18 March 2010

Relaps Dalam Penyakit Lepra

Abstrak
Lepra adalah penyakit yang unik, dalam hal sifat organisme penyebabnya [yaitu, Mycobacterium leprae], kronisitas penyakit, perawatan jangka panajangnya, serta definisi ‘sembuh’ dan ‘relaps’. Metode utama untuk menilai efek pengobatan terapeutik dalam penyakit lepra adalah “kecepatan relaps” penyakit ini. Di berbagai daerah, penghitungan kecepatan relaps setelah terapi multidrug WHO [world health organization] bervariasi. Faktor predisposisi penting dalam relaps antara lain adanya basil ‘persister’, monoterapi, terapi yang tidak adekuat/ireguler, adanya lesi kulit multipel/penebalan saraf dan negativitas lepromin. Dalam penyakit lepra, metode konvensional untuk memastikan aktivitas atau relaps dalam suatu penyakit infeksi [demonstrasi dan/atau kultur agen penyebab] memiliki manfaat yang terbatas karena dalam kasus paucibacillary [PB], keberadaan basil sulit diketahui dan belum ada metode kultivasi M. leprae in vitro. Parameter-parameter bakteriologis dapat digunakan dalam penyakit lepra multibacillary [MB], sedangkan dalam PB leprosy, kriteria relaps sangat tergantung pada tanda-tanda klinis. Meskipun pemeriksaan serologis untuk penyakit lepra belum tersedia luas, selain untuk keperluan penelitian, berbagai pemeriksaan imunologis dapat dimanfaatkan untuk mengawasi pasien yang sedang menjalani kemoterapi serta memastikan kecurigaan kasus-kasus relaps. Diagnosis banding utama untuk relaps adalah reaksi reversal, eritema nodosum leprosum, dan reaktivasi/resistensi/reinfeksi. Kriteria yang paling reliabel untuk menegakkan diagnosis relaps yang akurat antara lain kriteria klinis, bakteriologis, dan terapeutik. Dapat dilakukan Kriteria tambahan, seperti kriteria histopatologis dan serologis dapat digunakan, disesuaikan dengan kondisinya. Kasus-kasus relaps penyakit lepra harus diidentifikasi dan dilakukan kemoterapi ulang sesegera mungkin untuk mencegah kecacatan dan penularan infeksi lebih lanjut. Faktor-faktor yang harus dipertimbangkan dalam pemilihan pengobatan adalah tipe penyakit lepra [PB atau MB], perawatan sebelumnya dan resistensi obat. Terkadang, klinisi perlu menggunakan penilaiannya dalam memodifikasi perawatan standar WHO yang sesuai dengan kondisi setiap pasien.
Kata Kunci: penyakit lepra, reaktivasi, reinfeksi, relaps, resistensi.



PENDAHULUAN
Relaps penyakit, akut ataupun kronis, yang disebabkan oleh infeksi bakteri cukup sering terjadi. Umumnya, relaps menunjukkan kegagalan perawatan infeksi secara menyeluruh, yang ditambah oleh perawatan ireguler, terutama dalam penyakit-penyakit kronis.
Jika dibandingkan dengan penyakit-penyakit infeksi lainnya, perawatan penyakit lepra tergolong unik, dalam hal dosis dan durasi pengobatan yang tetap, serta definisi ‘sembuh’. Biasanya, penghentian perawatan didasarkan pada penyelesaian durasi perawatan yang dianjurkan, bukan hilangnya tanda dan gejala klinis, yang awalnya mengarahkan perawatan.
Jadi, metode utama untuk menilai efek pengobatan terapeutik dalam penyakit lepra adalah ‘kecepatan relaps’. Kecepatan relaps yang sangat rendah selama periode observasi yang adekuat menunjukkan bahwa pengobatan yang dilakukan terbukti efektif dan inilah sebabnya mengapa WHO menganjurkan periode pengawasan yang panjang pada semua pasien yang telah dinyatakan ‘sembuh’ setelah menjalani perawatan multidrug.

DEFINISI

Definisi ‘relaps’ hanya dapat dipahami dalam konteks definisi ‘sembuh’. Dalam era monoterapi Dapsone, seorang penderita penyakit multibacillary [MB] dinyatakan mengidap ‘penyakit laten’ jika lesi kulit telah sembuh dan apusan kulit selama 3 bulan berturut-turut menunjukkan hasil negatif terhadap acid-fast bacilli [AFB], kemudian pengobatan anti-lepra dilanjutkan selama 5-10 tahun mendatang atau bahkan seumur hidup. Penderita paucibacillary [PB] dinyatakan ‘bebas-penyakit’ jika semua lesi kulit telah sembuh, tanpa infiltrasi atau eritema, dan saraf tidak lagi menimbulkan rasa sakit atau bengkak, kemudian perawatan anti-lepra dilanjutkan selama 3-5 tahun. Seiring perkembangan terapi multidrug [MDT], kriteria klinis kesembuhan yang kaku tersebut telah kehilangan manfaatnya. WHO mendefinisikan penderita lepra sebagai seseorang yang memiliki tanda dan gejala penyakit ini dan membutuhkan kemoterapi. Pada tahun 1995, WHO merekomendasikan 1 tahun MDT bagi pasien MB [12 pulse dalam 18 bulan] dan 6 bulan [6 pulse dalam 9 bulan] bagi pasien PB. Sepanjang masa terapi, pasien harus mengkonsumsi dua pertiga pulse sampai waktu tersebut. Untuk tujuan operasional, setelah pasien menjalani kemoterapi yang adekuat, ia dinyatakan ‘sembuh’. Gambaran histopatologis lesi dan kesembuhan klinis penyakit membutuhkan waktu beberapa bulan atau tahun setelah perawatan anti-lepra dihentikan.

Terdapat beberapa definisi relaps dalam penyakit lepra.
1. Guide to Leprosy Control [WHO 1988]:
“Seorang pasien yang telah menyelesaikan MDT secara adekuat, namun tanda dan gejala penyakit muncul kembali, baik selama periode pengawasan [2 tahun untuk PB dan 5 tahun untuk MB] ataupun setelah periode tersebut.”
2. Becx-Bleumink membuat daftar beberapa kriteria relaps, yaitu:
a. Lesi kulit baru
b. Aktivitas baru dalam lesi kulit yang pernah timbul
c. Indeks bakteriologis [BI] 2+ atau lebih pada dua set apusan kulit
d. Terjadi kehilangan fungsi saraf lagi
e. Pemeriksaan histologis menemukan terjadinya relaps dalam biopsi kulit atau saraf
f. Aktivitas lepromatosa dalam mata
3. Relaps pada penderita PB:
a. Beorrigter dkk, -- “munculnya lesi kulit baru atau bertambahnya ukuran lesi yang ada, menunjukkan adanya gambaran klinis atau histopatologis definitif [atau keduanya] penyakit lepra dalam lesi semacam itu.”
b. Pandian dkk, membuat beberapa kriteria untuk mendefinisikan relaps dalam PB – “perluasan lesi, infiltrasi, eritema, munculnya lesi baru, nyeri dan pembengkakan saraf, paralisis otot baru dan positivitas bakteriologis.”
Apapun definisi yang digunakan dalam kasus relaps, harus diingat bahwa relaps dalam kasus MB relatif mudah dikenali, sedangkan relaps dalam kasus PB sulit untuk dibedakan secara klinis dengan reaksi reversal yang terjadi setelah terapi selesai.

KECEPATAN RELAPS

Terdapat berbagai macam metode penghitungan kecepatan relaps di berbagai daerah. Hal ini mungkin disebabkan oleh variasi definisi relaps, proporsi pasien dengan/tanpa terapi Dapsone, kisaran positivitas apusan kulit dalam kasus MB, dan perbedaan durasi follow up. Setelah MDT dihentikan, resiko relaps pasien PB dan MB sangat rendah, yaitu kurang lebih 10 kali lebih rendah dibandingkan dengan monoterapi Dapsone.

WHO memperkirakan resiko relaps untuk pasien MB sebesar 0,77% dan 1,07% untuk pasien MB, 9 tahun setelah MDT dihentikan. Berbagai penelitian lainnya yang mengobservasi individu-orang mengestimasi kecepatan relaps mulai dari 0,65 sampai 3% pada PB dan 0,02 sampai 0,8% pada MB leprosy.
Salah satu data retrospektif dari the Central Leprosy Teaching and Research Institute, Chengalpattu, Tamil Nadu, menyertakan 3248 penderita lepra yang menyelesaikan MDT WHO selama periode 1987-2003. Kecepatan relaps keseluruhan untuk kasus MB dan PB leprosy, masing-masing, adalah 0,84 dan 1,9%, sedangkan kecepatan pada follow up individu-tahun, masing-masing, adalah 0,86 dan 1,92/1000. Sebagian besar relaps terjadi pada 3 tahun pertama setelah perawatan dihentikan. Jika seorang individu tidak mengalami relaps dalam waktu 5-6 tahun, resiko terjadi relaps pada individu tersebut dapat diabaikan.
Baru-baru ini, dalam analisis retrospektif kecepatan relaps di Cina 24 bulan setelah MB-MDT WHO pada 2374 penderita MB yang menjalani follow up selama durasi rata-rata 8,27 tahun, ditemukan 5 pasien mengalami relaps dengan kecepatan relaps akumulasi sebesar 0,21/1000 orang-tahun, angka tersebut cukup rendah.
Namun, dalam salah satu penelitian deskriptif penyakit lepra di Etiopia, yaitu kohort AMFES [ALERT MDT Field Evaluation Study] tidak ditemukan relaps yang definitif pada 502 pasien yang menyelesaikan fixed-duration MDT, selama periode follow up 8 tahun setelah perawatan selesai, meskipun dalam 57 kasus yang memiliki rata-rata BI awal > 4, 20 diantaranya menjalani follow up selama lebih dari 5 tahun setelah MDT dihentikan. Hal ini menunjukkan bahwa kecepatan relaps setelah MDT rendah.

ASPEK MIKROBIOLOGIS
Metode konvensional untuk memastikan aktivitas atau relaps dalam suatu penyakit infeksi adalah pembuktian dan/atau kultur agen etiologi. Sayangnya, metode-metode tersebut kurang bermanfaat dalam penyakit lepra karena sulit membuktikan keberadaan basil dalam kasus PB dan belum ada metode kultivasi M. Leprae secara in vitro. Berbeda dengan PB leprosy, dimana kriteria relaps sangat tergantung pada tanda-tanda klinis, parameter bakteriologis sangat bermanfaat dalam MB leprosy.
Positivitas-ulang AFB setelah kasus dinyatakan negatif merupakan salah satu tanda relaps dalam kasus PB dan MB. BI yang tetap tinggi atau peningkatan BI juga merupakan parameter penting untuk menegakkan diagnosis relaps dalam BI 2+, munculnya lesi aktif yang memiliki BI atau BI meningkat lebih dari jumlah awalnya pada lesi yang telah ada merupakan beberapa kriteria untuk menegakkan diagnosis relaps. Namun, peningkatan BI +1 dinyatakan sebagai bukti pendukung diagnosis relaps pada pasien yang awalnya dinyatakan negatif atau mengalami penurunan BI setelah MDT.
Terdapat sejumlah teknik in vivo dan in vitro untuk mengawasi perkembangan perawatan penyakit lepra, yang dapat juga digunakan sebagai kriteria obyektif tambahan untuk memastikan relaps. Teknik-teknik in vivo untuk mengukur viabilitas antara lain menggunakan mouse footpad untuk kultivasi M. leprae. Prosedur-prosedur in vitro untuk mengukur viabilitas antara lain indeks morfologis, pewarnaan fluoroscent diacetate ethidium bromide [FDA-EB], laser microprobe mass analysis [LAMMA], pengukuran adenosine triphosphate dan makrofag-based assay. Teknik-teknik molekuler, seperti DNA and RNA targeting probe dan amplifikasi gen melalui polymerase chain reaction [PCR].
Sebuah penelitian yang dilakukan di Shieffelein Leprosy Research and Training Center, Karigiri, India, menguji sampel-sampel biopsi penderita lepra yang telah menyelesaikan MB-MDT selama 12 dan 24 bulan untuk mengidentifikasi M. leprae hidup melalui inokulasi mouse foot-pad. Pada biopsi kulit ataupun saraf dari pasien yang menjalani MDT selama 24, tidak ada yang menunjukkan pertumbuhan sedangkan sebagian kecil pasien [3,3%] pasien yang memiliki BI tinggi terbukti memiliki bakteri hidup dalam kulit setelah 12 dosis MDT. Pasien-pasien ini harus menjalani periode follow up yang lebih lama untuk memastikan apakah akan terjadi relaps.

PEMERIKSAAN IMUNOLOGIS UNTUK MENGIDENTIFIKASI RELAPS
Meskipun belum ada pemeriksaan serologis yang tersedia untuk penyakit lepra selain yang digunakan dalam penelitian, terdapat berbagai pemeriksaan imunologis yang dapat digunakan untuk mengawasi pasien yang sedang menjalani kemoterapi, serta untuk memastikan kasus-kasus relaps yang dicurigai. Pada penderita lepra, terjadi peningkatan titer antibodi imunoglobulin [Ig] M glikolipid fenolik [PGL] selama periode relaps. Kasus tuberculoid [TT]/borderline tuberculoid [BT] yang mengalami relaps menjadi tipe borderline lepromatous [BL]/lepromatous lesion [LL] dapat dideteksi dengan mengukur antibodi anti-PGL-1 dan anti-35 kD. Dipstick assay untuk mendeteksi antibodi anti-PGL-1 merupakan salah satu alat sederhana untuk mengklasifikasikan pasien dan identifikasi pasien yang beresiko tinggi mengalami relaps. Disakarida alamiah ND-O-Bovine serum antigen [BSA] enzyme-linked immunosorbent assay [ELISA] [ELISA menggunakan ND antigen glikolipid fenolik M. leprae yang dihubungkan dengan BSA sebagai antigen] merupakan metode pengujian untuk mengidentifikasi infeksi dini oleh M. leprae dan untuk memprediksi relaps, terutama pada penderita MB yang telah sembuh.
Profil interleukin [IL] tipe Th1 dan Th2 merupakan metode yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi tipe relaps penyakit lepra. Sebagai contoh, jika pasien BL/LL mengalami relaps menjadi tipe TT/BT, akan terjadi up-gradasi imunitas cell-mediated, dalam bentuk respon imun tipe Th1 dimana terjadi peningkatan kadar interferon [IFN]-gamma, IL-2, dan antibodi IgG2, serta uji lepromin positif. Di sisi lain, jika pasien TT/BT mengalami relaps menjadi tipe BL/LL, akan terjadi respon imun tipe Th2, yang mengakibatkan peningkatan produksi IL-4, IL-5, IL-6, IL-10, dan IgG1, yang disertai dengan penurunan IL-2, IFN-gamma dan negativitas lepromin.
Reinfeksi dapat dibedakan dengan relaps yaitu melalui penentuan tipe molekul M. leprae menggunakan rantai asam amino, dan identifikasi relaps pada tahap dini menggunakan teknik amplifikasi asam nukleat seperti PCR.

HISTOPATOLOGI
Biopsi dan apusan kulit biasa dari lesi representatif harus diperiksa, sekurang-kurangnya satu kali dalam 6 bulan, selama periode perawatan dan 5 tahun setelah diperoleh hasil negatif.

Histopatologi lesi relaps dalam MB leprosy
Semua LL akan sembuh jika dilakukan perawatan, bertambahnya jumlah makrofag foamy, sel Schwann mengalami perubahan foamy, terjadi proliferasi reaktif perineurium serta pertambahan fragmentasi dan granularitas AFB dalam granuloma. Granuloma mengalami pemulihan secara bertahap, tanpa residu fibrosis ataupun pembentukan skar/jaringan parut, serta terjadi pergantian fibrosa perineurium dan hialinisasi parenkim saraf. Akumulasi sel-sel foam dalam jaringan persisten untuk waktu lama, beberapa tahun setelah apusan kulit memberikan hasil negatif. Inflamasi kronis non-spesifik ringan yang ditandai oleh akumulasi limfosit fokal di sekitar adnexa kulit juga ditemukan dalam lesi LL yang telah sembuh selama beberapa tahun.
Dalam fase relaps tahunan, ditemukan foci makrofag baru berbentuk-spindle yang berukuran besar dan kecil disertai dengan sitoplasma granuler berwarna merah muda disertai dengan beberapa kumpulan kecil makrofag foamy yang persisten. Pewarnaan solid AFB muncul kembali dalam apusan kulit dan spesimen biopsi pasien yang kemungkinan memiliki hasil apusan negatif. Jika lesi telah terbentuk, perubahan foamy disamarkan oleh kumpulan makrofag immature berbentuk spindle. Adnexa kulit terlihat atropik dan langka, berkas saraf dermal sedikit, serta terjadi penebalan perineurial dan fibrosis. Makrofag, sel Schwann, dan sel endotelial terwarnai oleh AFB-solid.
Terkadang, terjadi infiltrasi polimorfis dan biasanya, pasien LL mengalami relaps yang disertai dengan reaksi upgrading dalam bentuk BL, atau terkadang, lesi BT.
Lesi BL lebih cepat sembuh dibandingkan dengan kasus LL polar dan pemeriksaan bakteriologisnya lebih cepat menunjukkan hasil negatif. Secara histopatologis, lesi BL menyisakan beberapa kumpulan sel mononuklear fokal di sekitar adnexa kulit dan sel foam jarang ditemukan. Relaps dalam BL bermanifestasi sebagai LL, BL, atau terkadang sebagai BT.

Histopatologi lesi relaps dalam PB leprosy
Lesi dalam BT dan TT leprosy merupakan hasil dari respon hipersensitivitas granulomatosus terhadap antigen M. leprae, tidak disebabkan secara langsung oleh keberadaan M. leprae. Jika dilakukan perawatan, ukuran granuloma akan berkurang tanpa pergantian fibrosa adnexa kulit. Selama proses inflamasi, kolagen kulit mengalami kerusakan, sehingga lesi kulit yang telah sembuh terlihat berkerut dan atropi. M. leprae terkubur hidup-hidup di dalam saraf dan sel otot arrector pili, inilah yang berperan sebagai fokus relaps.
Kesulitan yang ditemukan dalam kasus PB adalah diferensiasi relaps dengan reaksi. Tanda-tanda yang menyertai suatu reaksi antara lain edema di sekitar granuloma, dilatasi limfatis, dan proliferasi fibroblast dalam dermis. True relapse dapat dideteksi melalui pemeriksaan histopatologis hanya setelah pemeriksaan gambaran histologis lesi secara keseluruhan, yang membutuhkan waktu bertahun-tahun. Relaps menunjukkan bahwa basil tetap bertahan hidup meskipun telah dilakukan perawatan anti-lepra dan berkembang biak serta melepaskan antigen untuk memproduksi granuloma baru. Hal ini bermanifestasi sebagai tampilan organisme pewarnaan-solid di dalam berkas saraf fibrosa [yang awalnya tidak ada] dan granuloma muncul kembali pada lokasi lesi awal. Biasanya, granuloma ini dimulai dari bentuk sel limfosit dan epiteloid kecil yang dimulai dari dalam berkas saraf fibrosis atau sel otot arrector pili. Jika granuloma telah terbentuk, akan tumbuh dan meluas pada dermis, sehingga tidak dapat dibedakan dengan lesi awal. Jadi, pada pasien PB, biopsi rutin 6 bulanan yang tidak menunjukkan adanya granuloma memastikan “kesembuhan” dan jika ditemukan granuloma kembali maka dinyatakan sebagai “relaps”. Terkadang, kasus PB akan relaps menjadi MB, dan hal ini biasanya disebabkan oleh kesalahan diagnosis spektrum penyakit dan perawatan yang kurang adekuat sejak awal.

INTERVAL RELAPS
Interval relaps juga dikenal sebagai periode inkubasi relaps. Interval dalam monoterapi dan MDT berbeda.

Monoterapi Dapsone
Lima puluh lima sampai 57% relaps terjadi dalam:
1. 3 tahun dalam non-lepromatosus
2. 5 tahun dalam borderline
3. 6 tahun dalam MDT lepromatosus
a. PB, sama dengan monoterapi
b. MB, 9 tahun [median]
Gambaran tersebut mengimplikasikan bahwa pasien PB harus diawasi sekurang-kurangnya selama 3 tahun dan 9 tahun untuk pasien MB, sehingga sebagian besar relaps dapat dideteksi.

FAKTOR-FAKTOR PREDISPOSISI RELAPS

Persister
Organisme persisten atau ‘persister’ adalah organisme dorman permanen ataupun parsial yang memiliki kemampuan hidup dalam host meskipun dilakukan kemoterapi yang adekuat. Mereka ditemukan dalam daerah-daerah imunologis yang menguntungkan, seperti saraf dermal, otot polos, limfonodus, iris, sumsum tulang, dan hati. Organisme-organisme yang berperan dalam relaps ini ditemukan sebanyak 10% dalam pasien MB, dan proporsinya lebih besar dalam kasus BI tinggi.

Terapi yang tidak adekuat

Biasanya disebabkan oleh kesalahan-penggolongan klinis MB leprosy dengan beberapa lesi kulit seperti kasus PB, yang diberi MDT selama 6 bulan, bukan 12 bulan, pada awalnya memberikan respon namun pada akhirnya terjadi relaps.

Terapi yang tidak teratur
Ketidakteraturan konsumsi clofazimine dan dapsone karena suplai obat tidak rutin ataupun karena kerja sama pasien kurang, memunculkan skenario monoterapi rifampicin. Hal ini mengakibatkan resistensi terhadap rifampicin dan pada akhirnya, terjadi relaps.

Monoterapi
Kecepatan relaps pada pasien yang menjalani monoterapi Dapsone dan tidak dilanjutkan dengan MDT, relatif tinggi. Hal ini juga disebabkan karena adanya organisme resisten.

BI awal tinggi
Pasien yang memiliki BI awal tinggi beresiko tinggi mengalami relaps setelah MDT fixed-duration, dibandingkan dengan pasien yang hasil apusannya negatif atau memiliki BI rendah.


Jumlah lesi kulit dan saraf
Jumlah dan perluasan lesi, termasuk lesi saraf, yang berlipat ganda yaitu lebih dari lima atau menutupi tiga atau beberapa bagian tubuh, berhubungan dengan kecepatan relaps yang tinggi. Antibodi mikobakterial ditemukan dalam TT leprosy yang memiliki banyak lesi dan dalam BT leprosy yang memiliki lebih dari 10 lesi. Karena ini membuktikan keberadaan organisme dalam jumlah yang cukup banyak, pasien tidak tergolong dalam PB dan perawatan menggunakan dua obat selama 6 bulan dinyatakan kurang adekuat bagi pasien semacam ini.

Negativitas lepromin
Pasien borderline yang hasil pemeriksaan leprominnya positif memiliki kecepatan relaps yang lebih rendah dibandingkan dengan pasien yang memiliki respon negatif.

Infeksi HIV

Meskipun penyakit lepra kini dinyatakan sebagai salah satu penyakit rekonstitusi imun di antara pasien-pasien yang menjalani pengobatan antiretroviral aktif, belum ada bukti yang menunjukkan resiko relaps tinggi pada penderita infeksi HIV.

TANDA-TANDA KLINIS
Usia: Dalam kasus MB, relaps lebih sering ditemukan pada kelompok lansia. PB leprosy yang memiliki lesi kulit tunggal lebih sering ditemukan pada kelompok usia yang lebih muda dan relaps jarang terjadi dalam kelompok usia ini.

Jenis kelamin: Relaps lebih sering terjadi pada laki-laki, kemungkinan disebabkan karena tingginya prevalensi penyakit lepra pada laki-laki. Pada perempuan, relaps terjadi selama masa kehamilan dan menyusui.

Relaps dalam PB leprosy
a. Lesi kulit: Lesi kulit yang sudah sembuh menunjukkan aktivitas baru, seperti infiltrasi, eritema, bertambah luas dan muncul lesi satelit. Biasanya, tjumlah lesi juga bertambah.
b. Saraf: Saraf-saraf baru menebal dan bengkak, yang disertai dengan perluasan daerah yang kehilangan sensoris dan onset defisit motorik laten. Pasien mengeluhkan sakit dan nyeri di sepanjang saraf perifer dengan/tanpa tanda-tanda kerusakan saraf. Relaps hanya terjadi dalam saraf tanpa melibatkan kulit [relaps neural] dan terjadi perubahan spektrum penyakit saat relaps.

Relaps dalam MB leprosy
a. Lesi kulit: Relaps terlihat sebagai daerah infiltrasi lokal pada dahi, punggung bagian bawah, dorsal tangan dan kaki, serta bagian atas pantat. Ditemukan papula dan nodula yang lunak berwarna merah muda dan mengkilap pada daerah-daerah tersebut, dengan/tanpa infiltrasi latar belakang. Papula akan membesar membentuk plak. Nodul subkutan dapat ditemukan pada bagian posterior lengan dan anterolateral pinggul. Nodul terasa seperti kacang polong dan ukurannya bertambah seiring waktu. Apusan kulit bagian atas memberikan hasil negatif; jadi saat mengambil sampel apusan, skalpel harus dimasukkan ke dalam inti nodul.
b. Saraf: Pembengkakan noduler dapat terjadi di sepanjang jalur saraf kutaneus dan cabang saraf perifer, selain penebalan dan/atau pembengkakan saraf baru, yang disertai dengan kehilangan fungsi secara laten.
c. Lesi okuler: Kasus-kasus yang melibatkan mata akan mengalami relaps berupa iris pearl atau terkadang, lepromata.
d. Lesi mukosa: Lesi papula atau noduler dapat ditemukan pada palatum durum, bibir bagian dalam, dan glans penis.


DIAGNOSIS BANDING
Relaps vs. Resistensi
Resistensi obat merupakan salah satu masalah utama dalam penyakit lepra di seluruh dunia, penyebab utamanya adalah kronisitas penyakit dan lamanya durasi perawatan yang dibutuhkan. Resistensi obat dapat bersifat primer, dimana basil lepra resisten terhadap obat yang diberikan sejak onset itu sendiri, atau sekunder, dimana resistensi terjadi akibat mutan basil berhasil hidup dalam kondisi terapi ireguler atau monoterapi. Resistensi Dapsone adalah yang paling sering terjadi, berhubungan dengan konsep awal monoterapi Dapsone. Resistensi rifampicin terjadi akibat terapi ireguler. Resistensi clofazimine sangat jarang terjadi. Meskipun perlu dilakukan penelitian mouse foot-pad untuk memastikan resistensi obat dalam penyakit lepra, fasilitas tersebut tidak tersedia bebas, sehingga mendorong klinisi untuk mengandalkan tanda-tanda klinis saja. Resistensi obat itu sendiri merupakan alasan terjadinya relaps dan kita harus dapat membedakan keduanya, seperti yang diuraikan dalam Tabel 3.

Relaps vs. Reaktivasi

Reaktivasi lesi terjadi akibat kegagalan perawatan, yaitu penghentian perawatan secara prematur atau perawatan tidak dilakukan secara rutin karena pasien tidak kooperatif ataupun karena suplai obat tidak teratur. Reaktivasi terjadi segera setelah penyakit mereda, sedangkan relaps terjadi setelah penyakit benar-benar sembuh.

Relaps vs. Reinfeksi
Rekurensi penyakit dalam suatu kasus yang dinyatakan sembuh dapat disebabkan oleh reinfeksi. Reinfeksi merupakan suatu kondisi yang sangat sulit dibuktikan, terutama di daerah endemik. Jika telah sembuh, penyakit lepra terus hidup di dalam dan di sekitar sanatorium penyakit lepra. Di daerah hiperendemik, para pasien dapat terkena penyakit ini lagi akibat infeksi eksogen. Dan, pasien tidak hanya disembuhkan dengan membunuh kuman menggunakan obat-obatan bakterisidal, tapi juga oleh imunitas yang berkembang setelah pasien menjalani perawatan. Hal ini didukung oleh fakta bahwa pasien LL mampu membuang semua basil-basil yang mati secara aktif. Jadi, perawatan kasus lepromatosus tidak selalu bersifat imunokompeten dan resiko reinfeksi rendah. Jika terjadi reinfeksi, periode inkubasi sangat aneh/berbeda dan lesi kulit dan saraf yang baru tidak mirip dengan lesi asli.

DIAGNOSIS
Kriteria diagnosis relaps antara lain:

Kriteria Klinis
a. Lesi yang ada bertambah besar dan luas
b. Muncul lesi baru
c. Terjadi infiltrasi dan eritema pada lesi-lesi yang telah sembuh secara sempurna
d. Menyerang saraf [penebalan atau pembengkakan]

Kriteria Bakteriologis
Positivitas [pada pasien apusan-negatif] pada daerah apusan kulit AFB manapun dari dua pemeriksaan selama periode pengawasan adalah penentu diagnosis relaps. Pada pasien yang memiliki BI positif, jika BI bertambah 2+ dari apusan sebelumnya pada dua daerah dan terus bertambah pada dua pemeriksaan selanjutnya, maka dinyatakan sebagai relaps, hal ini menunjukkan bahwa pasien telah mengkonsumsi 75% obat.

Kriteria Terapeutik
Kriteria ini dapat digunakan jika dicurigai terjadi reaksi reversal. Pasien dapat diobati dengan prednisolone [dosis reaksi sekitar 1 mg/kg/hari], kemudian reaksi reversal akan sembuh total dalam 2 bulan. Jika gejala tidak mereda atau hanya parsial atau lesi tetap ada atau bertambah akibat pemberian steroid, perlu dicurigai terjadi relaps.

Kriteria Histopatologis
Terdiri dari munculnya granuloma dalam kasus PB, dan infiltrasi makrofag bertambah jika digunakan pewarnaan basil-solid dan dalam kasus MB, terjadi pertambahan BI.

Kriteria Serologis
Dalam kasus LL, pengukuran antibodi IgM PGL-1 merupakan salah satu indikator terjadinya relaps.
Tiga kriteria pertama dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis relaps; kriteria 4 dan 5 adalah tambahan dan dapat digunakan jika fasilitasnya tersedia.

PERAWATAN
Kasus relaps penyakit lepra harus diidentifikasi dan segera dilakukan kemoterapi untuk mencegah kecacatan dan penularan infeksi lebih lanjut. Faktor-faktor yang harus dipertimbangkan dalam pemilihan pengobatan yang tepat antara lain:
1. Tipe penyakit lepra [PB atau MB]
2. Pengobatan sebelumnya
3. Resistensi obat

Tipe Penyakit Lepra

Umumnya, kasus PB mengalami relaps sebagai PB, dan kasus MB relaps sebagai MB. Namun, kasus PB terkadang mengalami relaps sebagai MB dan kasus semacam ini tidak boleh dirawat dengan MB-MDT.

Pengobatan Sebelumnya
a. Pasien yang sebelumnya dirawat menggunakan monoterapi Dapsone – MDT WHO standar cukup.
b. Pasien yang sebelumnya dirawat menggunakan monoterapi clofazimine – MDT WHO standar cukup [resistensi clofazimine sangat langka].

Resistensi Obat
Pasien yang diketahui atau dicurigai mengalami resistensi obat yang menimbulkan masalah hanyalah kasus resistensi rifampicin, yang sangat jarang terjadi. Pasien MB yang diobati dengan rifampicin sebagai bagian dari MDT tidak memiliki resiko resistensi rifampicin yang signifikan, kecuali mereka terinfeksi oleh basil yang resisten terhadap Dapsone dan tidak mengkonsumsi clofazimine seperti yang dianjurkan atau tidak diberikan obat efektif lainnya. Resistensi Dapsone terjadi jika pasien pernah menjalani monoterapi Dapsone dan kasus semacam ini dilaporkan memberikan respon yang baik terhadap MDT WHO standar. Resistensi clofazimine sangat langka, jika ada, kasus ini memberikan respon yang baik terhadap dua jenis obat lain yang digunakan dalam MDT WHO standar.
Meskipun idealnya, resistensi obat ditentukan menggunakan mouse foot-pad atau teknik lainnya, hanya sedikit rumah sakit lepra yang memiliki fasilitas semacam itu. Jadi, keputusan resistensi obat hanya didasarkan pada informasi klinis saja. Pengobatan yang dianjurkan diuraikan dalam Tabel 4.

Kegagalan Merespon Perawatan
Kelompok ini terdiri dari pasien-pasien yang tidak memberikan respon seperti yang diharapkan, yaitu lesi kulit dan basil hilang setelah terapi dihentikan, atau para pasien yang mengalami perkembangan penyakit selama terapi. Kelompok pertama terdiri dari kasus-kasus relaps potensial, namun penyebab buruknya respon pasien harus diketahui, reaksi dan/atau pembersihan lesi dan basil yang lambat.
WHO mendefinisikan “kepuasan hasil MDT” pada pasien yang menjalani perawatan sebagai—satu, dimana setelah terapi dimulai, dalam kasus MB, basil mulai menghilang dan dalam kasus MB dan PB, lesi membaik dengan cepat, meskipun tidak selalu terjadi. Pembersihan lesi lebih berhubungan dengan respon imun pasien, bukan perawatan anti-lepra; saat perawatan dihentikan, semua lesi dan basil pada akhirnya akan menghilang meskipun tidak seluruhnya.
Pengobatan MDT yang digunakan di Amerika Serikat [Tabel 5] lebih baik dibandingkan dengan yang dianjurkan WHO untuk negara-negara berkembang. Meskipun beberapa penelitian menunjukkan bahwa setelah MB MDT, kecepatan relaps sangat rendah, faktanya relaps tetap terjadi. Jika WHO menerapkan MDT seragam, mungkin relaps dalam penyakit lepra akan lebih sering ditemukan. Sayangnya, kurang praktis untuk memperkenalkan pengobatan yang digunakan di Amerika Serikat, dalam skala besar, ke negara yang kurang sumber daya seperti india. Namun, klinisi dapat menggunakan penilaiannya dan merumuskan pengobatan bagi setiap pasien, jika memungkinkan. Dalam kasus-kasus tertentu, durasi pengobatan yang lebih lama seperti yang digunakan di AS dapat diterapkan.

1 komentar:

Anonymous,  September 4, 2012 at 6:22 AM  

Kalau misalx ada pasien PB yg relaps. Tp dulux terapi menggunakan MDT. Terapi setelah relaps menggunakan obat apa aja?

Berhitung!

Pasang Aku Yaa

go green indonesia!
Solidaritas untuk anak Indonesia

  © Blogger templates Newspaper III by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP