13 February 2009

Mekanisme Pertahanan Diri

Dalam ilmu psikiatri, mekanisme pertahanan diri (self-defense mechanism) merupakan salah satu bentuk penyesuaian diri untuk melindungi seorang individu dari kecemasan, meringankan penderitaan saat mengalami kegagalan, dan untuk menjaga harga diri.

Namun jika mekanisme ini terus-menerus dilakukan, justru bukannya mendapatkan perlindungan tapi akan menjadi ancaman, karena sebenarnya mekanisme pembelaan diri ini tidak redustik, mengandung banyak unsur penipuan diri-sendiri, dan distorsi realitas atau memutarbalikan fakta. Sebagian besar mekanisme ini bersifat unconcious atau di bawah sadar, sehingga sukar dinilai dan dievaluasi secara sadar.

Beberapa bentuk mekanisme pertahanan diri antara lain:

* Identifikasi

Ingin menyamai figur yang diidolakan. Ia akan memindahkan salah satu ciri dari figur yang diidolakan ke dalam dirinya sehingga ia merasa harga dirinya bertambah tinggi.

* Introjeksi

Merupakan bentuk sederhana dari identifikasi. Ia akan mengikuti norma-norma sehingga ego-nya tidak terganggu oleh ancaman dari luar (pembentukan super-ego).

* Proyeksi

Menyalahkan orang lain atas kesalahan atau kekurangan, keinginan, atau impuls dirinya sendiri.

* Represi

Secara tidak sadar mencegah keinginan atau pikiran-pikiran yang menyakitkan masuk ke dalam kesadaran. Represi membantu individu mengendalikan impuls yang berbahaya. Misalnya melupakan suatu pengalaman traumatik (amnesia). Keinginan yang direpresi dapat muncul kembali bila pertahanan diri melemah atau saat mabuk dan tidur.

* Regresi

Kembali ke tingkat perkembangan terdahulu. Cenderung bertingkah primitif, misalnya mengamuk, meraung-raung, melempar, merusak, dsb.

* Reaction formation

Bertingkah laku berlebihan yang bertentangan dengan keinginan atau perasaan sebenarnya. Misalnya, pantang membicarakan seks karena dorongan seks yang kuat atau terlalu banyak protes yang berarti sama saja mengakui kesalahan diri sendiri.

* Undoing

Menghilangkan pikiran atau impuls yang tidak baik, seolah-olah menghapus suatu kesalahan. Misalnya, pacar yang berselingkuh tiba-tiba bertindak manis di depan kekasihnya dengan demikian ia merasakan ketidaksetiaannya terhapus.

* Displacement

Mengalihkan emosi, arti simbolik atau fantasi sumber yang sebenarnya ke orang lain, benda ataupun keadaan lain. Misalnya, seorang karyawan dimarahi oleh bosnya kemudian saat pulang ke rumah ia marah-marah pada istri dan anaknya.

* Sublimasi

Mengganti keinginan atau tujuan yang terhambat dengan cara yang dapat diterima oleh masyarakat. Misalnya, kehilangan pacar disalurkan menjadi novel percintaan, dsb.

* Acting out

Langsung menguratakan perasaan bila keinginan terhambat. Misalnya, bertengkar untuk menyelesaikan masalah.

* Denial

Menolak untuk menerima atau menghadapi kenyataan yang tidak enak.

* Kompensasi

Menutupi kelemahan dengan menonjolkan kemampuannya yang lain.

* Rasionalisasi

Memberi keterangan bahwa tingkah lakunya menurut alasan yang seolah-olah rasional sehingga tidak menjatuhkan harga diri.

* Fiksasi

Berhenti pada tingkah perkembangan satu aspek tertentu (emosi, tingkah laku atau pikiran) sehingga perkembangan selanjutnya terhalang. Misalnya, bersikap kekanak-kanakan, atau selalu mengharapkan bantuan dari orang lain.

* Simbolisasi

Menggunakan benda atau tingkah laku sebagai simbol pengganti suatu keadaan yang sebenarnya. Misalnya, seorang anak selalu mencuci tangan untuk menghilangkan kegelisahannya, setelah ditelusuri ternyata ia melakukan masturbasi sehingga merasa berdosa atau cemas.

* Disosiasi

Keadaan dimana seorang individu memiliki dua kepribadian. Kepribadian primer adalah yang asli; dan sekunder berasal dari unsur lain terlepas dari kontrol kesadaran individu tersebut dan memiliki kesadaran sendiri.

* Konversi

Transformasi konflik emosional ke dalam bentuk gejala jasmani. Misalnya, seseorang tiba-tiba tidak dapat bersuara.

Seseorang dinyatakan mengalami gangguan jiwa tergantung pada lama, frekuensi dan intensitas suatu gejala perilaku psikologis. Sindrom tersebut dapat berupa gelisah, cemas, sedih, sulit tidur, nyeri, disfungsi organ, dsb, dan disfungsi tersebut membuatnya tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari. Namun, jika hanya mengalami gejala-gejala tersebut, tidak dapat digolongkan sebagai gangguan jiwa.

1 komentar:

Anonymous,  December 9, 2010 at 11:11 PM  

Nice posting. Terima kasih

Berhitung!

Pasang Aku Yaa

go green indonesia!
Solidaritas untuk anak Indonesia

  © Blogger templates Newspaper III by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP