Seni Dan Ilmu Prognosis Periodontal
Abstrak: Dalam makalah ini, akan dibahas tentang literatur periodontal yang berhubungan dengan penentuan prognosis periodontal. Faktor-faktor yang mempengaruhi prognosis keseluruhan dan khusus-gigi akan disebutkan. Faktor-faktor yang mempengaruhi prognosis periodontal secara keseluruhan antara lain usia, genetik, oral higiene, kondisi sistemik, dan konsumsi tembakau. Pengaruh khusus-gigi antara lain banyaknya kehilangan perlekatan, rasio mahkota:akar, posisi gigi dalam lengkung, dan ada/tidaknya invasi furkasio. Kemudian, faktor-faktor tersebut disintesis menjadi suatu skema untuk menentukan prognosis periodontal.
Sumber: eda journal 2008; 36(3): 175-179.
Prognosis periodontal merujuk pada perkiraan daya tahan gigi dengan atau tanpa terapi periodontal. Kita dapat menentukan prognosis gigi-geligi secara keseluruhan atau setiap gigi. Konsep prognosis periodontal merupakan suatu ekspresi perkiraan daya tahan suatu gigi atau seluruh gigi-geligi dan sangat bermanfaat untuk membuat keputusan apakah akan merawat, mempertahankan, atau mencabut gigi yang mengalami penyakit periodontal.
Dalam makalah ini, para penulis ditugaskan untuk membahas “seni dan ilmu” prognosis periodontal. Artikel ini akan membahas tentang ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan prognosis keseluruhan dan setiap gigi. Meskipun banyak pertimbangan dalam literatur periodontal klasik masih berlaku, informasi dan teknik-teknik baru harus dipertimbangkan dalam memutuskan apakah akan mempertahankan gigi atau tidak, di sini “seni” prognosis periodontal turut berperan.
Ilmu Pengetahuan
i.Prognosis keseluruhan
Terdapat sejumlah faktor yang harus dipertimbangkan saat memutuskan prognosis periodontal secara keseluruhan:
Usia: beberapa penelitian terus membuktikan bahwa penyakit periodontal di kalangan lansia lebih banyak dan parah dibandingkan dengan kelompok usia yang lebih muda. Namun, hal ini hanyalah suatu fungsi kronisitas proses penyakit [yaitu, individu lansia telah menderita penyakit tersebut dalam periode yang lebih panjang dibandingkan dengan individu yang berusia lebih muda]. Jika pada awal pemeriksaan penyakit belum terlalu parah, maka perawatan individu lansia mungkin saja berhasil. Jadi, usia bukanlah suatu faktor utama yang perlu dipertimbangkan dalam penentuan prognosis pasien yang mengalami berbagai-variasi adult periodontitis kronis; jika berpengaruh, pasien lansia mungkin saja memiliki prognosis tingkat kehilangan perlekatan klinis yang lebih baik dibandingkan dengan pasien yang berusia lebih muda. Selain itu juga terdapat bentuk periodontitis yang lebih agresif dan umum ditemukan pada pasien yang berusia lebih muda.
Oral higiene: meskipun penyakit periodontal disebabkan oleh sejumlah bakteri patogen spesifik, bukan banyaknya mikroba plak secara keseluruhan, kemampuan pasien untuk melakukan kontrol plak yang adekuat terbukti penting untuk menentukan apakah penyakit tersebut dapat dihambat atau tidak.
Merokok: sejak lama, para dokter gigi beranggapan bahwa konsumsi tembakau merupakan salah satu faktor resiko penyakit periodontal. Dan, karena telah dibuktikan bahwa secara umum, perokok memiliki konsentrasi plak dan kalkulus yang lebih tinggi dibandingkan dengan non-perokok, peran kebiasaan merokok per se belum diketahui dengan pasti. Dalam 15 tahun terakhir, terdapat sejumlah penelitian yang melaporkan peran merokok sebagai salah satu faktor resiko utama periodontitis, dan bahwa terdapat hubungan linear dosis-respon antara banyaknya tembakau yang dikonsumsi (dalam satuan bungkus per tahun) dengan kehilangan perlekatan periodontal dan tulang. Oleh karena itu, meskipun faktor lainnya seimbang, seorang pasien yang terus merokok akan memiliki prognosis lebih buruk dibandingkan dengan pasien yang tidak merokok atau berhenti.
Penyakit atau kondisi sistemik: sejumlah penyakit dan kondisi sistemik dapat mempengaruhi prognosis periodontal secara keseluruhan. Diantaranya adalah:
Diabetes: sebagian besar penelitian menemukan hubungan yang kuat antara diabetes tipe 1 dan 2 dengan penyakit periodontal. Ini bukanlah hal yang mengejutkan, karena telah diketahui bahwa diabetes dapat mengurangi resistensi terhadap infeksi dan menghambat proses penyembuhan. Jadi, pasien yang menderita diabetes, terutama diabetik yang tidak terkontrol dengan baik, akan memiliki prognosis keseluruhan yang lebih buruk dibandingkan dengan pasien diabetes yang terkontrol dengan baik atau non-diabetik.
Genetik: belum ada laporan yang menyatakan bahwa polimorfisme genetik dalam gen-gen yang terlibat dalam respon imun [seperti, interleukin, yaitu IL-1 dan IL-10, serta reseptor factor gamma] mempengaruhi kerentanan terhadap periodontitis parah pada sebagian populasi. Meskipun mudah dibayangkan bagaimana gen-gen tersebut dapat mempengaruhi respon host terhadap infeksi, literatur terbaru menunjukkan bahwa perlu dilakukan lebih banyak penelitian di bidang ini sebelum pernyataan definitif dibuat.
Kondisi imunodefisiensi: virus human immunodeficiency diketahui dapat meningkatkan kerentanan terhadap infeksi. Infeksi periodontal termasuk dalam spektrum manifestasi infeksi HIV dalam rongga mulut. karena sistem imunnya mengalami gangguan parah, secara umum, pasien AIDS memiliki prognosis periodontal yang buruk, meskipun pasien HIV+ yang berhasil dirawat dengan obat-obatan anti-retroviral dan inhibitor proteinase mungkin saja memiliki prognosis jangka panjang yang baik.
Kelainan neutrofil: periodontitis parah dapat disebabkan oleh kondisi sistemik langka, seperti Chediak-Higashi atau Papillon-Lefevre syndrome; defisiensi adhesi leukosit dan kondisi lainnya, seperti defek neutrofil dapatan/acquired. Penyakit sistemik apapun yang dapat mengurangi jumlah neutrofil atau mengganggu fungsi neutrofil akan meningkatkan resiko kerusakan periodontal.
Osteoporosis: terdapat banyak bukti tentang hubungan antara osteoporosis dengan periodontitis, terutama pada wanita.
Stress: banyak ahli periodontal yang beranggapan bahwa stres dapat memberikan pengaruh negatif terhadap prognosis periodontal. Meta-analisis literatur terbaru menunjukkan bahwa stres psikologis dapat memperparah penyakit periodontal, sehingga memperburuk prognosis keseluruhan.
ii.Prognosis setiap gigi
Terdapat beberapa penelitian menarik tentang kriteria diagnostik periodontal manakah yang paling bermanfaat untuk menentukan kehilangan gigi dan prognosis periodontal. Mereka menemukan bahwa kedalaman probing, keterlibatan furkasio, rasio mahkota-akar, status abutmen, dan presentase kehilangan tulang adalah faktor-faktor penting untuk menentukan kehilangan gigi.
Kedalaman probing, rasio mahkota-akar, dan presentase kehilangan tulang adalah alat ukur kehilangan perlekatan periodontal. Jelas, gigi yang mengalami kehilangan perlekatan lebih banyak memiliki prognosis yang lebih buruk untuk gigi tersebut. Perlu diingat bahwa selain akibat pembentukan poket periodontal, kehilangan perlekatan dapat disebabkan oleh resorpsi akar.
Status abutmen gigitiruan cekat merupakan salah satu ukuran beban oklusal dan kemampuan pasien untuk melakukan kontrol plak [floss harus dapat dimasukkan di bawah kontak yang disolder].
Literatur klasik masih saja memberitahukan kita tentang prognosis setiap gigi. Hirschfeld dan Wasserman melakukan suatu analisis ekstensif kehilangan gigi pada pasiennya. Mereka membagi para pasien menjadi tiga kelompok: yang dirawat dengan baik, yang lebih buruk, dan sangat buruk. Sepertinya, beberapa faktor-faktor yang berperan dalam prognosis keseluruhan, yang telah dibahas sebelumnya, mempengaruhi pengelompokkan pasien dalam setiap kelompok.
Salah satu bukti utama adalah bahwa “rangkaian kecenderungan kehilangan gigi dapat diprediksi berdasarkan posisinya dalam lengkung” dimana gigi-geligi posterior cenderung hilang lebih dahulu dibandingkan dengan gigi-geligi anterior. Sebagai contoh, jika mempertimbangkan ketiga kelompok pasien, kehilangan gigi insisivus pada usia lebih dari 22 tahun berkisar antara 3,4 persen [gigi insisivus lateral rahang bawah] sampai 6,3 persen [gigi insisivus sentralis rahang bawah]; 0,8 persen gigi kaninus rahang bawah dan 3,6 persen gigi kaninus rahang atas hilang. Insiden kehilangan gigi premolar rahang bawah adalah 3 persen, dan 6 persen untuk gigi premolar rahang atas. Rata-rata kehilangan gigi molar satu dan dua rahang bawah adalah 10,5 persen; dan 17,5 persen gigi molar satu dan dua rahang atas hilang.
Alasan utama besarnya kehilangan gigi pada gigi-geligi posterior adalah tingginya kompleksitas morfologi akar [konveksitas, furkasio] gigi-geligi tersebut. Jika furkasio terlibat, prognosis gigi tersebut akan bertambah buruk. Hal ini disebabkan oleh kesulitan melakukan debridemen dan pemeliharaan permukaan akar di dalam furkasio [oleh ahli higienis saat melakukan terapi periodontal suportif ataupun pasien saat melakukan prosedur kontrol plak].
Namun, Hirschfeld dan Wasserman menemukan bahwa prognosis keseluruhan pada pasien tertentu sangat mempengaruhi kehilangan gigi-geligi posterior. Dalam grup yang dirawat dengan baik, kurang dari 20 persen gigi yang mengalami penyakit sampai ke furkasio tercabut pada usia lebih dari 22 tahun, hal ini berlawanan dengan hampir 70 persen pasien dalam grup yang kurang dirawat dengan baik, dan lebih dari 84 persen dalam grup ekstrim.
Seni
i. Prognosis keseluruhan
Dengan informasi di atas, bagaimana seorang dokter gigi dapat melakukan penilaian prognosis periodontal secara sistematik pada seorang pasien dan gigi tertentu dalam gigi-geligi pasien.
Langkah pertama adalah mengevaluasi riwayat medis dan sosial pasien. Apakah pasien memiliki faktor resiko yang disebutkan [yaitu, diabetes, konsumsi tembakau, stres, penyakit imunodefisiensi]. Jika pasien memiliki faktor resiko, faktor apa yang berpotensi menguranginya [seperti, kontrol diabetes yang baik, mengurangi atau menghentikan konsumsi tembakau, atau modifikasi tingkah laku untuk kontrol stres]. Hal ini seharusnya dapat memberikan penilaian tertentu bagi dokter gigi tentang kesehatan pasien secara keseluruhan dan potensi pasien dalam mengendalikan periodontitis.
Langkah kedua adalah melakukan pemeriksaan periodontal lengkap serta radiograf. Yang terdiri dari probing pada enam-titik pada setiap gigi dan pengukuran resesi gingiva, mobilitas, invasi furkasio, berdarah saat probing, atau adanya eksudat.
Langkah ketiga adalah membentuk suatu opini tentang kesehatan periodontal secara keseluruhan yang didasarkan pada hasil pemeriksaan. Apakah penyakit tersebut generalisata atau terlokalisir, apakah terdapat faktor-faktor lokal yang jelas [seperti, groove palatal atau trauma] yang menunjukkan keterlibatan gigi tertentu. apakah secara keseluruhan, kasus tersebut termasuk dalam kategori: gingiva sehat, hanya gingivitis [inflamasi gingiva tanpa disertai kehilangan perlekatan], atau terjadi kehilangan perlekatan.
Jika terjadi kehilangan perlekatan; apakah penyakit tersebut ringan, sedang, atau parah. Aturan utama yang digunakan untuk menentukan tipe kasus antara lain:
Penyakit ringan/early: kehilangan perlekatan sebesar 3 mm atau kurang [secara umum, sesuai dengan kedalaman probing sedalam 3-6 mm dan margin gingiva normal].
Penyakit sedang/moderate: terjadi kehilangan perlekatan sebesar 3-6 mm [biasanya, kedalaman probing 6-9 mm dan margin gingiva normal].
Penyakit parah/advanced: terjadi kehilangan perlekatan lebih dari 6 mm [umumnya, kedalaman probing lebih dari 9 mm dan margin gingiva normal].
Tentu, mungkin saja terjadi penyakit ringan atau sedang di daerah penyakit yang parah. Dan, kita harus mencari faktor-faktor lokal yang mungkin berperan dalam penyakit parah pada gigi tertentu.
Kita juga harus mempertimbangkan banyaknya kehilangan perlekatan yang terjadi berdasarkan usia pasien. Kehilangan perlekatan parah pada usia muda [kurang dari 30-35 tahun] menunjukkan terjadinya penyakit agresif yang memiliki prognosis buruk dibandingkan dengan tingkat kehilangan perlekatan yang sama pada lansia, dan semakin muda usia pasien, prognosis periodontal keseluruhan lebih buruk.
Pada pasien paruh-baya yang tidak memiliki faktor resiko sistemik, prognosis keseluruhan untuk tipe kasus penyakit periodontal ringan-sedang umumnya baik. Prognosis keseluruhan pasien yang menderita penyakit parah generalisata biasanya buruk meskipun terkadang pada pasien semacam ini, gigi-geligi masih dapat dipertahankan selama beberapa tahun.
Terakhir, saat menentukan prognosis keseluruhan, kita harus mempertimbangkan kemampuan dan konsistensi pasien dalam melakukan kontrol plak. Jelas, semakin baik pasien melakukan kontrol plak, maka prognosis jangka panjangnya semakin baik. Penentuan ini merupakan salah satu bagian penting pemeriksaan re-evaluasi setelah root planing dan instruksi oral higiene.
ii. Prognosis setiap gigi
Kita harus mengevaluasi prognosis setiap gigi. Pertimbangan yang paling penting adalah banyaknya kehilangan perlekatan yang terjadi. Gigi-geligi yang mengalami kehilangan perlekatan kurang dari 4 mm [kedalaman probing kurang dari 7 mm dan margin gingiva normal] umumnya memiliki prognosis yang baik jika gigi tersbut tidak digunakan sebagai abutmen. Gigi-geligi yang mengalami kehilangan perlekatan lebih dari 7 mm [kedalaman probing 10 mm dan margin gingiva normal] umumnya memiliki prognosis buruk.
Ingat bahwa rasio mahkota-akar juga merupakan salah satu ukuran kehilangan perlekatan, terutama jika terjadi resorpsi akar [dimana kehilangan perlekatan terjadi pada ujung apikal].
Seperti yang dapat dilihat dalam penelitian Hirschfeld dan Wasserman, pertimbangan penting selanjutnya adalah keterlibatan furkasio. Gigi-geligi yang mengalami invasi furkasio minimal [Klas I] atau tanpa invasi umumnya memiliki prognosis yang baik [faktor lainnya seimbang]. Semakin banyak kehilangan perlekatan di daerah furkasio, prognosis jangka panjang gigi tersebut semakin buruk. Gigi-geligi yang mengalami kehilangan perlekatan pada seluruh aspek koronal furkasio [Klas III] biasanya memiliki prognosis buruk.
Gigi-geligi, seperti premolar rahang atas, yang memiliki konkavitas jelas juga lebih sulit untuk diinstrumentasi dan dirawat, sehinga prognosisnya lebih buruk dibandingkan dengan gigi-geligi yang memiliki akar relatif lurus.
Mobilitas parah pada suatu gigi juga merupakan salah satu indikator prognosis jangka panjang yang buruk.
Mengetahui kapan harus mempertahankannya dan melepaskannya
Jelas, gigi-geligi yang memiliki prognosis periodontal baik harus dipertahankan, jika pasien mampu melakukan perannya [oral higiene yang adekuat dan mengikuti jadwal kunjungan terapi periodontal suportif].
Dalam sebagian besar kasus, kita harus mempertimbangkan untuk mencabut gigi yang memiliki prognosis buruk, terutama pada pasien penderita penyakit sistemik yang dapat mempengaruhi prognosis keseluruhan. Di sisi lain, jika keputusan untuk mempertahankan suatu gigi dapat mengganggu kesehatan pasien secara keseluruhan [sebagai contoh, pasien yang akan menjalani transplantasi organ, kemoterapi, atau perawatan radiasi pada tulang pendukung-gigi], maka gigi tersebut harus dicabut.
Namun, prognosis periodontal keseluruhan atau gigi tertentu bukanlah satu-satunya eleman untuk memutuskan apakah akan melakukan perawatan atau mencabut gigi tertentu. Hal yang sama pentingnya adalah rencana perawatan.
Bagaimana integritas lengkung. Jika pasien memiliki lengkung yang utuh maka tidak perlu dilakukan penggantian gigi palsu, suatu gigi yang memiliki prognosis relatif buruk dapat dipertahankan lebih lama, dibandingkan jika terdapat banyak gigi yang hilang [beban oklusal pada gigi-geligi yang tersisa harus disesuaikan]. Jika akan dilakukan penggantian gigi, apakah gigi tersbut akan menjadi abutmen prostetik. Jadi, prognosis gigi dalam lengkung yang utuh harus lebih baik.
Apakah gigi tersebut membutuhkan perawatan endodontik dan/atau restorasi ekstensif. Kita harus menyeimbangkan biaya perawatan semacam itu dengan perkiraan daya tahan gigi. Apakah masuk akal mengeluarkan uang ribuan dolar untuk perawatan endodontik dan restoratif suatu gigi yang memiliki prognosis cukup buruk [yaitu, gigi yang diperkirakan akan tercabut dalam waktu beberapa tahun, meskipun telah dilakukan perawatan]. Tentu saja, keinginan dan harapan pasien juga berperan dalam proses pengambilan keputusan ini.
Perkembangan teknologi memungkinkan kita memiliki penilaian prognosis yang lebih positif untuk suatu gigi yang mengalami penyakit periodontal parah. Dalam 20 tahun terakhir, beberapa macam teknik, seperti regenerasi jaringan terpadu dan penggunaan bahan modifikasi biologis, seperti protein matriks email dan faktor pertumbuhan jaringan memberikan dokter gigi kemampuan untuk meregenerasi jaringan periodontal secara lebih baik dibandingkan jaman dahulu. Sebagai contoh, pada tahun 1972, saat penulis masih menjadi mahasiswa, gigi molar dua rahang bawah yang memiliki lesi intraboni dalam diberikan prognosis buruk. Kini, klinisi terampil dapat memanfaatkan teknik regenerasi untuk merestorasi gigi semacam itu sehingga memiliki periodontal yang sehat dengan derajat keberhasilan yang tinggi.
Di sisi lain, kemajuan teknologi juga membuat kita memilih untuk tidak mempertahankan gigi yang mengalami penyakit periodontal parah. Terutama dalam 25 tahun terakhir, seiring dengan perkembangan implan gigi yang cukup berhasil, gigi yang mengalami kerusakan periodontal parah dan memiliki prognosis buruk tidak perlu lagi dipertahankan. Meskipun penulis tidak beranggapan bahwa kita harus cepat “menarik kesimpulan” tentang suatu gigi yang mengalami penyakit periodontal, pencabutan gigi dan menggantikannya dengan implan mungkin perlu dilakukan dibandingkan jika harus melakukan perawatan heroik, seperti amputasi akar serta perawatan endodontik dan restoratif yang mahal.
Pertimbangan penting lainnya dalam mempertimbangkan apakah akan mencabut suatu gigi, adalah semakin lama gigi yang memiliki prognosis periodontal buruk dipertahankan, maka tulang yang hilang akan semakin banyak. Pada akhirnya, hal ini mempersulit atau menghilangkan kemungkinan penggantian gigi dengan implan.
Menyatukan semua hal
Dari artikel ini, jelas bahwa terdapat beberapa kriteria obyektif yang harus dipertimbangkan dalam menentukan prognosis periodontal. Namun, terdapat berbagai penilaian lainnya yang harus dibuat, yaitu kebutuhan perawatan prostetik, keinginan dan harapan pasien, serta keinginan dan kemampuan pasien untuk mengikuti semua rekomendasi perawatan. Pengetahuan dan pengalaman seorang klinisi tentang berbagai modalitas perawatan, termasuk anggapan realistisnya tentang suatu perawatan, juga mempengaruhi penentuan prognosis seorang individu. Terakhir, dan yang paling penting, adalah keinginan dan kemampuan pasien dalam memelihara diri sendiri selama fase perawatan aktif harus ditentukan.
Seorang klinisi yang berpengalaman akan mengintegrasikan semua faktor yang dibahas di atas menjadi satu prognosis untuk suatu kasus atau gigi tertentu. Meskipun seringkali dikatakan bahwa hanya akan ada satu diagnosis yang tepat, dokter gigi dan ahli periodontal yang berbeda akan memberikan prognosis yang berbeda pula untuk satu jenis kasus, jadi rencana perawatan didasarkan pada persepsi dan penilaian mereka tentang semua faktor yang disebutkan di atas.