05 December 2009

Human Papillomavirus, Genital Warts Dan Vaksin

Penyakit yang disebabkan oleh human papillomavirus [HPV], seperti kanker, neoplasia stadium-awal, kutil pada alat kelamin [genital warts], dan papilomatosis respiratori rekuren, sangat mempengaruhi kesehatan masyarakat. Peningkatan insiden infeksi HPV dan genital warts menegaskan diperlukannya strategi efektif untuk mengatasi penyakit ini. Imunisasi cukup menjanjikan dalam mengurangi beban penyakit akibat-HPV klinis secara keseluruhan. Kuadrivalen vaksin HPV 6/11/16/18 profilaktik sangat efektif untuk mengurangi resiko HPV -6, -11, -16 dan -18 penyebab kanker serviks, lesi servikal pra-kanker, dan lesi genital eksternal, termasuk genital warts.
Kata kunci: Condylomata acuminata, Human papillomavirus, vaksin Papillomavirus.
Sumber: Journal of microbiology, immunology, and infection 2009; 42: 101-106.


PENDAHULUAN
Human papillomavirus [HPV], suatu DNA rantai-ganda, non-envelope, umumnya menginfeksi epitelium basalis melalui mikroabrasi dan disrupsi jaringan. Hubungan infeksi HPV dengan kanker serviks, anal, vulvar, vaginal dan orofaring, papillomatosis respiratori rekuren [recurrent respiratory papillomatosis/RRP], dan genital warts [condilomata acuminata] telah dibuktikan. Penularan penyakit yang disebabkan oleh HPV melalui anogenital biasanya terjadi melalui aktivitas yang melibatkan kulit genital atau kontak mukosa rongga mulut, seperti kontak genital-ke-genital, manual-ke-genital, atau oral-ke-genital. Penularan beberapa tipe infeksi HPV melalui anogenital tidak terbatas pada hubungan seksual penetratik saja. HPV juga dapat ditularkan melalui jalur non-seksual, seperti dari ibu ke janin yang baru lahir [transmisi vertikal] dan formite.

Beban Penyakit

Prevalensi tahunan infeksi HPV diperkirakan 1% dalam populasi di Amerika Serikat yang memiliki aktivitas seksual dan insidennya meningkat di seluruh Eropa. Di Amerika Serikat, ditemukan lebih dari 500.000 kasus baru kutil anogenital setiap tahun, dan insiden genital wart semakin bertambah setiap tahun. Jumlah kasus baru genital wart bertambah dari 117,8/100.000 populasi pada tahun 1998 menjadi 205,0/100.000 populasi pada tahun 2001. Salah satu laporan pada tahun 2003 menunjukkan bahwa kurang lebih 1,4 juta orang di Amerika Serikat memiliki genital warts. Angka tertinggi genital wart ditemukan pada individu berusia 20 sampai 29 tahun. Sekitar 10% orang dewasa memiliki anogenital wart pada satu waktu dalam hidupnya.
Di Inggris, antara tahun 1996 sampai 2005, diagnosis genital wart bertambah kurang lebih sebanyak 25%. Pada tahun 2005 di klinik medis genitourinary, terdapat 40.000 laki-laki dan 32.000 perempuan yang baru terdiagnosis memiliki genital warts. Angka tertinggi terkonsentrasi pada laki-laki berusia 20 sampai 24 tahun [750/100.000 populasi], dan pada perempuan berusia 16 sampai 19 tahun [700/100.000 populasi] [Gambar 1]. Pada tahun 2007, 50% kasus genital warts ditemukan pada generasi muda berusia 16 sampai 24 tahun.
Di Spanyol, insiden tahunan genital warts secara keseluruhan diperkirakan mencapai 160,4/100.000 populasi. Secara keseluruhan, prevalensinya adalah 182,1/100.000 populasi, sama dengan 56,446 kasus setiap tahunnya dalam populasi berusia 14 sampai 64 tahun. Di Perancis, insiden keseluruhannya diperkirakan berjumlah 228,9/100.000 populasi pada perempuan berusia 15 sampai 65 tahun, ini berarti ahli ginekologis menangani 47,755 kasus setiap tahunnya.
Di Taiwan, insiden genital wart secara keseluruhan tidak diketahui. Data dari National Health Insurance Research Database menunjukkan bahwa jumlah pasien dari semua kelompok usia yang datang ke bagian urologi dan obstretri/ginekologi dengan diagnosis genital warts adalah 13.287 orang pada tahun 2002 dan 14.261 orang pada tahun 2003. Diperkirakan bahwa insiden genital wart di Taiwan pada tahun 2002 adalah 57,8/100.000 populasi dan pada tahun 2003 berjumlah 62.0/100.000 populasi. Kurang lebih 70% penderitanya adalah perempuan, dengan usia rata-rata 33 tahun [kisaran, 1 sampai 94 tahun]. Lebih dari 65% pasien berusia 20 sampai 39 tahun antara tahun 2002 sampai 2003 [Gambar 2].
Semua data insiden dari setiap negara cenderung mengabaikan insiden genital wart yang sebenarnya, karena penyakit ini jarang dilaporkan.

Jenis-jenis Human Papillomavirus

Pemeriksaan homologi DNA berhasil mengidentifikasi lebih dari 100 jenis HPV, dan 40 diantaranya menginfeksi saluran anogenital. HPV tipe 16, 18, 31, 33, 35, 39, 45, 51, 52, 56, 58, 59, 68, 73, dan 82 diklasifikasikan sebagai tipe beresiko-tinggi. Diantara semua tipe tersebut, HPV 16 dan 18 adalah penyebab utama infeksi dan kanker serviks di seluruh dunia. Tipe HPV beresiko-rendah terdiri dari tipe 6, 11, 40, 42, 43, 44, 54, 61, 70, 72, 81 dan CP6108. Infeksi oleh tipe bersiko-rendah [terutama tipe 6 dan 11] mengakibatkan genital wart. Secara umum, lebih dari 90% genital wart dan RRP disebabkan oleh HPV tipe 6 dan 11. Namun, HPV tipe 16 dan 18 seringkali [60-70%] dihubungkan dengan displasia serviks dan kanker kolorektal ataupun anorektal. Dua puluh lima persen lesi servikal stadium-awal dan 50% lesi serviks stadium-akhir disebabkan oleh infeksi HPV tipe 16 dan 18.
Di Taiwan, terdapat 5 tipe HPV yang berhubungan dengan kanker serviks, dalam urutan frekuensi yang semakin menurun, adalah HPV 16, 18, 58, 33, 52, dan pada perempuan yang memiliki sitologi normal adalah HPV 16, 52, 58, 18 dan 51. Prevalensi HPV pada perempuan yang hasil Papanicolau smear test-nya abnormal, termasuk atypical squamous cell of unknown significance [ASCUS]/atypical glandular cells of unknown significance [AGUS]—histologi negatif, hasil ASCUS/AGUS, lesi intraepitelial skuamous stadium-awal dan akhir, serta kanker invasif, secara berurutan, adalah sebagai berikut 33,8%; 33,8%; 74,9%; 84,3% dan 100%, dengan angka positif keseluruhan sebesar 68,8%. Tipe HPV yang paling sering ditemukan adalah HPV 16 [18,5%], 52 [16,5%], 58 [13,2%], 33, 51, 53, 18, 39, 59, 66, MM8 dan 31.
Salah satu penelitian tentang HPV pada 15 spesimen biopsi kondiloma genital menggunakan Southern blot hybridization, yang dilaporkan pada tahun 1994, ditemukan bahwa 12 [80%] dari 15 spesimen kondiloma mengandung HPV 6 atau 11.

Perawatan Dan Pencegahan
Meskipun genital wart tidak berakibat fatal seperti kanker serviks, penyakit tersebut sering ditemukan dan menimbulkan efek psikologis yang negatif. Beberapa hal utama tentang genital wart yang harus diwaspadai pada laki-laki dan perempuan adalah penularan, rekurensi, nyeri lokal, kanker serviks atau penile, dan manfaat perawatan. Perawatan genital wart juga mewajibkan pasien agar datang ke klinik secara rutin, hal ini membutuhkan biaya yang besar. Biaya tertinggi dikeluarkan oleh kalangan dewasa muda [yaitu, US$1717/1000 orang-tahun pada perempuan berusia 15-24 tahun, US$1114/1000 orang-tahun pada perempuan berusia 25-34 tahun, dan US$1692/1000 orang-tahun pada laki-laki berusia 25 sampai 34 tahun].
HPV tidak dapat dihilangkan melalui pengobatan, jadi tujuan utama perawatan adalah menghilangkan gejala kutil. Perawatan yang dapat dilakukan antara lain bedah eksisi, loop electrosurgical excision, terapi laser, dan pengobatan menggunakan asam trikloroasetat, imiquimod, dan podophyllin. Namun, perawatan semacam itu membutuhkan waktu yang lama dan menimbulkan rasa sakit, serta memiliki tingkat rekurensi dan resistensi yang tinggi. Anogenital wart akan mengalami rekurensi dalam 6 bulan pertama setelah diagnosis awal sehingga dibutuhkan sesi perawatan ulang. Dalam beberapa kasus langka, anogenital wart akan mengalami invasi lokal dan harus dilakukan pembedahan untuk membuang kutil tersebut.
Mencegah semua jenis hubungan seksual adalah metode paling efektif untuk mencegah infeksi HPV. Monogami seumur hidup juga merupakan salah satu strategi pencegahan HPV yang efektif. Namun, seorang individu monogamis juga beresiko tertular dari pasangan non-monogamisnya. Dalam salah satu penelitian pada wanita monogamis, resiko tertular HPV 3 tahun setelah hubungan seksual pertama adalah 46%. Penggunaan kondom, yang berperan penting untuk mencegah penyakit seksual menular lainnya, dapat mengurangi, namun tidak menghilangkan resiko infeksi HPV.
Sifat-sifat infeksi HPV serviks, yaitu penurunan dan melemahnya respon imun, terjadi 6-12 bulan setelah penetrasi virus dan tidak dialami oleh semua perempuan yang terinfeksi. Dalam salah satu penelitian tentang hubungan antara DNA HPV dalam mukosa genital dengan serum antibodi HPV 16, 18 dan 6 yang diambil dari 588 perempuan, ditemukan sekitar 40% subyek yang tidak mengalami respon tersebut. Selain itu, antibodi yang melawan salah satu jenis HPV tidak dapat melindungi kita dari re-infeksi oleh tipe yang sama ataupun tipe lain, dan respon antibodi bervariasi sesuai dengan tipe HPV-nya.

Vaksin Human Papillomavirus Profilaktik
Saat ini, vaksinasi adalah strategi yang paling efektif untuk mengendalikan penyakit yang disebabkan oleh HPV. Kuadrivalen vaksin HPV profilaktik [vaksin HPV 6/11/16/18 (Gardasi); Merck & Co., Inc., Whitehouse Station, NJ, AS] mengandung partikel mirip-virus [virus-like particle/VLP] protein kapsid virus L1 dari HPV tipe 6, 11, 16 dan 18, yang disintesis dalam Saccharomyces cerevisiae dan diadsorbsi oleh adjuvant aluminium hidroksifosfat sulfat. Vaksin rekombinan HPV 6/11/16/18 ini pertama kali dilisensi di Amerika Serikat pada bulan Juni 2006, dan di Uni Eropa pada bulan September 2006. Vaksin tersebut terbukti 100% efektif mencegah kanker serviks, lesi servikal pra-kanker, dan lesi genital eksterna, seperti genital wart. Menurut United States Food and Drug Administration [FDA] pada tahun 2008, perkiraan efek profilaktik vaksin terhadap genital wart akibat-HPV 6/11/16/18 adalah 98,9%.
Vaksin HPV lainnya [vaksin HPV 16/18 (Cervix; GlaxoSmithKline Biologicals, Rixensart, Belgia)], campuran VLP yang berasal dari protein kapsid L1 HPV tipe 16 dan 18, diformulasikan dengan sistem adjuvant AS04. Vaksin HPV 16/18 ini dilisensi di Taiwan pada bulan Maret 2008 dan ditujukan bagi para perempuan berusia 10 sampai 25 tahun untuk mencegah kanker serviks dengan cara melindungi dari insiden dan infeksi persisten, neoplasia intraepitelial servikal [CIN], dan lesi pra-kanker yang biasanya disebabkan oleh HPV tipe 16 dan 18. Indikasi tersebut didasarkan pada bukti-bukti manfaatnya pada perempuan berusia 15 sampai 25 tahun yang memperoleh vaksinasi HPV 16/18, serta imunogenisitas vaksin pada anak perempuan dan perempuan berusia 10 sampai 25 tahun. Namun, vaksin ini tidak dapat melindungi pasien dari genital wart, yang biasanya disebabkan oleh HPV 6/11.
Di Taiwan, kuadrivalen vaksin rekombinan HPV 6/11/16/18 baru-baru ini memperoleh ijin [pada bulan Oktober 2006] untuk digunakan dalam pencegahan keganasan sevikal, displasia serviks stadium-akhir [CIN 2/3] dan awal [CIN 1], displasia vulvar dan vaginal stadium-akhir, serta genital wart eksterna pada perempuan berusia 9 sampai 26 tahun.
FDA Amerika Serikat belum menyetujui penggunaan vaksin rekombinan HPV 6/11/16/18 pada anak laki-laki atau pria dewasa. Sampai saat ini, belum ada data yang membuktikan bahwa vaksin tersebut dapat melindungi laki-laki dari genital wart ataupun kanker yang disebabkan oleh HPV [seperti, penile cancers]. Sejak tahun 2003 [di Taiwan, sejak 2005], dilakukan penelitian global fase ketiga, random, double blind, plasebo-terkontrol tentang manfaat vaksin rekombinan HPV 6/11/16/18 dalam mencegah penyakit kelamin eksterna yang disebabkan oleh HPV [genital wart, neoplasia atau kanker intraepitelial penile/perineal/perianal] pada laki-laki berusia 16 sampai 26 tahun [laki-laki yang berhubungan seksual dengan sesamanya [MSM] dan pria heteroseksual] dan pasangan hidupnya selama 0 sampai 5 tahun. Semua peserta diberi vaksin atau plasebo saat pendaftaran, pada bulan kedua, dan bulan keenam, serta menjalani pemeriksaan anogenital dan pengambilan sampel dari penis, skrotum, dan anal [hanya kohort MSM saja], dan dari regio perianal saat pendaftaran, bulan ketujuh, kemudian setiap 6 bulan. Pada akhir penelitian tersebut, setelah 36 bulan, ditemukan infeksi HPV 6/11/16/18 dan insiden lesi genital eksterna akibat HPV 6/11/16/18. Data awal dari penelitian yang diikuti oleh 4065 peserta tersebut, dengan durasi rata-rata follow up selama 29 bulan, menunjukkan bahwa penurunan jumlah semua lesi genital eksterna, genital wart, dan neoplasia intraepitelial penile/perineal/perianal, masing-masing, adalah 90,4% [jumlah kasus grup vaksin/jumlah kasus grup plasebo, 3/31; p < 0.001], 89,4% [3/29; p < 0.001], dan 100% [0/3].
Pada tahun 2008, dilaporkan penelitian terbaru yang hemat-biaya menggunakan model dinamika penularan untuk memperkirakan efek epidemiologi dan ekonomi jangka panjang dari vaksinasi kuadrivalen HPV. Dilakukan evaluasi dua strategi vaksinasi, seperti vaksinasi pada anak perempuan berusia 12 tahun, dan vaksinasi anak perempuan berusia 12 tahun yang diberi vaksinasi temporer selama 5 tahun berturut-turut [catch-up vaccination] pada anak perempuan dan wanita dewasa berusia 12 sampai 24 tahun. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa kedua strategi vaksinasi tersebut berhasil mengurangi insiden kanker serviks yang disebabkan oleh HPV 16/18 sebanyak 91% selama 100 tahun sejak vaksin tersebut diperkenalkan. Jadi pada titik waktu tersebut, kedua strategi vaksinasi berhasil mengurangi insiden CIN 2/3, CIN 1, dan genital wart, masing-masing, sebesar 90%, 86%, dan 94%. Strategi catch-up lebih efisien dan efektif dibandingkan dengan strategi vaksinasi pada anak usia 12 tahun saja, dengan pertambahan rasio penghematan biaya NT$410,477 atau US$12,439/kualitas hidup-tahun. Para peneliti tersebut menyimpulkan bahwa vaksinasi pada perempuan tidak hanya mengurangi genital wart, CIN, dan kanker serviks secara substansial, tapi juga meningkatkan kualitas hidup, daya tahan dan menghemat-biaya.
Di Spanyol, biaya perawatan rata-rata mencapai 833 dan 1056/pasien, masing-masing, dari sudut pandang Third Party Payer [TTP] dan sosial. Biaya keseluruhan tahunan, dari sudut pandang TTP dan sosial, diperkirakan mencapai 47 juta dan 59,6 juta. Di Perancis, biaya tahunan perawatan genital wart diperkirakan mencapai 23,1 juta, dimana 16,4 juta diantaranya dibiayai oleh France health care system.
Terdapat beberapa kontroversi tentang vaksin tersebut. Hanya sedikit informasi yang menguraikan tentang durasi imunitas yang diinduksi oleh vaksin HPV. Dan, belum ada data yang membuktikan bahwa vaksinasi HPV pada laki-laki dapat mencegah penularan virus HPV pada perempuan. Pada perempuan yang telah terpapar [para perempuan yang memperoleh vaksinasi HPV dan terbukti memiliki riwayat atau baru mengalami infeksi HPV akibat beberapa tipe vaksin HPV], data penelitian vaksin terbaru menunjukkan keamanan yang baik namun tidak menunjukkan khasiat yang sama. Pengujian HPV sebelum vaksinasi dimulai tidak dianjurkan karena belum dilakukan penelusuran riwayat dan pengujian klinis yang ada saat ini hanya mencerminkan akumulasi virus.

KESIMPULAN

Bertambahnya insiden infeksi HPV dan genital wart menegaskan dibutuhkannya strategi efektif untuk mengatasi penyakit ini. Meskipun terdapat berbagai macam modalitas perawatan, belum ada yang terbukti mampu “menyembuhkan” penyakit ini. Meningkatnya pengetahuan masyarakat tentang pencegahan dan penularan HPV dan genital wart berperan penting untuk melawan penyakit ini. Imunisasi vaksin rekombinan HPV 6/11/16/18 cukup menjanjikan untuk mengurangi beban penyakit klinis yang disebabkan oleh HPV secara keseluruhan. Beberapa penelitian yang sedang dilakukan mengevaluasi khasiat vaksin pada anak perempuan dan wanita berusia 9 sampai 45 tahun, serta pada anak-laki-laki dan perempuan berusia 9 sampai 26 tahun. Analisis keamanan dan efek jangka panjang 10 tahunan, serta program pendahuluan untuk mengevaluasi pengaruh vaksin terhadap infeksi HPV orofaring, terutama pada pria yang terinfeksi HIV juga sedang dilakukan.

Read more...

11 November 2009

Penutupan Akar Dalam Resesi Gingiva Terisolir Menggunakan Autograft versus Allograft: Suatu Penelitian Pendahuluan

Abstrak
Latar Belakang: Berbagai macam teknik pembedahan telah digunakan untuk merawat resesi gingiva. Penelitian pendahuluan ini membandingkan hasil pemeriksaan klinis perawatan defek gingiva yang terisolir menggunakan flap yang terletak pada koronal yang dikombinasikan dengan pencangkokkan jaringan ikat subepitelial, atau acelullar dermal matrix graft.
Metode: Dipilih 10 subyek yang mengalami defek Miller Klas I atau II. Defek tersebut memiliki kedalaman > 3 mm dan diklasifikasikan secara acak dalam grup uji, yang dirawat mengunakan flap koronal dikombinasikan dengan acellular dermal matrix, atau grup kontrol, yang dirawat menggunakan flap koronal dikombinasikan dengan pencangkokkan jaringan ikat subepitelial. Kedalaman probing [PD], tinggi perlekatan klinis [CAL], dan ketebalan [GT] jaringan berkeratin diukur pada pemeriksaan awal dan 6 bulan setelah pembedahan.
Hasil: Rata-rata penutupan akar yang terjadi adalah 50% pada grup uji [yang menunjukkan terjadinya pergeseran margin gingiva sebesar 2,1 + 0,99 mm] dan 79,5% dalam grup kontrol [menunjukkan terjadinya pergeseran margin gingiva sebesar 3,5 + 1,20 mm]. Hasil tersebut dinyatakan memiliki selisih yang signifikan secara statistik dalam perbandingan intra- dan inter-grup [P < 0.05]. Perbandingan antar-grup menunjukkan nilai CAL, GRD, dan GT yang secara signifikan, lebih besar dalam grup kontrol [P < 0.05]; namun tidak ditemukan perbedaan ukuran PD dan KT [P > 0.05].
Kesimpulan: Flap koronal yang dikombinasikan dengan pencangkokkan jaringan ikat subepitelial atau acellular dermal matrix graft terbukti efektif untuk menutup akar. Namun, flap koronal yang dikombinasikan dengan cangkok jaringan ikat memberikan hasil klinis yang lebih baik. Perlu dilakukan penelitian yang lebih luas untuk mengkonfirmasi hasil penelitian ini.
Kata Kunci: Jaringan ikat, resesi gingiva/pembedahan; pencangkokkan/graft.
Sumber: J Periodontol 2007; 78: 1017-1022.


Resesi gingiva didefnisikan sebagai suatu pergeseran jaringan lunak ke apikal di bawah batas cemento-enamel junction [CEJ]. Kondisi klinis ini sering ditemukan dalam populasi umum dan dapat memberikan pengaruh negatif terhadap tampilan estetik, serta meningkatkan kerentanan terhadap karies akar dan hipersensitivitas dentin. Patogenesis resesi gingiva berhubungan dengan inflamasi jaringan yang disebabkan oleh akumulasi biofilm atau penyikatan gigi traumatik.
Flap jaringan, dengan/tanpa autograft atau allograft, telah digunakan untuk mengatasi resesi gingiva dan memiliki prediktabilitas yang tinggi dalam penutupan akar. Integritas jaringan proksimal sangat penting untuk menentukan prediktabilitas penutupan akar yang dihasilkan, apapun teknik pembedahan yang digunakan.
Pencangkokkan jaringan ikat subepitelial [SCTG] merupakan salah satu teknik yang dapat diprediksi dan serba guna dimana dibuat lingkungan vaskuler bilaminar untuk menutrisi cangkokkan. Namun, pengambilan bagian palatal akan meningkatkan morbiditas post-operatif dan membutuhkan banyak waktu. Acellular dermal matrix [ADM] dikembangkan untuk menggantikan pencangkokkan jaringa ikat autogenous dalam prosedur bedah plastik periodontal, dan dilaporkan, hasil yang diperoleh tetap sama.
ADM merupakan suatu proses allograft kulit untuk mengekstrak komponen sel dan epidermis, dengan tetap mempertahankan lapisan kolagen. Lapisan kulit yang tersisa dicuci menggunakan larutan detergen/sabun untuk menon-aktifkan virus dan mengurangi penolakan jaringan, kemudian dilakukan cryoprotection dan dikeringkan-dibekukan menggunakan proses yang sesuai untuk menjaga integritas biokimia dan strukturalnya.
ADM dikombinasikan dengan desain flap klasik Langer dan Langer, seperti insisi vertikal. Penelitian pendahuluan ini membandingkan hasil klinis perawatan resesi gingiva Klas I dan II menggunakan flap koronal [CPF], tanpa insisi vertikal, yang dikombinasikan dengan pencangkokkan SCTG atau ADM.

BAHAN DAN METODE
Seleksi Pasien dan Desain Eksperimental
Protokol penelitian telah disetujui oleh Institutional Ethics Committee Sao Leopoldo Mandic Dental Research Institute, dan semua subyek yang ikut serta dalam penelitian telah menandatangani formulir informed consent. Para subyek dipilih dari para pasien yang datang ke Sao Leopoldo Mandic Dental Research Institute untuk menjalani pemeriksaan gigi rutin. Seleksi pasien, pembedahan, dan follow up dilakukan antara bulan Januari sampai September 2004.
Penelitian ini diikuti oleh 10 subyek, enam pria dan empat wanita berusia 27 sampai 51 tahun. Kriteria inklusi yang digunakan adalah defek resesi Miller Klas I atau II [kedalamannya > 3 mm] pada gigi kaninus atau premolar rahang atas [selisih kedalaman resesi antara defek kanan dan kiri < 2 mm], CEJ dapat diidentifikasi, jaringan periodontal sehat, tidak memiliki kebiasaan merokok, tidak mengalami gangguan oklusal, dan tidak sedang menjalani pengobatan yang dapat mengganggu kesehatan periodontal ataupun proses penyembuhan. Defek resesi yang berhubungan dengan karies atau restorasi dan gigi-geligi yang mengalami patologi pulpa tidak diikutsertakan.
Protokol penelitian terdiri dari konsultasi pemeriksaan yang dilanjutkan dengan terapi awal untuk mengontrol biofilm dan kesehatan gingiva secara optimal, terapi pembedahan, konsultasi pasca pembedahan, dan evaluasi pasca pembedahan yang dilakukan 6 bulan kemudian.

Terapi dan Pengukuran Klinis Awal

Terapi periodontal awal terdiri dari pemberian instruksi oral higiene, instrumentasi ultrasonik, dan polishing mahkota yang dilakukan 1 sampai 2 bulan sebelum pembedahan. Juga dilakukan perawatan restoratif pada gigi uji yang membutuhkannya. Dilakukan pencetakan rahang atas menggunakan alginat, dan dibuat model kerja. Model kerja digunakan untuk membuat stent akrilik. Stent tersebut digunakan selama pengukuran parameter klinis untuk memastikan reproduksibilitas posisi probe dan sudut dalam dua kali evaluasi, tidak hanya sebagai titik referensi untuk pengukuran klinis.
Indeks perdarahan gingiva [BGI] dan indeks plak yang terlihat [VPI] digunakan untuk menilai kesehatan gingiva selama penelitian.
Semua pengukuran klinis dilakukan oleh satu orang pemeriksa yang telah terlatih, pada aspek mid-bukal setiap sisi yang dipilih menggunakan probe periodontal. Sebelum pembedahan [baseline/awal] dan 6 bulan setelah pembedahan, dilakukan pencatatan beberapa parameter klinis berikut dan dibulatkan sampai milimeter terdekat: 1) kedalaman resesi gingiva [GRD]: jarak dari CEJ ke margin gingiva [GM]; 2) kedalaman probing [PD]: jarak dari GM ke dasar sulkus gingiva; 3) tinggi perlekatan klinis [CAL]: jarak dari CEJ ke dasar sulkus; 4) lebar apiko-koronal jaringan berkeratin [KT]: jarak dari mukogingival junction [MGJ[ sampai GM; lokasi MGJ ditentukan menggunakan metode visual; dan 5) ketebalan jaringan gingiva: yang diukur pada pertengahan lebar apiko-koronal KT menggunakan endodontic finger spreader yang dipasangi rubber stopper tegak lurus dengan jaringan gingiva; ketebalannya diukur sampai ketelitian 0,1 mm menggunakan kaliper.

Prosedur Pembedahan
Dilakukan antisepsi ekstraoral menggunakan larutan klorheksidin 2%, dan antisepsis intraoral dilakukan menggunakan larutan klorheksidin 0,12%. Anestesikum yang digunakan adalah lidokain 2% yang mengandung epinefrin 1:100.000.
Desain flap dimulai dengan insisi intrasulkuler pada aspek vestibuler gigi target dan diperluas ke gigi-geligi tetangga di setiap sisi. Desain flap dilengkapi dengan melakukan insisi horisontal sebatas CEJ yang menghubungkan gigi-geligi. Flap split-thickness diangkat untuk menaikkan flap sampai batas CEJ tanpa tekanan. Epitelium vestibuler papila interdental dibuang agar diperoleh jaringan luka yang baik untuk reposisi flap. Permukaan akar diinstrumentasi dengan hati-hati menggunakan alat skaler manual sehingga diperoleh permukaan yang datar dan dibasahi dengan tetrasiklin hidroklorida 50 mg/ml, selama 3 menit. Gauze yang telah dibasahi dengan larutan tersebut digosokkan pada permukaan akar dan diganti setiap 30 detik. Dilakukan irigasi salin berlimpah untuk membuang kelebihan tetrasiklin.
Defek bilateral dikelompokkan dalam grup uji secara acak menggunakan lemparan koin [CPF + ADM] atau grup kontrol [CPF + SCTG]. Pada sisi defek yang diuji, dilakukan allograft setelah rehidrasi sesuai dengan instruksi pabrik dan difiksasi pada batas CEJ untuk menutup seluruh defek menggunakan bioabsorbable proximal suture [Gambar 1A sampai 1C]. Pada sisi kontrol, dilakukan SCTG pada dimensi yang sesuai mulai dari daerah palatal menggunakan insisi berbentuk-L dan difiksasi sebatas CEJ sehingga menutup seluruh defek menggunakan bioabsorbable proximal suture [Gambar 1E sampai 1G]. Terakhir, flap diletakkan sebatas atau sedikit ke arah koronal, CEJ dan difiksasi menggunakan mattress suture [Gambar 1D dan 1H]. Kedua pembedahan dilakukan dalam satu periode konsultasi. Tidak digunakan dressing periodontal.

Protokol Pasca Pembedahan
Pasien diberikan analgesik [asetaminofen **750 mg, empat kali sehari] dan obat-obatan non-steroid [7,5 mg satu kali sehari], masing-masing, untuk hari pertama dan 3 hari berikutnya.
Pasien diminta untuk tidak menyikat atau flossing di sekitar daerah pembedahan sampai jahitan dilepaskan [14 hari pasca pembedahan] dan hanya mengkonsumsi makanan lunak selama minggu pertama setelah pembedahan. Mereka juga diminta untuk menghindari berbagai jenis trauma mekanis lainnya pada daerah yang dirawat. Selama 4 minggu, pasien harus berkumur larutan klorheksidin 0,12% selama 1 menit dua kali sehari.
Semua pasien diminta datang kembali untuk melakukan kontrol biofilm supragingiva profesional setiap minggu selama 4 minggu kemudian dilanjutkan dengan interval per bulan.

Analisis Statistik
Statistik deskriptif dinyatakan sebagai mean + SD. Dilakukan penghitungan presentase penutupan akar 6 bulan setelah pembedahan. Data dibandingkan menggunakan Student t-test observasi berpasangan untuk menilai perubahan di dalam dan antar grup. Tingkat signifikansi penolakan hipotesis null ditetapkan pada  = 0.05. Kalkulasi dilakukan menggunakan paket software statistik.

