien dan orang tuanya beserta klinisi harus memutuskan apakah ini adalah hasil yang diinginkan, dalam arti, sebagai tampilan secara keseluruhan dan karakteristik senyuman oblique.
Besarnya proyeksi anterior rahang atas juga sangat mempengaruhi karakteristik senyuman dalam tampilan frontal, bahkan dalam dimensi senyuman transversal. Jika rahang atas retrusif, bagian lengkung gigi yang lebih luas terletak lebih ke arah posterior dibandingkan dengan komisura mulut anterior. Hal ini membentuk bayangan koridor bukal yang lebih besar dalam dimensi frontal. Pasien dalam Gambar 9A mengalami maloklusi Klas III akibat defisiensi rahang atas, secara vertikal (ditandai dengan hanya 50% gigi-geligi rahang atas yang terlihat saat tersenyum) dan secara anteroposterior (ditandai dengan profil yang datar). Setelah dekompensasi ortodontik, rencana perawatan disusun untuk memajukan rahang atas, memutar searah jarum jam dan menambah tampilan jumlah gigi-geligi insisivus saat istirahat dan tersenyum. Rotasi bidang oklusal ini tidak hanya memperbaiki tampilan insisal tapi juga meningkatkan proyeksi midfasial dan menghilangkan proyeksi/penonjolan rahang bawah. Senyuman terlihat membaik dengan bertambahnya jumlah gigi-geligi anterior secara vertikal (Gambar 9B), dimensi senyuman transversal juga membaik. Bagaimana ruang negatif yang terbentuk saat tersenyum berkurang, jika tidak dilakukan ekspansi rahang atas? Jawabannya terletak pada efek tiga-dimensi saat rahang atas dimajukan. Karena rahang atas dimajukan ke koridor bukal, ruang negatif akan berkurang akibat bagian rahang atas yang lebih luas dan mengisi lebar interkomisura yang statis. Dengan memajukan rahang atas, maka bagian rahang atas yang terletak pada koridor bukal juga lebih lebar, hal ini mengurangi “ruang negatif.” Jadi, dimensi senyuman transversal, adalah suatu fungsi kedua lebar lengkung dan posisi anteroposterior lengkung rahang atas dan bawah. Dengan kata lain, memajukan sebagian besar rahang atas akan mengisi ruang negatif.
Proklinasi gigi insisivus (yang terletak dalam dimensi sagital) juga menimbulkan efek dramatis terhadap tampilan gigi-geligi insisivus. Dalam kasus sederhana, gigi-geligi insisivus rahang atas yang lebar cenderung mengurangi tampilan gigi-geligi insisivus, dan gigi-geligi insisivus rahan atas yang sejajar cenderung meningkatkan tampilannya (Gambar 10A). Salah satu contohnya adalah pasien dalam Gambar 10B. Pasien ini mengalami open bite anterior akibat proklinasi anterior gigi-geligi insisivus rahang atas dan bawah yang terlalu ekstrim. Tampilan sagital senyuman menunjukkan gigi-geligi insisivus rahang atas yang lebar; hal ini mengurangi banyaknya gigi-geligi insisivus yang tampil dalam gambaran frontal dan sagital. Rencana perawatan terdiri dari ekstraksi gigi premolar satu dan retraksi gigi-geligi insisivus. Dilakukan perawatan untuk meretraksi gigi-geligi insisivus menggunakan round wire sehingga mahkota gigi akan berotasi di sekitar slot braket ke posisi yang lebih inferior (turun). Pergerakan ini akan menutup open bite anterior dan meningkatkan tampilan gigi-geligi insisivus, karena dilakukan retraksi pada gigi-geligi tersebut. Gambaran profil senyuman menunjukkan perbaikan angulasi dan posisi vertikal gigi-geligi insisivus rahang atas (Gambar 10C).

DIMENSI KEEMPAT: WAKTU

Pertumbuhan, maturasi, dan ketuaan jaringan lunak perioral menimbulkan efek yang bermakna terhadap penampilan saat tersenyum dan istirahat. Pasien ortodontik dapat dikategorikan menjadi pra-remaja, remaja, dan dewasa. Pada pasien pra-remaja [anak-anak], jaringan lunak wajah masih berada dalam fase pertumbuhan, dna perawatan dilakukan pada divergensi profil wajah yang relatif (posterior atau anterior) dan topografi jaringan lunak wajah frontal juga harus dipertimbangkan. Pada pasien remaja, atau yang sedang mengalami onset pubertal, berada pada kecepatan pertumbuhan sub-unit skeletal yang maksimum dan secara kasar, telah memiliki “tampilan” jaringan lunak wajahnya. Pada orang dewasa, perbedaan ketuaan pada jaringan lunak wajah dan perioral berperan penting. Dari penelitian sefalometrik ortodontik, kami mengetahui bahwa rata-rata, dari waktu ke waktu profil wajah akan bertambah datar. Hal ini dipengaruhi oleh ptosis jaringan lunak ataukah karena luasnya resorpsi jaringan keras pada midface, masih diperdebatkan, namun jelas merupakan konsekuensi ketuaan.
Dalam suatu penelitian yang melakukan pengukuran langsung pada lebih dari 3500 subyek, Dickens dkk, menyelidiki perubahan tinggil philtrum dan komisura pada pasien berusia 6 tahun sampai 40 tahun, dan mencari hubungannya dengan senyuman. Data tersebut menunjukkan terjadinya pemanjangan philtrum dan komisura, dengan rata-rata pemanjangan philtrum lebih besar dibandingkan pemanjangan komisura. Hal ini menjelaskan karakteristik “M” yang datar pada vermilion border bibir atas pada bibir remaja. Pemanjangan philtrum dan komisura seiring pertambangan usia merefleksikan kurva yang menunjukkan berkurangnya gigi-geligi yang tampil saat istirahat, begitu pula dengan tampilan gingiva.
Pengaruh maturasi dan ketuaan pada jaringan lunak dapat diringkas menjadi (1) pertambahan tinggi philtrum dan komisura saat istirahat, (2) pengurangan turgor (atau “kepenuhan” jaringan), (3) berkurangnya tampilan gigi-geligi insisivus saat istirahat, (4) berkurangnya tampilan gigi-geligi insisivus saat tersenyum, dan (5) berkurangnya tampilan gingiva saat tersenyum.

RENCANA PERAWATAN YANG BERORIENTASI PADA MASALAH DAN IDENTIFIKASI SIFAT-SIFAT POSITIF
Dalam rencana perawatan yang berorientasi pada masalah [problem-oriented], kami mengidentifikasi masalah-masalah yang membutuhkan perbaikan atau koreksi dan difokuskan pada pengoreksian masalah-masalah tersebut. Kami menyatakan bahwa komponen dasar berikutnya dalam rencana perawatan analisis ortodontik kontemporer harus menyertakan identifikasi dan kuantifikasi aspek-aspek positif susunan estetik pasien. Dalam pendekatan rencana perawatan problem-oriented ini, kami jelas ingin meluruskan apa yang salah, namun tidak mengorbankan apa yang benar tentang tampilan estetik pasien.
Contoh berikut ini akan mengilustrasikan prinsip tersebut. Pasien dalam Gambar 11A, memiliki gigi berjejal pada lengkung rahang atas dan gigi kaninus terhalang secara parsial. Senyumannya ditandai dengan tampilan gingiva yang berlebihan dan dinilai menjadi gangguan estetik. Dalam evaluasi sistematik kami, etiologi gummy smile adalah akibat mahkota klinis yang pendek, yaitu 8 mm. Jadi, masalah utama kami (yang berhubungan dengan senyum) adalah gigi insisivus yang pendek dan tampilan gingiva yang berlebihan saat tersenyum. Itu adalah daftar masalahnya, namun apa yang benar tentang senyuman? Oklusal rahang atas pasien tidak sejajar dengan kurvatura bibir bawah saat tersenyum; jadi, lengkung senyumnya ideal. Satu pilihan untuk mengurangi gumminess [penuh] senyuman tersebut adalah intrusi gigi-geligi rahang atas, namun hal ini akan membuat lengkung senyumnya datar. Saat kami memvisualisasikna senyumannya menggunakan pencitraan komputer dan mensimulasi pemanjangan mahkota periodontal kosmetik (Gambar 11B), rencana perawatannya menjadi lebih jelas. Pencitraan komputer membantu klinisi melihat rencana dan meyakinkan pilihan rencana perawatan ini kepada pasien dan keluarganya, serta berkonsultasi dengan profesional lain yang terlibat dalam perawatan pasien. Jadi, strategi perawatannya, antara lain (1) mempertahankan incisal edge pada posisinya saat ini, (2) mengekstrusi gigi kaninus rahang atas untuk menaikkan lengkung, dan (3) diakhiri dengan pemanjangan mahkota periodontal. Pemasangan braket sangat penting dalam perawatan ortodontik kami karena kami ingin menaikkan segmen anterior dan posterior menggunakan archwire kontinyu, membebaskan gigi kaninus. Dengan demikian, kami dapat mempertahankan lengkung senyum, yang diidentifikasi dalam pemeriksaan awal dan diagnosis kami sebagai fitur yang tepat untuk dipertahankan. Jika telah menggunakan full-dimension wire, dipasangkan wire termoelastik tambahan yang berukuran kecil dari tube tambahan ke gigi molar rahang atas yang meligasi archwire anterior, sehingga gigi kaninus akan terekstrusi tanpa terjadi intrusi gigi-geligi insisivus rahang atas.
Salah satu sifat estetik senyuman yang paling dapat diterima adalah lengkung senyuman. Peran anatomik lengkung senyuman paling tepat dilihat dalam dimensi oblique, namun untuk menemukan faktor-faktor yang mempengaruhinya harus dilihat dari ketiga dimensi. Jika kita berusaha mengubah lengkung senyum, dapat digunakan beberapa strategi berikut ini:
1.Pada pasien pra-remaja, merawat bidang oklusal menggunakan alat modifikasi pertumbuhan akan membawa manfaat. Beberapa contoh alat ini, antara lain headgear vertikal, alat kontrol fungsional vertikal, dan Herbs appliance.
2.Pada pasien yang berada pada masa akhir-remaja dan dewasa, seringkali diindikasikan untuk melakukan modifikasi pembedahan bidang oklusal rahang atas. Memajukan rahang atas disertai dengan rotasi bidang oklusal searah jarum jam akan mengharmonisasikan posisi incisal edge rahang atas dengan bibir bawah dan memperbaiki koridor bukal dengan memajukan lengkung rahang atas.
3.Pemasangan braket juga sangat penging untuk mempertahankan ataupun memodifikasi lengkung senyum. Straight-wire konvensional membutuhkan jarak incisal edge-terhadap-slot braket sebesar 0,5 mm antara gigi insisivus sentralis dan lateral rahang atas. Menurut pengalaman kami, dibutuhkan jarak sebesar 1 sampai 1,5 mm antara slot braket gigi dengan incisal edge gigi insisivus sentralis dan lateral untuk mempertahankan atau menciptakan lengkung senyuman konsonan. Langkah ini juga membantu menyejajarkan posisi gigi insisivus lateral dan mempertahankan alur gradual lengkung senyum.
4.Porselen kosmetik atau bonding komposit juga berperan dalam perbaikan lengkung senyum. Rencana perawatan ortodontik harus mempertimbangkan morfologi gigi, dan mungkin diindikasikan untuk melakukan perawatan multidisipliner. Gambar 12A menunjukkan bagaimana senyuman oblique jarak-dekat dapat membantu ahli ortodontik untuk memvisualisasikan dimana harus meletakkan gigi-geligi karena margin gingiva berhubungan dengan bibir atas saat tersenyum dan karena posisi incisal edge berhubungan dengan bibir bawah saat tersenyum, sehingga lapisan porselen akan membentuk hubungan yang harmonis saat tersenyum (Gambar 12B).
5.Terakhir, odontoplasti email dapat digunakan untuk membentuk-kembali incisal edge gigi-geligi rahang atas secara konservatif selama fase akhir perawatan ortodontik.

ILUSTRASI KASUS
Pria berusia 45 tahun ini dirujuk oleh dokter giginya setelah akhirnya, mencabut gigi kaninus sulung kanan rahang atasnya (Gambar 13A). Dokter gigi tersebut menganjurkan pasien untuk merestorasi gigi yang tanggal tersebut, namun karena pasien mengalami maloklusi, maka ia merujuk pasien untuk menjalani konsultasi prostodontik-ortodontik. Pasien memiliki relasi posterior Klas I dan relasi insisal edge-to-edge yang mengakibatkan atrisi gigi-geligi anterior rahang atas dan bawah. Kondisi dental pasien secara keseluruhan menunjukkan atrisi dan keausan gigi yang luar biasa.
Evaluasi sistematik kami menguraikan informasi berikut ini:
Relasi bibir-gigi saat istirahat menunjukkan tinggi philtrum sebesar 28 mm, tinggi komisura 30 mm, dan tampilan gigi-geligi insisivus rahang atas saat istirahat sebesar 1 mm. Hubungan bibir-gigi yang dinamis (dimensi vertikal senyuman) menunjukkan tampilan 100% gigi-geligi anterior rahang atas, tidak ada tampilan gingiva yang berlebihan saat tersenyum, dan tinggi mahkota gigi bervariasi akibat atrisi. Gigi insisivus lateral kanan rahang atas mengalami kehilangan-kongenital, dan gigi kaninus permanen bergeser ke anterior dan mengisi posisi lateral. Gigi kaninus sulung kanan, yang baru saja tercabut, telah mengisi ruang bagi gigi kaninus. Setiap mahkota gigi diukur sehingga kami dapat merencanakan posisi vertikal margin gingiva dengan tepat. Gigi kaninus kanan berukuran 8 mm, gigi insisivus sentralis kanan berukuran 7 mm, gigi insisivus sentralis kiri berukuran 6,5 mm, dan gigi insisivus lateral kiri berukuran -7 mm.
Secara frontal, tidak ditemukan kemiringan transversal rahang atas, meskipun ditemukan ketidaksimetrisan ringan pada senyuman, yang disebabkan oleh variasi tinggi gigi-geligi anterior. Dimensi senyum transversal yang berhubungan dengan koridor bukal dinilai cukup baik.
Tidak ditemukan kemiringan anteroposterior dalam gambaran oblique dan sagital, lengkung senyum konsonan. Meskipun gigi-geligi anterior cukup pendek, dibandingkan dengan gigi premolar dan kaninus, namun gigi-geligi tersebut sejajar dengan kurvatura bibir bawah saat tersenyum.
Terakhir, kami menilai karakteristik senyuman pasien terhadap waktu—dimensi keempat. Kami mengkalkulasi bahwa pasien mengalami atrisi sebesar 40% pada gigi-geligi insisivus sentralis rahang atas dan 50% atrisi pada gigi-geligi insisivus rahang bawah. Oleh karena itu tidak ada gigi-geligi insisivus yang terlihat saat istirahat dan hanya sebagian kecil gigi insisivus yang terlihat saat berbicara. Kehilangan gradual/bertahap tampilan gigi-geligi insisivus merupakan karakteristik utama dental aging. Karena overjet pasien kurang, tujuan fungsional perawatan adalah memperbaiki gigi-geligi insisivus rahang atas secara ortodontik sehingga panjang mahkota gigi insisivus dapat ditambah. Sebagai tujuan sekunder, kami beranggapan gigi-geligi insisivus yang open bite harus diintrusi sehingga panjang restorasi gigi insisivus yang hilang tidak akan mengakibatkan deep bite.

Tujuan Perawatan

Mengkoordinasikan margin gingival gigi-geligi insisivus dengan bibir atas saat tersenyum merupakan salah satu tujuan perawatan. Banyak ahli ortodontik yang masih menggunakan standar pemasangan braket yang berubah-ubah; hal ini mungkin adekuat namun kurang mempertimbangkan hubungan gigi-geligi anterior dengan animasi karakteristik senyuman. Termasuk, pemasangan instrumen braket pada gigi insisivus sentralis 4 mm di atas incisal edge gigi insisivus sentralis, 3,5 mm di atas ujung cusp gigi insisivus lateral, dan 4,5 mm di atas tepi gigi kaninus dan sepertiga tengah gigi secara vertikal dan horisontal, setiap kali menggunakan straight-wire.
Pasien ini merupakan suatu tantangan dalam pemasangan braket dan slot-nya, karena tujuan perawatannya bukanlah menyejajarkan incisal edge namun menyejajarkan margin gingiva. Yaitu, menyejajarkan margin gingiva dengan tinggi gigi kaninus, insisivus lateral dan sentralis, serta antara margin gingiva dengan bibir atas saat tersenyum. Karena bertujuan untuk mengidealisasikan margin gingiva terhadap satu sama lain dan bibir dengan melakukan intrusi ataupun ekstrusi, braket dipasangkan menggunakan kerangka referensi utama yaitu jarak slot dari margin gingiva, bukan incisal edge. Mengintrusi gigi-geligi insisivus rahang bawah akan mengakibatkan open bite. Hal ini dilakukan untuk menciptakan ruang bagi restorasi vertikal gigi insisivus rahang atas dan bawah, sehingga diindikasikan untuk melakukan intrusi yang signifikan. Berapa banyak intrusi yang dibutuhkan? Parameter untuk mengetahui berapa banyak jarak interinsisivus yang dibutuhkan harus menyertakan (1) seberapa panjang gigi-geligi insisivus rahang atas yang dibutuhkan untuk memperoleh panjang yang diinginkan, (2) berapa panjang yang dibutuhkan untuk memperbaiki tampilan gigi-geligi insisivus rahang atas saat istirahan, (3) berapa panjang yang dibutuhkan untuk memungkinkan dilakukannya restorasi gigi insisivus rahang bawah, dan (4) berapa panjang gigi-geligi insisivus rahang atas yang dibutuhkan untuk memperoleh senyuman dan hubungan yang diinginkan. Terakhir, dilakukan restorasi gigi-geligi, termasuk mengganti gigi yang hilang.

Evaluasi Senyuman Dan Sinkronisasi Semua Parameter Analisis Senyuman
Gambar 13 A menunjukkan hubungan senyuman dari jarak dekat [close-up]. Margin gingiva gigi-geligi insisivus rahang atas cukup mendekati kurvatura bibir atas saat tersenyum, namun margin gingiva tidak berada pada posisi yang ideal terhadap bibir atas atau satu sama lain. Secara spesifik, gigi kaninus kanan rahang atas berukuran lebih panjang dibandingkan gigi insisivus sentralis, dan margin lateral sama dengan tinggi gingiva sentralis. Kurvatura gigi premolar dan anterior berdekatan dengan kuravatura bibir bawah saat tersenyum (lengkung senyum), namun gigi-geliginya jauh lebih pendek, dan kurvatura gigi-geligi insisivus rahang atas lebih pendek dibandingkan kurvatura bibir bawah.
Tujuan akhirnya, jelas, untuk merestorasi gigi-geligi, namun hubungan insisal yang edge-to-edge menjadi masalah, dan menambah panjang mahkota gigi cenderung mengakibatkan deep bite. Maka direncakan perawatan interdisipliner, sebagai berikut:
Posisi braket rahang atas. Dalam sebagian besar skema pemasangan braket, kerangka referensi adalah pusat gigi (dalam sebagian besar skema straight-wire) ataupun jarak uniform/seragam dari incisal edge. Namun, dalam kasus ini, kita tidak merawat hubungan gigi-gingiva-bibir yang normal. Kerangka referensi kami untuk pemasangan braket rahang atas bukanlah incisal edge, namun margin gingiva. Pemasangan braket juga harus diperhatikan agar tinggi gingiva gigi insisivus sentralis sedikit lebih tinggi dibandingkan gigi insisivus lateral, dan gigi kaninus sedikit lebih tinggi dibandingkan gigi insisivus sentralis.
Posisi braket rahang bawah. Braket gigi insisivus rahang bawah diletakkan seinsisal mungkin. Karena terjadi atrisi, struktur yang tersedia untuk bonding lebih terbatas, namun braket diletakkan pada bagian tengah gigi.
Bioprogressive utility arches. Digunakan bioprogressive-type utility arches rahang atas dan bawah, yang berhasil mengintrusi gigi-geligi insisivus rahang bawah kurang lebih sebanyak 6 mm (Gambar 13B). Pemasangan braket rahang atas dengan cermat, yang dihubungkan dengan margin gingiva bukan incisal edge, menghasilkan kesejajaran margin gingiva bibir atas yang baik saat tersenyum (Gambar 13C). Pada tahap ini, dokter gigi menggunakan facebow dan melakukan uji diagnostik untuk mengetahui apakah gigi-geligi berada pada posisinya yang tepat untuk prosedur restorasi. Terkadang, kami bahkan menganjurkan pembuatan overlay sementara custom-made bagi pasien yang diletakkan pada gigi insisivus sehingga pasien dapat melihat dan menyetujui hubungan gigi-geligi insisivus saat istirahat dan tersenyum. Karena mengalami keausan secara vertikal, gigi-geligi tersebut bergeser, dan titik kontak bergeser ke apikal. Tanpa menciptakan ruang kembali, restorasi gigi insisivus harus lebih sempit dari lebar idealnya, dan pemasangan konektor panjang tidak tepat. Hasil restorasi akhir ditampilkan dalam Gambar 13D. Gambaran penting kasus ini adalah intrusi adekuat gigi-geligi insisivus rahang bawah sehingga tampilan gigi-geligi insisivus saat tersenyum dan istirahat terlihat adekuat. Senyuman close up (Gambar 13E) mengilustrasikan letak margin gingiva terhadap bibir atas saat tersenyum, dan senyuman close up oblique juga menunjukkan karakteristik lengkung senyum yang sempurna (Gambar 13F).

KESIMPULAN

Dalam artikel bagian kedua ini, kami membahas metode komprehensif untuk mencatat, menilai, dan merencanakan perawatan senyuman dalam 4-dimensi. Riwayat ortodontik, yang dimulai dari Angle dan Wuerpel, mengajarkan kita bahwa “seni senyuman” terletak pada kemampuan klinisi untuk mengenali elemen-elemen positif kecantikan setiap pasien kemudian menyusun strategi untuk memperbaiki sifat-sifat yang berada di luar parameter konsep estetik yang digunakan. Perbedaan antara praktek ortodontik kontemporer dengan praktek terdahulu adalah karena kini, kita dapat memvisualisasikan dan mengkuantifikasi senyuman pasien kita secara dinamis. Dalam beberapa kasus, diagnosis ortodontik telah membentuk lingkaran penuh. Namun fokus pada kesejajaran senyuman bukanlah kemunduran masa kini; namun, mewakili pertimbangan akan pentingnya diagnosis fisik dan jaringan lunak yang mengarahkan rencana perawatan kita dan membatasi respon perawatan. Teknologi baru meningkatkan kemampuan kita dalam memeriksa pasien secara lebih dinamis dan mempermudah kuantifikasi dan penyebaran konsep fungsi dan penampilan yang baru.

Read more...

13 February 2009

Penyakit Infeksi [Hepatitis B, C dan AIDS]

AIDS dan hepatitis B dan C adalah penyakit-penyakit infeksi yang menjadi masalah kesehatan di seluruh dunia dan ditemukan dalam semua kelas sosial. Jadi, dokter gigi dan pasien harus dilindungi dari transmisinya.

Riwayat medis pasien merupakan hal yang penting dan harus dilakukan langkah-langkah pencegahan untuk kelompok yang beresiko tinggi; misalnya, pasien yang menjalani hemodialisis, pengguna obat, homoseksual, pasien yang menjalani transfusi darah secara rutin, dan individu yang datang dari negara dengan insiden dan prevalensi penyakit infeksi ini yang tinggi (Afrika, Asia, dsb). Resiko transmisi penyakit infeksi dari satu pasien ke pasien lain pada dasarnya juga melibatkan penggunaan instrumen-instrumen terinfeksi selama prosedur pembedahan. Transmisi penyakit infeksi terjadi setelah kontak langsung dengan darah dan saliva atau akibat tusukan jarum terinfeksi atau instrumen dental yang tajam secara tidak disengaja.

Jika dokter gigi menentukan bahwa pasien yang akan menjalani pembedahan merupakan salah satu pembawa/carrier salah satu virus yang disebutkan di atas, dibutuhkan langkah-langkah pencegahan. Berupa:

* Merencanakan prosedur pembedahan sebagai perawatan terakhir pada hari tersebut
* Menggunakan dua pasang sarung tangan disposable. Sarung tangan akan melindungi pasien dan dokter gigi, dan harus dibuang segera setelah digunakan
* Memakai kaca mata pelindung khusus dan masker bedah disposable
* Memakai baju bedah pelindung khusus dan penutup kepala untuk melindungi rambut
* Menggunakan jarum disposable. Penggunaannya harus dilakukan dengan hati-hati, untuk menghindari tusukan yang tidak disengaja. Dan, plastik yang menutupi jarum harus diganti menggunakan alat khusus. Ini merupakan teknik standar bagi semua pasien
* Buang pisau bedah dan jarum-jarum disposable dalam suatu wadah yang tajam dan kaku, yang dapat ditutup dengan sempurna dan dijauhkan dari tempat praktek, ini juga merupakan salah satu prosedur standar
* Mengumpulkan sampah (saliva ejector, kantong plastik, sarung tangan, masker, gauze, dsb) dalam kantong nilon yang kuat
* Setelah prosedur pembedahan, lakukan desinfeksi benda-benda tertentu menggunakan desinfektan virus-aktif sesuai dengan petunjuk higiene lokal (membuka bagian kursi gigi, kursi dokter gigi, tempat meludah, dsb).
* Sterilisasi semua instrumen yang digunakan dalam autoclave, setelah dibersihkan dan didesinfeksi secara manual atau sebaiknya, secara otomatis.

Read more...

Malnutrisi post-op bedah protesis maksilofasial

Prognosis nutrisi pasien pasca pembedahan, khususnya bedah maksilofasial, biasanya tergantung pada kondisi kejiwaan pasien tersebut. Bagi sebagian besar orang, pembedahan membawa dampak yang kurang menguntungkan bagi kejiwaan seseorang, biasanya pasien merasa tertekan atau bahkan depresi setelah menjalani pembedahan maksilofasial, ia cenderung mengkhawatirkan kondisi estetik wajahnya dan menduga-duga apakah tampilan wajahnya akan kembali seperti semula. Perlu diketahui bahwa kondisi kejiwaan seorang pasien juga mempengaruhi asupan nutrisinya dan pada akhirnya akan memperburuk prognosis pembedahan tersebut.

Asupan nutrisi pasien pra- ataupun post-pembedahan harus diperhatikan. Sebelum pembedahan dilakukan, sebaiknya dilakukan pemeriksaan antropometrik dan laboratorium untuk meyakinkan prognosis pasien setelah operasi. Pada pasien keganasan maksilofasial, ia cenderung mengalami penurunan berat badan yang signifikan, jika dalam 6 bulan terakhir ia mengalami penurunan berat badan lebih dari 20%, maka pasien akan mengalami malnutrisi energi protein. De Wys menemukan akibat malnutrisi yang signifikan terhadap prognosis dan menyatakan bahwa para pasien yang mengalami penurunan berat badan substansial memiliki rata-rata masa kesembuhan yang lebih pendek dibandingkan dengan mereka yang tidak mengalami penurunan berat badan signifikan.

Untuk fase post-op, penggunaan alat bantu rongga mulut (oral feeding) akan terganggu akibat reseksi, kemoterapi ataupun radioterapi. Jadi perlu dipertimbangkan alternatif lainnya. Manifestasi malnutrisi dalam rongga mulut dapat berupa penurunan nafsu makan akibat xerostomia, depresi atau kemarahan, sore mouth akibat xerostomia atau mukositis, dan diare. Xerostomia itu sendiri disebabkan oleh terapi radiasi yang merusak kelenjar saliva sehingga produksi saliva dan kelembaban rongga mulut berkurang.

Itu tadi ringkasan dari jurnal prostodontik berjudul Nutrition in Prosthetic Maxillofacial Patients:: Unexplored Borders.

Dental Minded, Indonesia !

Read more...

Intubasi Retromolar

Pasien yang mengalami trauma maksilofasial, membutuhkan jalan napas yang aman untuk proses pembedahannya. Dalam literatur telah dideskripsikan berbagai macam teknik, seperti trakeostomi, intubasi nasotrakeal, dan intubasi sub-mental. Intubasi nasotrakeal dikontraindikasikan dengan beberapa kondisi—seperti, fraktur basis cranii, fraktur kompleks naso-orbital-ethmoid, dsb. Dalam kondisi semacam itu intubasi submento-trakeal dapat digunakan untuk mengamankan jalan napas perioperatif. Dalam intubasi submento-trakeal tidak perlu dilakukan trakeostomi singkat dan terhindarkan dari berbagai komplikasinya.

Pada tahun 1998, Martinez dkk, mendeskripsikan jalur retromolar untuk intubasi, sebagai salah satu alternatif untuk teknik penatalaksanaan jalan napas konvensional. Intubasi nasotrakeal yang kurang sempurna akan mengakibatkan epistaksis, perforasi retro-faring, kerusakan kelenjar adenoid, sinusitis, dan membutuhkan ukuran tube yang lebih kecil [tube orotrakeal]. Selain itu, intubasi nasotrakeal bukanlah pilihan perawatan untuk pasien yang mengalami fraktur tulang nasal, yang membutuhkan rhinoplasti, atau fraktur basis cranii.

Intubasi retromolar merupakan salah satu metode non-invasif untuk mengamankan jalan napas pada pasien trauma maksilofasial, dan tidak perlu dilakukan intubasi submento-trakeal ataupun trakeostomi. Namun, teknik ini memiliki insiden infeksi yang tinggi dan mengakibatkan pembentukan jaringan parut pada wajah. Komplikasi lain yang mungkin timbul antara lain, kerusakan kelenjar submandibula, duktus, saraf lingual, pembentukan fistula orokutaneus.


Teknik

Intubasi retromolar dideskripsikan sebagai insersi tube orotrakeal fleksometalik dalam trigonum retromolar, dengan/tanpa ekstraksi gigi molar tiga yang telah erupsi . Dilakukan osteotomi semilunar 180o pada ramus mandibula, membuat ruang yang cukup untuk insersi tube yang akan dimasukkan di bawah bidang oklusi. Tube orotrakeal dimasukkan ke dalam ruang retromolar. Kemudian tube difiksasi pada gigi molar satu atau dua [atau premolar] menggunakan ligatur kawat. Ligatur yang digunakan sama seperti pada IMF [Intermaksilari Fixation].


Keuntungan

Jika intubasi retromolar dapat dilakukan dengan oklusi gigi-geligi yang adekuat, maka tidak diperlukan pembedahan jalan napas (trakeostomi dan intubasi submento-trakeal).


Kerugian

1. Pada beberapa pasien, ruang retromolar kurang adekuat, maka IMF intraoperatif tidak dapat dilakukan. Variasi anatomis ruang retromolar ini dapat ditentukan dengan memasukkan jari telunjuk dalam mulut pasien dan memintanya untuk menutup mulut. Jika tidak ada tekanan pada jari telunjuk ini berarti ruang retromolar cukup adekuat.

2. Tube trakeal dapat mengganggu daerah pembedahan utama. Tube trakeal juga dapat mengganggu penempatan dan aplikasi alat fiksasi gigi, terutama pada pasien yang mengalami fraktur mandibula/maksila bilateral.

3. Fiksasi kawat ligatur yang terlalu kuat pada tube trakeal fleksometalik akan merusak tube.

Teknik ini dikritik, karena melibatkan destruksi anatomi tulang hanya untuk membuat ruang insersi tube oral trakeal dan meningkatkan waktu operasi. Gibbons dkk, menganjurkan pemasangan tube trakeal pada daerah retromolar jika tidak terdapat gigi molar tiga [telah dicabut atau belum/tidak erupsi]. Teknik intubasi ini sederhana, cepat, dan tidak membutuhkan prosedur ekstraoral, serta dapat diaplikasikan pada anak-anak. Diperlukan pertimbangan aplikasi teknik ini pada kasus-kasus trauma maksilofasial tertentu.


Sumber:

Malhotra Naveen. Retromolar Intubation: a Technical Note. Indian J Anaesth, 2005; 49(6): 467-468.

Bhardwaj N, Arora S, Sharma RK. Retromolar Intubation in The Management of Trauma Facial. J Anaesth Clin Pharmacol, 2006; 22(1): 91-91.

Note from the writer: mohon maap banget yaa, gambarnya gak bisa ditampilkan [I dont know why, kurang canggih nehh]. tapi masih diusahakan bisa dimasukkan gambarnya biar lebih jelas. harap maklum

Read more...

Rancangan Penelitian Cross Sectional

Bagi kamu yang merasa kesulitan membayangkan apa yang dimaksud dengan penelitian cross-sectional itu, semoga penjelasanku berikut ini bisa memberi petunjuk untuk menggambarkannya dan mematrikannya di kepalamu selamanya.

Penelitian cross-sectional adalah penelitian yang dilakukan pada satu waktu dan satu kali, tidak ada follow up, untuk mencari hubungan antara variabel independen (faktor resiko) dengan variabel dependen (efek).

Kalau ditanyakan tentang dimana titik potongnya? Bayangkanlah penelitian itu seperti lontong, dimanapun kamu memotong lontong itu, di tengah, dari ujungnya, di sisi manapun itu, lontong itu tetap memiliki isi yang sama, besar yang sama, dan rasa yang sama.

Sebagai contoh, dalam salah satu bedah jurnal penelitian di IKGM hari kamis lalu, tentang salah satu penelitian tentang fluorosis yang dilakukan pada anak usia 10-12 tahun di Brazil yang tinggal di daerah yang belum memperoleh fluoridasi air minum. Sebenarnya penelitian itu adalah penelitian lanjutan, dan penelitian dilakukan sebelum program fluoridasi air minum buatan dilaksanakan, mereka berusaha menyelidiki apa penyebab kecenderungan fluorosis tersebut, suspect utamanya adalah penggunaan pasta gigi berfluorida. Para peneliti melakukan pemeriksaan klinis rongga mulut dan aplikasi kuesioner. [seperti itulah garis besarnya]

Dalam penelitian cross-sectional tersebut, titik potongnya terletak pada “anak-anak usia 10-12 tahun penderita fluorosis di daerah yang air minumnya belum terfluoridasi.”

Jadi, dalam penelitian cross-sectional, karakteristik sampel yang sama saat penelitian dilakukan adalah titik potongnya.

Okay, that’s a quick review, aku lupa judul jurnalnya, tapi paling tidak itulah garis besarnya. Analogi ‘lontong’ itu diutarakan oleh Prof. Bur beberapa waktu lalu. Pretty good explanation dari Prof. Bur untuk membuat kita semua mengerti.



Read more...

Empat Sudut Potong

Eksisi adalah landasan pembedahan dermatologis. Empat sudut potong adalah prinsip dasar yang ditujukan untuk memberikan hasil yang paling kosmetis.

Empat Sudut Potong

Sudut potong pertama ditujukan untuk memperluas sudut handle scalpel terhadap permukaan kulit. Seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1, sudut ini menentukan betapa mudahnya pisau memotong kulit. Jika sudut handle tegak lurus (90o) dengan kulit, ujung pisau memotong 90o tegak lurus dengan dermis (Gambar 1A). Bagian pisau ini digunakan untuk eksisi elips namun kurang tepat untuk insisi lurus. Di sisi lain, jika handle diarahkan 30o dan 60o terhadap kulit, bagian tajam pisau, the belly, memotong ke dalam kulit (Gambar 1B). Sudut ini menghasilkan potongan yang tajam dan tepat pada kulit.

Sudut potong kedua digunakan untuk bevel sudut pisau terhadap kulit. Seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2A, sudut bevel 90o menghasilkan suatu insisi yang tegak lurus menembus kulit sampai ke bagian lemak. Sudut ini memungkinkan pendekatan dan eversi tepi-tepi luka. Jika bevel tidak membentuk sudut 90o (Gambar 2B), penutupan yang dihasilkan akan hipereversi atau eversi.

Sudut potong ketiga ditujukan untuk membentuk sudut pisau searah dengan garis potong yang diinginkan. Sudut ini sangat penting untuk melakukan insisi seperti yang direncanakan. Jika melakukan eksisi suatu lesi sirkuler, seperti yang ditampilkan pada Gambar 3A, handle pisau harus diputar menggunakan jari agar pisau mengikuti garis insisi yang diinginkan. Dalam praktek, kami menggunakan Siegel scalpel handle yang memudahkan eksisi putar hanya dengan jari dokter bedah tanpa perlu menggerakkan tangan, siku, atau bahu (Gambar 3B). Putaran pisau yang tidak tepat selama proses eksisi akan membentuk garis pola eksisi yang tidak seimbang (Gambar 3C). Shaw scalpel handle standar tidak memungkinkan dokter bedah untuk memutar handle dengan jari dan kurang praktis untuk memotong pola insisi yang kecil.

Sudut potong terakhir disebut sebagai sudut potong pisau pada permukaan kulit. Seperti yang ditampilkan dalam Gambar 4, berbagai tipe pisau dipilih untuk berbagai prosedur pembedahan. Blade nomor 15 adalah andalan untuk eksisi ahli dermatologis karena blade membentuk sudut 30% sampai 60% terhadap permukaan kulit. Yang memudahkan manuver mengikuti pola eksisi. Blade nomor 15c lebih kecil dari blade nomor 15 dan memiliki ujung yang lebih tajam dan akut. Yang memudahkan insisi dengan tepat pada tumor-tumor kecil atau daerah-daerah yang sulit dijangkau, seperti kelopak mata, saluran conchae, dan genitalia. Blade nomor 10 membentuk sudut tumpul terhadap kulit yang memungkinkan insisi dalam melalui jaringan yang tebal, seperti badan. Namun, diameter dan sudut pisau yang besar mempersulit pemotongan defek sirkuler pada wajah yang berukuran kecil. Sudut blade nomor 11 hampir sejajar dengan kulit, mempermudah dokter bedah untuk membuat insisi sirkuler dan tusukan terkontrol. Namun, sudut pisau yang panjang dan satu-sisi mempersulit dokter bedah melakukan eksisi lesi kulit karena handle pisau menyentuh kulit.

Secara ringkas, pengetahuan tentang keempat sudut blade untuk memotong kulit sangat penting bagi seorang dokter bedah dermatologi untuk memperoleh hasil kosmetik yang optimal.

Read more...

Fototermolisis Fraksional pada Residual Hemangioma

Hemangioma adalah malformasi vaskuler benigna pada masa kanak-kanak yang memiliki karakteristik histologis berupa proliferasi endotelial dan secara klinis, ditandai dengan pembesaran nodul eritematosus dengan cepat. Insidennya pada bayi baru lahir berkisar antara 2-3%, yang membuat kasus ini umum ditemukan pada bayi. Secara umum, hemangioma diklasifikasikan menjadi superfisial (kutaneus), dalam (subkutan), atau campuran/mixed (kutaneus dan subkutan), serta paling sering menyerang perempuan dibandingkan laki-laki dengan rasio 3 banding 1.

Enam puluh sampai tujuh puluh persen hemangioma terlokalisir pada kepala dan leher. Tumor ini memiliki karakteristik berupa fase proliferatif cepat yang berlangsung sampai 1 tahun disertai dengan fase involusi spontan yang terjadi pada 50% pasien berusia 5 tahun dan 90% pasien berusia 9 tahun.

Sebagian besar hemangioma tidak membutuhkan terapi; namun, pada 40% kasus, timbul komplikasi berupa ulserasi, perdarahan, dan kompresi struktur-struktur vital. Komplikasi-komplikasi tersebut, dan fakta bahwa 50% anak-anak akan mengalami perubahan kulit residual, seperti dispigmentasi, atropi, dan fibrofatty jaringan berlebihan setelah involusi lesi spontan, yang menyebabkan pasien dan orang tuanya mencari perawatan medis.

Berbagai jenis perawatan telah digunakan untuk mengatasi hemangioma, seperti radiasi, bedah eksisi, dan pencangkokan (grafting), pemberian obat-obatan kortikosteroid intralesional dan sistemik, serta cryotherapy. Sayangnya, perawatan-perawatan tersebut beresiko tinggi, seperti pembentukan jaringan parut dan efek samping sistemik.

Selama lebih dari 25 tahun terakhir, perkembangan teknologi laser telah menyumbangkan iradiasi hemangioma menggunakan laser pulsed dye khusus-vaskuler sebagai perawatan pilihan berbagai lesi jenis semacam ini. Perkembangan teknologi laser terkini telah menghasilkan alternatif perawatan yang viable dengan khasiat klinis yang tinggi dan efek samping yang kurang. Fototermolisis fraksional, yang merupakan suatu proses pembentukan zona perawatan mikroskopis jaringan yang berkoagulasi melalui penghantaran berbagai kolom perlukaan termal, terbukti efektif untuk memperbaiki tekstur permukaan kulit jaringan parut dan rhytides. Perawatan laser fraksional tersebut diaplikasikan dalam kasus hemangioma residual yang dideskripsikan berikut ini.

Laporan Kasus

Seorang anak perempuan berusia 18 tahun datang dengan keluhan jaringan fibrofatty dan penebalan kulit yang berlebihan pada bagian tengah alis dan pelipisnya yang disebabkan oleh mixed hemangioma ekstensif pada seluruh sisi kanan kepalanya saat bayi. Lesi tersebut mengalami penyembuhan spontan dalam waktu 10 tahun. Kemudian pada usia 13 tahun, ia menjalani perawatan laser pulsed dye pada residu telangiektasia permukaan dan abrasi laser karbondioksida (CO2) pada daerah tersebut untuk memperbaiki sisa-sisa kelainannya. Karena pasien merasa kurang puas dengan tampilan kulitnya, ia datang untuk melakukan evaluasi dan perawatan lebih lanjut (Gambar 1).

Setelah daerah kulit dibersihkan dengan sabun lembut dan air, diaplikasikan krim anestetik topikal (LMX-5, Ferndale Laboratories, Ferndale, MI) pada plastik pelapis dan ditempelkan selama 60 menit. Sebelum perawatan, krim tersebut dibersihkan menggunakan gauze yang telah dicelupkan dalam air kemudian daerah kulit dikeringkan.

Erbium-doped fiber laser fraksi 1440 nm (Fraxel, Reliant Technologies, Mountain View, CA) diaplikasikan pada kulit yang berkerut dan hipertrofi di daerah pelipis kanan dan glabella menggunakan handpiece berukuran 15 mm dengan densitas energi 25 J/cm2 dan densitas 10. Energi total sebesar 2,4 J dihantarkan setelah 8-10 rangkaian laser. Bersamaan dengan pendinginan kulit menggunakan alat tekanan udara (Zimmer, Irvine, CA) untuk memaksimalkan kenyamanan pasien.

Segera setelah perawatan, kulit terlihat sedikit eritematosus dan edematous ringan, serta pengencangan jaringan (manifestasi dari reduksi kerutan kulit dan penipisan lapisan). Pasien mengeluhkan sensasi sunburn (panas matahari) ringan, namun secara umum ia merasa nyaman. Pasien diinstruksikan untuk mengaplikasikan thermal spring water mist (La Roche-Posay, France) sekurang-kurangnya dua kali sehari, yang dilanjutkan dengan pelembab (Toleriane, La Roche-Posay). Pasien menyatakan proses penyembuhan yang cepat pada daerah tersebut dan pemulihan eritema dan pembengkakan, tanpa pengelupasan kulit yang berarti (namun merasakan kering) dalam waktu 4-5 hari pasca perawatan.

Satu bulan kemudian, diaplikasikan perawatan laser fraksional lainnya (identik) pada daerah tersebut tanpa sekuela. Perbaikan klinis pada daerah kulit terlihat jelas dalam waktu 1 bulan setelah perawatan dan dipertahankan dengan pemeriksaan follow up selama 6 bulan (Gambar 2).

Pembahasan

Hemangioma ditandai dengan proses dua-tahap pertumbuhan dan regresi yang berlangsung dalam waktu singkat, seringkali mengakibatkan kelainan residual yang sulit diatasi. Meskipun penggunaan berbagai obat-obatan antiproliferatif (kortikosteroid, interferon) dan perawatan (radiasi) terbukti efektif memperlambat tahap proliferasi pertumbuhan dan perawatan laser khusus-vaskuler berhasil mengurangi komponen eritematosus, hanya sedikit yang terbukti efektif, secara kosmetis, dalam memperbaiki kelainan residual hipertrofi jaringan akibat lesi ini. Oleh karena itu, bedah ekstirpasi yang mengakibatkan pembentukan jaringan parut menjadi pilihan perawatan paling viable.

Seperti yang diilustrasikan dalam laporan kasus ini, perbaikan tekstur kulit yang luar biasa dapat diperoleh dengan sedikit atau tanpa resiko post-operatif jika melakukan perawatan kulit menggunakan laser fraksional. Setelah dua kali perawatan laser fraksional, permukaan kulit menunjukkan normalisasi progresif pada teksturnya dan pengurangan ketebalan jaringan residual. Sensasi dan warna kulit yang dirawat tetap utuh.

Fototermolisis laser fraksional harus dipertimbangkan pada pasien yang mengalami hemangioma atau penebalan kulit. Efek klinis yang dihasilkan dapat diperoleh dengan morbiditas pasien yang minimal.



Read more...

Sesuatu Tentang Kadmium

Ini adalah sesuatu yang harus kamu tau, Kadmium adalah salah satu logam berat yang terkandung dalam asap rokok, makanan dan lingkungan yang tercemar. Seperti halnya logam berat lainnya, kandungan yang diperbolehkan dalam tubuh manusia seharusnya hanya berupa trace element, jika berlebihan, dapat bersifat toksik [racun, red].
Jadi gini, kebetulan tadi Prof. Bur cerita tentang penelitian Cadmium di Indonesia yang dibahas di seminar di Surabaya beberapa hari lalu, he said "Ada salah satu penelitian yang membahas pemanfaatan lahan terkontaminasi logam berat, salah satunya adalah Chrom [you know, Kromium], dengan menanam sawi karena sawi dapat menyerap Krom dan untuk mempercepat pertumbuhan sawi itu diberilah pupuk [bagi yang belum tau, pupuk urea itu mengandung Cadmium]. dan siapakah yang mengkonsumsi sawi itu???" jawabannya tentu adalah MANUSIA!! maksudnya memang baik, memanfaatkan lahan yang terkontaminasi dengan menanam sayuran, tapi apa yang terjadi kalau sayuran itu adalah racun bagi tubuh manusia yang mengkonsumsinya. bisa dibayangkan kalau luas lahannya berhektar-hektar dan semua ditanami sawi, berapa banyak paparan Cadmium dalam tubuh manusia yang terbiasa mengonsumsi sayuran itu?

Dan satu lagi, salah satu penelitian juga membuktikan bahwa fluorida yang seharusnya dapat menghambat perkembangan karies gigi [lubang gigi, red] ternyata tidak berpengaruh pada rongga mulut orang yang telah terpapar Cadmium tingkat tinggi, walaupun konsentrasi fluorida yang diberikan juga cukup tinggi.
Pengaruh paparan Cadmium terhadap karies gigi terletak pada hambatan sekresi saliva [air liur, red], seperti yang kita tahu, banyak dan kecepatan aliran saliva mempengaruhi proses karies, jika terlalu sedikit/kurang, maka kemampuan self-cleansing saliva juga menurun, penimbunan plak pada gigi semakin banyak dan setelah beberapa lama jika hal ini tidak segera dirawat akan menimbulkan karies gigi.

Jadi, mulai sekarang berhati-hatilah terhadap paparan rokok pasif, maybe kamu emang bukan perokok, tapi perhatikan lingkungan di sekelilingmu. semakin banyak kamu hang out sama perokok, semakin banyak paparan logam berat di tubuhmu, sebagian besar racun dalam rokok dihirup dan masuk ke dalam aliran darah yang pada akhirnya diekskresi melalui urin, selain gak baik untuk gigimu, juga gak sehat untuk tubuh karena secara otomatis bahan-bahan itu akan dimetabolisme oleh hati. yaaahhh...proses fisiologisnya yang lebih lengkap tanya deh sama anak kedokteran umum [secara mereka lebih jago, red].

Ingatlah, rongga mulut memang hanya sebagian kecil dari sistem tubuh, sesuatu yang dianggap sepele oleh sebagian orang sehingga kadang diabaikan, tapi rongga mulut adalah point of entry bagi sebagian besar mikroorganisme dan paparan lainnya dalam tubuh. kalau mau melihat orang itu sehat atau tidak, lihatlah kondisi mulutnya [pesen dokter gigi tu.... ^_^]

dan bagi orang-orang yang pernah bilang "halaaahhh...anak gigi, apa sih susahnya cuman ngurusin 32 gigi saja kok repot..." well, jawabannya sudah kujelaskan di atas. sekarang ngerti kan? [membela anak gigi nehhh...]. siapa bilang cuman ngurusin 32 gigi doang, seluruh tubuh juga kita urusin, karena kita harus tahu kemana efek dari mulut ini akan berlanjut, jadi kita bisa ngasih rujukan ke dokter umum kalau pasien mengalami suatu penyakit di sistem organ lain, kan sebagian besar penyakit bermanifestasi dalam rongga mulut. jadi buat mereka-mereka yang pernah ngomong gitu ke anak gigi, tolong ditarik kembali!! [gue emosi nehhh, hehehe...gak deng, just think about it and never under estimate something small, may be it's precious to your life].

Jadi begitulah ilmu yang aku dapatkan hari ini dari mengikuti journal reading di bagian IKGM. special thanks to Prof. Bur. [seneng deh kalo pas baca ada Prof Bur, bagi-bagi ilmu].
any info lain atau ada yang mau sharing, silahkan..... ^_^ free consultations neh mumpung blom jadi dokter [tidak melayani pertanyaan pribadi yaa...]

DENTAL MINDED, INDONESIA !!

Read more...

Mekanisme Pertahanan Diri

Dalam ilmu psikiatri, mekanisme pertahanan diri (self-defense mechanism) merupakan salah satu bentuk penyesuaian diri untuk melindungi seorang individu dari kecemasan, meringankan penderitaan saat mengalami kegagalan, dan untuk menjaga harga diri.

Namun jika mekanisme ini terus-menerus dilakukan, justru bukannya mendapatkan perlindungan tapi akan menjadi ancaman, karena sebenarnya mekanisme pembelaan diri ini tidak redustik, mengandung banyak unsur penipuan diri-sendiri, dan distorsi realitas atau memutarbalikan fakta. Sebagian besar mekanisme ini bersifat unconcious atau di bawah sadar, sehingga sukar dinilai dan dievaluasi secara sadar.

Beberapa bentuk mekanisme pertahanan diri antara lain:

* Identifikasi

Ingin menyamai figur yang diidolakan. Ia akan memindahkan salah satu ciri dari figur yang diidolakan ke dalam dirinya sehingga ia merasa harga dirinya bertambah tinggi.

* Introjeksi

Merupakan bentuk sederhana dari identifikasi. Ia akan mengikuti norma-norma sehingga ego-nya tidak terganggu oleh ancaman dari luar (pembentukan super-ego).

* Proyeksi

Menyalahkan orang lain atas kesalahan atau kekurangan, keinginan, atau impuls dirinya sendiri.

* Represi

Secara tidak sadar mencegah keinginan atau pikiran-pikiran yang menyakitkan masuk ke dalam kesadaran. Represi membantu individu mengendalikan impuls yang berbahaya. Misalnya melupakan suatu pengalaman traumatik (amnesia). Keinginan yang direpresi dapat muncul kembali bila pertahanan diri melemah atau saat mabuk dan tidur.

* Regresi

Kembali ke tingkat perkembangan terdahulu. Cenderung bertingkah primitif, misalnya mengamuk, meraung-raung, melempar, merusak, dsb.

* Reaction formation

Bertingkah laku berlebihan yang bertentangan dengan keinginan atau perasaan sebenarnya. Misalnya, pantang membicarakan seks karena dorongan seks yang kuat atau terlalu banyak protes yang berarti sama saja mengakui kesalahan diri sendiri.

* Undoing

Menghilangkan pikiran atau impuls yang tidak baik, seolah-olah menghapus suatu kesalahan. Misalnya, pacar yang berselingkuh tiba-tiba bertindak manis di depan kekasihnya dengan demikian ia merasakan ketidaksetiaannya terhapus.

* Displacement

Mengalihkan emosi, arti simbolik atau fantasi sumber yang sebenarnya ke orang lain, benda ataupun keadaan lain. Misalnya, seorang karyawan dimarahi oleh bosnya kemudian saat pulang ke rumah ia marah-marah pada istri dan anaknya.

* Sublimasi

Mengganti keinginan atau tujuan yang terhambat dengan cara yang dapat diterima oleh masyarakat. Misalnya, kehilangan pacar disalurkan menjadi novel percintaan, dsb.

* Acting out

Langsung menguratakan perasaan bila keinginan terhambat. Misalnya, bertengkar untuk menyelesaikan masalah.

* Denial

Menolak untuk menerima atau menghadapi kenyataan yang tidak enak.

* Kompensasi

Menutupi kelemahan dengan menonjolkan kemampuannya yang lain.

* Rasionalisasi

Memberi keterangan bahwa tingkah lakunya menurut alasan yang seolah-olah rasional sehingga tidak menjatuhkan harga diri.

* Fiksasi

Berhenti pada tingkah perkembangan satu aspek tertentu (emosi, tingkah laku atau pikiran) sehingga perkembangan selanjutnya terhalang. Misalnya, bersikap kekanak-kanakan, atau selalu mengharapkan bantuan dari orang lain.

* Simbolisasi

Menggunakan benda atau tingkah laku sebagai simbol pengganti suatu keadaan yang sebenarnya. Misalnya, seorang anak selalu mencuci tangan untuk menghilangkan kegelisahannya, setelah ditelusuri ternyata ia melakukan masturbasi sehingga merasa berdosa atau cemas.

* Disosiasi

Keadaan dimana seorang individu memiliki dua kepribadian. Kepribadian primer adalah yang asli; dan sekunder berasal dari unsur lain terlepas dari kontrol kesadaran individu tersebut dan memiliki kesadaran sendiri.

* Konversi

Transformasi konflik emosional ke dalam bentuk gejala jasmani. Misalnya, seseorang tiba-tiba tidak dapat bersuara.

Seseorang dinyatakan mengalami gangguan jiwa tergantung pada lama, frekuensi dan intensitas suatu gejala perilaku psikologis. Sindrom tersebut dapat berupa gelisah, cemas, sedih, sulit tidur, nyeri, disfungsi organ, dsb, dan disfungsi tersebut membuatnya tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari. Namun, jika hanya mengalami gejala-gejala tersebut, tidak dapat digolongkan sebagai gangguan jiwa.

Read more...

08 February 2009

Deproteinisasi Dentin Dan Kebocoran Mikro Di Sekitar Restorasi Resin Sepertiga Gingival

Abstrak
Tujuan: Salah satu faktor yang signifikan untuk memperoleh adhesi resin restoratif terhadap substrat dentin yang memuaskan adalah metode dimana permukaan dentin diberi perlakuan sebelum bahan adhesif diaplikasikan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi efek deproteinisasi terhadap kebocoran mikro (microleakage) di sekitar restorasi resin sepertiga gingival.
Bahan dan Metode: Preparasi Klas V standar dibuat pada gigi molar rahang atas dan bawah yang masih utuh dan dipilih secara acak. Kemudian, diberi salah satu dari lima macam perlakuan (tanpa perlakuan, hanya dilakukan etsa asam, total etch, total etch yang dilanjutkan dengan deproteinisasi, dan hanya dilakukan deproteinisasi) kemudian, dilakukan bonding menggunakan sistem bonding berbahan dasar aseton atau etanol. Pertama-tama, sampel direndam dalam pewarna metilen biru 2% dan asam nitrat 35%, masing-masing selama 72 jam. Setiap larutan disaring dan disentrifugasi, supernatant digunakan untuk mengetahui absorbans (daya serap) dalam suatu spektrofotometer pada 670 nm. Hasilnya dicatat sebagai nilai transmisi sinar larutan yang diuji.
Hasil: Hasilnya dibandingkan antar kelompok, menggunakan ANOVA. Ditemukan perbedaan yang signifikan secara statistik pada semua kelompok perlakuan menggunakan dua macam sistem bonding yang digunakan. Kelompok eksperimental, yaitu total etch saja, dan total etch yang dilanjutkan dengan deproteinisasi menunjukkan perbedaan yang signifikan secara statistik, jika dibandingkan dengan kelompok lainnya. Namun, meskipun grup total etch menunjukkan microleakage yang kurang, jika dibandingkan dengan grup total etch yang dilanjutkan dengan deproteinisasi, perbedaan tersebut tidak signifikan secara statistik.
Kesimpulan: Dalam keterbatasan penelitian ini, pembuangan kolagen menjadi faktor penting untuk mengurangi microleakage, jika menggunakan sistem adhesif berbahan dasar aseton, namun, hal ini tidak mempengaruhi besarnya microleakage yang terjadi jika menggunakan sistem adhesif yang mengandung etanol atau air.
Kata Kunci: Bonding; pembuangan kolagen; deproteinisasi dentin; restorasi sepertiga gingival; microleakage; kebocoran dye/pewarna kuantitatif; spektofotometri.
Sumber: J Consev Dent, Jan-Mar 2008; 11(1): 11-15.

PENDAHULUAN
Salah satu tantangan dalam penelitian restorative dentistry adalah mengembangkan bahan adhesif restoratif yang mampu berikatan dengan jaringan gigi secara efektif sehingga menghasilkan perawatan restoratif yang sukses. Meskipun diketahui bahwa infiltrasi monomer resin ke dalam dentin yang diberi kondisioner kimia dinyatakan penting untuk meningkatkan perlekatan pada interfase resin-gigi, telah diketahui juga bahwa bahan adhesif one-bottle terbaru, yang dilarutkan dalam aseton, alkohol atau air, hanya berdifusi ke bagian luar jaringan yang telah berpori akibat aplikasi kondisioner asam, sebanyak beberapa mikron meter. Meskipun email merupakan salah satu substrat reliabel untuk bonding, bonding dentin masih tidak dapat diprediksi dan bonding pada sementtum bahkan lebih buruk.

Dengan meningkatnya usia populasi dan insiden karies akar, sangat dikhawatirkan kita tidak memiliki bond yang baik pada interfase sementum-dentin. Bonding pada sepertiga gingiva gigi membutuhkan perlakuan dan conditioning tiga macam jaringan gigi. Jika dapat diperoleh ikatan kimia yang baik, penggabungan antara jaringan gigi dengan restorasi yang sempurna akan menghilangkan kecenderungan terjadinya karies sekunder yang disebabkan oleh microleakage (kebocoran mikro).

Salah satu variabel yang mempengaruhi daya tahan restorasi resin Klas V adalah kualitas ikatan pada cavosurface margin dentin. Terdapat satu zona di bawah sementum, yang memiliki sedikit tubulus dentinalis dan permeabilitasnya terhadap resin adhesif kurang, meskipun telah dilakukan etsa asam. Kondisioner asam mengakibatkan demineralisasi lebih banyak dentin dibandingkan dengan infiltrasi monomer resin yang diaplikasikan kemudian, menghasilkan lapisan hibrid berkualitas buruk pada interfase kritis ini. Margin eksternal komposit resin Klas V dalam dentin haruslah sesempurna mungkin, secara makroskopis ataupun mikroskopis, karena regio ini berada di subgingival.

Pembuangan serat kolagen menggunakan agen deproteinisasi menghasilkan akses resin adhesif substrat yang lebih permeabel dan kurang sensitif terhadap kandungan air. Penggunaan proses deproteinisasi untuk membuang lapisan kolagen superfisial yang tidak stabil dan sisa-sisa permukaan dentin yang dietsa pada sub-permukaan telah diperkenalkan sejak tahun 1990an.

Sodium hipoklorit merupakan suatu agen proteolitik non-spesifik yang dapat membuang komponen organik secara efektif pada suhu ruang. Literatur tentang subyek ini menunjukkan bahwa perlakuan dengan sodium hipoklorit dapat membersihkan komponen organik dentin dan mengubah komposisi kimianya, sehingga mirip dengan email yang dietsa. Substrat ini juga kaya akan kristal hidroksiapatit sehingga menghasilkan interfase yang stabil sepanjang masa, karena terbuat dari mineral. Permukaan dentin yang dideproteinisasi mengalami peningkatan “kelembaban” karena bersifat hidrofilik dan lebih permeabel. Sehingga, interaksi kimia antara resin dengan permukaan dentin yang dideproteinisasi dapat terjadi, karena permukaan tersebut diketahui memiliki tubulus yang terbuka lebar dan iregularitas dentin intertubuler yang lebih halus, setelah dua menit aplikasi agen deproteinisasi.

Telah diteliti bahwa etsa yang dilanjutkan dengan deproteinisasi dapat menurunkan derajat kebocoran pada margin email oklusal dibandingkan pada margin dentin gingiva dan sementum, terutama jika digunakan bahan bonding yang mengandung aseton. Namun, kami ingin menyelidiki pengaruh deproteinisasi terhadap kebocoran mikro pada restorasi sepertiga gingival.

BAHAN DAN METODE
Enam puluh hasil ekstraksi gigi molar manusia yang masih utuh dikumpulkan, disimpan, dan didesinfeksi, dan diberi perlakuan seperti rekomendasi dan pedoman yang dikeluarkan oleh OSHA dan CDC. Gigi yang mengalami karies dan retak dibuang dan gigi-geligi yang tersisa direndam dalam larutan salin fisiologis 0,9%, sebelum dialkukan preparasi kavitas. Dibuat preparasi Klas V yang seragam pada aspek bukal gigi menggunakan air rotor dan handpiece. Pengukuran kavitas adalah kurang lebih 5 mm mesio-distal, 3 mm serviko-oklusal, dengan kedalaman 2 mm [Gambar 1e].

Gigi-geligi tersebut dikelompokkan secara acak menjadi lima kelompok yang masing-masing terdiri dari 12 gigi. Grup uji terdiri dari kontrol positif dan negatif: etsa email dan tanpa perlakuan sama sekali. Kelompok-kelompok tersebut diberi salah satu dari beberapa perlakuan berikut: etsa sempurna menggunakan asam fosfat 37%; etsa yang dilanjutkan dengan deproteinisasi menggunakan sodium hipoklorit 2% dan agitasi selama 2 menit; atau hanya dilakukan deproteinisasi saja. Kemudian, hasil preparasi di-bonding menggunakan bonding agent yang mengandung primer aseton (Prime and bond 2.1) atau primer yang mengandung etanol (Syntac sprint), dan resin komposit light cure, tergantung pada subgrup-nya. Bahan yang digunakan ditampilkan dalam Gambar 1a-1d.

Seluruh permukaan gigi yang direstorasi dilapisi dengan nail varnish, kecuali pada restorasi dan margin 2 mm di sekitarnya. Setiap spesimen direndam dalam 5 ml larutan metilen biru 2% [Gambar 1f] dan disimpan dalam suhu 37oC + 2oC, pada kelembaban relatif selama 72 jam. Setelah itu, spesimen dibilas dengan air, dilakukan ultrasonikasi dan nail varnish dibersihkan. Kemudian, gigi-geligi direndam dalam asam nitrat 35% yang baru disiapkan, selama 72 jam. Kemudian, larutan tersebut disaring dan disentrifugasi selama satu menit, pada 2000 rpm, dan larutan supernatant digunakan untuk mengetahui daya serapnya dalam spektofotometer [Gambar 1g] pada 670 nm.

Hasilnya dicatat sebagai nilai transmisi sinar dan densitas optik larutan uji. Jika diaplikasikan uji-t, diperoleh hasil yang signifikan secara statistik.

HASIL
Hasilnya ditampilkan dalam Tabel 1 sebagai penetrasi pewarna/dye volumetrik berdasarkan presentase transmisi sinar yang menembus larutan uji. Tabel 2-4 menguraikan nilai mean, standar deviasi, dan nilai-P serta hasil perbandingan multipel dan ANOVA.

[Gambar 2] menunjukkan perbandingan nilai mean kebocoran dye volumetrik pada berbagai kelompok, dimana presentase transmisi sinar, kebocoran mikro berbanding terbalik dengan presentase transmisi sinar.

Perlu dicatat bahwa terdapat perbedaan yang signifikan secara statistik antara kedua sistem adhesif yang digunakan pada setiap grup perlakuan. Seperti yang diharapkan, jika dibandingkan dengan kontrol negatif, semua kelompok menunjukkan selisih yang sangat signifikan secara statistik, apapun sistem adhesif yang digunakan. Untuk penggunaan sistem adhesif yang mengandung aseton, diperoleh perbedaan yang signifikan secara statistik antara grup uji, kebocoran mikro terkecil ditunjukkan oleh spesimen yang diberi perlakuan total etch, bukan pada grup deprotenisasi setelah etsa. Namun, untuk sistem adhesif yang mengandung etanol, tidak ditemukan perbedaan yang signifikan antara kedua kelompok. Kelompok-kelompok yang diberi perlakuan etsa asam pada margin emailnya saja menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan kelompok lainnya, dan hampir sama dengan grup yang hanya diberi perlakuan deproteinisasi saja.

Perlu dicatat bahwa kelompok-kelompok yang hanya diberi perlakuan etsa email saja, berkebalikan dengan etsa total, mengalami kebocoran mikro yang lebih besar.

Telah dilihat bahwa kebocoran mikro terkecil ditemukan dalam subyek yang hanya diberi perlakuan total etch saja, diikuti dengan grup deproteinisasi. Tidak ditemukan perbedaan yang signifikan antara keduanya dan dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui apakah deproteinisasi dentin memiliki relevansi klinis dan bermakna untuk meningkatkan kualitas perlekatan antara resin dengan dentin, terutama pada daerah sepertiga gingival.

PEMBAHASAN
Dentin dikarakteristikkan sebagai komposit biologis matriks kaya kolagen yang berisi kristal apatit kaya karbonat dan defisien kalsium berukuran nanomer yang terendap diantara silinder-silinder dangkal susunan paralel kolagen berukuran mikro yang mengalami hiper mineralisasi. Tujuan hibridisasi dentin yang termineralisasi menggunakan resin adhesif adalah membentuk struktur yang resisten terhadap serangan kimia dan menghasilkan adhesi yang stabil dengan komponen resin di atasnya serta stabil dan impermeabel terhadap cairan rongga mulut atau substansi bakteri. Konsep “lapisan hibrid” diperkenalkan pada tahun 1982 oleh Nakabayashi dkk. Penelitian mereka menunjukkan bahwa difusi monomer, yang terinfiltrasi ke dalam permukaan dentin yang telah dietsa dan di-polimerisasi secara in situ, menghasilkan adhesi yang baik dengan substrat gigi.

Pada restorasi sepertiga gingival, banyak yang menyebutkan tentang kualitas ikatan antara resin dan dentin. Namun, yang penting adalah menemukan cara untuk memperbaiki perlekatan pada interfase sementum. Struktur yang kurang termineralisasi dapat membahayakan “lapisan hibrid”, dan melibatkan fibril kolagen. Berbagai protokol perawatan telah diajukan untuk meningkatkan “kelembaban”, permeabilitas dan perbaikan ikatan kimia yang murni pada interfase ini. Dalam penelitian ini, ditemukan bahwa sampel-sampel yang diberi perlakuan etsa asam dan deproteinisasi mengalami kebocoran mikro yang lebih besar, dibandingkan dengan sampel yang hanya diberi perlakuan etsa asam tanpa deproteinisasi. Hasil ini sama dengan penelitian terdahulu yang dilakukan menggunakan parameter serupa. Hasil tersebut juga menunjukkan bahwa besarnya kebocoran mikro yang terjadi tergantung pada bahan adhesif yang digunakan setelah prosedur pra-perawatan dentin.

Kami tidak memperoleh perbedaan yang signifikan secara statistik dalam hal kebocoran mikro dari sistem adhesif yang mengandung aseton, antara grup kontrol positif dengan grup uji. Hal ini mungkin merupakan salah satu efek difusibilitas aseton, dan kemampuannya untuk menahan air. Baiknya kontak monomer dengan struktur dentin intertubuler ireguler, yang terpapar akibat diberi perlakuan dengan sodium hipoklorit, dapat menghasilkan interfase yang homogen tanpa celah dan tidak perlu dilakukan deproteinisasi permukaan hidrofilik. Tidak ada fibril kolagen yang terpapar langsung dengan lingkungan rongga mulut; sehingga tidak terjadi degradasi interfase adhesif yang diharapkan terjadi akibat hidrolisis kolagen yang terpapar.

Dalam penelitian ini, grup kontrol negatif (permukaan yang hanya diberi perlakuan deproteinisasi dentin) mengalami kebocoran maksimum menggunakan kedua sistem bonding; namun, sistem yang mengandung etanol menunjukkan kebocoran dye yang lebih kuantitatif.

KESIMPULAN

Dapat disimpulkan bahwa pembuangan kolagen berperan penting dalam mengurangi kebocoran mikro, meskipun menggunakan bahan adhesif yang mengandung aseton, namun tidak berpengaruh pada sistem berbahan dasar etanol. Namun, dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk memastikan hasilnya dan mengevaluasi keefektivan perlakuan dentin ini.

Read more...

03 February 2009

Waspadai Kebiasaan Mendengkur


Kebiasaan mendengkur dipengaruhi oleh berbagai faktor, namun tahukah anda kalau kondisi gigi-geligi dan rongga mulut juga dapat menyebabkan kebiasaan mendengkur saat tidur? Dan tahukah anda bahwa kebiasaan ini dapat diramalkan sejak usia kanak-kanak.

Kebiasaan ini harus anda waspadai, karena selain mengganggu teman tidur anda, mendengkur, juga dapat membunuh anda saat tidur akibat suatu gangguan yang dinamakan sleep apnea.

Mendengkur terjadi akibat terhalangnya separuh jalan napas saat anda tidur. Biasanya, saat tidur dalam posisi terlentang. Mendengkur hanyalah suatu gangguan, namun sleep apnea adalah masalah yang lebih serius. Sleep apnea terjadi jika seluruh jalan napas terhalang selama 10 detik atau lebih sebanyak 15 kali atau lebih per jam.

Saat anda berhenti bernapas tersebut, jumlah oksigen yang dihirup berkurang, sehingga tekanan darah meningkat, anda beresiko terkena diabetes Tipe II, serangan jantung dan stroke.

Pada anak-anak, sleep apnea dapat menyebabkan anak hiperaktif dan agresif, memiliki kebiasaan mengompol, dan pertumbuhannya terhambat. Dalam kasus yang lebih ekstrim, anak dapat mengalami retardasi mental atau gagal jantung.

Kelainan gigitan, yang disebut sebagai maloklusi, dimana rahang atas lebih maju dibandingkan rahang bawah, pembesaran amandel, rahang sempit, dan langit-langit mulut tinggi/dalam merupakan beberapa kondisi rongga mulut yang dapat menyebabkan sleep apnea.

Perawatan yang tepat untuk mencegah kebiasaan mendengkur dan sleep apnea seharusnya dimulai sejak usia dini, menggunakan alat ortodontik fungsional. Alat fungsional ini akan mereposisi rahang bawah dan menarik lidah ke depan. Pemakaian alat fungsional ini disertai dengan pengoreksian kondisi gigitan menggunakan braket atau jenis alat ortodontik lainnya. Dapat juga dilakukan operasi amandel jika terjadi pembesaran.

Jadi, kebiasaan mendengkur dapat diatasi sejak usia dini. Kondisi gigi-geligi yang benar tidak hanya meningkatkan kepercayaan diri tapi juga mendukung kesehatan tubuh anda secara keseluruhan.

Read more...

Mengatasi Fobia Ke Dokter Gigi


Jika anda salah seorang yang merasa takut ke dokter gigi, baca artikel ini.

Ketakutan ke dokter gigi kemungkinan besar disebabkan oleh trauma pada masa kanak-kanak saat berkunjung ke dokter gigi untuk melakukan pencabutan gigi. Perasaan takut dan cemas itu terbawa sampai usia dewasa. Jadi, anda akan selalu menghindari pemeriksaan gigi, atau bertemu dengan dokter gigi di tempat prakteknya.

Berikut ini adalah beberapa tips yang semoga dapat membantu anda mengatasi fobia ke dokter gigi.

Jika anda ‘terpaksa’ ke dokter gigi, biasanya akibat rasa sakit yang sering anda rasakan selama berbulan-bulan. Maka tujuan anda melakukan pemeriksaan ke dokter gigi harus diubah. Jika masih menganut paham itu, fobia anda tidak akan hilang. Karena hanya ingin melakukan pemeriksaan saat membutuhkan saja, dan terpaksa. Pertama, anda harus mengubah pemahaman anda tentang tujuan ke dokter gigi, yaitu memeriksakan rongga mulut saat kondisinya sehat. Dengan demikian, anda tidak perlu takut pemeriksaan yang dilakukan akan menimbulkan rasa sakit atau trauma. Pencegahan lebih baik daripada pengobatan.

Dan, jika anda seorang ibu dan memiliki anak balita, jangan pernah gunakan ‘dokter gigi’ untuk membuat anak patuh. Perkataan anda terhadap anak akan mengendap. Ingat, otak balita seperti spons yang bisa menyerap apapun, baik dilihat ataupun didengar. Jadi, berhati-hatilah dengan ucapan anda kepada anak.

Kedua, gunakan musik untuk membantu anda mengurangi rasa cemas saat menunggu di ruang tunggu. Pada umumnya, rasa cemas meningkat saat anda duduk di ruang tunggu, dan mulai berpikir negatif tentang perawatan. Hilangkan pemikiran tersebut dengan mendengarkan musik yang anda sukai dari iPod atau handphone. Di beberapa tempat praktek, dokter sengaja memasang alat audio untuk menenangkan pasiennya. Menurut beberapa penelitian, usaha ini terbukti berhasil menenangkan pasien.

Ketiga, saat berkunjung ke dokter gigi [terutama anak-anak], usahakan sarapan terlebih dahulu, hal ini akan menenangkan anak. Di dalam ruang praktek, dokter gigi akan memperkenalkan kondisi ruangan dan peralatan yang akan digunakan, hal ini membantu anak mengurangi kecemasannya. Menurut pengalaman saya waktu kecil, dokter meminta saya menutup mata dengan kedua tangan saat akan dilakukan pencabutan gigi. Dan, ini terbukti berhasil!


Rasa sakit saat pencabutan gigi timbul akibat larutan anestesi yang tidak bekerja dengan baik, hal ini disebabkan oleh beberapa hal, antara lain kurang tidur, mengkonsumsi alkohol, kebiasaan merokok, atau menderita penyakit sistemik, seperti hipertensi dan diabetes.

Jadi, untuk tips keempat, saya menganjurkan anda untuk tidur nyenyak, tidak mengkonsumsi alkohol ataupun merokok. Jika anda menderita penyakit sistemik, konsultasikan dengan dokter yang merawat anda, apakah anda boleh menjalani pencabutan gigi, karena penyakit sistemik akan menimbulkan komplikasi tertentu. Dan, jangan lupa, sarapan atau makan yang kenyang.

Untuk ibu hamil, sebaiknya perawatan gigi ditunda. Kemungkinan anda akan diberikan obat yang tidak akan mengganggu proses kehamilan. Kehamilan membuat kondisi rongga mulut lebih rentan, anda mungkin sering mengalami gusi berdarah atau pembengkakan, cara mengatasinya, berkumurlah dua atau tiga kali sehari dengan larutan kumur yang tidak mengandung alkohol, atau dapat menggunakan larutan garam hangat. Dokter akan menganjurkan anda agar tidak mengkonsumsi antibiotik.

Menurut pemahaman orang awam, pencabutan gigi dapat merusak saraf. Yang perlu anda ketahui adalah kecelakaan semacam itu mungkin saja terjadi pada dokter gigi yang paling berpengalaman sekalipun, namun insidennya sangat jarang. Dokter gigi yang baik akan melakukan pemeriksaan dengan cermat dan menyeluruh, ia juga telah memahami komplikasi perawatan dan cara pencegahannya. Jadi, tips kelima, yakinlah kepada dokter gigi anda bahwa ia akan melakukan perawatan terbaik untuk anda. Itu termasuk dalam sumpah dokter loh!

Setelah proses perawatan, biasanya dokter akan memberikan beberapa instruksi tentang pemeliharaan rongga mulut anda pasca-perawatan. Jadi tips berikutnya, ikuti saran dokter, dengarkan baik-baik setiap penjelasannya. Jangan dianggap remeh, karena mungkin saja terjadi komplikasi pasca-perawatan. Ingatlah, bahwa komplikasi tersebut bukan disebabkan oleh dokter anda, tapi karena kecerobohan anda sendiri yang tidak mendengarkan dan mengikuti saran yang diberikan. Instruksi yang diberikan oleh dokter anda bertujuan untuk mempercepat proses penyembuhan. Jika terjadi komplikasi, misalnya perdarahan atau pembengkakan yang terus berlanjut, konsultasikan kembali ke dokter gigi anda.

Demikian tips dan trik mengatasi fobia ke dokter gigi. Semoga anda tidak lagi merasa takut ke dokter gigi.

Ingatlah, kesehatan rongga mulut adalah cermin kesehatan tubuh anda.

Dental minded, Indonesia !!

Read more...

Berhitung!

Pasang Aku Yaa

go green indonesia!
Solidaritas untuk anak Indonesia

  © Blogger templates Newspaper III by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP