Relaps atau Late Reversal Reaction?
Gejala klinis penyakit lepra aktif dan reaksi reversal merefleksikan respon imun seluler terhadap antigen mycobacterium. Secara klinis, sulit untuk membedakan antara relaps dan reaksi reversal. Kriteria histopatologis diferensiasi tersebut seringkali tidak-konklusif. Pemeriksaan bakteriologis dapat membantu, kecuali dalam multibacillary leprosy, karena hasil smear pasien paucibacillary leprosy biasanya negatif. Secara umum, meskipun reaksi reversal muncul lebih dini setelah perawatan dihentikan, dibandingkan dengan relaps, terkadang reaksi reversal ditemukan satu atau dua tahun setelah perawatan dihentikan. Data tentang relaps setelah multidrug therapy [MDT] belum mencukupi, namun data awal menunjukkan bahwa relaps jarang terjadi pada beberapa tahun pertama setelah MDT selesai.
Secara teoretis, kriteria konvensional untuk relaps adalah: a) kemunculan-kembali dan multiplikasi Mycobacterium leprae, yang direfleksikan dalam peningkatan indeks bakteri [BI]; b) kemunculan lesi kulit pada daerah yang sebelumnya tidak berpenyakit; dan c) terjadinya neuritis pada saraf yang sebelumnya tidak berpenyakit. Namun, dalam praktek, jika kita mempertimbangkan variabilitas hasil smear-kulit, hanya peningkatan BI rata-rata sebanyak satu unit atau lebih saja yang harus dipertimbangkan sebagai indikasi re-multiplikasi M. leprae.
Dalam prakteknya, lesi kulit dan saraf yang lama seringkali tidak dipetakan secara akurat dan tidak dapat dipastikan bahwa lesi tersebut baru terbentuk. Jadi, manfaat kriteria konvensional untuk membedakan relaps dengan reaksi reversal diragukan, dan dibutuhkan kriteria yang lebih jelas.
Kriteria potensial pertama adalah respon fenomena reaktif terhadap perawatan kortikosteroid yang terjadi dengan cepat. Kriteria potensial kedua adalah hasil pemeriksaan serologis menggunakan antibodi monoklonal melawan antigen M.leprae-spesifik.
Penyebab relaps
Klasifikasi salah. Jika kasus multibacillary leprosy keliru diklasifikasikan sebagai paucibacillary, kemungkinan terjadinya relaps lebih tinggi. Hal ini dapat dikorelasikan dengan: a) jumlah lesi; b) distribusi lesi; c) jumlah saraf yang terkena; d) pola kehilangan sensoris pada ekstremitas; e) klasifikasi histopatologis; dan f) pemeriksaan lepromin.
Kemoterapi yang tidak adekuat. Dalam kasus paucibacillary leprosy, dimana durasi terapi telah ditetapkan, durasi pengobatam yang adekuat berperan penting untuk mengurangi resiko relaps.
Resistensi obat. Secara teoritis, infeksi strain M. leprae yang resisten terhadap rifampin akan meningkatkan kemungkinan relaps dalam kasus paucibacillary.
Reinfeksi. Individu yang tertular penyakit lepra beresiko tinggi mengalami reinfeksi dibandingkan dengan individu yang tidak tertular penyakit. Jika pengobatan MDT tidak adekuat [< 75% kasus yang diperkirakan], maka resiko relaps akibat reinfeksi mungkin saja terjadi. Resiko reinfeksi ini juga dapat terjadi akibat migrasi individu rentan ke daerah endemik dimana MDT belum diperkenalkan atau jika pengobatannya tidak adekuat.
Persister. Fenomena M. leprae persisten dapat ditemukan dalam paucibacillary dan multibacillary leprosy. Namun, peran persister dalam resiko relaps belum diketahui.
Dugaan penyebab late reversal reaction
Pembersihan antigen M. leprae. Telah diketahui bahwa obat-obatan dalam MDT ditujukan untuk membunuh bakteri. Pembasmian bakteri diduga berhubungan dengan kompetensi sistem fagositik seorang individu. Dalam kasus paucibacillary dan sebagian besar kasus multibacillary, sistem ini mengalami penurunan. Keberadaan antigen M. leprae yang mati merupakan salah satu faktor resiko terjadinya reaksi reversal. Terdapat beberapa metode yang dapat digunakan untuk menghitung kandungan antigen dalam seorang pasien pada akhir fase kemoterapi dan memperkirakan resiko reaksi reversal di masa yang akan datang.
Relaps. Reaksi reversal dapat terjadi akibat remultiplikasi M. leprae, peningkatan kandungan antigen yang pada akhirnya menyebabkan relaps dan reaksi reversal. Secara teoritis, relaps akan mendahului reaksi reversal jika terjadi akibat remultiplikasi M. leprae. Namun, kita belum dapat melakukan pemeriksaan untuk membedakan kandungan antigen antara M. leprae yang hidup dan mati.
Durasi perawatan. Dahulu, fenomena reaksi reversal setelah monoterapi dapsone dihentikan jarang diamati, dan reaksi reversal yang terjadi setelah terapi dihentikan dinyatakan sebagai relaps. Dalam sebagian besar program, perawatan kasus paucibacillary dilanjutkan selama 5 tahun dan untuk kasus multibacillary leprosy, dilanjutkan seumur hidup. Dapat diasumsikan bahwa resiko reaksi reversal dalam paucibacillary leprosy, setelah perawatan dimulai, adalah + 5 tahun, sedangkan untuk kasus multibacillary leprosy adalah seumur hidup, karena untuk kasus paucibacillary, pembersihan antigen yang dilepaskan oleh basil mati membutuhkan waktu 5 tahun, dan dalam kasus multibacillary, proses tersebut tidak pernah selesai. Jadi, kita perlu mencari cara untuk meningkatkan pembasmian bakteri, seperti imunoterapi menggunakan M. leprae dan BCG, selama atau pada akhir kemoterapi untuk mengurangi resiko terjadinya reaksi reversal.
Faktor lain. Beberapa faktor lain, seperti kehamilan, vaksinasi, penyakit utama, prosedur pembedahan, tekanan emosi, transfusi darah, dsb, dapat memicu terjadinya reaksi reversal, jika faktor-faktor tersebut ditemukan sebelum pembasmian bakteri atau antigen selesai.
Secara ringkas, jika kita dapat membedakan keberadaan M. leprae hidup dengan M. leprae mati, maka diagnosis relaps atau reaksi reversal tidak sulit ditegakkan. Namun, dalam prakteknya, sulit untuk membedakan kedua fenomena tersebut jika hanya didasarkan pada manifestasi klinisnya saja. Perlu dilakukan pengumpulan data klinis yang akurat dan spesimen pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui perbedaan tersebut dalam suatu penelitian prospektif berskala besar
0 komentar:
Post a Comment