HASIL

Semua pasien dapat mentoleransi prosedur pembedahan dengan baik, tidak terjadi komplikasi postoperatif, dan bersikap kooperatif selama protokol penelitian. GBI dan VPI seluruh rongga mulut dipertahankan pada < 20%. Sebelum pembedahan dan pada akhir periode peneliitan, gigi target dinyatakan bebas plak dan inflamasi gingiva.
Statistik deskriptif berbagai parameter klinis yang diukur pada baseline dan 6 bulan setelah pembedahan diuraikan dalam Tabel 1. Pada baseline, tidak ditemukan selisih yang signifikan secara statitsik antara kedua grup, untuk semua parameter yang dievaluasi. Diperoleh selisih intra-grup yang signifikan secara statistik untuk GRD, CAL, KT dan GT pada grup kontrol dan uji [P < 0.05]. PD tidak mengalami perubahan, dari waktu ke waktu [P > 0.05]. Dalam grup kontrol, GRD berkurang sebanyak 3,5 + 1,2 mm, yang menunjukkan penutupan akar rata-rata sebesar 79,5%; dan terjadi peningkatan CAL sebesar 3,5 + 1,2 mm. KT bertambah sebanyak 1,2 + 0,75 mm, dan GT bertambah sebanyak 1,3 + 0,58 mm. Perubahan GRD, CAL, KT dan GT dalam grup uji, secara berurutan adalah 2,1 + 0,99 mm [rata-rata penutupan akar adalah 50%], 2,1 + 0,99 mm, 1,1 + 1,5 mm, dan 0,72 + 0,35 mm.
Perbandingan antar-grup menunjukkan selisih nilai CAL, GRD, dan GT yang signifikan secara statistik [P < 0.05]. Tidak ditemukan selisih yang signifikan secara statistik dalam nilai KT dan PD [P > 0.05].
Ditampilkan gambar resesi gingiva awal, ADM atau autograft terposisi, mobilisasi koronal, dan penjahitan, hasil setelah 6 bulan pada gigi-geligi yang diuji [Gambar 1A sampai 1D] dan kontrol [Gambar 1E sampai 1H].

PEMBAHASAN
Berbagai penelitian klinis telah mendeskripsikan manfaat penggunaan SCTG untuk penutupan akar. Integritas jaringan proksimal menentukan besarnya penutupan akar, dengan/tanpa SCTG dan pembukaan flap. Namun, peningkatan KT dan GT merupakan hasil klinis penting yang membenarkan penggunaan SCTG. Namun, pengambilan cangkokkan dari daerah palatal membutuhkan waktu dan meningkatkan kecenderungan terjadinya perdarahan dan nyeri. Penggunaan ADM mengatasi masalah tersebut dan menjadi salah satu sumber bahan bermakna untuk kasus-kasus yang membutuhkan jaringan cangkok yang banyak/ekstensif.
Penelitian klinis pendahuluan yang dilakukan secara random ini membandingkan hasil prosedur penutupan akar menggunakan CPF yang dikombinasikan dengan SCTG atau ADM, masing-masing, dalam grup kontrol dan uji. Dalam hal perbaikan resesi, hasil yang lebih baik diperoleh dalam grup kontrol [CPF-SCTG] dimana terjadi 79,5% penutupan akar; versus 50% dalam grup uji. Hasil tersebut memiliki relevansi klinis dan signifikan secara statistik. Kekuatan analisis menunjukkan bahwa dengan menggunakan 10 subyek, penelitian tersebut memiliki kekuatan sebesar 79% untuk mendeteksi kedalaman resesi gingiva dalam kedua grup. Beberapa penelitian mendukung hasil penelitian kami, dan menunjukkan penutupan akar yang lebih bermakna pada sisi-sisi yang dirawat menggunakan SCTG. Namun, penelitian-penelitian tersebut tidak menemukan selisih yang signifikan secara statistik antara teknik SCTG dan ADM. Perbedaan hasil penelitian kami dengan penelitian tersebut terletak pada perbedaan protokol pembedahan yang digunakan. Meskipun penelitian-penelitian tersebut menggunakan desain flap klasik yang dikembangkan oleh Langer dan Langer, yang berupa insisi vertikal untuk memperluas pengangkatan flap dan mengurangi tekanan saat penjahitan, dalam penelitian ini, kami tidak melakukan insisi vertikal. Desain flap tersebut mempertahankan suplai darah lateral, mempercepat penyembuhan luka, dan menghilangkan kemungkinan terbentuknya jaringan parut, namun, dapat meningkatkan tekanan flap, terjadi pergerakan flap secara-mikro selama penyembuhan awal, yang dapat mengganggu penutupan akar yang menggunakan pencangkokkan .
Dalam grup kontrol [CPF + SCTG], pencangkokkan tidak memiliki kekurangan yang signifikan karena suplai darah di sekitarnya menjamin vitalitas cangkokan selama fase penyembuhan awal. Namun, pembedahan ADM dalam prosedur penutupan akar dapat membatasi vaskularisasi cangkokan, sehingga mengurangi penutupan akar yang potensial. Selain itu, ADM akan hilang akibat nekrosis, dan dalam penelitian lainnya, ditemukan penutupan akar yang tidak sempurna. Dalam penelitian ini, keberhasilan perawatan berkurang pada daerah uji yang diberi perlakuan dengan teknik ADM. Dalam kasus ini, penutupan akar rata-rata berkisar antara 20% sampai 33%.
GT beperan penting dalam patogenesis defek resesi, yaitu, jaringan gingiva yang tipis akan meningkatkan kecenderungan terjadinya resesi gingiva. Perbaikan GT terjadi pada kedua grup; namun, lebih baik pada grup kontrol [1,27 + 0,58 mm] dibandingkan dalam grup uji [0,72 + 0,35 mm]. Sebaliknya, Paolantonio dkk, tidak menemukan perbedaan perbaikan GT saat membandingkan SCTG dengan ADM. Perbedaan penemuan kami dengan hasil penelitian Paolantonio dkk, terletak pada penggunaan SCTG yang seragam dalam penelitian ini, karena cangkok yang lebih seragam memberikan hasil yang lebih baik. Namun, ketebalan gingiva dalam teknik ADM diseragamkan.
GT mempengaruhi hasil estetik setelah bedah penutupan akar. Cangkokan yang lebih seragam lebih mudah beradaptasi dengan daerah penerima [resipien] dan lebih mudah dijahit. Meskipun penelitian ini tidak menilai aspek estetik, kontur gingiva dan kesesuaian warna terlihat lebih baik pada daerah yang diberi perlakuan menggunaakn ADM; hal ini mendukung penemuan Wei dkk, Zuchelli dkk, yang merelasikan bahwa SCTG setebal ~1 mm cukup ideal untuk memperoleh kontur gingiva yang baik secara estetik. Perbedaan revaskularisasi dan proses repopulasi sel antara SCTG dan ADM juga mempengaruhi hasil estetik. ADM menghasilkan lipatan sel-sel yang berkembang dan pembuluh darah yang berasal dari ligamentum periodontal dan jaringan ikat di sekitarnya, yang mempercepat proses penyembuhan dan warnanya sesuai dengan daerah di sekitarnya. Sebaliknya, proses penyembuhan pada daerah SCTG masih mempertahankan beberapa karakteristik palatal karena sel cangkokkan jaringan ikat masih hidup dan menentukan keratinisaso lokal yang dapat mengganggu kesesuaian warna gingiva. Aichelmann-Reidi dkk, menunjukkan bahwa daerah yang dirawat dengan ADM memiliki tampilan yang lebih alamiah, menurut penilaian klinisi dan pasien, hal ini sesuai dengan hasil penelitian kami.
Dalam grup uji dan kontrol, KT bertambah sebanyak 1,1 dan 1,2 mm, secara berurutan. Namun, tidak diperoleh selisih yang signifikan antara kedua grup tersebut, hal ini juga ditemukan dalam penelitian lainnya. Novaes dkk, mengamati bahwa 3 bulan setelah terapi, daerah SCTG memiliki KT yang lebih banyak dibandingkan pada daerah ADM. Perbedaan tersebut menghilang setelah 6 bulan observasi, dan menunjukkan bahwa cangkok ADM membutuhkan waktu penyembuhan yang lebih lama. Namun, penelitian lainnya, menemukan lebih banyak perbaikan jika menggunakan SCTG. Namun, perbedaan KT antara kedua cangkokkan tidak relevan secara klinis karena KT tidak mengganggu kesehatan gingiva ataupun perkembangan resesi. Keratinisasi jaringan gingiva di atas cangkokkan ditentukan oleh ketebalan flap, yang menjelaskan perbedaan dalam berbagai penelitian.
Meskipun penelitian ini menunjukkan hasil yang lebih menjanjikan dalam grup SCTG dalam evaluasi jangka pendek, penelitian lainnya menyatakan bahwa kedua perawatan memberikan hasil yang sama. Harris, membandingkan cangkok SCTG dan ADM dalam periode singkat dan panjang, daerah yang dirawat menggunakan ADM cenderung mengalami kerusakan seiring dengan berjalannya waktu, sedangkan daerah SCTG tetap stabil. Hirsch dkk, menunjukkan hasil klinis yang stabil setelah 2 tahun follow up, saat membandingkan cangkok ADM dengan SCTG. Stabilitas hasil akhir harus dipertimbangkan saat memilih tipe cangkokkan yang akan digunakan.

KESIMPULAN
CPF yang dikombinasikan dengan pencangkokkan SCTG dan ADM terbukti efektif menghasilkan penutupan akar. Namun, CPF yang dikombinasikan dengan SCTG memberikan hasil yang lebih baik. Dibutuhkan penelitian yang lebih luas untuk mengkonfirmasi hasil penelitian ini.


Read more...

Indikator Visual Chlamydial Cervicitis Terbaru

Abstrak
Tujuan: Untuk mengetahui manfaat opasitas keluaran endoservikal sebagai salah satu indikator resiko infeksi klamidia menggunakan dua indikator visual yang telah diketahui—buangan endoservikal berwarna kuning dan perdarahan mukosa serviks yang mudah terinduksi.
Metode: Para wanita dari dua klinik keluarga berencana, satu klinik aborsi terapeutik, dan satu balai kesehatan mahasiswa[n total = 1418] menjalani pemeriksaan serviks dan pengujian klamidia, serta mengisi kuesioner tentang sosiodemografik, tingkah laku seksual, riwayat medis, dan gejala-gejala. Hasil kultur atau blocked enzyme immunoassay pada apusan endoservikal menyatakan satu kasus positif klamidia.
Hasil: Prevalensi infeksi klamidia di klinik adalah 6,3%. Ketiga indikator visual—buangan endoservikal kuning, perdarahan yang mudah terinduksi, dan buangan servikal opak—dinyatakan signifikan secara statistik dan tidak berhubungan dengan infeksi klamidia [odd ratio masing-masing: 2,8; 2,3, dan 2,9], apapun jenis kliniknya. Penyesuaian indikator visual lainnya menghasilkan selisih odd ratio yang tipis.
Kesimpulan: Opasitas buangan endoservikal tidak lebih penting dibandingkan dengan dua indikator chlamydial cervicitis lainnya yang umum diketahui—buangan endoservikal kuning dan perdarahan mukosa serviks yang mudah terinduksi.
Kata kunci: faktor resiko, Chlamydia trachomatic, wanita.
Sumber: Sex Transm Inf 2000; 76: 46-48.


PENDAHULUAN
Strategi efektif untuk mendeteksi infeksi klamidia servikal, terutama pada para wanita muda, menjadi fokus pertimbangan penelitian, karena jika tidak dirawat akan menimbulkan gangguan reproduksi.
Karakteristik serviks yang diamati secara klinis dapat digunakan untuk memprediksi ada/tidaknya infeksi klamidia pada wanita. Diantaranya, buangan endoservikal non-purulen [berwarna kuning] dan perdarahan yang mudah terinduksi [friabilitas], dalam beberapa penelitian, terbukti dapat memprediksi infeksi klamidia pada serviks. Indikator visual chlamydial cervicitis tersebut banyak digunakan dalam perawatan immediate para wanita yang memiliki tanda-tanda klinis infeksi [diagnosis presumptif], dan identifikasi yang murah bagi para wanita beresiko tinggi untuk menjalani pemeriksaan klamidia [pemeriksaan selektif].
Indikator visual infeksi klamidia lainnya yang juga bermanfaat, selain warna kuning dan perdarahan yang mudah terinduksi, adalah opasitas buangan endoservikal. Dua penelitian sebelumnya yang mengukur translusensi buangan endoservikal secara spesifik menemukan hubungan antara buangan endoservikal dengan chlamydia cervicitis. Penelitian ini mengukur independensi statistik dan kekuatan asosiasi opasitas buangan terhadap buangan endoservikal mukopurulen dan friabilitas tiga sampel wanita yang tinggal di satu kota.

METODE
Spesifikasi sampel
Para wanita yang aktif secara seksual dan berusia 16 tahun atau lebih, didaftar antara tahun 1989 sampai1992 dari satu klinik keluarga berencana urban dan suburban [n total = 1002], dari klinik pelayanan kesehatan mahasiswa McMaster [n = 191], dan dari klinik aborsi terapeutik [n = 225], semuanya terletak di Hamilton, Ontario. Sebagian besar wanita dari klinik keluarga berencana dan klinik mahasiswa asimptomatik dan datang ke klinik untuk menjalani pemeriksaan rutin, serta dikeluarkan dari penelitian jika mereka dinyatakan hamil atau mengkonsumsi antibiotik dalam periode 14 hari sebelumnya. Semua wanita menyerahkan informed consent tertulis yang telah disetujui oleh McMaster University ethical review committee. Para peserta mengisi kuesioner yang menanyakan informasi demografik, seksual, riwayat ginekologi dan obstetri, serta gejala-gejalanya.

Pemeriksaan klinis dan laboratorium
Pemeriksaan ginekologis dilakukan pada semua wanita. Setelah serviks dibersihkan dari mukus yang berlebihan menggunakan apusan kapas berukuran besar, diambil tiga spesimen endoservikal untuk kultur Chlamydia trachomatis, chlamydial enzyme immunoassay [EIA] dengan blocking confirmation [Chlamydiazyme, Abbott Laboratories, North Chicago, IL, AS], dan kultur Neisseria gonorrheae pada semua wanita, seperti yang telah dideskripsikan sebelumnya. Pengambilan semua sampel sesuai dengan protokol standar.
Dilakukan penilaian translusensi buangan endoservikal [opak atau bening] secara in situ, dan warnanya [kuning atau putih] menggunakan apusan white-tipped. Perdarahan mukosa yang mudah terpicu diketahui jika perdarahan terjadi saat dilakukan apusan servikal. Karakteristik serviks dan buangan endoservikal dicatat pada lembaran yang telah distandardisasi.

Metode statistik
Suatu kasus infeksi klamidia didefinisikan berdasarkan kultur positif atau blocked EIA positif pada serviks. Data dianalisis menggunakan metode statistik eksakta, yaitu paket EGRET [Epidemiological Graphics, Estimation and Testing, Egret Statistical Software and Epidemiology Research Corporation, Seattle, WA, AS, 1990], untuk menguji hubungan antara infeksi klamidia dengan indikator-indikator visual [klinis]. Juga dilakukan pengujian heterogenisitas berdasarkan indikator klinis dan visual lainnya. Hubungan antara infeksi klamidia dengan berbagai kombinasi indikator juga diselidiki.
Probabilitas kesalahan tipe 1 ditetapkan pada 0.05.

HASIL
Karakteristik sampel
Usia rata-rata para wanita yang datang ke klinik keluarga berencana, balai kesehatan mahasiswa, dan klinik aborsi terapeutik, masing-masing, adalah 21,4 [SD 3,1]; 21,7 [1,9], dan 25,0 [6,6] tahun. Pergantian pasangan dari tahun sebelumnya dilaporkan oleh 44,8%; 51,3% dan 26,7% peserta, dan riwayat menderita penyakit kelamin menular dilaporkan oleh 23,9%; 19,5%, dan 19,9% peserta dari masing-masing klinik secara berurutan. Prevalensi C. trachomatis di klinik keluarga berencana adalah 7,0%, di balai kesehatan mahasiswa adalah 4,2%, dan di klinik aborsi terapeutik adalah 4,9%. N. gonorrhoeae ditemukan pada 4 wanita dari klinik keluarga berencana.

Hubungan antara indikasi visual dengan infeksi klamidia
Odd ratio sebelum pengelompokan [unadjusted] untuk ketiga indikator visual, yaitu opasitas buangan endoservikal [OP], warna kuning [YE], dan perdarahan mukosa yang mudah terinduksi [BL], masing-masing adalah 2,9; 2,8 dan 2,3. Semuanya dinyatakan signifikan secara statistik [p < 0.01]. Odd ratio ketiga indikator visual, yang dikelompokkan berdasarkan tiga jenis klinik [yaitu, klinik keluarga berencana, balai kesehatan mahasiswa, dan klinik aborsi terapeutik] diuraikan dalam Tabel 1. Setiap indikator visual dinyatakan signifikan secara statistik jika dihubungkan dengan infeksi klamidia setelah melakukan pemeriksaan kontrol ke klinik-klinik tersebut [Tabel 1] dan menggunakan indikator lainnya [data tidak ditampilkan]. Tidak ditemukan heterogenitas odd ratio antar strata yang didefinisikan oleh faktor-faktor klasifikasi dan odd ratio adjusted keseluruhan hanya sedikit berbeda dengan hasil perkiraan yang tidak diklasifikasikan [unadjusted].

Pengujian kombinasi tiga indikator visual
Sensitivitas, spesifitas, nilai prediksi negatif dan positif tiga indikator visual dalam berbagai kombinasi, dan odd ratio kombinasi tersebut [distratifikasikan berdasarka klinik] diuraikan dalam Tabel 2. Adanya buangan endoservikal opak dn berwarna kuning adalah kombinasi yang memiliki hubungan paling kuat [odd ratio = 4,9] dengan infeksi klamidia [p < 0.0001]. Mudahnya terjadi perdarahan mukosa pada serviks adalah satu-satunya indikator yang memiliki sensitivitas tertinggi [0,43]. Dibandingkan dengan faktor-faktor secara individual, kombinasi faktor memiliki sensitivitas yang lebih rendah dan spesifitas yang lebih tinggi. Diharapkan kombinasi faktor-faktor memiiki definisi infeksi yang lebih tegas.

PEMBAHASAN
Opasitas buangan endoservikal, selain buangan endoservikal berwarna kuning dan perdarahan servikal yang mudah terinduksi, merupakan prediktor chlamydial cervicitis yang bermanfaat bagi wanita muda. Hasil penelitian ini dapat digeneralisasikan karena melibatkan banyak dokter dalam pengujiannya. Para dokter menjalani pelatihan metode klinik hanya di klinik keluarga berencana; namun, hubungan yang diamati tidak bervariasi berdasarkan kliniknya. Meskipun amplifikasi asam nukleat tidak digunakan untuk mendeteksi klamidia, setiap wanita diuji menggunakan metode kultur dan EIA, dan kami meyakini bahwa sensitivitasnya adekuat.
Hubungan antara ketiga indikator visual dengan infeksi klamidia setelah pengelompokkan berdasarkan jenis klinik dan kemungkinan adanya efek perancu indikator lain dinyatakan signifikan secara statistik dan substansial. Meskipun penelitian lain yang menyelidiki indikator klinik chlamydial cervicitis menemukan hubungan antara buangan endoservikal berwarna kuning, perdarahan mukosa, dengan infeksi klamidial servikal, penelitian ini adalah yang pertama mendefinisikan bahwa buangan endoservikal opak berhubungan dengan infeksi, dengan/tanpa dua indikator lainnya.
Dalam penelitian di masa yang akan datang tentang pemeriksaan chlamydial cervicitis selektif versus universal pada wanita muda, opasitas buangan harus diuji lebih lanjut untuk mengetahui kemampuannya dalam memprediksi infeksi, karena diduga dapat meningkatkan keefektivan pengaturan pemeriksaan selektif, jika dibandingkan dengan penelitian terdahulu. Kemungkinan, indikator visual juga berperan dalam diagnosis presumptif chlamydial cervicitis sebelum hasil pemeriksaan diperoleh, namun pasien cenderung tidak datang kembali untuk melakukan perawatan.
Di negara-negara berkembang, penatalaksanaan sindromik dapat mengurangi masalah penyakit kelamin menular. Karena pemeriksaan internal menggunakan spekulum kini bukan lagi bagian dalam metode penatalaksanaan sindromik, maka penerapan ketiga indikator visual chlamydial cervicitis ini masih terbatas. Kami menganjurkan agar ketiga indikator tersebut dipertimbangkan dalam penelitian berikutnya yang menyelidiki tentang metode-metode inovatif untuk menegakkan diagnosis

Read more...

Vitamin D dan Penyakit Periodontal

Abstrak
1,25-dihidroksivitamin D3 [1,25(OH)2D3; 1,25-dihidrokolekalsiferol atau kalsitrol] adalah bentuk aktif vitamin D3, yaitu suatu vitamin larut-lemak yang berperan dalam metabolisme kalsium dan tulang. Baru-baru ini, dibuktikan bahwa vitamin D3 berperan dalam pencegahan kanker, imunitas, dan pengaturan kardiovaskuler. 1.25(OH)2D3 menimbulkan efek fisiologis dan farmakologis karena dapat mengaktifkan reseptor vitamin D [VDR], suatu faktor transkripsi reseptor inti/nuklear superfamily. 1,25 (OH)2D3 berperan dalam pemeliharaan kesehatan rongga mulut karena berperan dalam metabolisme tulang dan mineral, serta imunitas innate. Dan, dilaporkan bahwa beberapa gen polimorfisme VDR berhubungan dengan penyakit periodontal. Ligand VDR terbukti bermanfaat dalam perawatan dan pencegahan penyakit periodontal.
Kata Kunci: vitamin D, reseptor vitamin D, reseptor inti/nuklear, infeksi, imunitas innate, penyakit periodontal.
Sumber: J Oral Sci 2009; 51: 11-20.


PENDAHULUAN

Vitamin D berperan dalam berbagai macam proses fisiologis, seperti metabolisme tulang dan kalsium, pertumbuhan dan diferensiasi seluler, imunitas, dan fungsi kardiovaskuler. Vitamin D merupakan suatu secosteroid, dimana cincin B struktur steroid canonical mengalami kerusakan/ruptur dan disintesis dari 7-dehidrokolesterol, yaitu suatu metabolit dalam sintesis kolesterol, atau berasal dari sumber makanan. Iradiasi sinar ultraviolet pada kulit yang terpapar matahari memicu reaksi fotokimia 7-dehidrokolesterol untuk memproduksi vitamin D3 secosteroid [kolekalsiferol] [Gambar 1A]. Vitamin D dihidroksilasi pada posisi-25 oleh hidroksilase vitamin D3 hepatik, 27-hidroksilase sterol [CYP27A1] dan 25-hidroksilase vitamin D [CYP2R1], untuk menghasilkan 25-hidroksivitamin D3 [25-hidroksikolekalsiferol], bentuk utama vitamin D dalam sirkulasi. 25-hidroksivitamin D3 dihidroksilasi dalam posisi-1a oleh 25-hidroksivitamin D 1-hidroksilase [C|YP27B1]. Reaksi ini diatur dan hanya terjadi dalam ginjal dan menghasilkan metabolit aktif, yaitu 1,25-dihidroksivitamin D3 [1,25(OH)2D3; 1,25-dihidroksikolekalsiferol atau kalsitrol]. Vitamin D2 dalam makanan [ergokalsiferol] dan vitamin D3 mengalami proses aktivasi serupa, yang melibatkan 25-hidroksilasi dalam hati dan 1a-hidroksilatoin dalam ginjal, dan masing-masing dikonversi menjadi metabolit aktif, yaitu 1,25(OH)2D3 dan 1,25(OH)2D2. molekul-molekul tersebut berikatan dengan reseptor vitamin D [VDR], suatu reseptor inti yang banyak diekspresikan dalam organ target homeostasis kalsium, seperti usus halus, tulang, ginjal, dan kelenjar paratiroid. Data epidemiologi terbaru dan penelitian pada binatang percobaan yang menggunakan VDR-null mice membuktikan peran vitamin D dalam pencegahan kanker, infeksi, dan penyakit kardiovaskuler, serta kelainan tulang dan kalsium [Gambar 1B]. Pembahasan makalah ini akan difokuskan pada fungsi vitamin D dalam kesehatan rongga mulut.

TRANSAKTIVASI VDR
VDR termasuk dalam superfamily reseptor inti faktor transkripsi. Terdapat 48 reseptor inti manusia yang berhasil diidentifikasi dan dikelompokkan menjadi 3 grup berdasarkan karakteristik ikatan-ligand. Reseptor hormon steroid, yang berperan sebagai homodimer dan sinyal endokrin mediate, adalah grup pertama dan terdiri dari reseptor estrogen, progesteron, androgen, glukokortikoid, dan mineralokortikoid. Grup kedua adalah sensor metabolit yang awalnya didefinisikan sebagai orphan receptors. Asam lemak, asam empedu, oksisterol, dan xenobiotik adalah ligand yang termasuk dalam golongan reseptor ini. Reseptor metabolite-sensing tersebut membentuk heterodimer bersama dengan reseptor retinoid X [RXR]. Grup ketiga dalam orphan receptors tidak memiliki ligand fisiologis dan diatur oleh mekanisme ligand-independen, seperti fosforilasi. VDR memberikan respon terhadap sinyal endokrin, yaitu 1,25(OH)2D3 dan metabolit-metabolit, seperti lithocholic acid [Gambar 1A], hal ini menunjukkan bahwa VDR memiliki fungsi ganda yaitu sebagai suatu reseptor endokrin dan sensor metabolik. Susunan protein VDR manusia, dan dalam reseptor inti lainnya, dibagi menjadi lima regio [A-E] [Gambar 2A]. Regio C terdiri dari domain ikatan-DNA dan dua jari zinc dan merupakan domain yang memiliki rangkaian homologi terkuat diantara anggota superfamily lainnya. Terminal-C domain ikatan-ligand [regio E] membentuk interfase heterodimerisasi dan mengandung domain transaktivasi ligand-dependen yang disebut sebagai fungsi aktivasi 2 [AF2]. Terminal-N regio A/B terdiri dari suatu domain transaktivasi ligand-independen yang disebut AF1. Domain AF1 berperan dalam fungsi spesifik jaringan reseptor hormon steroid, dan fungsi AF1 VDR terbatas karena kekurangan regio A/B.
VDR membentuk suatu heterodimer bersama dengan RXR dan mencegah aktivasi ligand RXR. VDR terlokalisir dalam sitosol dan nukleus, serta berakumulasi dalam nukleus sebagai respon terhadap ikatan 1,25(OH)2D3. Heterodimer VDR-RXR cenderung berikatan dengan elemen respon DNA yang memiliki dua motif heksanukleotida [AGGTCA atau rantai serupa] berulang secara langsung, dan dipisahkan oleh tiga nukleotida [DR3] [Gambar 2B]. elemen ikatan VDR DR3 ditemukan dalam regio pengaturan berbagai gen target, yaitu 25-dihidroksivitamin D 24-hidroksilase [CYP24A1], calbindin D9k, cathelicidin antimicrobial peptide [CAMP] dan reseptor transien vanilloid tipe 6 yang potensial [TRPV6]. Pengulangan motif heksanukleotida yang dipisahkan oleh enam nukleotida [ER6] adalah eleman ikatan-VDR lainnya yang mengatur ekspresi gen CYP3A4 manusia. Mutasi jari zinc domain ikatan-DNA VDR menyebabkan riketsia resisten-vitamin D herediter ]HVDRR] akibat defisiensi induksi gen target.
Reseptor inti, termasuk VDR, mengalami perubahan konformasional dalam daerah ikatan kofaktor dan domain AF2 saat terjadi ikatan ligand, yaitu suatu susunan struktural yang menghasilkan pertukaran kompleks kofaktor secara dinamis. Jika ligand tidak ada, ko-represor berikatan dengan permukaan AF2, yang terdiri dari helix 3, loop 3-4, heliks 4/5, dan helix 11. Ikatan ligand mengubah permukaan AF2 melalui reposisi helix 12 [Gambar 2B], yang mengurangi afinitas ko-represor, dan meningkatkan afinitas rekrutmen ko-aktivator, sehingga reseptor inti dapat menginduksi transkripsi gen spesifik. Kompleks kofaktor diklasifikasikan menjadi tiga kategori fungsional. Anggota klas kompleks kofaktor pertama mengatur transkripsi secara langsung melalui interaksi dengan faktor transkripsi umum dan RNA polimerase II. Anggota klas kompleks kofaktor kedua memodifikasi ekor histon melalui proses asetilasi atau deasetilasi. Kelas ketiga berperan dalam remodeling kromatin ATP-dependen secara dinamis. VDR yang berikatan dengan ligand tidak hanya terlibat dalam transaktivasi namun dalam beberapa konteks, juga dapat memediasi transrepresi. Interaksi kompleks kofaktor dan VDR yang dinamis dan terkoordinasi diperlukan untuk pengaturan transkripsi secara efisien.

METABOLISME MINERAL DAN TULANG
1,25(OH)2D3 berperan penting dalam pemeliharaan konsentrasi kalsium dan fosfat dalam darah, yaitu melalui stimulasi absorpsi intestinal, resorpsi tulang, dan reabsorpsi ginjal [Gambar 1B]. Defisiensi vitamin D menyebabkan insufisiensi absorpsi kalsium dan fosfat dalam diet sehingga meningkatkan sekresi hormon paratiroid yang akan memobilisasi simpanan kalsium tulang, sehingga terjadi riketsia dan osteomalasia. Mutasi VDR ditemukan dalam HVDRR dan VDR-null mice memiliki fenotip yang sama dengan penderita HVDRR, yaitu penderita riketsia, hipokalsemia, hipofosfatemia, peningkatan 1,25(OH)2D3 dalam serum, dan hiperparatirodisme. Seperti pada penderita HVDRR, diet tinggi-kalsium mencegah terjadinya riketsia dan hiperparatiroidisme pada VDR-null mice. Penemuan tersebut menunjukkan bahwa mineralisasi tulang yang abnormal akibat defisiensi vitamin D dan HVDRR disebabkan oleh gangguan absorpsi kalsium dalam usus halus. VDR ligand-teraktivasi menginduksi ekspresi gen-gen yang terlibat dalam metabolisme kalsium, seperti calbindin D9k, TRPV6 dan TRPV5. Calbindin D9k merupakan suatu protein transfer kalsium intraseluler, sedangkan TRPV6 dan TRPV5 adalah saluran kalsium epitel. Meskipun calbindin D9k dinyatakan sebagai salah satu mediator vitamin D3 yang berperan penting dalam penyampaian sinyal absorpsi kalsium oleh ginjal dan usus halus, tikus yang kekurangan calbindin D9k menunjukkan bahwa calbindin D9k tidak dibutuhkan dalam homeostasis kalsium. TRPV6 terdapat dalam ginjal dan usus halus, sedangkan TRPV5 hanya ditemukan dalam ginjal. Penelitian pada tikus mati menunjukkan bahwa TRPV6 dibutuhkan untuk absorpsi kalsium dalam usus halus dan berperan penting dalam pemeliharaan konsentrasi kalsium dalam darah. Tikus yang kekurangan TRPV5 mengalami reabsorpsi kalsium yang kurang, sehingga terjadi hiperkalsiuria parah. Melalui peningkatan absorpsi kalsium intestinal yang dimediasi oleh peningkatan konsentrasi vitamin D3 dalam serum dan ekspresi TRPV6 dalam usus halus, konsentrasi kalsium dalam serum akan terus terjaga. 1,25(OH)2D3 meningkatkan absorpsi fosfat dalam makanan melalui mekanisme yang belum diketahui. Faktor pertumbuhan fibroblast 23 [FGF23] dinyatakan sebagai salah satu faktor yang dapat mengurangi konsentrasi fosfat dan 1,25(OH)2D3 dalam serum dengan menghambat ekspresi CYP27B1 dan meningkatkan ekspresi CYP24A1. Karena VDR-null mice mengalami pertumbuhan skeletal yang normal dan fenotip riketsia mereka dipulihkan oleh normalisasi konsentrasi kalsium dan fosfat dalam serum, pengaruh defisiensi vitamin D terhadap tulang dimediasi oleh disregulasi homeostasis mineral.
Aktivasi VDR melalui dosis farmakologis 1,25(OH)2D3 dapat mengatur osteoblast secara langsung, melalui induksi protein remodeling-tulang yaitu osteocalcin dan osteopontin, serta memperbaiki reseptor aktivator ligand NF-kB [RANKL], suatu sinyal parakrin osteoklastogenesis. Transplantasi tulang VDR-null mice pada binatang liar akan meningkatkan volume dan densitas tulang, hal ini menunjukkan bahwa VDR terlibat dalam peningkatan resorpsi tulang atau penurunan pembentukan tulang. RANKL merupakan suatu sitokin yang melekat pada membran dan berikatan dengan reseptornya, RANK, yang ditemukan dalam prekursor-prekursor osteoklast, dan mengaktivasi diferensiasi osteoklast. Induksi RANKL osteoblast yang dimediasi oleh VDR berperan dalam peningkatan resorpsi tulang. Tikus yang mengalami ablasi-VDR khusus-kondrosit memiliki ekspresi RANKL osteoblast yang kurang dan penundaan osteoklastogenesis. Tikus-tikus tersebut juga mengalami penurunan konsentrasi FGF23 dalam sirkulasi dan peningkatan konsentrasi fosfat dalam serum. Karena FGF23 tidak diekspresikan dalam kondrosit, VDR menginduksi suatu faktor derivat-kondrosit yang tidak diketahui, yang mengatur ekspresi FGF23 dalam osteoblast. Jadi, VDR mengatur homeostasis tulang melalui aksinya dalam osteoblast dan kondrosit, serta melalui metabolisme tulang.
Osteoporosis merupakan salah satu penyakit metabolik yang umum terjadi dan memiliki karakteristik berupa hilangnya kandungan organik dan mineral tulang, sehingga fragilitas dan fraktur tulang meningkat. Osteoporosis dan penyakit periodontal memiliki beberapa faktor resiko yang sama dan hubungan dua-arah antara osteoroporosis dengan penyakit periodontal telah dikemukakan. Osteoporosis mengakibatkan penurunan densitas mineral tulang di seluruh tubuh, termasuk maksila dan mandibula. Penurunan densitas tulang rahang akan meningkatkan porositas alveolar, yaitu perubahan pola trabekular dan peningkatan kecepatan resorpsi tulang setelah invasi patogen periodontal. Infeksi periodontal meningkatkan pelepasan sitokin proinflamasi secara sistemik, yang mempercepat resorpsi tulang sistemik. Defisiensi vitamin D merupakan salah satu faktor resiko fraktur osteoporotik, dan perawatan wanita penderita osteoporosis menggunakan 1,25(OH)2D3 dapat meningkatkan densitas mineral tulang dan mengurangi insiden fraktur kompresi vertebral. Seperti yang akan dibawah dalam sub-bab berikut ini, 1,25(OH)2D3 menghambat respon proinflamasi dan meningkatkan imunitas innate. Jadi, ligand VDR memiliki manfaat klinis dalam perawatan penyakit periodontal akibat-osteoporosis.

KANKER DAN LEUKEMIA

1,25(OH)2D3 terbukti dapat menghambat proliferasi dan menginduksi diferensiasi berbagai tipe sel ganas, seperti kanker prostat, payudara, kolon, kulit, dan otak, serta sel-sel leukemia mieloid secara in vitro. Beberapa penelitian epidemiologis menunjukkan hubungan terbalik antara mortalitas akibat kanker prostat, payudara dan kolon, dengan paparan sinar matahari. Terutama dalam kanker rongga mulut/faring, konsentrasi 25-hidroksivitamin D3 yang rendah meningkatkan insiden kanker, hal ini membuktikan aktivitas anti-kanker 1,25(OH)2D3. Lebih dari 20 tahun lalu, 1,25(OH)2D3 dinyatakan dapat menginduksi diferensiasi sel-sel murine dan leukemia pada manusia. Perawatan menggunakan 1,25(OH)2D3 atau 1-hidroksivitamin D3, yang cepet dimetabolisme menjadi 1,25(OH)2D3, memperpanjang usia tikus penderita leukemia. Ligand VDR menginduksi ekspresi inhibitor kinase cyclin-dependen, p21CIP1/WAF1 dan p27KIP1, yang berperan dalam penghambatan siklus G1 sels-sel ganas. Meskipun mekanisme anti-kanker 1,25(OH)2D3 masih harus diuraikan lebih lanjut, ligand VDR yang memiliki aktivitas penghambat-pertumbuhan efisien dan aktivitas kalsemik rendah menjadi salah satu obat anti-kanker yang menjanjikan.

GANGGUAN IMUN DAN INFEKSI
VDR banyak diekspresikan dalam sel-sel imun, seperti sel-sel antigen, natural killer cells, sel T dan sel B, selain itu, 1,25(OH)2D3 dinyatakan memiliki efek imunomodulator yang poten. Efek imun 1,25(H)2D3 pada dasarnya dimediasi oleh aksi pada sel-sel dendritik. Aktivasi sel T alloreactive dan maturasi sel-sel dendritik dihambat oleh 1,25(OH)2D3. Hipertrofi akibat peningkatan sel-sel dendritik matur dalam limfonodus tikus yang kekurangan VDR menunjukkan bahwa 1,25(OH)2D3 dapat memodulasi respon imun antigen-spesifik secara in vivo. 1,25(OH)2D3 juga mempengaruhi sel T CD4 naive untuk meningkatkan pembentukan sel Th2. Efek terapeutik 1,25(OH)2D3 telah dibuktikan dalam model beberapa penyakti imun, seperti multiple sclerosis, rheumatoid arthritis, penyakit inflamasi pencernaan, lupus eritematosus sistemik, dan penolakan transplan.
Peptida yang dihasilkan oleh host berperan dalam pertahanan imunitas innate melawan infeksi mukosa. VDR yang diaktivasi oleh 1,25(OH)2D3 menginduksi ekspresi CAMP dan -defensin 4 dan membunuh Mycobacterium tuberculosis dalam makrofag. Aktivasi reseptor Toll-like oleh lipopeptida yang dihasilkan oleh bakteri meningkatkan ekspresi VDR dan CYP27B1 dalam makrofag, suatu mekanisme yang meningkatkan induksi gen target. Berkurangnya konsentrasi 25-hidroksivitamin D3 pada keturunan Afrika-Amerika disebabkan oleh inefisiensi ekspresi mRNA CAMP dan meningkanya kerentanan terhadap infeksi mikroba. CAMP banyak diekspresikan dan disekresi oleh keratinosit dan kelenjar epidermal, dan tikus yang mengalami defisiensi CAMP rentan terhadap infeksi kulit nekrotik. -defensin memiliki aktivitas antimikroba terhadap mikroba rongga mulut, termasuk bakteri penyebab-periodontitis seperti Actinobacilus actinomycetemcomitans, Porphyromonas gingivalis, dan Fusobacterium nucleatum, Candida, dan virus papiloma. Penderita HVDRR yang seringkali mengalami abses dental, memberikan bukti lain bahwa vitamin D berperan dalam imunitas innate rongga mulut.

POLIMORFISME VDR DAN PENYAKIT PERIODONTAL

Seiring dengan hilangnya fungsi, mutasi VDR berperan dalam HVDRR, pernah dilaporkan adanya hubungan antara polimorfisme beberapa fragmen panjang khusus VDR [RFLP] dengan beberapa penyakit, seperti hiperparatiroidisme sekunder dalam gagal ginjal, osteoporosis, kanker, nefrolitiasis, diabetes dan penyakit periodontal. BsmI, Tru9I, TaqI, EcoRV, dan ApaI RFLP terletak di antara ekson 8 dan 9, serta dapat mempengaruhi stabilitas mRNA [Gambar 3A]. FokI RFLP membuat kodon start dalam ekson 2, yang menghasilkan daerah start alternatif. Hubungan antara TaqI RFLP [Gambar 3B] dengan periodontitis pernah dilaporkan. Selain itu, juga pernah dilaporkan hubungan antara kurangnya frekuensi alel t dengan early onset periodontitis lokalisata [periodontitis agresif] pada subyek Kaukasia [Tabel 1]. Genotip TT dan alel T merupakan penyebab periodontitis kronis pada subyek keturunan Jepang dan Kaukasia, sedangkan genotip tt dan alel t menyebabkan early onset periodontitis [periodontitis agresif] pada subyek keturunan Cina. Ditemukan hubungan yang kuat antara pasien wanita keturunan Cina penderita periodontitis agresif dengan genotip tt dan genotip Tt. Meskipun genotip tt berhubungan dengan insiden tuberkulosis yang rendah dan infeksi virus hepatitis B kronis, genotip tt dan alel t berhubungan dengan penurunan densitas mineral tulang dan insiden osteoporosis. Penemuan tersebut menunjukkan bahwa RFLP TaqI berhubungan dengan fungsi imun dan metabolisme tulang. Perbedaan etnik dan mekanisme patogenesis antara periodontitis agresif dengan periodontitis kronis dapat mempengaruhi hasil analisis RFLP taqI. RFLP BsmI yang dikombinasikan dengan RFLP lainnya berhubungan dengan early onset periodontitis [periodontitis agresif] dan periodontitis kronis. RFLP FokI yang menghasilkan pemendekan protein VDR terbukti dapat meningkatkan resiko periodontitis agresif generalisata pada keturunan Korea. RFLP ApaI, BsmI, dan FokI dilaporkan dapat meningkatkan resiko periodontitis kronis yang parah pada pria keturunan Jepang. RFLP tersebut merupakan penyebab penyakit tulang dan mineral, sedangkan TaqI dan FokI RFLP meningkatkan resiko kanker, seperti keganasan prostat dan payudara. Dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk menguraikan relevansi fungsional antara VDR RFLP dengan patogenesis penyakit. Hubungan terbalik antara konsentrasi 25-hidroksivitamin D3 dalam serum dengan penyakit periodontal pernah dilaporkan. Penemuan tersebut menunjukkan bahwa 1,25(OH)2D3 berperan penting dalam pencegahan penyakit periodontal dan alel VDR hipomorfik, sedangkan penurunan konsentrasi 1,25(OH)2D3 berhubungan dengan penyakit periodontal.

APLIKASI TERAPEUTIK LIGAND VDR
Seperti yang telah dibahas di atas, ligand VDR merupakan kandidat obat yang menjanjikan dalam perawatan gangguan tulang dan mineral, kanker serta leukemia, penyakit autoimun dan infeksi, termasuk penyakit periodontal. Beberapa penelitian klinis membuktikan bahwa defisiensi vitamin D dapat meningkatkan resiko penyakit kardiovaskuler. Ligand yang diaktivasi oleh VDR menghambat ekspresi renin dan VDR-null mice mengalami penyakit kardiovaskuler, seperti hipertensi dan hipertrofi jantung, akibat disregulasi sistem renin-angiotensin. VDR berperan sebagai suatu sensor metabolik untuk asam empedu sekunder, seperti lithocholic acid, dan menginduksi ekspresi gen-gen yang terlibat dalam metabolisme dan ekskresi asam empedu toksik [Gambar 1]. Penemuan tersebut menunjukkan bahwa terapi yang menargetkan VDR dapat diaplikasikan dalam penyakit kardiovaskuler dan gangguan akibat metabolisme kolesterol/asam empedu. Pembasmian bakteri periodontopatik yang kurang sempurna dan kerusakan tulang yang disebabkannya merupakan penyebab periodontitis agresif. Ligand VDR dapat menstimulasi imunitas innate dengan menginduksi peptida antimikroba dan efek anabolik tulang, hal ini menunjukkan bahwa ligand VDR dapat diaplikasikan untuk pencegahan periodontitis agresif. Disregulasi pelepasan sitokin proinflamasi oleh monosit/makrofag dan limfosit dinyatakan dapat menginduksi periodontitis kronis. Karena 1,25(OH)2D3 memiliki efek imunomodulator yang poten, seperti inhibisi pelepasan sitokin proinflamasi, ligand VDR dinyatakan efektif untuk perawatan periodontitis kronis. Beberapa penelitian epidemiologis dan eksperimental menunjukkan bahwa ligand VDR juga bermanfaat dalam pencegahan dan perawatan kanker orofaring. Baru-baru ini, ditemukan bahwa beberapa efek samping, terutama hiperkalsemia, membatas aplikasi klinis 1,25(OH)2D3 dan derivatnya dalam perawatan gangguan tulang dan mineral, dan psoriasis, yaitu suatu penyakit kulit kronis yang ditandai dengan hiperproliferasi keratinosit dan infiltrasi inflamasi ke dalam dermis dan epidermis. Kombinasi dosis 1,25(OH)2D3 ­dengan obat-obatan lain merupakan salah satu cara untuk mengatasi timbulnya efek samping tersebut. Pengembangan modulator VDR selektif-jaringan atau fungsi yang memiliki aktivitas kalsemik rendah merupakan metode lain yang dapat dilakukan. Meskipun aplikasi topikal ligand VDR, seperti dalam perawatan psoriasis, dapat diaplikasikan dalam penyakit periodontal tanpa menginduksi efek samping sistemik, dibutuhkan penelitian klinis dan farmakologis lebih lanjut.

KESIMPULAN
Selain diketahui karena aktivitasnya dalam pencegahan riketsia dan osteomalasia, 1,25(OH)2D3 terbukti memiliki efek anti-kanker, modulator imun, dan imun innate, melalui aktivasi VDR. Sistem VDR-1,25(OH)2D3 berperan dalam homeostasis rongga mulut dan disfungsinya mengakibatkan terjadinya penyakit periodontal. Penelitian tentang vitamin D berperan penting dalam ilmu penyakit mulut lanjutan.

Read more...

27 August 2009

Analisis Jangka Pendek Pulpa Gigi Manusia Setelah Direct Capping Menggunakan Semen Portland

Abstrak: Penelitian ini mengevaluasi respon jangka pendek jaringan pulpa manusia terhadap direct capping menggunakan semen Portland. Dalam seri kasus ini, digunakan 20 gigi molar tiga manusia yang akan diekstraksi. Setelah dilakukan preparasi kavitas, dilakukan pembukaan pulpa dan dilakukan pulp capping menggunakan semen Portland. Gigi-geligi dicabut pada 1, 7, 14 dan 21 hari setelah perawatan dan disiapkan untuk pemeriksaan histologis dan deteksi bakteri. Setiap kelompok terdiri dari 5 gigi. Hasilnya dianalisis secara deskriptif. Terjadi pembentukan dentine bridge pada dua gigi dengan jarak tertentu dari interfase bahan [14 dan 21 hari]. Dalam sebagian besar kasus, ditemukan respon inflamasi ringan. Dalam semua spesimen, tidak ditemukan adanya bakteri. PC memiliki fitur biokompabilitas dan mampu menginduksi respon mineral pulpa dalam evaluasi jangka pendek. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa PC berpotensi untuk digunakan sebagai salah satu bahan pulp capping yang murah, dibandingkan dengan bahan capping lainnya.
Kata Kunci: Biokompabilitas, endodontik, semen Portland, terapi pulpa
Sumber: The Open Dentistry Journal, 2009; 3: 31-35.


PENDAHULUAN
Pemeliharaan vitalitas pulpa selama prosedur restorasi merupakan salah satu fokus dalam operative dentistry. Sebagian peneliti membuktikan bahwa perubahan pulpa di bawah berbagai jenis bahan restorasi disebabkan oleh keberadaan bakteri akibat kebocoran-mikro [microleakage]. Selain itu, penyebab utama kegagalan perawatan pulp capping adalah kontaminasi bakteri, bukan sifat iritan bahan capping. Jika hipotesis ini valid, pemulihan pulpa dapat terjadi jika bahan menutup rapat dan mencegah microleakage. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kalsium hidroksida bukanlah satu-satunya bahan yang mampu menstimulasi deposisi dentin reparatif atau pembentukan dentine bridge. Pembentukan dentine bridge merupakan salah satu respon instrinsik pulpa yang terbuka, tanpa-bakteri.

Selama beberapa tahun terakhir, beberapa penelitian membandingkan efek pemulihan dan komposisi PC dengan Mineral trioxide Aggregate [MTA]. Dalam hal efek pemulihan, ditemukan bahwa sel-sel osteoblast-like memiliki perkembangan dan pembentukan matriks yang serupa jika dikembangbiakkan dalam PC, sedangkan peneliti lainnya menemukan bahwa PC memungkinkan terbentuknya dentine bridge setelah pulpotomi pada anjing dan menginduksi deposisi granulasi kristal calcite jika diaplikasikan pada tubulus dentinalis yang ditanamkan secara subkutan pada tikus. Telah dibuktikan bahwa PC dan MTA memiliki efek yang sama terhadap sel-sel pulpa jika digunakan sebagai bahan direct pulp capping pada tikus, serta memiliki aktivitas antibakterial yang sama. Persamaan efek pemulihan kedua semen tersebut disebabkan oleh persamaan komposisinya. PC memiliki komposisi utama yang sama dengan MTA, seperti kalsium fosfat, kalsium oksida, dan silika. MTA juga mengandung bismuth oksida, yang meningkatkan radiopasitasnya, namun bahan ini tidak terkandung dalam PC. Karena berharga murah, cukup beralasan jika kita mempertimbangkan PC sebagai salah satu pengganti MTA dalam aplikasi endodontik.

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengevaluasi respon pulpa jangka-pendek setelah aplikasi PC pada pulpa gigi manusia yang terbuka.

BAHAN DAN METODOLOGI
Pemilihan Gigi

Gigi-geligi diperoleh dari tujuh pasien yang datang ke Klinik Seminologi Fakultas Kedokteran Gigi Univesitas Pernambuco. Sampel terdiri dari 20 gigi molar tiga manusia non-karies yang akan diekstraksi untuk perawatan ortodontik. Usia pasien berkisar antara 19 sampai 31 tahun [usia rata-rata = 24,8 tahun], pada laki-laki atau perempuan. Pasien menandatangani surat ijin setelah memperoleh penjelasan tentang eksperimen, prosedur klinis dan resiko yang mungkin terjadi. Para pasien diminta untuk membaca dan menandatangani surat ijin pelaksanan prosedur klinis. Surat ijin dan proyek penelitian telah disetujui oleh Komite Etik [Protokol 78/03] Universitas Pernambuco, Brazil.

Preparasi Kavitas dan Pembukaan Pulpa
Anestesi lokal dan regional dihasilkan dari injeksi mepivakain 2% [DFL, Sao Paulo, SP, Brazil]. Dental dam digunakan untuk mengisolasi gigi selama perawatan. Sebelum dilakukan preparasi kavitas, gigi-geligi dibersihkan menggunakan pasta profilaktik.
Kavitas Klas I dipreparasi menggunakan bur intan baru [#1015 – KG Sorensen, Sao Paulo, SP, Brazil] pada kecepatan tinggi dan aliran udara/air suling-pendingin. Dasar pulpa diperluas 0,5 – 1 mm dari pulpa, sesuai dengan pemeriksaan radiografik yang telah dilakukan. Pembukaan pulpa dilakukan menggunakan bur intan [berdiameter 1,2 mm – KG Sorensen, Sao Paulo, SP, Brazil] pada kecepatan tinggi dan aliran air. Perdarahan dikontrol menggunakan larutan saline steril dan cotton pellet steril. Pada setiap gigi, digunakan bur baru.

Aplikasi Bahan
Semen Portland [CP II – F32, ITAPESSOCA AGRO-INDUSTRIAL S.A., Goiania, PE, Brazil] dicampur dengan air suling untuk memperoleh konsistensi yang diinginkan. Dilakukan pulp capping menggunakan pasta PC dan kavitas ditutup dengan semen glass ionomer [DFL, Sao Paulo, SP, Brazil]. Gigi-geligi diekstraksi pada hari ke 1, 7, 14 dan 21 setelah perawatan pulp capping, dan dibagi menjadi empat kelompok berdasarkan waktu pencabutan. Setiap kelompok terdiri dari 5 spesimen [n = 5] yang menghasilkan sampel berjumlah 20 gigi.

Preparat Histologis
Setelah interval post-operatif pada hari 1, 7, 14 dan 21, gigi-geligi dicabut, dan sepertiga apikal akar dipotong agar formalin dapat berpenetrasi dan dilakukan fiksasi [larutan buffer formalin 10%]. Demineralisasi dilakukan menggunakan asam nitrat 5% setelah 4-5 minggu. Spesimen direndam dalam parafin dan dibuat potongan 3 m, yang diberi pewarna Hematoxylin-Eosin dan teknik Bron & Hopps. Gigi yang memiliki pulpa nekrotik atau terinfeksi digunakan sebagai kontrol teknik Brown & Hopps, untuk menunjukkan keberadaan bakteri.

Kriteria Evaluasi
Potongan dievaluasi secara blind oleh seorang ahli patologi menggunakan kriteria yang telah ditentukan sebelumnya dan dideskripsikan dalam Tabel 1.

Analisis Statistik
Data dianalisis menggunakan statistik deskriptif sesuai dengan fitur-fitur yang ditemukan dalam setiap kelompok eksperimental.

HASIL
Nilai respon sel inflamasi, organisasi jaringan lunak, pembentukan dentine bridge, dan pewarnaan bakteri diuraikan dalam Tabel 2. Setelah hari 1, tidak terjadi pembentukan dentine bridge pada kelima gigi dalam kelompok ini. Respon sel inflamasi berkisar antara lunak sampai ringan [Gambar 1A]. Jaringan pulpa yang terletak di bawah daerah paparan [berdiameter 1,2 mm] umumnya tidak terorganisir dan berisi pembuluh darah yang tersumbat.

Pembentukan dentine bridge terjadi pada 5 gigi dalam kelompok hari ke 7. Respon sel inflamasi tidak ditemukan dalam semua kasus, pada satu spesimen ditemukan jaringan pulpa yang tidak teratur dan penyumbatan pembuluh darah [4G2] di bawah daerah paparan [Gambar 1B] sedangkan pada spesimen 2G2, terjadi konsentrasi serat kolagen [Gambar 1C].

Setelah 14 hari, hanya satu spesimen [2G3] dalam kelompok ini yang memiliki dentine bridge; pada jarak tertentu dari interfase bahan pulp-capping [Gambar 1D]. Tidak ditemukan respon sel inflamasi dalam semua kasus, namun jaringan pulpa di bawah daerah paparan umumnya tidak beraturan dan berisi pembuluh darah yang tersumbat.

Jaringan di bawah daerah paparan memiliki karakteristik jaringan pulpa normal setelah 21 hari, disertai dengan perkembangan sel odontoblast-like di dalam interfase pulpa-PC. Dalam periode ini, satu spesimen memiliki dentin reparatif. Pada gigi-geligi yang tidak mengalami pembentukan dentine bridge, jaringan pulpa tidak mengalami perubahan morfologi, dan dalam semua kasus, tidak ditemukan respon sel inflamasi. Daerah deposisi serat kolagen ditemukan pada satu spesimen [Gambar 1E].

Teknik Brown & Hopps menunjukkan tidak adanya bakteri dalam semua potongan spesimen gigi [Gambar 1F].

PEMBAHASAN
Tujuan utama penelitian ini adalah untuk mengukur respon jangka pendek pulpa manusia yang di-capping menggunakan PC. Ini adalah pertama kali penggunaan PC pada pulpa manusia diuji. PC memiliki biokompabilitas yang sama dengan MTA jika diaplikasikan pada kavitas yang dalam pada gigi-geligi binatang. Berdasarkan pada anggapan bahwa penutupan yang efektif lebih penting dibandingkan dengan sifat bahan capping, dentine bridge parsial hanya ditemukan pada gigi-geligi yang mengalami kebocoran koronal, hal ini menunjukkan bahwa keberadaan mikroorganisme berperan dalam gangguan proses penyembuhan.

Beberapa peneliti melaporkan bahwa kontrol awal perdarahan pulpa adalah masalah biologis dan klinis paling kritis. Salah satu cara menentukan bahan terbaik untuk digunakan dalam kontrol perdarahan awal selama direct pulp capping adalah analisis histologis jangka pendek bahan-bahan yang digunakan sebagai agen direct pulp capping, seperti PC dan MTA. Dalam penelitian kami, tidak ditemukan perdarahan setelah aplikasi PC. Bukti tersebut menunjukkan sifat PC yang menguntungkan dengan mempertimbangkan fakta bahwa adanya bekuan darah di antara bahan capping dan jaringan pulpa dapat mengganggu pemulihan pulpa dan menarik mikroorganisme, yang mengakibatkan infeksi. Prosedur restorasi memiliki pengaruh signifikan terhadap keefektivan pulp capping sedangkan perdarahan dapat mengurangi khasiat dan durabilitas adhesi, penggunaan PC sebagai bahan direct pulp capping dapat menghasilkan adhesi semen glass ionomer atau sistem adhesif, yang mencegah kontaminasi bakteri akibat microleakage dalam jangka pendek ataupun panjang.

Reaksi biologis jaringan pulpa terhadap PC dinyatakan memuaskan, dan pemeriksaan jaringan menunjukkan bahwa bahan tersebut tidak menyebabkan iritasi. Sel-sel inflamasi pada hari pertama selalu terkumpul tepat di bawah daerah yang terpapar, diduga hal ini disebabkan oleh prosedur sel-sel itu sendiri. Dalam dua kasus tidak ditemukan morfologi pulpa reguler dan organisasi seluler di bawah daerah paparan.

Mekanisme aksi MTA dan PC sama. Karena kedua bahan mengandung kalsium hidroksida. Jika bahan ini digunakan, akan terjadi reaksi kalsium dari kalsium hidroksida dengan karbondioksida dalam jaringan pulpa menghasilkan kristal calcite.

Penemuan penting dalam penelitian ini adalah relasi antar berbagai zona reaksi pulpa. Zona PC menutupi pulpa yang terbuka dan menginduksi reaksi. Zona degenerasi, meskipun disebabkan oleh perlukaan pulpa dan efek kimia bahan, melindungi jaringan vital di bawahnya selama tahap awal penyembuhan. Diduga, PC dapat mengakibatkan denaturasi sel-sel di sekitarnya karena tingginya pH permukaan, terutama saat baru dicampur.

Jembatan kalsifikasi primer, sebagai suatu barier awal antara jaringan pulpa dengan kavitas, memungkinkan pulpa untuk mengorganisir elemen selulernya dan membentuk dentine bridge permanen. Dalam penelitian kami, ditemukan 1 spesimen [2G3] yang memiliki dentine bridge baru pada jarak tertentu dari interfase bahan. Respon terhadap direct pulp capping menggunakan bahan seperti PC adalah pembentukan barier dentin, yang dihasilkan dari pengerahan dan proliferasi sel-sel tak-terdiferensiasi, yang berupa sel batang ataupun sel-sel mature de- dan trans-differentiated. Jika telah terdiferensiasi, sel-sel mensintesis suatu matriks yang akan mengalami mineralisasi. Komponen matriks ekstraseluler dapat menginduksi pembentukan dentin reaksioner ataupun barier dentin.

Penemuan ini mendukung hasil penelitian Berman. Adanya dentine bridge di bawah PC diduga berhubungan dengan kemampuan pemulihan pulpa, apapun jenis bahan capping yang digunakan. Namun, tidak ditemukan pembentukan dentin tubuler setelah hari ke 21. Dengan menggunakan kalsium hidroksida, Demarco dkk, menemukan pembentukan 2-lapis dentine bridge, yaitu regio osteodentin di bagian luar dan regio tubular di bagian dalam, dalam waktu 90 hari. Pembentukan tubular ini merupakan salah satu sinyal maturasi dentin.

Beberapa penelitian pada binatang bebas-kuman menunjukkan peran bakteri dalam respon jaringan pulpa. Dalam penelitian ini, tidak ditemukan kontaminasi bakteri pada gigi-geligi yang diteliti. Ini menunjukkan bahwa aksi bakteriostatik CP cukup untuk mengurangi jumlah bakteri hidup di sekitar pulpa yang terpapar. Namun, harus diperhatikan bahwa tidak dilakukannya pewarnaan bakteri tidak menunjukkan sterilitas kasus-kasus tersebut menimbulkan respon inflamasi. Sejumlah kecil bakteri dapat memberikan hasil false-negative atau tereliminasi dari spesimen selama pembuatan preparat histologis. Atau, bakteri melekat pada restorasi yang hilang selama proses histologis.

Hasil penelitian ini harus dievaluasi dengan cermat karena prosedur capping dilakukan pada gigi sehat. Dalam sebagian besar kondisi klinis, paparan pulpa biasanya disebabkan oleh proses karies, dimana tingkat inflamasi dan kandungan bakterinya lebih tinggi. Kami menganjurkan untuk menguji prosedur ini dalam kondisi serupa untuk memastikan reproduksibilitas penemuan yang dilaporkan dalam evaluasi klinis ini. Meskipun penggunaan gigi vital yang sehat dalam penelitian semacam ini memiliki beberapa kelemahan, namun bermanfaat dalam standardisasi dan dinyatakan sebagai dapat diterima, dalam hal pemilihan dan perlakuan bahan.


KESIMPULAN
Meskipun penelitian ini memiliki beberapa kelemahan, dapat disimpulkan bahwa setelah dilakukan evaluasi histologis jangka pendek:
1.Dalam sebagian besar kasus, tidak ditemukan respon sel inflamasi
2.Dentine bridge ditemukan pada 10% spesimen
3.Jaringan di bawah daerah paparan memiliki karakteristik jaringan pulpa normal, dimana terdapat sel-sel odontoblast-like di bawah interfase pulpa/PC setelah 21 hari.
Secara ringkas, hasil penelitian kami mendukung pernyataan bahwa PC memiliki potensi untuk digunakan sebagai salah satu bahan pulp capping karena mampu menginduksi respon mineral pulpa jangka pendek. Dan, dibutuhkan penelitian lebih lanjut sebelum pembuatan rekomendasi penggunaan klinisnya.

Read more...

19 August 2009

Relaps atau Late Reversal Reaction?

Gejala klinis penyakit lepra aktif dan reaksi reversal merefleksikan respon imun seluler terhadap antigen mycobacterium. Secara klinis, sulit untuk membedakan antara relaps dan reaksi reversal. Kriteria histopatologis diferensiasi tersebut seringkali tidak-konklusif. Pemeriksaan bakteriologis dapat membantu, kecuali dalam multibacillary leprosy, karena hasil smear pasien paucibacillary leprosy biasanya negatif. Secara umum, meskipun reaksi reversal muncul lebih dini setelah perawatan dihentikan, dibandingkan dengan relaps, terkadang reaksi reversal ditemukan satu atau dua tahun setelah perawatan dihentikan. Data tentang relaps setelah multidrug therapy [MDT] belum mencukupi, namun data awal menunjukkan bahwa relaps jarang terjadi pada beberapa tahun pertama setelah MDT selesai.
Secara teoretis, kriteria konvensional untuk relaps adalah: a) kemunculan-kembali dan multiplikasi Mycobacterium leprae, yang direfleksikan dalam peningkatan indeks bakteri [BI]; b) kemunculan lesi kulit pada daerah yang sebelumnya tidak berpenyakit; dan c) terjadinya neuritis pada saraf yang sebelumnya tidak berpenyakit. Namun, dalam praktek, jika kita mempertimbangkan variabilitas hasil smear-kulit, hanya peningkatan BI rata-rata sebanyak satu unit atau lebih saja yang harus dipertimbangkan sebagai indikasi re-multiplikasi M. leprae.
Dalam prakteknya, lesi kulit dan saraf yang lama seringkali tidak dipetakan secara akurat dan tidak dapat dipastikan bahwa lesi tersebut baru terbentuk. Jadi, manfaat kriteria konvensional untuk membedakan relaps dengan reaksi reversal diragukan, dan dibutuhkan kriteria yang lebih jelas.
Kriteria potensial pertama adalah respon fenomena reaktif terhadap perawatan kortikosteroid yang terjadi dengan cepat. Kriteria potensial kedua adalah hasil pemeriksaan serologis menggunakan antibodi monoklonal melawan antigen M.leprae-spesifik.

Penyebab relaps
Klasifikasi salah. Jika kasus multibacillary leprosy keliru diklasifikasikan sebagai paucibacillary, kemungkinan terjadinya relaps lebih tinggi. Hal ini dapat dikorelasikan dengan: a) jumlah lesi; b) distribusi lesi; c) jumlah saraf yang terkena; d) pola kehilangan sensoris pada ekstremitas; e) klasifikasi histopatologis; dan f) pemeriksaan lepromin.
Kemoterapi yang tidak adekuat. Dalam kasus paucibacillary leprosy, dimana durasi terapi telah ditetapkan, durasi pengobatam yang adekuat berperan penting untuk mengurangi resiko relaps.
Resistensi obat. Secara teoritis, infeksi strain M. leprae yang resisten terhadap rifampin akan meningkatkan kemungkinan relaps dalam kasus paucibacillary.
Reinfeksi. Individu yang tertular penyakit lepra beresiko tinggi mengalami reinfeksi dibandingkan dengan individu yang tidak tertular penyakit. Jika pengobatan MDT tidak adekuat [< 75% kasus yang diperkirakan], maka resiko relaps akibat reinfeksi mungkin saja terjadi. Resiko reinfeksi ini juga dapat terjadi akibat migrasi individu rentan ke daerah endemik dimana MDT belum diperkenalkan atau jika pengobatannya tidak adekuat.
Persister. Fenomena M. leprae persisten dapat ditemukan dalam paucibacillary dan multibacillary leprosy. Namun, peran persister dalam resiko relaps belum diketahui.

Dugaan penyebab late reversal reaction
Pembersihan antigen M. leprae. Telah diketahui bahwa obat-obatan dalam MDT ditujukan untuk membunuh bakteri. Pembasmian bakteri diduga berhubungan dengan kompetensi sistem fagositik seorang individu. Dalam kasus paucibacillary dan sebagian besar kasus multibacillary, sistem ini mengalami penurunan. Keberadaan antigen M. leprae yang mati merupakan salah satu faktor resiko terjadinya reaksi reversal. Terdapat beberapa metode yang dapat digunakan untuk menghitung kandungan antigen dalam seorang pasien pada akhir fase kemoterapi dan memperkirakan resiko reaksi reversal di masa yang akan datang.
Relaps. Reaksi reversal dapat terjadi akibat remultiplikasi M. leprae, peningkatan kandungan antigen yang pada akhirnya menyebabkan relaps dan reaksi reversal. Secara teoritis, relaps akan mendahului reaksi reversal jika terjadi akibat remultiplikasi M. leprae. Namun, kita belum dapat melakukan pemeriksaan untuk membedakan kandungan antigen antara M. leprae yang hidup dan mati.
Durasi perawatan. Dahulu, fenomena reaksi reversal setelah monoterapi dapsone dihentikan jarang diamati, dan reaksi reversal yang terjadi setelah terapi dihentikan dinyatakan sebagai relaps. Dalam sebagian besar program, perawatan kasus paucibacillary dilanjutkan selama 5 tahun dan untuk kasus multibacillary leprosy, dilanjutkan seumur hidup. Dapat diasumsikan bahwa resiko reaksi reversal dalam paucibacillary leprosy, setelah perawatan dimulai, adalah + 5 tahun, sedangkan untuk kasus multibacillary leprosy adalah seumur hidup, karena untuk kasus paucibacillary, pembersihan antigen yang dilepaskan oleh basil mati membutuhkan waktu 5 tahun, dan dalam kasus multibacillary, proses tersebut tidak pernah selesai. Jadi, kita perlu mencari cara untuk meningkatkan pembasmian bakteri, seperti imunoterapi menggunakan M. leprae dan BCG, selama atau pada akhir kemoterapi untuk mengurangi resiko terjadinya reaksi reversal.
Faktor lain. Beberapa faktor lain, seperti kehamilan, vaksinasi, penyakit utama, prosedur pembedahan, tekanan emosi, transfusi darah, dsb, dapat memicu terjadinya reaksi reversal, jika faktor-faktor tersebut ditemukan sebelum pembasmian bakteri atau antigen selesai.
Secara ringkas, jika kita dapat membedakan keberadaan M. leprae hidup dengan M. leprae mati, maka diagnosis relaps atau reaksi reversal tidak sulit ditegakkan. Namun, dalam prakteknya, sulit untuk membedakan kedua fenomena tersebut jika hanya didasarkan pada manifestasi klinisnya saja. Perlu dilakukan pengumpulan data klinis yang akurat dan spesimen pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui perbedaan tersebut dalam suatu penelitian prospektif berskala besar

Read more...

Perbandingan Khasiat Sodium Hipoklorit Dengan Sodium Perborat Dalam Menghilangkan Stain Pada Heat Cured Clear Resin Akrilik

Abstrak
Latar Belakang: Basis resin akrilik menarik stain dan bau yang membentuk deposit organik dan anorganik. Penggunaan larutan kimia pembersih gigitiruan merupakan metode pembersihan gigitiruan yang paling populer. Tujuan: Untuk membandingkan khasiat 2 jenis pembersih gigitiruan dalam menghilangkan stain teh, kopi, turmeric, paan pada heat cured clear resin akrilik. Bahan dan Metode: Disiapkan 200 sampel heat cured clear resin akrilik. Sampel dibagi menjadi 4 kelompok dan direndam dalam larutan teh, kopi, turmeric, dan paan pada suhu 37oC selama 10 hari. Sampel yang telah terwarnai direndam dalam larutan pembersih gigitiruan komersil sodium perborat [Clinsodent], sodium hipoklorit [VI-Vlean] dan air suling [kontrol]. Nilai densitas optik [OD] diukur sebelum dan sesudah perendaman dalam larutan pembersih selama 20 menit dan 8 jam. Analisis statistik data dilakukan menggunakan Fischer’s test [ANOVA satu arah] dan perbandingan multipel dilakukan menggunakan Bonferroni test. Hasil: Larutan Clinsodent dan VI-clean terbukti dapat membersihkan stain kopi secara efektif dan yang terbaik untuk menghilangkan stain tumeric. Kesimpulan: Profesional dental harus memastikan bahwa para pemakai gigitiruan mengetahui bagaimana cara memilih bahan pembersih gigitiruan yang tepat untuk mendukung protokol perawatan gigitiruan di rumah.
Kata Kunci: Resin akrilik, pembersih gigitiruan, sodium hipoklorit, sodium perborat, khasiat pembersihan stain.
Sumber: The Journal of Indian Prosthodontic Society, 2009; 9(1):6-12


PENDAHULUAN
Protesa lepasan bertugas menggantikan gigi-geligi asli yang hilang atau dicabut beserta struktur di sekitarnya. Karena sebagian besar gigitiruan yang ada saat ini dibuat dari gigi resin akrilik dan bahan basis gigitiruan tipe resin polimetilmetakrilat [resin PMMA], metode pembersihan tanpa aksi abrasif yang kuat selalu lebih baik. Alasannya adalah, karena basis resin akrilik ini menarik stain dan bau yang membentuk deposit organik dan anorganik. Gigitiruan yang tidak bersih seringkali menimbulkan bau repulsif kuat yang umum disebut sebagai ‘napas gigitiruan/denture breath’. Untuk mengatasi hal tersebut, kini banyak tersedia pembersih gigitiruan di pasaran dan masing-masing mengklaim sebagai bahan yang efisien. Stain paan [dengan atau tanpa tembakau], teh, kopi, dan turmeric serta plak bakteri berakumulasi pada gigitiruan yang dipakai sebagian pasien di India meskipun gigitiruan didesain untuk self-cleansing. Kebiasaan intake minuman, seperti kopi, coklat, dan larutan kumur, misalnya klorheksidin, beberapa kali sehari juga cenderung membentuk stain dan mengubah warna resin. Konsentrasi dan periode paparan bahan stain dalam minuman dapat mempengaruhi pigmentasi resin. Pembersihan adekuat pada gigitiruan yang di-polish dengan baik menggunakan sabun dan sikat gigitiruan berdesain khusus adalah metode pembersihan gigitiruan terkini yang direkomendasikan oleh American Dental Association. Penggunaan larutan kimia pembersih gigitiruan adalah metode kedua yang paling populer untuk membersihkan gigitiruan dan tersedia secara komersil dalam bentuk peroksida alkali, hipoklorit alkali, larutan asam organik atau anorganik, desinfektan dan enzim. Umumnya, produk-produk tersebut mengandung bahan antimikroba, seperti hipoklorit atau agen oksida, yang mampu membunuh mikroorganisme dalam plak gigitiruan.

Meskipun banyak klaim yang dibuat oleh perusahaan pembuat bahan pembersih gigitiruan komersil, khasiat bahan pembersih tersebut masih dipertanyakan. Meskipun terdapat beberapa penelitian dalam literatur yang membandingkan aktivitas antimikroba bahan pembersih gigitiruan ternama, bahan yang digunakan bukanlah formulasi dari India. Dahulu, bahan pembersih gigitiruan berfungsi untuk menghilangkan deposit dan stain pada gigitiruan. Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan masa kini, peran mikroorganisme dalam etiologi denture stomatitis, difokuskan pada kemampuan bahan pembersih gigitiruan untuk mensanitasi gigitiruan. Bahan pembersih gigitiruan yang ideal harus memenuhi berbagai persyaratan, seperti memiliki kemampuan untuk menghilangkan deposit organik dan anorganik serta stain. Sebagian besar bahan pembersih gigitiruan mengklaim memiliki berbagai khasiat, namun komposisinya dirahasiakan.

Penelitian ini dilakukan untuk membandingkan khasiat dua jenis bahan pembersih gigitiruan ternama dalam menghilangkan stain yang dibentuk oleh teh, kopi, turmeric dan paan pada spesimen heat cure clear resin akrilik.

BAHAN DAN METODE
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Spektrofotometer, yaitu Thermo Spectronic 10 UV dari Genesys [UV-VIS], Pittsford, New York [Gambar 1]
Inkubator Julabo SW1 [Swiss] untuk mempertahankan suhu pada 37 + 1oC, Kavo Dental Flask and Clamp, Jerman
Acrylizer unit, Kavo, Jerman
Brass mold [Gambar 2] untuk standardisasi ukuran sampel [10 x 50 x 2 mm]

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
Dental carving wax [malam pengukir]
Gips lunak/keras model
Bahan clear heat cure acrylic [DPI]
Dua jenis bahan pembersih gigitiruan [Gambar 3]

1.Bubuk Clinsodent dari ICPA Health Product Ltd Ankleshwar, yang mengandung sodium perborat dan bekerja dengan membebaskan O2 yang terbentuk
2.Cairan pembersih gigitiruan VI-Clean dari Vishal Pharma Ltd. Ahmedabad, yang mengandung sodium hipoklorit dan memiliki efek bleaching/memutihkan.

Jenis pewarna/stain yang digunakan dalam penelitian ini adalah [Gambar 4]:
Daun teh Brooke Bond Taaza
Kopi Golden Blend Laxmi
Bubuk akar turmeric
Campuran Paan Beeda

Metode yang digunakan
Dipilih 2 bahan pembersih gigitiruan tipe larutan [telah disebutkan di atas] yang memiliki komposisi kimia berbeda dan larutan sampel disiapkan sesuai dengan instruksi pabrik [1 sendok teh dalam 200 ml air]. Air suling digunakan sebagai kontrol.
Proses pembuatan sampel adalah sebagai berikut:
Dental carving wax dicairkan dalam brass mold standar sepanjang 50 mm, tebal 2 mm dan lebar 10 mm untuk setiap grup sehingga sesuai dengan kuvet atau ruang spesimen dalam spektrofotometer. Dilakukan flasking pola malam dalam dental flask menggunakan gips lunak dan keras. Setelah malam dihilangkan, dilakukan packing menggunakan resin akrilik clear heat cure dan setelah penutupan percobaan, dilakukan penutupan akhir. Dilakukan bench cured selama 30 menit dan diaplikasikan siklus curing selama satu setengah jam. Kemudian, dilakukan deflasking sampel, di-trim dan polish menggunakan sandpaper/amplas yang kekasarannya diubah secara bertahap, terakhir, memastikan bahwa dimensi berukuran 50 x 10 x 2 mm tetap terpelihara. Setelah dilakukan finishing dan polishing, sampel direndam dalam air suling pada suhu 37 + 1oC selama 24 jam untuk menghilangkan sisa-sisa monomer. Densitas optis awal setiap sampel yang belum diberi stain/pewarna diukur sebelum proses pewarnaan untuk prosedur perbandingan dan mengeliminasi sampel yang mengalami porositas. Setelah metode tersebut, diperoleh 240 sampel akrilik clear, heat cured, dan 40 diantaranya dipakai dalam penelitian pendahuluan guna menentukan kuantitas agen pewarna yang dibutuhkan untuk menghasilkan pewarnaan yang adekuat dalam 200 ml air suling. Juga dilakukan pengukuran absorpsi maksimum [ maks], yaitu panjang gelombang dimana sinar spektrofotometer [UV-VIS] sensitif terhadap setiap media pewarna spesifik. pH setiap pewarna juga diukur. Prosedur ini dilakukan menggunakan indikator pH kertas litmus Indikrom yang memiliki kisaran pH spesifik antara 2,0 – 7,5 [Tabel 1].

Dua ratus sampel lainnya digunakan dalam penelitian inti. Sampel dibagi menjadi 4 kelompok yang masing-masing terdiri dari 50 sampel [200], dan direndam dalam larutan pewarna turmeric, teh, paan [tembakau], dan kopi selama 10 hari pada suhu 37 + 1oC dalam sebuah inkubator [untuk mensimulasi kondisi in vivo].

Bahan pewarna diganti dengan yang baru setiap hari untuk mencegah kolonisasi mikroba dan mempertahankan konsentrasi yang seragam. Kemudian, spesimen dibilas dan dikeringkan selama 2 jam. Pada tahap ini, dilakukan pengukuran densitas optik [yaitu, pembacaan awal] sampel yang telah diwarnai untuk perbandingan setelah perendaman dalam bahan pembersih gigitiruan.

Semua spesimen yang telah terwarnai direndam dalam dua jenis larutan bahan pembersih gigitiruan yang baru disiapkan, dan 40 sampel direndam dalam air suling [sebagai kontrol] selama 20 menit [untuk mensimulasi perendaman antar-waktu makan] dan 8 jam [mensimulasi perendaman semalam]. Kemudian, dibilas, dikeringkan, dan dilakukan evaluasi khasiat pembersihan stain setiap bahan pembersih gigitiruan dengan mengukur densitas optis spesimen [pada berbagai  maks setiap zat pewarna] menggunakan spektrofotometer. Proses ini diulangi untuk setiap jenis stain dan nilai rata-ratanya dihitung. Dari sini, ditentukan densitas optis awal spesimen yang telah terwarnai oleh setiap zat pewarna untuk standardisasi dan perbandingan.

Analisis Statistik
Nilai yang diperoleh dianalisis secara statistik menggunakan software SPSS versi 13.0. Dilakukan penghitungan nilai mean dan standar deviasi setiap sampel pada setiap kelompok bahan pewarna [pembacaan awal]. Nilai mean dibandingkan menggunakan ANOVA satu arah—Fisher’s test untuk perbandingan kelompok. Perbandingan multipel dilakukan menggunakan Bonferroni test untuk mengidentifikasi kelompok yang signifikan pada batas 5% dan mempertahankan pembacaan awal sebagai variabel dependen. Perbandingan dilakukan pada setiap jenis zat pewarna dan periode untuk setiap jenis bahan pembersih gigitiruan. Dalam penelitian ini, P < 0.05 dinyatakan sebagai batas signifikansi.

HASIL
Nilai rata-rata densitas optis awal sampel yang telah diwarnai, setelah analisis spektrofotometrik pada setiap  maks diuraikan dalam Tabel 2. Hasilnya menunjukkan bahwa kopi, yang diikuti oleh teh, turmeric, dan paan memiliki nilai densitas optis dalam urutan menurun. Kemudian, nilai rata-rata tersebut dianalisis menggunakan ANOVA [Fischer’s test] antar grup zat pewarna dan dinyatakan sangat signifikan untuk membentuk stain [yaitu, P = 0.001, dimana P < 0.05].

Nilai rata-rata densitas optis sampel akrilik heat-cured yang terwarnai setelah direndam dalam bahan pembersih gigitiruan selama 20 menit digambarkan dalam Grafik 1. Hasilnya menunjukkan bahwa untuk sampel yang direndam dalam larutan Clinsodent, turmeric memiliki nilai densitas optis terendah, yang diikuti oleh paan, kemudian teh dan terakhir, kopi. Untuk sampel yang direndam dalam VI-clean, nilai densitas optis terendah adalah paan, kemudian teh, turmeric, dan kopi.

Nilai mean densitas optis terendah sampel akrilik heat-cured setelah direndam dalam bahan pembersih gigitiruan selama 8 jam digambarkan dalam Grafik 2. Hasilnya menunjukkan bahwa sampel yang direndam dalam larutan Clinsodent, turmeric memiliki nilai densitas optis terendah, kemudian paan, teh dan terakhir, kopi. Untuk sampel yang direndam dalam VI-clean, paan memiliki nilai densitas optis terendah, yang diikuti oleh teh, turmeric dan kopi. Untuk sampel kontrol yang direndam dalam air suling, tidak ada selisih nilai densitas optis yang signifikan.

Tabel 3 menguraikan perbandingan multipel perubahan densitas optis [dengan menghitung selisih nilai mean] antar bahan pembersih gigitiruan untuk setiap jenis zat pewarna dan periode perendaman [yaitu, 20 menit dan 8 jam] dan aplikasi Bonferroni test yang menggunakan pembacaan awal sebagai variabel dependen.
Hasil [Grafik 3 dan 4] menunjukkan bahwa, setelah perendaman selama 20 menit dan 8 jam, Clinsodent dan VI-clean kurang efektif membersihkan stain kopi, dan paling unggul dalam membersihkan stain turmeric.

PEMBAHASAN
Masalah kosmetik utama bagi para pemakai gigitiruan adalah stain yang berakumulasi pada gigitiruannya, yang pada akhirnya memicu terjadinya denture stomatitis. Penelitian ini dilakukan untuk membahas masalah tersebut, dengan memanfaatkan metode ilmiah terstandardisasi dalam menganalisis khasiat pembersihan stain berbagai jenis larutan bahan pembersih gigitiruan. Stain disebabkan oleh berbagai macam proses, seperti ingesti makanan berwarna, tembakau, dan minuman, seperti kopi, teh, dsb. Penelitian sebelumnya dilakukan oleh Gispin dan Caputo yang memanfaatkan larutan kopi, teh, dan anggur sebagai bahan pewarna. Mereka menemukan bahwa larutan anggur memiliki potensi staining lebih besar, yang meningkatkan pH. Yannikakis dkk, menyelidiki efek staining kopi dan teh terhadap enam merek resin yang digunakan dalam pembuatan restorasi sementara. Tujuh hari perendaman menghasilkan perubahan warna yang jelas pada semua merek resin. Stain yang terbentuk pada sampel akrilik resin dalam penelitian ini serupa dengan stain gigi yang umum ditemukan secara in vivo jadi, secara klinis, dinyatakan relevan.


Dalam penelitian ini, dibuat sampel heat cured clear akrilik yang memiliki dimensi lebar 10 mm x 50 mm panjang x 2 mm tebal, yang berbeda dengan spesifikasi dimensi ADA No. 12 untuk polimer basis gigitiruan. Sampel dibuat dalam spesifikasi tersebut agar sesuai dengan ruang kuvet spektrofotometer yang digunakan dalam penelitian ini.

Setelah proses perendaman selama 20 menit dan 8 jam, sampel stain kopi dan teh dinyatakan memiliki stain residu tertinggi dibandingkan dengan sampel yang diberi pewarna turmeric dan paan. Untuk melihat perbedaan larutan pewarna, dilakukan pengujian pH dan ditemukan bahwa kopi memiliki pH 3,0; teh memiliki pH 3,5, turmeric 5,5 dan paan 7,0. Hal ini membuktikan pengaruh sifat asam kopi dan teh terhadap sampel akrilik berwarna bening, diduga menyebabkan erosi lapisan permukaan yang telah di-polish sehingga meningkatkan uptake stain. Penemuan ini mendukung hasil penelitian Gispin dan Caputo yang mengklaim hasil serupa, meskipun menggunakan larutan pewarna anggur [yang sangat asam]. Di sisi lain, dalam skala pH, turmeric dan paan cenderung berada pada sisi alkali, hal ini menjelaskan rendahnya derajat pewarnaan zat ini.

Meskipun sabun dan sikat adalah metode pembersihan gigitiruan yang umum digunakan, seiring dengan pertambahan usia, banyak pasien geriatrik [dimana sebagian besar merupakan pemakai gigitiruan] telah kehilangan ketrampilan manual dan lumpuh, sehingga tidak mampu melakukan pembersihan gigitiruan secara efektif.

Pembersih gigitiruan konvensional tipe larutan alkali peroksida adalah bahan yang lebih sering digunakan oleh masyarakat untuk membersihkan gigitiruan, dibandingkan dengan jenis bahan lainnya. Penggunaan pembersih cair membantu mereka menjaga gigitiruannya tetap bersih dan menghindari pembentukan deposit. Dengan melihat sudut pandang tersebut, dipilih dua jenis bahan pembersih gigitiruan cair [larutan Clinsodent dan VI-Clean] yang umum dipasarkan di India Selatan, untuk menguji khasiatnya dalam menghilangkan stain.

Clinsodent mengandung sodium perborat, yang merupakan salah satu pembersih gigitiruan tipe peroksida. Jika dilarutkan dalam air, akan membentuk hidrogen peroksida. Tipe pembersih ini mengkombinasikan deterjen alkali untuk mengurangi tekanan permukaan dan pelepasan oksigen secara kimiawi dari larutan. Gelembung oksigen menimbulkan efek pembersihan mekanis. VI-Clean mengandung sodium hipoklorit, sebagai salah satu zat aktif. Jika dilarutkan dalam air, akan membersihkan melalui efek bleaching yang dihasilkan dari pelepasan ion klorida ke dalam larutan.

Dipilih waktu perendaman selama 20 menit untuk mengetahui apakah aksi pembersihan stain optimum dapat terjadi dalam periode tersebut, seperti yang direkomendasikan oleh beberapa perusahaan tentang ‘perendaman antar-waktu makan’ dan didukung oleh penelitian Russel dan Elahi, yang menyatakan bahwa waktu perendaman selama 10 menit adalah cukup. Waktu perendaman selama 8 jam dipilih untuk mensimulasi ‘perendaman gigitiruan malam hari’ dalam larutan pembersih sesuai dengan rekomendasi perusahaan pembuat bahan pembersih gigitiruan yang digunakan dalam penelitian ini.

Nilai densitas optis diukur pada setiap absorpsi maksimum [ maks] dalam berbagai jenis zat pewarna untuk mengetahui perluasan staining dan kemampuan setiap bahan pembersih gigitiruan dalam menghilangkan stain, prosedur ini berbeda dengan penelitian Tulsi dan Sabita, dimana densitas optis diukur tanpa mengukur absorpsi maksimum zat pewarna.

Penelitian ini merupakan suatu pengujian in vitro yang lebih cepat dari kondisi klinisnya. Hasil penelitian ini menunjukkan perubahan warna resin akrilik yang signifikan setelah 10 hari perendaman dalam bahan pewarna teh, turmeric, kopi dan paan. Dalam penelitian ini juga dilakukan penyimpanan sampel dalam inkubator yang diletakkan di ruang gelap pada suhu 37 + 1oC untuk mensimulasi kondisi rongga mulut asli, seperti yang diuraikan oleh Thakral dkk, dan Jagger dkk.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Clinsodent kurang efektif membersihkan stain kopi dan paling baik untuk menghilangkan stain turmeric setelah perendaman berdurasi 20 menit dan 8 jam. Hal ini disebabkan oleh sifat asam kopi, dibandingkan dengan turmeric dan paan yang mempengaruhi uptake lebih banyak stain oleh sampel akrilik, sehingga mengakibatkan penguraian lapisan permukaan yang telah di-polish. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Hutchins dan Parker yang menunjukkan bahwa tablet berbuih tidak efektif membersihkan deposit pada permukaan gigitiruan.

Di sisi lain, VI-Clean terbukti kurang efektif membersihkan stain kopi, namun sangat efektif menghilangkan stain paan dalam durasi perendaman 20 menit dan 8 jam. Berdasarkan hasil penelitian di atas, stain kopi dinyatakan paling sulit dibersihkan oleh kedua jenis bahan pembersih. Pada sampel akrilik yang terwarnai oleh kopi, selisih rata-rata nilai densitas optis antara waktu perendaman 20 menit dan 8 jam dalam larutan pembersih lebih besar pada VI-Clean dibandingkan dengan Clinsodent, hal ini menunjukkan bahwa VI-Clean memiliki aktivitas pembersihan yang lebih baik dibandingkan dengan Clinsodent. Hasil serupa juga didapatkan oleh Jagger dkk, yang memanfaatkan pembersih gigitiruan sodium hipoklorit dan menemukan efek pembersihan yang lebih baik jika menggunakan Boots Denture Cleaning Powder. Sebagai kontrol [air suling] menghasilkan derajat pembersihan stain yang rendah, hal ini disebabkan oleh peningkatan suhu, yang menambah penyerapan air ke dalam bahan dan pelepasan komponen stain terlarut dari bahan gigitiruan, seperti yang diutarakan oleh Gupta dkk.

Kelemahan Penelitian
1.Setiap jenis zat pewarna diambil dan diteliti secara terpisah; hal ini tidak ditemukan pada gigitiruan pasien karena terdapat pengaruh multifaktorial dalam staining gigitiruan.
2.Positas mikro sampel gigitiruan dapat mempengaruhi absorpsi zat pewarna, meskipun semua sampel di-polish dengan baik dan dilakukan pemeriksaan visual untuk mengetahui porositasnya sebelum pengujian.
3.Sampel gigitiruan yang digunakan disini berwarna putih/bening, jadi efek pemutihan tidak dapat diketahui, seperti akrilik berwarna yang digunakan dalam pembuatan gigitiruan.

Ruang Lingkup Penelitian
1.Penelitian ini dapat diperluas menjadi suatu penelitian klinis untuk membuktikan khasiat bahan pembersih gigitiruan. Jadi, dapat diperoleh hasil yang lebih signifikan secara klinis.
2.Efek pemutih [bleaching] bahan pembersih gigitiruan yang diselidiki dalam penelitian ini dapat dianalisis lebih lanjut menggunakan sampel berwarna dengan durasi perendaman yang lebih lama.
3.Sampel yang telah diwarnai dapat dianalisis lebih lanjut dengan refleksi spektrofotometri menggunakan cie lab system.


RINGKASAN DAN KESIMPULAN
Dari hasil yang diperoleh, dapat ditarik beberapa kesimpulan berikut ini:
1.Dari jenis zat pewarna yang diselidiki, kopi dinyatakan memiliki kapasitas absorpsi maksimum dan paling sulit dibersihkan oleh kedua jenis bahan pembersih gigitiruan.
2.Bahan pembersih gigitiruan VI-Clean terbukti lebih efektif menghilangkan stain yang digunakan dalam penelitian ini, dibandingkan dengan Clinsodent.
Jadi, para profesional dental, harus memastikan bahwa masyarakat pemakai gigitiruan mengetahui bagaimana cara memilih bahan pembersih gigitiruan yang tepat untuk mendukung protokol pemeliharaaan gigitiruan di rumah.

Read more...

Berhitung!

Pasang Aku Yaa

go green indonesia!
Solidaritas untuk anak Indonesia

  © Blogger templates Newspaper III by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP