25 August 2010

Gigi Molar Tiga Mesioanguler – Harus Dicabut atau Tidak?

Abstrak
Pendahuluan: Karies distal pada gigi molar dua rahang bawah dapat disebabkan oleh gigi molar tiga mesioanguler. Deteksi karies dan restorasi sulit dilakukan. Jika karies berkembang, perawatan saluran akar gigi molar dua perlu dilakukan. Tujuan: Untuk mengidentifikasi prevalensi karies pada gigi molar tiga rahang bawah dan aspek distal gigi molar dua tetangganya pada pasien yang dirujuk untuk menjalani pemeriksaan gigi molar tiga. Metode: Analisis sinar-x OPG pada 420 pasien [776 gigi molar tiga] yang dirujuk ke tiga rumah sakit maksilofasial dalam periode 5 bulan. Hasil: Tiga puluh empat persen gigi molar tiga terletak mesioanguler. Diperoleh gambaran radiografis karies distal gigi molar dua pada 42% diantaranya. Jika molar tiga mesioanguler tidak erupsi dieksklusikan, maka jumlahnya bertambah menjadi 54%. Tidak ada perbedaan usia atau kesehatan gigi-geligi pasien tersebut dibandingkan dengan kelompok keseluruhan. Tidak ada kecenderungan angulasi mesioanguler gigi molar tiga yang menyebabkan karies pada gigi molar dua. Kesimpulan: Karies gigi molar dua rahang bawah akibat gigi molar tiga yang terletak mesioanguler umum ditemukan pada pasien oral dan maksilofasial di rumah sakit sekunder, terutama jika gigi molar tiga erupsi total atau parsial. Jika gigi molar semacam itu dibiarkan pada tempatnya [in situ], dianjurkan untuk melakukan monitoring dan pemeriksaan radiograf bitewing secara rutin.
Sumber: British dental journal, 2009; 206: E23.

PENDAHULUAN
Gigi molar tiga mesioanguler yang erupsi parsial atau total diimplikasikan dalam perkembangan karies pada aspek distal gigi molar dua tetangganya. Dahulu, pencabutan profilaktik sering dilakukan namun banyak penelitian yang menunjukkan bahwa tidak ada bukti yang cukup untuk mendukung penanganan semacam itu. Pada tahun 2000 diperkenalkan pedoman dari the National Institute for Clinical Excellence dan kini digunakan di Inggris dan Wales. Dengan adanya pedoman tersebut banyak gigi molar tiga mesioanguler yang tidak dicabut dan dibiarkan sampai usia lanjut.
Karies distal pada gigi molar dua lebih sulit dideteksi secara klinis jika gigi molar tiga terletak mesioanguler. Jika lesi tersebut tetap tidak terdeteksi maka akan berkembang, pada akhirnya dibutuhkan perawatan saluran akar atau pencabutan gigi molar dua [Gambar 1]. Sehingga klinisi dihadapkan pada suatu dilema. Haruskah kita mencabut gigi molar tiga mesioanguler jika tidak ada penyakit apapun, yang dapat mengakibatkan trauma pembedahan dan resiko-resiko lainnya? Atau kita hanya perlu mengawasi pasien ini, menerima resiko karies pada gigi molar dua dan kebutuhan restorasi, perawatan saluran akar atau pencabutan gigi molar dua jika pengawasan klinis atau tingkat kooperatif pasien kurang optimal?
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi prevalensi karies gigi molar tiga dan molar dua tetangganya pada pasien yang dirujuk ke bagian oral dan maksilofasial. Kami juga berusaha mengidentifikasi apakah karies cenderung terjadi dalam kisaran angulasi tertentu pada gigi molar tiga mesioanguler.

METODE
Dilakukan penelitian pendahuluan selama 2 bulan pada tahun 2007 di bagian oral dan maksilofasial rumah sakit umum daerah Surrey [Rumah Sakit A]. hasilnya ditampilkan dalam audit regional lokal dan rumah sakit-rumah sakit lainnya diundang untuk mengikuti penelitian yang lebih besar. Maka direkrut dua bagian oral dan maksilofasial lagi dari rumah sakit umum daerah yang ada di sekitar Surrey [yaitu, Rumah Sakit B dan C].
Satu orang klinisi dari setiap unit peserta dialokasikan sebagai kepala pengambilan data di unit tersebut. Pengambilan data dimulai pada 1 Februari 2008 dan diakhiri pada 30 Juni 2008. Data diambil dari setiap pasien baru yang dirujuk ke bagian tersebut untuk menjalani pemeriksaan salah satu atau kedua gigi molar tiga rahang bawah. Status erupsi dicatat saat konsultasi. Semua data lainnya diambil setelah analisis radiografi OPG pasien. Jika gigi molar tiga berdiri sendiri [tidak ada gigi molar dua tetangganya], maka gigi tersebut dieksklusikan dari penelitian. Rumah sakit A dan C menggunakan sistem digital ‘PACS’ X-ray, sedangkan Rumah sakit B memanfaatkan tipe “hard copy” tradisional.
Pada setiap pasien, dilakukan pencatatan data-data berikut ini:
• Nomor rumah sakit
• Usia pasien saat berkonsultasi
• Skor DMFT [decayed, missing, filled teeth] ditentukan dengan menganalisis semua gigi kecuali gigi molar tiga. Gigi yang mengalami karies, dicabut karena alasan non-ortodontik, atau ditumpat diberi skor 1. Skor DMFT digunakan sebagai langkah dasar untuk menganalisis kesehatan gigi-geligi secara keseluruhan pada subyek tersebut. Jika hanya terdapat lesi karies distal pada gigi molar dua rahang bawah, gigi tersebut diberi skor nol. Karena kami mencari kekhasan pada lesi ini, langkah ini mempermudah pembandingan kesehatan gigi-geligi para pasien dengan dan tanpa karies distal pada gigi molar dua.
• Status erupsi setiap gigi molar tiga rahang bawah yang ada, apakah erupsi total, sebagian, atau tidak erupsi.
• Angulasi gigi molar tiga yang ditentukan menggunakan Winter’s classification.
• Gambaran radiografis karies atau restorasi pada gigi molar tiga rahang bawah.
• Gambaran radiografis karies atau restorasi pada aspek distal gigi molar dua rahang bawah.
• Pada semua gigi molar tiga rahang bawah yang diklasifikasikan sebagai mesioanguler, dilakukan pencatatan angulasi gigi molar tiga rahang bawah. Yang didefinisikan sebagai sudut yang dibentuk oleh pertemuan garis melalui bidang oklusal gigi molar tiga dan bidang oklusal mandibula seperti yang ditampilkan dalam Gambar 2. Karena ketajaman sinar-x OPG terkadang kurang, sudut tersebut dihitung sampai lima derajat terdekat.

Setelah analisis radiografi, data yang diambil dari setiap rumah sakit diperiksa oleh salah satu klinisi lain yang ikut serta dalam penelitian. Semua gambaran radiografi gigi molar tiga yang dinyatakan sebagai mesioanguler dianalisis-ulang oleh klinisi kedua yang difokuskan pada keberadaan karies dan angulasi gigi molar tiga. Jika terjadi ketidaksesuaian tentang keberadaan karies, gambaran radiografi dianalisis kembali oleh kedua klinisi. Jika tidak diperoleh kesepakatan tentang ada atau tidaknya karies, pasien dieksklusikan dari penelitian. Nilai akhir angulasi gigi molar tiga dihitung sebagai rata-rata nilai yang dicatat oleh kedua pemeriksa.
Semua analisis dilakukan oleh klinisi yang bekerja penuh atau paruh-waktu di bagian oral dan maksilofasial. Analisis di Rumah sakit A dilakukan oleh dua orang staf. Analisis di Rumah sakit B dilakukan oleh satu orang dokter ahli dan satu orang staf. Analisis di Rumah sakit C dilakukan oleh pegawai senior dan seorang staf.
Semua hasilnya dimasukkan ke dalam database dan data dipindahkan ke SPSS versi 12.0.01 [SPSS Inc.] untuk dianalisis. Variabilitas antar-pemeriksa dihitung menggunakan Cohen’s kappa statistic. Hubungan antar variabel diselidiki menggunakan uji chi-square dan dilakukan penghitungan odd ratio.

HASIL
Data diambil dari 439 pasien selama 5 masa pengambilan data. Sembilan belas pasien dieksklusikan karena gambaran radiografisnya tidak tersedia, jadi dilakukan analisis pada 420 pasien; 213 dari Rumah sakit A, 118 dari Rumah sakit B, dan 89 dari Rumah sakit C.
Setelah analisis oleh dua orang klinisi, terjadi perbedaan opini tentang keberadaan karies pada 34 kasus. Namun, tingkat kesepakatan antar pemeriksa dinyatakan baik. Untuk karies pada gigi molar tiga, tingkat kesesuaiannya adalah  = 0,85 [CI 95% 0,78-0,92] dan untuk karies distal gigi molar dua  = 0,86 [CI 95% 0,80-0,92]. Jika analisis gambaran radiografi oleh kedua pemeriksa menimbulkan perbedaan opini, maka dicari opini yang sama pada semua kasus.
Median usia pasien adalah 28 tahun [kisaran 14-88, SD = 11,0] dan median skor DMFT adalah 5 [kisaran 0-27, SD = 4,9]. Karena sebagian besar pasien memiliki dua gigi molar tiga yang telah erupsi, total gigi molar tiga yang dianalisis adalah 776. Dari jumlah tersebut, 136 gigi dinyatakan tidak erupsi, 493 dinyatakan erupsi sebagian, dan 147 gigi dinyatakan erupsi sempurna.
Frekuensi angulasi Winter diuraikan dalam Tabel 1. Tidak ada perbedaan usia pasien pada keempat kelompok.
Secara keseluruhan, 183 dari 776 gigi molar tiga rahang bawah [23,6%] mengalami karies. Karies distal pada gigi molar dua ditemukan pada 150/776 gigi [19,3%]. Gambar 3 menunjukkan prevalensi karies pada gigi molar tiga rahang bawah terhadap angulasi Winter dan Gambar 4 menunjukkan prevalensi karies pada aspek distal gigi molar dua rahang bawah terhadap angulasi Winter.
Karies gigi molar tiga memiliki hubungan yang bermakna dengan gigi molar tiga mesioanguler [X2(1) = 7,2; p < 0.007]. Hal ini merefleksikan fakta bahwa 29% kelompok mesioanguler mengalami karies pada gigi molar tiga rahang bawah dibandingkan dengan 21% dalam kelompok lain secara kombinasi. Odd ratio menunjukkan bahwa gigi molar tiga mesioanguler memiliki kecenderungan 1,6 kali lipat untuk mengalami karies dibandingkan kelompok lain secara kombinasi.
Karies distal pada gigi molar dua juga memiliki hubungan yang signifikan dengan gigi molar tiga mesioanguler [X2(1) = 138,0; p < 0.0001]. Pada kelompok mesioanguler, 42% diantaranya mengalami karies distal pada gigi molar dua sulung dibandingkan dengan 7% kelompok lain secara kombinasi. Odd ratio menunjukkan bahwa gigi molar tiga mesioanguler memiliki kecenderungan 9,4 kali lipat untuk mengalami karies distal pada gigi molar dua dibandingkan dengan kelompok lain secara kombinasi.
Jika melihat secara spesifik pada gigi-geligi mesioanguler, terdapat 267 gigi yang dianalisis, 74 [28%] diantaranya dinyatakan tidak erupsi, 176 [66%] erupsi sebagian, dan 17 [6%] erupsi sempurna. Dari 78 kasus karies pada gigi molar tiga, median usia adalah 28 tahun [kisaran 18-57, SD = 7,5] dan median DMFT adalah 5 [kisaran 0-16, SD = 3,4]. Dari 113 kasus karies pada aspek distal gigi molar dua tetangga, median usia adalah 28 tahun [kisaran 16-64, SD = 8,5] dan median DMFT adalah 5 [kisaran 0-16, SD = 3,8]. Hal ini menunjukkan tidak ada perbedaan usia atau DMFT pasien yang mengalami karies pada aspek distal gigi molar dua atau molar tiga rahang bawah dibandingkan dengan gigi-geligi molar tiga secara keseluruhan.
Jika angulasi gigi molar tiga dipertimbangkan dan dibagi menjadi beberapa kelompok dengan interval 15 derajat, kami tidak menemukan perbedaan karies pada gigi molar tiga atau aspek distal gigi molar dua dia antara kelompok-kelompok tersebut [lihat Gambar 5 dan 6].
Status erupsi gigi molar tiga dinyatakan berhubungan dengan prevalensi karies pada gigi molar tiga dan aspek distal gigi molar dua. Satu persen gigi molar tiga mesioanguler yang tidak erupsi, 38% yang erupsi sebagian, dan 59% yang erupsi sempurna mengalami karies. Terjadi karies distal gigi molar dua pada 11% gigi molar tiga mesioanguler yang tidak erupsi, 55% erupsi sebagian, dan 53% erupsi sempurna. Karena prevalensi karies pada kelompok gigi yang tidak erupsi rendah, jika kami mengeksklusikan gigi-geligi yang tidak erupsi, prevalensi karies pada gigi molar tiga adalah 77 dari 193 gigi [40%] dan prevalensi karies pada aspek distal gigi molar dua adalah 105 dari 193 gigi [54%].

PEMBAHASAN
Telah dilaporkan bahwa pemilihan sampel populasi untuk analisis gigi molar tiga sulit dilakukan karena dibutuhkan sampel random populasi umum dan secara etis, pemeriksaan radiografi pada individu semacam itu meragukan. Kami menerima bahwa sampel ini memiliki bias karena sebagian besar pasien dirujuk oleh dokter gigi umum, yang cenderung menemukan kondisi patologis.
Usia populasi penelitian sama dengan penelitian-penelitian lainnya kecuali untuk grup horisontal, yang lebih sedikit dalam penelitian kami. Jika menggabungkan semua radiograf, prevalensi karies distal pada gigi molar dua adalah 19,3%, yang lebih besar dibandingkan dalam penelitian di Turki [12,6%], Swedia [13%], dan Thailand [13%] namun lebih sedikit dibandingkan dengan sampel Amerika [26%] dan Yordania [21,5%].
Dari hasil penelitian kami terlihat jelas bahwa karies distal pada gigi molar dua yang disebabkan oleh gigi molar tiga mesioanguler adalah salah satu masalah di Surrey. Jika mempertimbangkan unit-unit yang berpartisipasi secara keseluruhan, 113 dari 267 gigi-geligi mesioanguler mengalami karies pada aspek distal gigi molar dua tetangganya, nilai tersebut sama dengan 5 gigi per minggu selama penelitian. Kami menunjukkan bahwa jika mempertimbangkan secara keseluruhan akan terlihat banyak gigi molar dua rahang bawah yang membutuhkan restorasi, perawatan saluran akar, atau pencabutan karena keberadaan gigi molar tiga mesioanguler. Hal ini mengganggu kesehatan umum pasien serta finansial pasien dan pelayanan kesehatan.
Penelitian lainnya menunjukkan bahwa karies distal pada gigi molar dua adalah penyakit yang dialami oleh pasien dewasa. McArdle dan Renton menemukan median usia pasien yang mengalami karies servikal pada aspek distal gigi molar dua adalah 30 tahun dan skor DMFT-nya mencapai separuh skor rata-rata populasi umum pada berbagai kelompok usia. Mereka juga menemukan bahwa 82% gigi molar tiga mesioanguler yang menyebabkan karies servikal distal memiliki angulasi antara 40 sampai 80 derajat. Kami tidak menemukan perbedaan usia pasien yang memiliki gigi molar tiga mesioanguler dan mengalami karies distal pada gigi molar dua, jika dibandingkan dengan kelompok-kelompok lain secara keseluruhan [median usia kedua kelompok adalah 28]. Kami juga tidak menemukan perbedaan skor DMFT antara kedua kelompok [median skor pada kedua kelompok adalah 5]. Jumlah sampel yang besar dan fakta bahwa populasi penelitian adalah pasien di Surrey, diduga mempengaruhi perbedaan tersebut. Kami juga menganalisis semua lesi karies, sedangkan McArdle dan Renton hanya menyelidiki pasien-pasien yang harus menjalani pencabutan gigi akibat karies distal. Kami menemukan 73% kasus karies distal pada gigi molar dua yang disebabkan oleh keberadaan gigi molar tiga mesioanguler yang memiliki angulasi 30-75 derajat, namun karies juga banyak ditemukan pada kelompok lain. Tidak mungkin mengidentifikasi angulasi yang cenderung menyebabkan karies.

KESIMPULAN
Para peneliti setuju dengan pedoman NICE, dimana semua gigi molar tiga yang tidak erupsi, erupsi sebagian ataupun erupsi sempurna yang dinyatakan berada pada posisi vertikal, horisontal, ataupun distoanguler harus dibiarkan pada tempatnya [in situ], karena bebas patologi dan ejala. Namun, kami menduga bahwa gigi molar tiga mesioanguler yang erupsi sebagian atau sempurna dan berdekatan dengan gigi molar dua rahang bawah membutuhkan perhatian khusus. Penelitian kami menunjukkan bahwa prevalensi pasien yang dirujuk karena karies distal pada gigi molar dua cukup tinggi dimana terdapat gigi molar tiga mesioanguler yang erupsi sebagian atau sempurna. Kami menyatakan bahwa dengan pengawasan cermat, lesi-lesi tersebut dapat dirawat lebih dini, sehingga gigi molar tiga mesioanguler perlu dicabut dan merestorasi gigi molar dua. Namun menurut pengalaman kami, pasien-pasien semacam ini cenderung mengalami lesi karies parah yang pada akhirnya sulit direstorasi. Dokter gigi umum enggan melakukan restorasi gigi-geligi tersebut sampai gigi molar tiga penyebabnya dicabut, hal ini mengakibatkan perkembangan lesi lebih lanjut selama pasien menunggu pembedahan. Pencabutan gigi molar tiga bukanlah tidak beresiko, yang terkadang signifikan. Namun, kami menduga bahwa gigi molar tiga mesioanguler yang erupsi sebagian atau sempurna yang memiliki kemungkinan menimbulkan karies pada gigi molar dua harus dibahas sebagai proses consent/perijinan. Jika gigi tersebut dibiarkan in situ, pentingnya monitoring, radiografi bitewing rutin, instruksi oral higiene, dan anjuran preventif harus ditekankan kepada dokter gigi umum dan pasien. Jika pasien dan klinisi memutuskan untuk mencabut gigi molar tiga, pedoman NICE tidak mendukung tindakan tersebut. Kami menyatakan bahwa dalam sudut pandang tersebut, penelitian kami memiliki kelemahan dan dibutuhkan penelitian nasional yang lebih besar. Selain itu juga dibutuhkan penelitian lebih lanjut tentang nasib gigi molar tiga mesioanguler, serta menyelidiki perilaku dokter gigi umum dalam merestorasi gigi-geligi tersebut.

Read more...

18 March 2010

Relaps Dalam Penyakit Lepra

Abstrak
Lepra adalah penyakit yang unik, dalam hal sifat organisme penyebabnya [yaitu, Mycobacterium leprae], kronisitas penyakit, perawatan jangka panajangnya, serta definisi ‘sembuh’ dan ‘relaps’. Metode utama untuk menilai efek pengobatan terapeutik dalam penyakit lepra adalah “kecepatan relaps” penyakit ini. Di berbagai daerah, penghitungan kecepatan relaps setelah terapi multidrug WHO [world health organization] bervariasi. Faktor predisposisi penting dalam relaps antara lain adanya basil ‘persister’, monoterapi, terapi yang tidak adekuat/ireguler, adanya lesi kulit multipel/penebalan saraf dan negativitas lepromin. Dalam penyakit lepra, metode konvensional untuk memastikan aktivitas atau relaps dalam suatu penyakit infeksi [demonstrasi dan/atau kultur agen penyebab] memiliki manfaat yang terbatas karena dalam kasus paucibacillary [PB], keberadaan basil sulit diketahui dan belum ada metode kultivasi M. leprae in vitro. Parameter-parameter bakteriologis dapat digunakan dalam penyakit lepra multibacillary [MB], sedangkan dalam PB leprosy, kriteria relaps sangat tergantung pada tanda-tanda klinis. Meskipun pemeriksaan serologis untuk penyakit lepra belum tersedia luas, selain untuk keperluan penelitian, berbagai pemeriksaan imunologis dapat dimanfaatkan untuk mengawasi pasien yang sedang menjalani kemoterapi serta memastikan kecurigaan kasus-kasus relaps. Diagnosis banding utama untuk relaps adalah reaksi reversal, eritema nodosum leprosum, dan reaktivasi/resistensi/reinfeksi. Kriteria yang paling reliabel untuk menegakkan diagnosis relaps yang akurat antara lain kriteria klinis, bakteriologis, dan terapeutik. Dapat dilakukan Kriteria tambahan, seperti kriteria histopatologis dan serologis dapat digunakan, disesuaikan dengan kondisinya. Kasus-kasus relaps penyakit lepra harus diidentifikasi dan dilakukan kemoterapi ulang sesegera mungkin untuk mencegah kecacatan dan penularan infeksi lebih lanjut. Faktor-faktor yang harus dipertimbangkan dalam pemilihan pengobatan adalah tipe penyakit lepra [PB atau MB], perawatan sebelumnya dan resistensi obat. Terkadang, klinisi perlu menggunakan penilaiannya dalam memodifikasi perawatan standar WHO yang sesuai dengan kondisi setiap pasien.
Kata Kunci: penyakit lepra, reaktivasi, reinfeksi, relaps, resistensi.



PENDAHULUAN
Relaps penyakit, akut ataupun kronis, yang disebabkan oleh infeksi bakteri cukup sering terjadi. Umumnya, relaps menunjukkan kegagalan perawatan infeksi secara menyeluruh, yang ditambah oleh perawatan ireguler, terutama dalam penyakit-penyakit kronis.
Jika dibandingkan dengan penyakit-penyakit infeksi lainnya, perawatan penyakit lepra tergolong unik, dalam hal dosis dan durasi pengobatan yang tetap, serta definisi ‘sembuh’. Biasanya, penghentian perawatan didasarkan pada penyelesaian durasi perawatan yang dianjurkan, bukan hilangnya tanda dan gejala klinis, yang awalnya mengarahkan perawatan.
Jadi, metode utama untuk menilai efek pengobatan terapeutik dalam penyakit lepra adalah ‘kecepatan relaps’. Kecepatan relaps yang sangat rendah selama periode observasi yang adekuat menunjukkan bahwa pengobatan yang dilakukan terbukti efektif dan inilah sebabnya mengapa WHO menganjurkan periode pengawasan yang panjang pada semua pasien yang telah dinyatakan ‘sembuh’ setelah menjalani perawatan multidrug.

DEFINISI

Definisi ‘relaps’ hanya dapat dipahami dalam konteks definisi ‘sembuh’. Dalam era monoterapi Dapsone, seorang penderita penyakit multibacillary [MB] dinyatakan mengidap ‘penyakit laten’ jika lesi kulit telah sembuh dan apusan kulit selama 3 bulan berturut-turut menunjukkan hasil negatif terhadap acid-fast bacilli [AFB], kemudian pengobatan anti-lepra dilanjutkan selama 5-10 tahun mendatang atau bahkan seumur hidup. Penderita paucibacillary [PB] dinyatakan ‘bebas-penyakit’ jika semua lesi kulit telah sembuh, tanpa infiltrasi atau eritema, dan saraf tidak lagi menimbulkan rasa sakit atau bengkak, kemudian perawatan anti-lepra dilanjutkan selama 3-5 tahun. Seiring perkembangan terapi multidrug [MDT], kriteria klinis kesembuhan yang kaku tersebut telah kehilangan manfaatnya. WHO mendefinisikan penderita lepra sebagai seseorang yang memiliki tanda dan gejala penyakit ini dan membutuhkan kemoterapi. Pada tahun 1995, WHO merekomendasikan 1 tahun MDT bagi pasien MB [12 pulse dalam 18 bulan] dan 6 bulan [6 pulse dalam 9 bulan] bagi pasien PB. Sepanjang masa terapi, pasien harus mengkonsumsi dua pertiga pulse sampai waktu tersebut. Untuk tujuan operasional, setelah pasien menjalani kemoterapi yang adekuat, ia dinyatakan ‘sembuh’. Gambaran histopatologis lesi dan kesembuhan klinis penyakit membutuhkan waktu beberapa bulan atau tahun setelah perawatan anti-lepra dihentikan.

Terdapat beberapa definisi relaps dalam penyakit lepra.
1. Guide to Leprosy Control [WHO 1988]:
“Seorang pasien yang telah menyelesaikan MDT secara adekuat, namun tanda dan gejala penyakit muncul kembali, baik selama periode pengawasan [2 tahun untuk PB dan 5 tahun untuk MB] ataupun setelah periode tersebut.”
2. Becx-Bleumink membuat daftar beberapa kriteria relaps, yaitu:
a. Lesi kulit baru
b. Aktivitas baru dalam lesi kulit yang pernah timbul
c. Indeks bakteriologis [BI] 2+ atau lebih pada dua set apusan kulit
d. Terjadi kehilangan fungsi saraf lagi
e. Pemeriksaan histologis menemukan terjadinya relaps dalam biopsi kulit atau saraf
f. Aktivitas lepromatosa dalam mata
3. Relaps pada penderita PB:
a. Beorrigter dkk, -- “munculnya lesi kulit baru atau bertambahnya ukuran lesi yang ada, menunjukkan adanya gambaran klinis atau histopatologis definitif [atau keduanya] penyakit lepra dalam lesi semacam itu.”
b. Pandian dkk, membuat beberapa kriteria untuk mendefinisikan relaps dalam PB – “perluasan lesi, infiltrasi, eritema, munculnya lesi baru, nyeri dan pembengkakan saraf, paralisis otot baru dan positivitas bakteriologis.”
Apapun definisi yang digunakan dalam kasus relaps, harus diingat bahwa relaps dalam kasus MB relatif mudah dikenali, sedangkan relaps dalam kasus PB sulit untuk dibedakan secara klinis dengan reaksi reversal yang terjadi setelah terapi selesai.

KECEPATAN RELAPS

Terdapat berbagai macam metode penghitungan kecepatan relaps di berbagai daerah. Hal ini mungkin disebabkan oleh variasi definisi relaps, proporsi pasien dengan/tanpa terapi Dapsone, kisaran positivitas apusan kulit dalam kasus MB, dan perbedaan durasi follow up. Setelah MDT dihentikan, resiko relaps pasien PB dan MB sangat rendah, yaitu kurang lebih 10 kali lebih rendah dibandingkan dengan monoterapi Dapsone.

WHO memperkirakan resiko relaps untuk pasien MB sebesar 0,77% dan 1,07% untuk pasien MB, 9 tahun setelah MDT dihentikan. Berbagai penelitian lainnya yang mengobservasi individu-orang mengestimasi kecepatan relaps mulai dari 0,65 sampai 3% pada PB dan 0,02 sampai 0,8% pada MB leprosy.
Salah satu data retrospektif dari the Central Leprosy Teaching and Research Institute, Chengalpattu, Tamil Nadu, menyertakan 3248 penderita lepra yang menyelesaikan MDT WHO selama periode 1987-2003. Kecepatan relaps keseluruhan untuk kasus MB dan PB leprosy, masing-masing, adalah 0,84 dan 1,9%, sedangkan kecepatan pada follow up individu-tahun, masing-masing, adalah 0,86 dan 1,92/1000. Sebagian besar relaps terjadi pada 3 tahun pertama setelah perawatan dihentikan. Jika seorang individu tidak mengalami relaps dalam waktu 5-6 tahun, resiko terjadi relaps pada individu tersebut dapat diabaikan.
Baru-baru ini, dalam analisis retrospektif kecepatan relaps di Cina 24 bulan setelah MB-MDT WHO pada 2374 penderita MB yang menjalani follow up selama durasi rata-rata 8,27 tahun, ditemukan 5 pasien mengalami relaps dengan kecepatan relaps akumulasi sebesar 0,21/1000 orang-tahun, angka tersebut cukup rendah.
Namun, dalam salah satu penelitian deskriptif penyakit lepra di Etiopia, yaitu kohort AMFES [ALERT MDT Field Evaluation Study] tidak ditemukan relaps yang definitif pada 502 pasien yang menyelesaikan fixed-duration MDT, selama periode follow up 8 tahun setelah perawatan selesai, meskipun dalam 57 kasus yang memiliki rata-rata BI awal > 4, 20 diantaranya menjalani follow up selama lebih dari 5 tahun setelah MDT dihentikan. Hal ini menunjukkan bahwa kecepatan relaps setelah MDT rendah.

ASPEK MIKROBIOLOGIS
Metode konvensional untuk memastikan aktivitas atau relaps dalam suatu penyakit infeksi adalah pembuktian dan/atau kultur agen etiologi. Sayangnya, metode-metode tersebut kurang bermanfaat dalam penyakit lepra karena sulit membuktikan keberadaan basil dalam kasus PB dan belum ada metode kultivasi M. Leprae secara in vitro. Berbeda dengan PB leprosy, dimana kriteria relaps sangat tergantung pada tanda-tanda klinis, parameter bakteriologis sangat bermanfaat dalam MB leprosy.
Positivitas-ulang AFB setelah kasus dinyatakan negatif merupakan salah satu tanda relaps dalam kasus PB dan MB. BI yang tetap tinggi atau peningkatan BI juga merupakan parameter penting untuk menegakkan diagnosis relaps dalam BI 2+, munculnya lesi aktif yang memiliki BI atau BI meningkat lebih dari jumlah awalnya pada lesi yang telah ada merupakan beberapa kriteria untuk menegakkan diagnosis relaps. Namun, peningkatan BI +1 dinyatakan sebagai bukti pendukung diagnosis relaps pada pasien yang awalnya dinyatakan negatif atau mengalami penurunan BI setelah MDT.
Terdapat sejumlah teknik in vivo dan in vitro untuk mengawasi perkembangan perawatan penyakit lepra, yang dapat juga digunakan sebagai kriteria obyektif tambahan untuk memastikan relaps. Teknik-teknik in vivo untuk mengukur viabilitas antara lain menggunakan mouse footpad untuk kultivasi M. leprae. Prosedur-prosedur in vitro untuk mengukur viabilitas antara lain indeks morfologis, pewarnaan fluoroscent diacetate ethidium bromide [FDA-EB], laser microprobe mass analysis [LAMMA], pengukuran adenosine triphosphate dan makrofag-based assay. Teknik-teknik molekuler, seperti DNA and RNA targeting probe dan amplifikasi gen melalui polymerase chain reaction [PCR].
Sebuah penelitian yang dilakukan di Shieffelein Leprosy Research and Training Center, Karigiri, India, menguji sampel-sampel biopsi penderita lepra yang telah menyelesaikan MB-MDT selama 12 dan 24 bulan untuk mengidentifikasi M. leprae hidup melalui inokulasi mouse foot-pad. Pada biopsi kulit ataupun saraf dari pasien yang menjalani MDT selama 24, tidak ada yang menunjukkan pertumbuhan sedangkan sebagian kecil pasien [3,3%] pasien yang memiliki BI tinggi terbukti memiliki bakteri hidup dalam kulit setelah 12 dosis MDT. Pasien-pasien ini harus menjalani periode follow up yang lebih lama untuk memastikan apakah akan terjadi relaps.

PEMERIKSAAN IMUNOLOGIS UNTUK MENGIDENTIFIKASI RELAPS
Meskipun belum ada pemeriksaan serologis yang tersedia untuk penyakit lepra selain yang digunakan dalam penelitian, terdapat berbagai pemeriksaan imunologis yang dapat digunakan untuk mengawasi pasien yang sedang menjalani kemoterapi, serta untuk memastikan kasus-kasus relaps yang dicurigai. Pada penderita lepra, terjadi peningkatan titer antibodi imunoglobulin [Ig] M glikolipid fenolik [PGL] selama periode relaps. Kasus tuberculoid [TT]/borderline tuberculoid [BT] yang mengalami relaps menjadi tipe borderline lepromatous [BL]/lepromatous lesion [LL] dapat dideteksi dengan mengukur antibodi anti-PGL-1 dan anti-35 kD. Dipstick assay untuk mendeteksi antibodi anti-PGL-1 merupakan salah satu alat sederhana untuk mengklasifikasikan pasien dan identifikasi pasien yang beresiko tinggi mengalami relaps. Disakarida alamiah ND-O-Bovine serum antigen [BSA] enzyme-linked immunosorbent assay [ELISA] [ELISA menggunakan ND antigen glikolipid fenolik M. leprae yang dihubungkan dengan BSA sebagai antigen] merupakan metode pengujian untuk mengidentifikasi infeksi dini oleh M. leprae dan untuk memprediksi relaps, terutama pada penderita MB yang telah sembuh.
Profil interleukin [IL] tipe Th1 dan Th2 merupakan metode yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi tipe relaps penyakit lepra. Sebagai contoh, jika pasien BL/LL mengalami relaps menjadi tipe TT/BT, akan terjadi up-gradasi imunitas cell-mediated, dalam bentuk respon imun tipe Th1 dimana terjadi peningkatan kadar interferon [IFN]-gamma, IL-2, dan antibodi IgG2, serta uji lepromin positif. Di sisi lain, jika pasien TT/BT mengalami relaps menjadi tipe BL/LL, akan terjadi respon imun tipe Th2, yang mengakibatkan peningkatan produksi IL-4, IL-5, IL-6, IL-10, dan IgG1, yang disertai dengan penurunan IL-2, IFN-gamma dan negativitas lepromin.
Reinfeksi dapat dibedakan dengan relaps yaitu melalui penentuan tipe molekul M. leprae menggunakan rantai asam amino, dan identifikasi relaps pada tahap dini menggunakan teknik amplifikasi asam nukleat seperti PCR.

HISTOPATOLOGI
Biopsi dan apusan kulit biasa dari lesi representatif harus diperiksa, sekurang-kurangnya satu kali dalam 6 bulan, selama periode perawatan dan 5 tahun setelah diperoleh hasil negatif.

Histopatologi lesi relaps dalam MB leprosy
Semua LL akan sembuh jika dilakukan perawatan, bertambahnya jumlah makrofag foamy, sel Schwann mengalami perubahan foamy, terjadi proliferasi reaktif perineurium serta pertambahan fragmentasi dan granularitas AFB dalam granuloma. Granuloma mengalami pemulihan secara bertahap, tanpa residu fibrosis ataupun pembentukan skar/jaringan parut, serta terjadi pergantian fibrosa perineurium dan hialinisasi parenkim saraf. Akumulasi sel-sel foam dalam jaringan persisten untuk waktu lama, beberapa tahun setelah apusan kulit memberikan hasil negatif. Inflamasi kronis non-spesifik ringan yang ditandai oleh akumulasi limfosit fokal di sekitar adnexa kulit juga ditemukan dalam lesi LL yang telah sembuh selama beberapa tahun.
Dalam fase relaps tahunan, ditemukan foci makrofag baru berbentuk-spindle yang berukuran besar dan kecil disertai dengan sitoplasma granuler berwarna merah muda disertai dengan beberapa kumpulan kecil makrofag foamy yang persisten. Pewarnaan solid AFB muncul kembali dalam apusan kulit dan spesimen biopsi pasien yang kemungkinan memiliki hasil apusan negatif. Jika lesi telah terbentuk, perubahan foamy disamarkan oleh kumpulan makrofag immature berbentuk spindle. Adnexa kulit terlihat atropik dan langka, berkas saraf dermal sedikit, serta terjadi penebalan perineurial dan fibrosis. Makrofag, sel Schwann, dan sel endotelial terwarnai oleh AFB-solid.
Terkadang, terjadi infiltrasi polimorfis dan biasanya, pasien LL mengalami relaps yang disertai dengan reaksi upgrading dalam bentuk BL, atau terkadang, lesi BT.
Lesi BL lebih cepat sembuh dibandingkan dengan kasus LL polar dan pemeriksaan bakteriologisnya lebih cepat menunjukkan hasil negatif. Secara histopatologis, lesi BL menyisakan beberapa kumpulan sel mononuklear fokal di sekitar adnexa kulit dan sel foam jarang ditemukan. Relaps dalam BL bermanifestasi sebagai LL, BL, atau terkadang sebagai BT.

Histopatologi lesi relaps dalam PB leprosy
Lesi dalam BT dan TT leprosy merupakan hasil dari respon hipersensitivitas granulomatosus terhadap antigen M. leprae, tidak disebabkan secara langsung oleh keberadaan M. leprae. Jika dilakukan perawatan, ukuran granuloma akan berkurang tanpa pergantian fibrosa adnexa kulit. Selama proses inflamasi, kolagen kulit mengalami kerusakan, sehingga lesi kulit yang telah sembuh terlihat berkerut dan atropi. M. leprae terkubur hidup-hidup di dalam saraf dan sel otot arrector pili, inilah yang berperan sebagai fokus relaps.
Kesulitan yang ditemukan dalam kasus PB adalah diferensiasi relaps dengan reaksi. Tanda-tanda yang menyertai suatu reaksi antara lain edema di sekitar granuloma, dilatasi limfatis, dan proliferasi fibroblast dalam dermis. True relapse dapat dideteksi melalui pemeriksaan histopatologis hanya setelah pemeriksaan gambaran histologis lesi secara keseluruhan, yang membutuhkan waktu bertahun-tahun. Relaps menunjukkan bahwa basil tetap bertahan hidup meskipun telah dilakukan perawatan anti-lepra dan berkembang biak serta melepaskan antigen untuk memproduksi granuloma baru. Hal ini bermanifestasi sebagai tampilan organisme pewarnaan-solid di dalam berkas saraf fibrosa [yang awalnya tidak ada] dan granuloma muncul kembali pada lokasi lesi awal. Biasanya, granuloma ini dimulai dari bentuk sel limfosit dan epiteloid kecil yang dimulai dari dalam berkas saraf fibrosis atau sel otot arrector pili. Jika granuloma telah terbentuk, akan tumbuh dan meluas pada dermis, sehingga tidak dapat dibedakan dengan lesi awal. Jadi, pada pasien PB, biopsi rutin 6 bulanan yang tidak menunjukkan adanya granuloma memastikan “kesembuhan” dan jika ditemukan granuloma kembali maka dinyatakan sebagai “relaps”. Terkadang, kasus PB akan relaps menjadi MB, dan hal ini biasanya disebabkan oleh kesalahan diagnosis spektrum penyakit dan perawatan yang kurang adekuat sejak awal.

INTERVAL RELAPS
Interval relaps juga dikenal sebagai periode inkubasi relaps. Interval dalam monoterapi dan MDT berbeda.

Monoterapi Dapsone
Lima puluh lima sampai 57% relaps terjadi dalam:
1. 3 tahun dalam non-lepromatosus
2. 5 tahun dalam borderline
3. 6 tahun dalam MDT lepromatosus
a. PB, sama dengan monoterapi
b. MB, 9 tahun [median]
Gambaran tersebut mengimplikasikan bahwa pasien PB harus diawasi sekurang-kurangnya selama 3 tahun dan 9 tahun untuk pasien MB, sehingga sebagian besar relaps dapat dideteksi.

FAKTOR-FAKTOR PREDISPOSISI RELAPS

Persister
Organisme persisten atau ‘persister’ adalah organisme dorman permanen ataupun parsial yang memiliki kemampuan hidup dalam host meskipun dilakukan kemoterapi yang adekuat. Mereka ditemukan dalam daerah-daerah imunologis yang menguntungkan, seperti saraf dermal, otot polos, limfonodus, iris, sumsum tulang, dan hati. Organisme-organisme yang berperan dalam relaps ini ditemukan sebanyak 10% dalam pasien MB, dan proporsinya lebih besar dalam kasus BI tinggi.

Terapi yang tidak adekuat

Biasanya disebabkan oleh kesalahan-penggolongan klinis MB leprosy dengan beberapa lesi kulit seperti kasus PB, yang diberi MDT selama 6 bulan, bukan 12 bulan, pada awalnya memberikan respon namun pada akhirnya terjadi relaps.

Terapi yang tidak teratur
Ketidakteraturan konsumsi clofazimine dan dapsone karena suplai obat tidak rutin ataupun karena kerja sama pasien kurang, memunculkan skenario monoterapi rifampicin. Hal ini mengakibatkan resistensi terhadap rifampicin dan pada akhirnya, terjadi relaps.

Monoterapi
Kecepatan relaps pada pasien yang menjalani monoterapi Dapsone dan tidak dilanjutkan dengan MDT, relatif tinggi. Hal ini juga disebabkan karena adanya organisme resisten.

BI awal tinggi
Pasien yang memiliki BI awal tinggi beresiko tinggi mengalami relaps setelah MDT fixed-duration, dibandingkan dengan pasien yang hasil apusannya negatif atau memiliki BI rendah.


Jumlah lesi kulit dan saraf
Jumlah dan perluasan lesi, termasuk lesi saraf, yang berlipat ganda yaitu lebih dari lima atau menutupi tiga atau beberapa bagian tubuh, berhubungan dengan kecepatan relaps yang tinggi. Antibodi mikobakterial ditemukan dalam TT leprosy yang memiliki banyak lesi dan dalam BT leprosy yang memiliki lebih dari 10 lesi. Karena ini membuktikan keberadaan organisme dalam jumlah yang cukup banyak, pasien tidak tergolong dalam PB dan perawatan menggunakan dua obat selama 6 bulan dinyatakan kurang adekuat bagi pasien semacam ini.

Negativitas lepromin
Pasien borderline yang hasil pemeriksaan leprominnya positif memiliki kecepatan relaps yang lebih rendah dibandingkan dengan pasien yang memiliki respon negatif.

Infeksi HIV

Meskipun penyakit lepra kini dinyatakan sebagai salah satu penyakit rekonstitusi imun di antara pasien-pasien yang menjalani pengobatan antiretroviral aktif, belum ada bukti yang menunjukkan resiko relaps tinggi pada penderita infeksi HIV.

TANDA-TANDA KLINIS
Usia: Dalam kasus MB, relaps lebih sering ditemukan pada kelompok lansia. PB leprosy yang memiliki lesi kulit tunggal lebih sering ditemukan pada kelompok usia yang lebih muda dan relaps jarang terjadi dalam kelompok usia ini.

Jenis kelamin: Relaps lebih sering terjadi pada laki-laki, kemungkinan disebabkan karena tingginya prevalensi penyakit lepra pada laki-laki. Pada perempuan, relaps terjadi selama masa kehamilan dan menyusui.

Relaps dalam PB leprosy
a. Lesi kulit: Lesi kulit yang sudah sembuh menunjukkan aktivitas baru, seperti infiltrasi, eritema, bertambah luas dan muncul lesi satelit. Biasanya, tjumlah lesi juga bertambah.
b. Saraf: Saraf-saraf baru menebal dan bengkak, yang disertai dengan perluasan daerah yang kehilangan sensoris dan onset defisit motorik laten. Pasien mengeluhkan sakit dan nyeri di sepanjang saraf perifer dengan/tanpa tanda-tanda kerusakan saraf. Relaps hanya terjadi dalam saraf tanpa melibatkan kulit [relaps neural] dan terjadi perubahan spektrum penyakit saat relaps.

Relaps dalam MB leprosy
a. Lesi kulit: Relaps terlihat sebagai daerah infiltrasi lokal pada dahi, punggung bagian bawah, dorsal tangan dan kaki, serta bagian atas pantat. Ditemukan papula dan nodula yang lunak berwarna merah muda dan mengkilap pada daerah-daerah tersebut, dengan/tanpa infiltrasi latar belakang. Papula akan membesar membentuk plak. Nodul subkutan dapat ditemukan pada bagian posterior lengan dan anterolateral pinggul. Nodul terasa seperti kacang polong dan ukurannya bertambah seiring waktu. Apusan kulit bagian atas memberikan hasil negatif; jadi saat mengambil sampel apusan, skalpel harus dimasukkan ke dalam inti nodul.
b. Saraf: Pembengkakan noduler dapat terjadi di sepanjang jalur saraf kutaneus dan cabang saraf perifer, selain penebalan dan/atau pembengkakan saraf baru, yang disertai dengan kehilangan fungsi secara laten.
c. Lesi okuler: Kasus-kasus yang melibatkan mata akan mengalami relaps berupa iris pearl atau terkadang, lepromata.
d. Lesi mukosa: Lesi papula atau noduler dapat ditemukan pada palatum durum, bibir bagian dalam, dan glans penis.


DIAGNOSIS BANDING
Relaps vs. Resistensi
Resistensi obat merupakan salah satu masalah utama dalam penyakit lepra di seluruh dunia, penyebab utamanya adalah kronisitas penyakit dan lamanya durasi perawatan yang dibutuhkan. Resistensi obat dapat bersifat primer, dimana basil lepra resisten terhadap obat yang diberikan sejak onset itu sendiri, atau sekunder, dimana resistensi terjadi akibat mutan basil berhasil hidup dalam kondisi terapi ireguler atau monoterapi. Resistensi Dapsone adalah yang paling sering terjadi, berhubungan dengan konsep awal monoterapi Dapsone. Resistensi rifampicin terjadi akibat terapi ireguler. Resistensi clofazimine sangat jarang terjadi. Meskipun perlu dilakukan penelitian mouse foot-pad untuk memastikan resistensi obat dalam penyakit lepra, fasilitas tersebut tidak tersedia bebas, sehingga mendorong klinisi untuk mengandalkan tanda-tanda klinis saja. Resistensi obat itu sendiri merupakan alasan terjadinya relaps dan kita harus dapat membedakan keduanya, seperti yang diuraikan dalam Tabel 3.

Relaps vs. Reaktivasi

Reaktivasi lesi terjadi akibat kegagalan perawatan, yaitu penghentian perawatan secara prematur atau perawatan tidak dilakukan secara rutin karena pasien tidak kooperatif ataupun karena suplai obat tidak teratur. Reaktivasi terjadi segera setelah penyakit mereda, sedangkan relaps terjadi setelah penyakit benar-benar sembuh.

Relaps vs. Reinfeksi
Rekurensi penyakit dalam suatu kasus yang dinyatakan sembuh dapat disebabkan oleh reinfeksi. Reinfeksi merupakan suatu kondisi yang sangat sulit dibuktikan, terutama di daerah endemik. Jika telah sembuh, penyakit lepra terus hidup di dalam dan di sekitar sanatorium penyakit lepra. Di daerah hiperendemik, para pasien dapat terkena penyakit ini lagi akibat infeksi eksogen. Dan, pasien tidak hanya disembuhkan dengan membunuh kuman menggunakan obat-obatan bakterisidal, tapi juga oleh imunitas yang berkembang setelah pasien menjalani perawatan. Hal ini didukung oleh fakta bahwa pasien LL mampu membuang semua basil-basil yang mati secara aktif. Jadi, perawatan kasus lepromatosus tidak selalu bersifat imunokompeten dan resiko reinfeksi rendah. Jika terjadi reinfeksi, periode inkubasi sangat aneh/berbeda dan lesi kulit dan saraf yang baru tidak mirip dengan lesi asli.

DIAGNOSIS
Kriteria diagnosis relaps antara lain:

Kriteria Klinis
a. Lesi yang ada bertambah besar dan luas
b. Muncul lesi baru
c. Terjadi infiltrasi dan eritema pada lesi-lesi yang telah sembuh secara sempurna
d. Menyerang saraf [penebalan atau pembengkakan]

Kriteria Bakteriologis
Positivitas [pada pasien apusan-negatif] pada daerah apusan kulit AFB manapun dari dua pemeriksaan selama periode pengawasan adalah penentu diagnosis relaps. Pada pasien yang memiliki BI positif, jika BI bertambah 2+ dari apusan sebelumnya pada dua daerah dan terus bertambah pada dua pemeriksaan selanjutnya, maka dinyatakan sebagai relaps, hal ini menunjukkan bahwa pasien telah mengkonsumsi 75% obat.

Kriteria Terapeutik
Kriteria ini dapat digunakan jika dicurigai terjadi reaksi reversal. Pasien dapat diobati dengan prednisolone [dosis reaksi sekitar 1 mg/kg/hari], kemudian reaksi reversal akan sembuh total dalam 2 bulan. Jika gejala tidak mereda atau hanya parsial atau lesi tetap ada atau bertambah akibat pemberian steroid, perlu dicurigai terjadi relaps.

Kriteria Histopatologis
Terdiri dari munculnya granuloma dalam kasus PB, dan infiltrasi makrofag bertambah jika digunakan pewarnaan basil-solid dan dalam kasus MB, terjadi pertambahan BI.

Kriteria Serologis
Dalam kasus LL, pengukuran antibodi IgM PGL-1 merupakan salah satu indikator terjadinya relaps.
Tiga kriteria pertama dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis relaps; kriteria 4 dan 5 adalah tambahan dan dapat digunakan jika fasilitasnya tersedia.

PERAWATAN
Kasus relaps penyakit lepra harus diidentifikasi dan segera dilakukan kemoterapi untuk mencegah kecacatan dan penularan infeksi lebih lanjut. Faktor-faktor yang harus dipertimbangkan dalam pemilihan pengobatan yang tepat antara lain:
1. Tipe penyakit lepra [PB atau MB]
2. Pengobatan sebelumnya
3. Resistensi obat

Tipe Penyakit Lepra

Umumnya, kasus PB mengalami relaps sebagai PB, dan kasus MB relaps sebagai MB. Namun, kasus PB terkadang mengalami relaps sebagai MB dan kasus semacam ini tidak boleh dirawat dengan MB-MDT.

Pengobatan Sebelumnya
a. Pasien yang sebelumnya dirawat menggunakan monoterapi Dapsone – MDT WHO standar cukup.
b. Pasien yang sebelumnya dirawat menggunakan monoterapi clofazimine – MDT WHO standar cukup [resistensi clofazimine sangat langka].

Resistensi Obat
Pasien yang diketahui atau dicurigai mengalami resistensi obat yang menimbulkan masalah hanyalah kasus resistensi rifampicin, yang sangat jarang terjadi. Pasien MB yang diobati dengan rifampicin sebagai bagian dari MDT tidak memiliki resiko resistensi rifampicin yang signifikan, kecuali mereka terinfeksi oleh basil yang resisten terhadap Dapsone dan tidak mengkonsumsi clofazimine seperti yang dianjurkan atau tidak diberikan obat efektif lainnya. Resistensi Dapsone terjadi jika pasien pernah menjalani monoterapi Dapsone dan kasus semacam ini dilaporkan memberikan respon yang baik terhadap MDT WHO standar. Resistensi clofazimine sangat langka, jika ada, kasus ini memberikan respon yang baik terhadap dua jenis obat lain yang digunakan dalam MDT WHO standar.
Meskipun idealnya, resistensi obat ditentukan menggunakan mouse foot-pad atau teknik lainnya, hanya sedikit rumah sakit lepra yang memiliki fasilitas semacam itu. Jadi, keputusan resistensi obat hanya didasarkan pada informasi klinis saja. Pengobatan yang dianjurkan diuraikan dalam Tabel 4.

Kegagalan Merespon Perawatan
Kelompok ini terdiri dari pasien-pasien yang tidak memberikan respon seperti yang diharapkan, yaitu lesi kulit dan basil hilang setelah terapi dihentikan, atau para pasien yang mengalami perkembangan penyakit selama terapi. Kelompok pertama terdiri dari kasus-kasus relaps potensial, namun penyebab buruknya respon pasien harus diketahui, reaksi dan/atau pembersihan lesi dan basil yang lambat.
WHO mendefinisikan “kepuasan hasil MDT” pada pasien yang menjalani perawatan sebagai—satu, dimana setelah terapi dimulai, dalam kasus MB, basil mulai menghilang dan dalam kasus MB dan PB, lesi membaik dengan cepat, meskipun tidak selalu terjadi. Pembersihan lesi lebih berhubungan dengan respon imun pasien, bukan perawatan anti-lepra; saat perawatan dihentikan, semua lesi dan basil pada akhirnya akan menghilang meskipun tidak seluruhnya.
Pengobatan MDT yang digunakan di Amerika Serikat [Tabel 5] lebih baik dibandingkan dengan yang dianjurkan WHO untuk negara-negara berkembang. Meskipun beberapa penelitian menunjukkan bahwa setelah MB MDT, kecepatan relaps sangat rendah, faktanya relaps tetap terjadi. Jika WHO menerapkan MDT seragam, mungkin relaps dalam penyakit lepra akan lebih sering ditemukan. Sayangnya, kurang praktis untuk memperkenalkan pengobatan yang digunakan di Amerika Serikat, dalam skala besar, ke negara yang kurang sumber daya seperti india. Namun, klinisi dapat menggunakan penilaiannya dan merumuskan pengobatan bagi setiap pasien, jika memungkinkan. Dalam kasus-kasus tertentu, durasi pengobatan yang lebih lama seperti yang digunakan di AS dapat diterapkan.

Read more...

17 March 2010

Penanaman Implan Immediate Dalam Soket Pencabutan Baru: Laporan Klinis

Abstrak
Tujuan: Untuk menyelidiki hasil penanaman implan dalam soket pencabutan yang masih baru serta pemanfaatan bahan cangkok tulang khusus. Bahan dan Metode: Penelitian ini dilakukan pada para pasien yang dirujuk ke klinik bedah maksilofasial untuk menjalani pencabutan dan terapi implan. Beberapa pasien yang dinyatakan layak menjalani penanaman implan immediate serta pencabutan diikutsertakan dalam pembedahan implan. Pasien yang mengalami proses inflamasi, eksaserbasi tidak diikutsertakan. Ruang antara implan dan soket gigi diisi dengan bahan cangkok tulang autolog. Prosedur pembedahan dua-tahap direncanakan untuk mengoptimalkan penyembuhan tulang marginal. Hasil: Empat puluh implan ditanamkan dalam soket pencabutan yang masih baru pada 26 pasien [9 perempuan dan 17 laki-laki] yang berusia rata-rata 60 tahun [kisaran 19 sampai 76 tahun]. Daerah yang paling sering dipasangkan implan adalah regio anterior rahang atas. Bahan cangkok tulang autolog digunakan dalam semua kasus untuk mengisi ruang antara implan dan batas soket. Semua implan telah mengalami osseointegrasi saat abutmen dipasangkan. Tidak terjadi komplikasi. Pemeriksaan radiografik hanya menunjukkan reduksi tulang marginal sebanyak 0,13 mm pada aspek mesial dan 0,19 mm pada aspek distal. Kesimpulan: Implan berhasil ditanamkan dalam soket pencabutan baru menggunakan bahan cangkok tulang autolog untuk mengisi celah antara implan dengan tulang labial melalui teknik pembedahan submerged. Teknik ini menunjukkan hasil klinis dan radiografik yang baik selama periode 2 tahun pada 26 pasien yang dipasangkan 40 implan.
Kata Kunci: Bahan cangkok tulang [bone graft], soket pencabutan, penanaman immediate, pembedahan implan.
Sumber: Int J Oral Maxillofac Implant 2009; 24: 283-8.


Penanaman implan dalam soket pencabutan yang masih baru sering dilakukan, dan protokol pembedahan telah dimodifikasi, kepercayaan bahwa dibutuhkan regenerasi total tulang dalam soket sebelum penanaman implan, berubah menjadi anggapan bahwa metode terbaik untuk memelihara tulang adalah penanaman implan immediate. Beberapa literatur melaporkan keberhasilan penanaman implan immediate. Dalam penelitian retrospektif yang dilakukan oleh Wagenberg dan Froum menemukan banyak pasien yang memiliki tingkat keberhasilan 96%; namun, tidak dilakukan penilaian status tulang marginal.
Manfaat pengisian ruang diantara implan dan batas soket menggunakan bahan cangkok tulang [bone graft] masih diperdebatkan [Gambar 1a-c]. Meskipun patologi yang menghubungkan antara pencabutan dengan periodontitis atau osteitis kronis dapat membatasi indikasi penanaman implan immediate, ada perbedaan antara proses inflamasi kronis jangka panjang dengan inflamasi akut yang disertai eksaserbasi, seperti pembengkakan, pembentukan fistula, dan supurasi. Konsep yang mendukung penanaman implan immediate untuk mempertahankan tinggi tulang alveolar dan menghindari reduksi tulang marginal yang biasanya terjadi setelah soket pencabutan sembuh. Implan dijangkarkan pada bagian kecil soket, terutama pada tulang alveolar subapikal, sehingga menghasilkan stabilitas implan awal yang memuaskan. Normalnya, perlakuan yang diberikan pada daerah implan antara lain irigasi dan pembersihan luka, untuk menghilangkan elemen-elemen inflamasi yang potensial. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengamati pemulihan tulang setelah penanaman implan immediate ke dalam soket pencabutan yang masih baru, melalui pemeriksaan klinis dan radiografi terstandardisasi, selama periode 2 tahun lebih sesuai dengan protokol rutin.

BAHAN DAN METODE
Penelitian ini diikuti oleh para pasien yang dirujuk ke Klinik Oral dan Maksilofasial, Institute of Odontology, Gothenburg, Swedia, untuk menjalani pencabutan dan rehabilitasi implan. Inflamasi yang disertai dengan eksaserbasi merupakan indikasi eksklusi dari penelitian ini, namun kondisi inflamasi kronis tidak dikontraindikasikan.
Pencabutan dilakukan seatraumatis mungkin tanpa merusak tulang marginal. Implan [Astra Tech TiOblast ST Implants, Astra Tech, MöIndal, Swedia] ditanamkan pada aspek palatal [rahang atas] atau lingual [rahang bawah] soket. Protokol yang digunakan adalah pembedahan dua-tahap yang disertai dengan penjahitan flap di atas implan dan soket setelah celah antara implan dan batas soket diisi menggunakan bahan cangkok tulang. Bahan cangkok tulang diperoleh secara lokal atau menggunakan Bone Trap [Astra Tech AB, MöIndal, Swedia], yaitu suatu kolektor tulang akrilik yang dihubungkan dengan alat suction/penghisap khusus. Pemeriksaan radiografik terstandardisasi dilakukan menggunakan peralatan Eggen [Eggen X-ray, Lillehammer, Norwegia] pasca operasi serta 6 bulan, 1 tahun, 2 tahun berikutnya. Periode penyembuhan diperkirakan terjadi selama 6 bulan. Pasien dibuatkan gigitiruan sementara untuk dipakai selama periode penyembuhan. Untuk mengamati penyembuhan tulang marginal pada aspek bukal dan lingual soket, dilakukan pemeriksaan visual 6 bulan setelah pembedahan pemasangan abutmen.
Penanaman implan yang dilakukan sesuai dengan protokol standar menurut Astra Tech manual [Gambar 2 & 3]. Pada awalnya, semua implan dinyatakan stabil, dengan penjangkaran pada prosesus alveolar pada bagian koronal soket pencabutan. Semua implan ditanamkan pada aspek palatal soket. Ukuran implan yang digunakan disesuaikan dengan lokasi soket. Implan Astra TiOblast ST [4,5 mm] paling sering digunakan karena implan berbentuk konis/kerucut, sesuai untuk tulang marginal [Gambar 3a & 3b]. untuk soket-soket yang berukuran kecil, seperti pada regio gigi insisivus rahang bawah, digunakan implan standar berukuran 2,4 mm. Bahan cangkok tulang, yaitu Bone Trap, diaplikasikan untuk mengisi ruang [Gambar 2a & 2d]. Pada daerah-daerah dimana tulang marginal mengalami kerusakan parsial, digunakan bahan cangkok tulang untuk memperbaiki daerah defektif [Gambar 3c]. Semua pasien menjalani prosedur pembedahan dua-tahap disertai penjahitan primer pada daerah pembedahan dan abutmen dipasangkan 6 bulan kemudian. Pemasangan abutmen dilakukan melalui elevasi/pembukaan flap minimal, sehingga dokter bedah dapat memeriksa tinggi tulang marginal di sekitar implan [Gambar 2e & 2f]. Dalam semua kasus, digunakan healing abutment sehingga ahli prostodonsi dapat memilih abutmen yang sesuai sebagai restorasi definitif [Gambar 2g & 3d].
Dilakukan radiograf intraoral menggunakan teknik terstandardisasi segera setelah operasi dan pada 6 bulan, 1 tahun, dan 2 tahun berikutnya. Radiograf dianalisis pada layar pembesar dan tinggi tulang marginal interproksimal setiap implan diukur menggunakan kaliper sebanyak 2 kali. Tinggi tulang marginal diukur pada permukaan distal dan mesial setiap implan, yaitu jarak antara titik referensi implan dengan crest tulang. Titik referensi diukur pada radiograf yang diambil segera setelah operasi, titik ini menjadi dasar perubahan tinggi tulang. Pengukuran dilakukan pada dua interval waktu oleh dua pengamat independen [Gambar 4 & 5].
Evaluasi klinis dilakukan bersamaan dengan evaluasi radiografik untuk mengetahui tanda-tanda inflamasi gingiva dan stabilitas implan. Kedalaman poket di sekitar restorasi implan juga diperiksa.
Indikasi pencabutan gigi-geligi yang digunakan dalam penelitian ini adalah fraktur akar atau resorpsi akar internal dan eksternal [Tabel 1]. Pencabutan melalui pembedahan dilakukan seatraumatis mungkin untuk memelihara tulang marginal. Saat dilakukan prosedur pembedahan pemasangan abutmen, jaringan gingiva dipindahkan dari sisi palatal untuk mempermudah restorasi estetis implan.

HASIL
Penelitian ini diikuti oleh 26 pasien [9 perempuan dan 17 laki-laki]. Usia rata-rata para pasien adalah 60 tahun [kisaran, 19 sampai 76 tahun]. Penanaman implan immediate paling sering dilakukan di zona estetik, yaitu regio anterior rahang atas diantara kedua gigi kaninus. Terkadang ditanam di regio posterior rahang atas dan anterior rahang bawah. Dipasangkan 35 Astra Tech TiOblast ST implan berdiameter 4,5 mm dan 5 mm. Pada lima daerah, digunakan implan Astra TiOblast standar berukuran 4 mm dan 3,5 mm tanpa microthread.
Selama periode penelitian, tidak ada implan yang dinyatakan gagal. Semua implan mengalami osseointegrasi tepat waktu saat pemasangan abutmen. Tinggi tulang marginal, yang diperiksa selama pembukaan flap terbatas saat abutmen dipasangkan, terletak di atas atau dekat dengan screw penutup. Pada zone estetis, digunakan healing abutment. Tidak ditemukan komplikasi klinis. Waktu antara pemasangan abutmen dan restorasi definitif berkisar antara 5 hari sampai 2 minggu. Restorasi mahkota-tunggal pada zona estetis dibuat dari mahkota keramik-emas atau restorasi resin akrilik-emas.
Pada semua kasus, pembedahan untuk membuka-kembali regio pencangkokan menunjukkan terjadinya penyembuhan tulang pada batas screw penutup. Meskipun pada daerah-daerah yang mengalami kehilangan tulang marginal lokal akibat trauma, seperti fraktur akar atau resorpsi, proses penyembuhan terjadi dengan baik di sepanjang permukaan implan dimana bahan cangkok tulang ditanamkan. Garis insisi penghubung abutmen selalu dibuat mendekati aspek palatal crest agar diperoleh jaringan lunak yang cukup untuk koreksi estetik.
Pada semua pasien, hasil klinisnya dinyatakan memuaskan. Selama periode follow up, pemeriksaan radiografik menunjukkan sedikit reduksi tulang marginal. Karena sebagian besar pasien [n = 35] dipasangkan implan ST [4,5 atau 5 mm], bukan implan TiOblast standar [n = 5], dari sudut pandang ilmiah, perbandingan statistik dinyatakan tidak valid. Namun, hasilnya dapat dilihat sebagai indikasi penggunaan implan yang memiliki microthread dimana thread diperluas di sepanjang leher implan: reduksi tulang marginal rata-rata pada implan ST setelah 6 bulan adalah 0,10 dan 0,15 mm, masing-masing, pada aspek mesial dan distal, sedangkan untuk implan standar yang berukuran kecil, reduksi terjadi sebanyak 0,6 mm. Setelah 1 tahun, reduksi yang terjadi pada implan ST adalah 0,12 mm dan 0,19 mm untuk implan standar, nilai rata-ratanya adalah 1,2 dan 0,7 mm. Gambaran tersebut tetap stabil selama 2 tahun follow up [yaitu, 0,13 mm/0,19 mm versus 1,2 mm/0,7 mm] [Tabel 2].
Pemeriksaan radiografik dan klinis menunjukkan situasi stabil setelah penanaman implan immediate menggunakan bahan cangkok tulang khusus sebagai bahan pengisi di antara soket dan implan. Perbaikan defek tulang marginal soket juga ditemukan. Dalam penelitian follow up 2 tahun ini, tidak ditemukan tanda-tanda retraksi gingiva pada semua daerah penanaman implan.

PEMBAHASAN
Remodelling crest alveolar setelah pencabutan memiliki suatu pola, yang disertai dengan resorpsi dan reshaping [pembentukan-ulang] crest alveolar. Resorpsi marginal ini tergantung pada waktu: semakin lama waktu penyembuhan, resorpsinya semakin banyak. Untuk mempertahankan tinggi tulang dan agar waktu rehabilitasi lebih singkat, kini, penanaman implan immediate pada daerah pencabutan sering dilakukan. Literatur menguraikan hasil positif dari prosedur ini dengan komplikasi yang sangat kurang. Beberapa penelitian eksperimental menunjukkan bahwa penyembuhan tulang dalam celah diantara implan dan soket tetap terjadi meskipun celahnya cukup besar, mencapai beberapa milimeter. Namun, jika tinggi tulang marginal berkurang akibat trauma, fraktur akar, atau distraksi tulang lokal lainnya, dianjurkan untuk menggunakan cangkok tulang atau biomaterial tulang, seperti Bio-Oss untuk membentuk kontur alveolar saat penanaman implan. Dalam penelitian ini, bahan cangkok tulang, sebagian besar berasal dari Bone Trap, digunakan untuk mengisi celah antara implan dan soket meskipun terdapat celah seluas 1 sampai 2 mm.
Resorpsi tulang yang substansial ditemukan saat penyembuhan soket. Penyembuhan tulang dan remodelling mempengaruhi permukaan luar dan dalam soket. Daerah edentulous akan menyusut dan tulangnya akan teresorbsi.
Penanaman implan dalam soket yang masih baru memiliki beberapa keuntungan. Pembedahan lebih sederhana dan insersi dapat diarahkan. Diduga, penanaman implan immediate dapat mencegah resorpsi tulang dan remodelling soket yang tidak diinginkan. Penanaman implan pada aspek palatal soket berperan penting untuk mencegah resesi gingiva.
Masalah lain yang dibahas dalam literatur adalah apakah celah antara implan dan soket perlu diisi. Jika terdapat celah antara implan dan soket lebih dari 1 mm, pembentukan jembatan tulang tidak akan sempurna atau tertunda, dan osseointegrasi akan terganggu. Beberapa penelitian eksperimental pada binatang percobaan membuktikan hipotesis tersebut. Jika dilakukan penanaman jenis bahan cangkok tulang yang berbeda-beda, dengan atau tanpa membran, disimpulkan bahwa biomaterial, seperti Bio-Oss dan hidroksiapatit, akan terjadi penyembuhan yang lebih baik. Penggunaan membran juga efektif jika terjadi dehisensi. Beberapa penelitian pada pasien yang menjalani prosedur pengisian bahan cangkok tulang pada soket penanaman implan menunjukkan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan pasien yang tidak menjalani prosedur cangkok tulang. Dalam penelitian ini, dilakukan penanaman implan dan digunakan bahan cangkok tulang autolog. Saat pemasangan abutmen, permukaan tulang marginal dibuka dan diperiksa. Pada semua pasien, tinggi tulang marginal terletak di atas screw penutup dan terkadang, hampir menutupinya.
Dalam penelitian eksperimental dan klinis terbaru, penanaman implan immediate ke dalam soket pencabutan yang masih baru pada defek eksperimental manusia dan anjing, disimpulkan bahwa meskipun proses penyembuhan defek eksperimental memuaskan, penyembuhan terganggu jika implan ditanamkan pada soket pencabutan yang masih baru. Para peneliti menemukan banyak tulang marginal yang hilang, terutama pada aspek bukal, jika celah antara implan dan soket tidak diisi menggunakan bahan cangkok tulang.
Dalam penelitian ini, implan dan bahan cangkok tulang di sekitarnya menyatu selama proses penyembuhan. Penanaman immediate atau dini dapat dilakukan pada pasien-pasien yang memiliki stabilitas awal adekuat, namun untuk mengoptimalkan pemulihan tulang marginal, dilakukan pembedahan penanaman implan. Meskipun sedikit, ditemukan perbedaan pemeliharan tinggi tulang marginal pada kelompok yang memiliki leher implan non-thread. Implan kontemporer yang memiliki permukaan aktif dan microthread dapat mempertahankan tinggi tulang marginal yang memuaskan.

KESIMPULAN
Penelitian ini menunjukkan bahwa selama 2 tahun pengamatan, penanaman implan immediate ke dalam soket pencabutan yang masih baru dengan memanfaatkan bahan cangkok tulang untuk menjembatani celah dan teknik pembedahan submerged memberikan hasil klinis dan radiografis yang memuaskan.

Read more...

18 February 2010

Evaluasi Transport-Cairan Antara Teknik Obturasi Kondensasi Lateral Dan Vertikal, Menggunakan ProTaper Dan Warm Gutta-Percha

Abstrak
Tujuan penelitian ini adalah untuk membandingkan microleakage empat macam teknik obturasi [yaitu, kondensasi lateral, kondensasi lateral menggunakan ProTaper gutta-percha, kondensasi vertikal menggunakan single ProTaper dan warm gutta-percha] selama 3 bulan. Model tranport-cairan digunakan untuk mengukur microleakage. Enam puluh gigi manusia yang telah dicabut, dan dibagi menjadi 4 kelompok, dipreparasi menggunakan ProTaper rotary instrument sebelum saluran akar diisi dengan salah satu dari empat teknik yang diuji. Semua kelompok diobturasi menggunakan Sultan sebagai bahan sealer saluran akar. Dilakukan pengukuran microleakage selama 7 hari, 1 bulan, dan 3 bulan setelah prosedur. Tidak diperoleh selisih yang signifikan secara statistik antara keempat kelompok pada semua titik pengujian [p > 0.05]. Selama periode 3 bulan, kebocoran meningkat pada semua teknik obturasi.
Kata kunci: gutta-percher, ProTaper, sealing ability.
Sumber: Aust Endod J 2009; 35: 169-173.



PENDAHULUAN
Pengisian/obturasi ruang saluran akar setelah prosedur pembersihan dan pembentukan berperan penting bagi keberhasilan perawatan saluran akar. Berbagai metode obturasi ruang akar yang diperkenalkan dapat dibagi menjadi dua kelompok dasar, yaitu: kondensasi lateral dingin [cold] dan kondensasi vertikal hangat [warm]. Kondensasi lateral bahan pengisian gutta percha adalah teknik pengisian yang paling sering diajarkan dan dipraktekkan, serta merupakan prosedur standar dibandingkan dengan semua teknik lain yang dievaluasi. Meskipun teknik tersebut memiliki berbagai variasi, seperti desain master cone, desain spreader, aplikasi dan pemilihan accessory cone, belum ada konsensus yang jelas tentang teknik mana yang ideal. Kondensasi lateral merupakan suatu teknik yang aman dan hemat biaya, namun membutuhkan banyak waktu, homogenitas dan adaptasinya pada dinding saluran akar kurang. Kritikan yang sering dilontarkan adalah teknik ini dapat memicu terjadinya fraktur akar vertikal.
Kondensasi vertikal hangat pertama kali diperkenalkan oleh Schilder pada tahun 1967. Diperkenalkan teknik kondensasi gelombang kontinyu menggunakan sistem sumber panas B [Analytic Sybron Dental Specialties, Orange, CA, AS] untuk menyederhanakan kodensasi vertikal. Baru-baru ini, dipasarkan sistem baru [Elements Obturation Unit, SybronEndo, Orange, CA, AS] yang mengkombinasikan teknologi sistem B dan motor-driven extruder handpiece gutta percha termoplastik. Kondensasi vertikal hangat meningkatkan homogenitas dan adaptasi gutta percha pada dinding dentin. Namun, prosedur ini dapat mengakibatkan ekstrusi bahan pengisi gutta percha ke dalam jaringan periapikal, dan dikhawatirkan terjadi kerusakan termal pada ligamentum periodontal selama kondensasi termal. Diperkenalkannya rotary instrument nikel-titanium [Ni-Ti] mengubah perawatan saluran akar, yaitu mengurangi waktu preparasi, meminimalisir kesalahan prosedural akibat instrumentasi saluran akar, dan menghasilkan preparasi yang sesuai keinginan, meskipun saluran akarnya berlekuk. Gutta percha cone yang kini diproduksi disesuaikan dengan saluran akar taper yang dihasilkan dari preparasi menggunakan sistem rotary Ni-Ti.
Berbagai macam pengujian kebocoran telah dilakukan untuk membandingkan kemampuan pengisian [sealing ability]. Beberapa jenis metodenya, antara lain uji penetrasi pewarna, kebocoran elektrokimia, pengujian isotop radioaktif, uji penetrasi bakteri, dan model transport-cairan. Model transportasi cairan merupakan suatu metode pengukuran kebocoran non-destruktif yang memberikan informasi tentang kualitas pengisian bahan yang diuji dalam periode waktu yang panjang. Tujuan penelitian ini adalah untuk membandingkan kecoboran dalam empat teknik obturasi [yaitu, kondensasi lateral, kondensasi lateral menggunakan ProTaper Gutta percha Point, kondensasi vertikal menggunakan single ProTaper dan warm Gutta percha Point].

BAHAN DAN METODE
Dipilih 60 gigi manusia berakar tunggal dan memiliki foramen paten/terbuka, sebelum digunakan gigi-geligi tersebut direndam dalam air suling. Bagian koronal gigi-geligi dipotong menggunakan bur berkecepatan-tinggi dan semprotan air hingga semua akarnya memiliki panjang 13 sampai 14 mm. Gigi-geligi tersebut dibagi secara acak menjadi empat kelompok yang terdiri dari 15 gigi.
Panjang saluran akar ditentukan secara visual dengan memasukkan file ukuran 15 [Dentsply, Maillefer, Ballaigues, Swiss] ke dalam setiap saluran akar sampai ujungnya terlihat pada foramen apikal. Panjang kerja [working length/WL] diukur 0,5 mm dari foramen apikal. Patensi apikal dipertahankan selama proses instrumentasi menggunakan file ukuran 15 [Dentsply, Maillefer]. Saluran akar diinstrumentasi menggunakan teknik crown-down dan rotary ProTaper files [Dentsply, Maillefer]. Susunan instrumen ProTaper yang digunakan dalam penelitian ini diuraikan dalam Tabel 1.
Tabel 1. Susunan instrumen
1 S1 -6 mm WL
2 Sx -4 mm WL
3 S1 WL
4 S2 WL
5 F1 WL
6 F2 WL
7 F3 WL
WL, working length [panjang kerja]

Semua instrumen dipasangkan pada motor yang memiliki kecepatan putaran rendah, dengan putaran terkontrol dan kecepatan konstan pada 250 rpm [X-smart, Dentsply, Maillefer]. Putarannya disesuaikan dengan indikasi pabrik. Semua instrumen dimasukkan ke dalam saluran akar menggunakan gerakan masuk-dan-keluar secara kontinyu, namun tidak ditekan sampai ke apikal. Seluruh panjang file dikeluarkan dalam satu gerakan maksimum, tidak lebih dari 1 detik. Instrumen dibuang setelah preparasi setiap kelompok selesai, yaitu 15 saluran akar.
Irigasi dilakukan menggunakan 1 ml NaOCl [2,5%] dan spoit/syringe plastik berukuran 27 gauge [Ultradent, South Jordan, UT, AS] setelah setiap pergantian ukuran instrumen. Spoit tersebut dimasukkan sedalam mungkin dalam saluran akar. Pada setiap gigi, digunakan 0,1 ml pasta EDTA 17% sebagai chelating agent. Setelah instrumentasi selesai, file berukuran 20 [Dentsply, Maillefer] dimasukkan sedalam 1 mm menembus apeks. Kemudian, saluran akar diirigasi menggunakan 5 mL NaOCl 2,5%, yang dilanjutkan dengan 5 mL air suling. Saluran akar dikeringkan menggunakan paper point.

Teknik obturasi
Sultan [Sultan Chemist, Inc., Englewood, NJ, AS], dilakukan pengadukan sealer zinc oxide-eugenol sesuai dengan instruksi pabrik dan digunakan pada keempat prosedur obturasi, yaitu: kondensasi lateral [LC], kondensasi lateral ProTaper Gutta percha point [P-LC], kondensasi vertikal single ProTaper [P] dan warm [P-OE] Gutta percha point.

Grup LC
Saluran akar diobturasi menggunakan kondensasi lateral gutta percha cones dan Sultan sealer. Dinding saluran akar dilapisi dengan paper point [ukuran 30] yang telah dicelupkan dalam semen. Master cone dan accessory cone apikal berukuran 2 mm juga diberi selapis sealer. Master cone, yaitu tapered gutta percha cone 0,02 ukuran 30 [Dentsply, Maillefer] dipotong sedikit untuk memperoleh efek tug-back [tarikan ke belakang] pada WL, kemudian dimasukkan perlahan ke dalam saluran akar sampai seluruh WL. Kondensasi lateral saluran akar dilakukan menggunakan accessory gutta percha cone ukuran sedang [Hygienic, Akron, OH, AS] dan finger spreader endodontik ukuran B [Dentsply, Maillefer]. Obturasi dinyatakan selesai jika spreader tidak dapat berpenetrasi lebih dari 2 mm dalam massa gutta percha. Kelebihan gutta percha dibersihkan dari saluran akar menggunakan plugger sistem B fine-medium [Elements Obturation Unit, SybronEndo, Orange, CA, AS] yang diinsersikan sejauh 1 mm ke dalam saluran akar. Kemudian, massa gutta percha dikondensasi vertikal menggunakan plugger Machtou No. 4 [Dentsply, Maillefer] selama 30 detik.

Grup P-LC
Cara pengisian saluran akar sama dengan grup LC, kecuali untuk ukuran F3 ProTaper Gutta percha point [Dentsply, Maillefer] yang digunakan sebagai master cone.


Grup P
Saluran akar diobturasi menggunakan F3 ProTaper Gutta percha point satu-ukuran. Dinding saluran akar dilapisi menggunakan paper point [ukuran 30] yang telah dicelupkan dalam semen. F3 point dipotong sedikit untuk memberikan efek tug-back saat mencapai WL. F3 point diberi selapis sealer dan dimasukkan ke dalam saluran akar secara perlahan sampai seluruh WL terjangkau. Kelebihan gutta percha dibersihkan dari jalan masuk saluran akar sama seperti dalam grup LC.

Grup P-OE
Saluran akar diobturasi menggunakan kondensasi gelombang kontinyu seperti yang direkomendasikan oleh Buchanan. Plugger sistem B fine-medium [Elements Obturation Unit] diberi tanda pada titik perbatasannya menggunakan rubber stop, yaitu 4 mm dari WL. Dinding saluran akar dilapisi paper point [ukuran 30] yang telah dicelupkan dalam semen, dan dipilih satu ukuran F3 ProTaper Gutta percha point sebagai master cone. F3 point dipotong sedikit agar diperoleh efek tug-back saat mencapai WL, dan dilapisi sealer kemudian dimasukkan ke dalam saluran akar secara perlahan sampai seluruh WL terjangkau, sama seperti dalam grup P. Sumber panas diatur pada 200°C dan mode sentuh diaktifkan. Gutta percha ditusukkan pada plugger yang telah dipanaskan, kurang lebih 3-4 mm sebelum mencapai titik referensi rubber stop. Saat prosedur downpack, plugger dideaktivasi dan tekanan apikal konstan dipertahankan selama 10 detik. Dilakukan backfill saluran akar menggunakan injection-molded gutta percha yang dikeluarkan dari Extruder of Obturation Elements. Kemudian, diaplikasikan tekanan konstan menggunakan plugger hand Machtou No. 4 yang diinsersikan 4 mm ke dalam saluran akar selama 30 detik.

Evaluasi kebocoran
Pengukuran microleakage [kebocoran mikro] dilakukan selama 7 hari, 1 bulan, dan 3 bulan setelah obturasi. Diantara waktu pengukuran, spesimen direndam dalam air suling pada suhu 37°C. Metode yang digunakan untuk mengukur transportasi cairan telah dideskripsikan dalam literatur. Potongan akar dihubungkan dengan tube/pipa plastik, yang kemudian diisi dengan air suling dari kedua sisi spesimen. Pipa kapiler kaca standar dihubungkan dengan pipa plastik pada saluran keluar [outlet] spesimen. Air disedot menggunakan spoit yang dipasangkan 3 mm dari ujung pipa kapiler yang terbuka. Rangkaian tersebut direndam dalam air [20°C] dan dengan menggunakan spoit, gelembung udara disesuaikan dengan posisinya dalam pipa kapiler. Tekanan 0,2 atm diaplikasikan pada saluran masuk [inlet] untuk menekan air keluar dari ruang hampa dalam tumpatan, sehingga menggeser gelembung udara dalam pipa kapiler. Volume transport cairan diukur setelah 24 jam dengan mengamati pergerakan gelembung udara; pergeseran gelembung udara dicatat sebagai transport cairan [L], yang dinyatakan dalam satuan L/24 jam. Enam spesimen tambahan digunakan sebagai kontrol. Tiga apeks dari gigi-geligi tersebut dilapisi menggunakan cat kuku [kontrol negatif]. Tiga spesimen lainnya diobturasi menggunakan gutta percha dengan teknik kondensasi lateral, tanpa sealer [kontrol positif]. Hasilnya dianalisis menggunakan uji non-parametrik [uji Kruskal-Wallis] dengan tingkat signifikansi p < 0.05.

HASIL
Tidak terjadi pergerakan gelembung udara dalam kapiler kontrol negatif. Dalam kontrol positif, gelembung udara bergerak cepat di sepanjang pipa segera setelah tekanan diaplikasikan. Microleakage dalam potongan akar diukur pada 7 hari, 1 bulan, dan 3 bulan, dan dinyatakan dalam satuan L/24 jam [Tabel 2]. Tidak diperoleh selisih pengukuran microleakage yang signifikan secara statistik antara kelompok-kelompok yang diamati pada semua periode pengukuran [p > 0.05]. Setelah 3 bulan, kebocoran meningkat pada semua kelompok. Selisih yang signifikan secara statistik tidak ditemukan pada grup P-LC saja.
Tabel 2. Evaluasi leakage [L = L/24 jam]
7 hari 1 bulan 3 bulan
L = 0 0 < L < 10 L > 10 L = 0 0 < L < 10 L > 10 L = 0 0 < L < 10 L > 10
LC 13 2 0 10 2 3 4 2 9
P-LC 10 1 4 10 0 5 5 1 9
P 13 1 1 10 2 3 7 1 7
P-OE 11 2 2 10 1 4 4 1 10
LC, condensation lateral; P-LC, lateral condensation ProTaper gutta percha point; P, single ProTaper gutta percha point, P-OE, warm vertical condensation.

PEMBAHASAN
Terdapat beberapa metode yang digunakan untuk mengukur sealing ability teknik-teknik obturasi. Model transportasi cairan yang diperkenalkan oleh Pashley dkk, memiliki banyak kelebihan dibandingkan dengan metode-metode evaluasi kebocoran yang sering digunakan. Telah dikemukakan bahwa model transportasi cairan lebih sensitif dalam mendeteksi ruang hampa di sepanjang saluran akar, dibandingkan dengan metode penetrasi pewarna dan bakteri. Metode ini sederhana, mudah direproduksi, dan non-destruktif, sehingga mempermudah pengukuran microleakage pada satu spesimen dari waktu ke waktu. Model transportasi cairan memanfaatkan tekanan positif, sehingga dapat mengatasi masalah-masalah yang disebabkan oleh udara atau cairan yang terperangkap dan mengakibatkan bias hasil pengukuran metode penetrasi pewarna. Namun, harus ditegaskan bahwa penetrasi air bertekanan berbeda dengan penetrasi bakteri in vivo dan pengukuran kebocoran semacam itu tidak mempertimbangkan respon host. Meskipun implikasi klinis penelitian sealabilitas secara in vitro belum diketahui, manfaatnya difokuskan pada evaluasi perbandingan awal sealing ability bahan-bahan endodontik.
Keistimewaan ProTaper point adalah presentase keruncingan/taper terhadap panjangnya berubah. Obturasi menggunakan ProTaper gutta percha point sama efektifnya dengan obturasi kondensasi lateral gutta percha cone. Penemuan tersebut sesuai dengan hasil penelitian Zmener dkk, bahwa tidak ada perbedaan kebocoran pewarna [methylene blue 2%] yang signifikan antara kondensasi lateral dan obturasi menggunakan gutta percha cone tunggal.
Gordon dkk, menggunakan simulasi saluran akar dalam balok resin dengan kelengkungan 30° atau 58° dan saluran akar mesio-bukal gigi molar satu yang bengkok untuk membandingkan luas daerah yang terisi oleh gutta percha, sealer, atau ruang hampa dalam pengisian menggunakan satu gutta percha point 0,06 dan sealer, atau kondensasi lateral menggunakan banyak gutta percha point 0,02 dan sealer. Saluran akar dipreparasi menggunakan profil 0,06. Dalam hal banyaknya gutta percha yang mengisi saluran akar taper 0,06, teknik cone-tunggal [single-cone] taper 0,06 memberikan hasil yang sama dengan kondensasi lateral. Selain itu, teknik cone-tunggal taper 0,06 lebih cepat dibandingkan dengan kondensasi lateral.
Pommel dan Camps memanfaatkan sistem filtrasi cairan untuk membandingkan microleakage apikal akar-akar yang diisi menggunakan teknik cone-tunggal, sistem B, dan kondensasi lateral. Setelah 1 bulan periode penyimpanan, spesimen yang diisi menggunakan teknik cone-tunggal mengalami kebocoran yang lebih signifikan dibandingkan dengan spesimen yang diisi menggunakan sistem B atau kondensasi lateral. Penemuan tersebut berbeda dengan hasil penelitian ini, dan disebabkan oleh fakta bahwa dalam grup cone-tunggal, digunakan gutta percha point taper 0,02 untuk mengisi saluran akar yang dipreparasi dengan keruncingan 0,06. Dalam hal akeakuratan, disimpulkan bahwa teknik ‘single-cone’ hanya dapat dipertimbangkan dalam teknik-teknik obturasi yang memanfaatkan satu gutta percha point dan memiliki keruncingan yang sesuai dengan preparasi saluran.
Yücel dan Cifçi mengevaluasi penetrasi bakteri dalam saluran akar tunggal yang lurus dan dipreparasi menggunakan ProTaper rotary files dan diobturasi menggunakan teknik kondensasi lateral, sistem B, Thermafil, ProTaper gutta percha point, dan kompaksi lateral ProTaper gutta percha point. Mereka menemukan bahwa setelah 30 hari, rasio penetrasi terendah ditemukan dalam kelompok yang diobturasi menggunakan sistem B dan kompaksi lateral ProTaper gutta percha point, dan rasio penetrasi tertinggi ditemukan dalam kelompok-kelompok yang diobturasi menggunakan Thermafil dan ProTaper gutta percha point. Namun, sama dengan hasil penelitian ini, setelah 60 hari, tidak diperoleh perbedaan antara kelompok-kelompok tersebut.
Dalam penelitian ini, kondensasi lateral dilakukan menggunakan master cone yang terdiri dari satu gutta percha point yang keruncingannya sesuai dengan preparasi saluran akar. Prosedur tersebut dinyatakan sama efisiennya dengan kondensasi lateral menggunakan satu gutta percha point standar berukuran 0,02 sebagai master cone, hal ini mendukung penelitian terdahulu tentang leakage/kebocoran. Hembrough dkk, mengevaluasi kualitas obturasi dan efisiensi akar yang diisi menggunakan teknik kondensasi lateral dan master cone yang berbeda-beda. Mereka memanfaatkan 45 gigi berakar tunggal, yang diinstrumentasi menggunakan rotary instrument Profile 006 dan diobturasi dengan teknik kondensasi lateral menggunakan gutta percha point yang memiliki keruncingan standar-ISO [taper 0,02] dan 0,06 sebagai master cone. Kualitas obturasi dievaluasi dengan mengamati potongan horisontal untuk mengetahui kemampuan setiap teknik dalam mengisi saluran akar. Untuk mengevaluasi efisiensi obturasi dalam setiap kelompok, dilakukan pencatatan jumlah accessory cone yang digunakan. Tidak ditemukan perbedaan kualitas obturasi yang signifikan dalam semua kelompok. Efisiensi obturasi, secara signifikan, lebih besar dalam kelompok-kelompok yang diisi dengan master cone gutta percha point taper 0,06.
Element Obturation Unit mengkombinasikan teknologi sistem B dan motor-driven extruder handpiece gutta percha termoplastik. Kondensasi vertikal gutta percha hangat menggunakan sistem B sebagai sumber panas dan gutta percha termoplastik untuk backfilling telah dibandingkan beberapa kali dengan kondensasi lateral, dan memberikan hasil yang berbeda-beda. Yaitu, lebih unggul atau sama dengan kondensasi lateral. Dalam penelitian ini, obturasi menggunakan Elements Obturation Unit dinyatakan memiliki keefektivan yang sama dengan kondensasi lateral.
Penemuan lain dalam penelitian ini adalah bahwa kebocoran dari-waktu-ke-waktu bertambah dalam semua kelompok. Namun, diperoleh selisih yang signifikan dalam grup LC, P, dan P-OE.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa saluran akar tunggal dan lurus yang dipreprasi menggunakan ProTaper rotary instrument, diobturasi dengan single ProTaper gutta percha point sama efektifnya dengan kondensasi lateral, kompaksi lateral ProTaper gutta percha point, dan kombinasi sistem B dengan gutta percha termoplastik.

Read more...

Berhitung!

Pasang Aku Yaa

go green indonesia!
Solidaritas untuk anak Indonesia

  © Blogger templates Newspaper III by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP