Gingivitis Sebagai Salah Satu Faktor Resiko Dalam Penyakit Periodontal
Abstrak
Latar Belakang: Plak gigi terbukti dapat memicu dan memperparah inflamasi gingival. Secara histologis, beberapa tahapan gingivitis menjadi karakteristik sebelum lesi berkembang menjadi periodontitis. Secara klinis, gingivitis dapat dikenali.
Bahan & Metode: Telah dilakukan berbagai penelitian longitudinal pada kohort pasien yang terdiri dari 565 pria kebangsaan Norwegia dari kelas menengah selama periode 26 tahun untuk mengetahui sifat alamiah periodontitis awal pada subyek dental-minded yang berusia antara 16-34 tahun saat penelitian dimulai.
Hasil: Daerah yang terus-menerus berdarah [GI = 2] mengalami kehilangan perlekatan 70% lebih banyak dibandingkan dengan daerah yang tidak pernah mengalami inflamasi [GI = 0]. gigi-geligi yang memiliki daerah non-inflamasi memiliki tingkat daya tahan selama 50 tahun sebesar 99,5%, sedangkan gigi-geligi yang gingivanya terus-menerus mengalami inflamasi memiliki tingkat daya tahan sebesar 63,4%.
Kesimpulan: Berdasarkan pada penelitian-penelitian tentang riwayat alamiah periodontitis dalam suatu populasi pria yang gigi-geligi terpelihara dengan baik, dapat disimpulkan bahwa gingivitis persisten merupakan salah satu faktor resiko kehilangan perlekatan periodontal dan kehilangan gigi.
Kata Kunci: Epidemiologi, gingivitis, perkembangan periodontitis, pencegahan, faktor resiko, kehilangan gigi.
Sumber: J Clin Periodontol, 2009; 36 (Suppl. 10): 3-8.
Plak Gigi
Penelitian mikroskopik dan mikroskop elektron pertama menunjukkan hubungan kuat antara plak gigi dengan jaringan gingiva dan periodontal.
Kemudian, beberapa penelitian epidemiologis di banyak negara menegaskan hubungan antara deposit gigi dengan penyakit periodontal.
Akhirnya, pada tahun 1965, penelitian eksperimental tentang gingivitis menunjukkan bahwa akumulasi plak pada gingiva sehat mengakibatkan gingivitis [Gambar 1a-d], dan setelah pelaksanaan prosedur oral higiene selama 7 hari, gingiva kembali pulih ke kondisi normalnya [Gambar 2]. Penelitian-penelitian tersebut juga mendeskripsikan rangkaian perkembangan plak gingiva mulai dari lapisan-mono bakteri coccus gram-positif yang berkoloni pada permukaan email dan marginal gingiva sampai plak mikroba kompleks yang didominasi oleh cocci, filamen dan spirochete anaerob gram negatif. Penelitian tersebut menjadi dokumentasi akhir bahwa plak bakteri merupakan sesuai yang sangat berbeda dengan debris makanan, sesuatu yang lebih berwarna dibandingkan dengan Materia Alba dan jauh lebih menarik dibandingkan dengan ‘Schmutz’ [Gambar 3a dan b]. Jadi, banyak dilakukan penelitian untuk memahami interaksi yang lebih lengkap antara agen-agen infeksi dengan kehilangan jaringan dalam trasisi mulai dari sehat sampai berpenyakit dan dalam perkembangan dari gingivitis menjadi periodontitis.
Plak supragingival pada jaringan gingiva sehat memiliki komposisi yang berbeda dengan plak dalam jaringan gingivitis, yang berbeda dengan plak subgingiva pada lesi periodontal yang sedang berkembang atau tingkat lanjut.
Dalam plak gigi manusia yang berkembang-baik, ditemukan > 300 tipe mikroorganisme, dimana sebagian telah berhasil diidentifikasi namun sebagian lainnya belum dapat diidentifikasi. Sebagian diantaranya mungkin berperan penting dalam patogenesis penyakit, dan lainnya tidak. Sejauh ini, berbagai penelitian menunjukkan bahwa tidak hanya satu atau dua mikroorganisme yang berperan dalam patologi periodontal, namun ada banyak. Saat ini, pihak yang berwenang memiliki pendapat yang sama bahwa sekurang-kurangnya terdapat tujuh sampai delapan mikroorganisme yang terlibat dalam berbagai tipe penyakit periodontal. Antara lain:
Aggregatibacter actinomycetemcomitans
Porphyromonas gingivalis
Tannerella forsythia
Prevotella intermedia
Campylobacter rectus
Spirochetes
Mikroorganisme tersebut dan jenis lainnya yang belum teridentifikasi dinyatakan berperan penting dalam perkembangan gingivitis, dalam perkembangan dari gingivitis menjadi periodontitis, dan dalam lesi-lesi tingkat lanjut dalam periodontitis kronis dan agresif.
Fakta bahwa tujuh sampai delapan mikroorganisme dalam berbagai kombinasi berhubungan dengan berbagai aspek penyakit tidak memenuhi kriteria “hipotesis plak spesifik”, dan sebagian lainnya mungkin berada pada sisi lain yang berbicara tentang ‘hipotesis plak non-spesifik’. Hal terkecil yang dapat dikatakan tentang spesifitas infeksi periodontal adalah bahwa mikrobiota anaerob gram negatif terus mendominasi perkembangan gingivitis dan lesi periodontal yang sedang berkembang atau tingkat lanjut. Spirochetes sangat menarik, namun proses kulturnya sulit dilakukan, mereka tidak termasuk dalam protokol. Terakhir, harus disebutkan tentang pernyataan bahwa perkembangan periodontitis agresif pada manusia berhubungan dengan kombinasi virus herpes dan bakteri periodontopatik putatif.
Selama beberapa tahun terakhir, ditemukan kalimat baru untuk membahas apa yang dipahami masyarakat sebagai plak bakterial gigi. Kata kunci tersebut adalah ‘biofilm’. Selama 100 tahun ini berbagai penelitian periodontal menggunakan istilah plak gigi, yang pertama kali diperkenalkan oleh Dr. Black, untuk mendeskripsikan materi ini dalam penelitian ilmiah, kini plak dideskripsikan dengan lebih baik dan dipahami secara luas. Namun, aspek-aspek baru kehidupan dalam komunitas bakteri dan struktur komunikasi serta fenomena kworum membenarkan istilah baru tersebut sebagai suatu ekspresi pemahaman kita yang lebih baik tentang biofilm.
Histopatologi
Dalam sebagian besar kasus, awal perkembangan plak dimulai dari dalam niche [ceruk] yang terbentuk pada daerah pertemuan margin gingiva dengan permukaan gigi [Gambar 4]. Dalam kasus tersebut, plak bakteri terletak di sekitar epitelium krevikular tak-berkeratin, dan bakteri akan memperluas pengaruhnya dari posisi juxta ini. Dalam kasus lainnya, mikroorganisme menginvasi jaringan. Dalam kedua kasus tersebut, akan terjadi kerusakan jaringan akibat aksi mikroba secara langsung melalui pelepasan toksin, lipopolisakarida atau enzim, atau secara tidak langsung melalui aktivasi sistem inflamasi seluler dan bakterial pasien—yang disebut sebagai respon host, yang dapat merusak ataupun melindungi jaringan periodontal.
Meskipun belum ada seorang pun yang melakukan observasi tahap-tahap awal perkembangan gingivitis, diduga bahwa perkembangan tersebut melibatkan proses-proses yang berhubungan erat dengan inflamasi akut:Transudasi serum melalui endotelium vaskuler
Ekstravasasi leukosit dan emigrasinya ke arah luar
Perluasan ruang intraseluler epitelium permukaan
Pelepasan mediator imuno-inflamasi secara bertahap, seperti sitokin [interleukin (IL)-1, IL-, IL-6, IL-8 dan tumor necrosis factor-], yang memiliki berbagai efek.
Faktor-faktor tersebut telah membuktikan efeknya dalam pemberian sinyal ekspresi gen, mobilisasi sel-sel inflamasi dalam memediasi pelepasan enzim-enzim, seperti kolagenase, enzim proteolitik lainnya, seperti metalo-proteinase, yang berperan dalam degradasi; dan matriks ekstraseluler jaringan ikat. Yang pada akhirnya, meningkatkan produk-produk poten, seperti prostaglandin, terutama PGE2 dan produk lainnya yang terlibat dalam beberapa proses inflamasi selama perkembangan penyakit, dimana resorpsi tulang merupakan faktor terpenting.
Selain itu, selama tahap awal proses tersebut, berbagai macam antigen bakteri akan meningkatkan produksi antibodi, memobilisasi sistem komplemen dan pelepasan imunoglobulin lainnya, yang disertai dengan kemunculan sel-sel fagositik, seperti sel plasma dan aktivasi tipe sel lainnya, seperti limfosit dan makrogaf [Gambar 5a dan b]. Seiring dengan berkembangnya proses kompleks ini dalam margin gingiva, terjadi pematangan lesi gingiva yang sedang berkembang menjadi gingivitis kronis, yang disertai dengan akumulasi sel-sel secara masif dan cairan mengisi stroma jaringan ikat.
Gingivitis Klinis
Tanda-tanda klinis awal inflamasi gingiva adalah transudasi cairan gingival. Transudat seluler yang tipis ini akan terurai secara bertahap menjadi suatu cairan yang terdiri dari serum dan leukosit.
Warna kemerahan pada margin gingiva sebagian berasal dari agregasi serta pembesaran pembuluh darah dalam jaringan ikat subepitelial immediate dan hilangnya keratinisasi aspek fasial gingiva [Gambar 6a dan b].
Pembengkakan dan hilangnya tekstur free gingiva merefleksikan hilangnya jaringan ikat fibrosa dan semi-likuditas substansi inter-fibriler.
Secara individual dan kolektif, gejala-gejala klinis gingivitis kronis tidak terlihat jelas, dan umumnya, tidak menimbulkan rasa sakit. Tanda-tanda tersebut membuat sebagian besar pasien tidak mengetahui keberadaan penyakit dan biasa diabaikan oleh para praktisi dental. Gingivitis kronis jarang menunjukkan tanda-tanda perdarahan spontan. Fakta bahwa perdarahan jaringan gingiva dapat dipicu hanya dengan menyentuh margin gingiva menggunakan instrumen tumpul [Gambar 7] [misalnya, saat menyikat gigi atau pengukuran indeks gingival (GI)], hal ini menunjukkan banyaknya perubahan epitelial dan transfigurasi vaskuler yang terjadi.
Perkembangan Menjadi Periodontitis
Penelitian-penelitian epidemiologi cross-sectional dari berbagai negara menunjukkan bahwa gingivitis umum ditemukan pada anak-anak dalam masa gigi-geligi sulung atau permanen, dan menyerang sebagian besar orang dewasa. Survei probabilitas nasional di beberapa negara industri menemukan bahwa gingivitis menyerang sebagian besar remaja dan orang dewasa, namun hanya beberapa, mungkin < 10% daerah gingival total, yang “berdarah saat probing” [GI = 2]. Di negara-negara berkembang, data serupa yang didasarkan pada sampel probabilitas tidak tersedia, namun telah dibuktikan bahwa gingivitis sangat prevalen, ekstensif dan parah.
Distribusi gingivitis dalam berbagai populasi merupakan hal yang penting karena teori terbaru mengatakan bahwa lesi gingiva merupakan prekursor periodontitis. Jelas, tidak semua lesi gingivitis berkembang menjadi periodontitis. Sebenarnya, proporsi lesi gingiva yang berkonversi menjadi periodontitis, dan faktor penyebab konversi tersebut belum dipahami dengan baik. Namun, sebagian ahli berpendapat bahwa lesi periodontitis berkembang dari gingivitis.
Meskipun survei cross-sectional tradisional pada manusia dapat mendeskripsikan distribusi penyakit dan faktor-faktor penyebabnya dengan baik, penelitian cross-sectional tidak dapat menentukan karakteristik proses yang sedang terjadi dan hubungan temporal ataupun spasial antara berbagai faktor yang mempengaruhi inisiasi dan perkembangan penyakit tersebut. Selain itu, penentuan penyebab penyakit ataupun pendefinisian faktor resiko penyakit yang sebenarnya membutuhkan desain penelitian longitudinal.
Penelitian Longitudinal
Materi yang diuraikan dalam pembahasan ini diperoleh dari penelitian longitudinal tentang penyakit periodontal pada manusia.
Kohort diperoleh dari Oslo Norwegia pada tahun 1969, dan terdiri dari 565 orang pria dewasa berusia 16-34 tahun, berbadan sehat, berpendidikan baik yang dipilih secara acak. Semua peserta lahir di Oslo, dan mereka terdaftar dalam City Dental Program sejak masa kanak-kanak, dan dilaporkan rutin melakukan pemeriksaan ke dokter gigi, serta melakukan perawatan oral higiene setiap hari.
Pemeriksaan klinis pada para peserta dilakukan pada tahun 1971, 1973, 1975, 1981, 1988, dan 1995. Seperti dalam sebagian besar penelitian longitudinal yang memiliki besar dan periode yang sama, terdapat beberapa peserta yang mengundurkan diri, dan tidak dapat menjalani follow up. Peserta lainnya tidak mengikuti satu atau beberapa kali pemeriksaan, namun hadir pada akhir survei; 223 pria hadir dalam pemeriksaan terakhir, mereka berasal dari seluruh kelompok usia yaitu antara 16 sampai 60 tahun.
Selama periode observasi 26 tahun, dilakukan pengumpulan indeks klinis: yaitu indeks plak, GI, indeks kalkulus, indeks karies, resesi gingiva, dan kehilangan perlekatan. [Kedalaman poket diketahui dari hasil penghitungan LA dan GRI].
Penelitian tersebut menunjukkan bahwa pria yang berpendidikan tinggi dan berasal dari kelas menengah serta memperoleh perawatan gigi profesional standar dan melakukan prosedur perawatan pribadi selama masa kanak-kanak, remaja, dan dewasa, memiliki gigi-geligi yang sehat dan berfungsi seumur hidup. Anak laki-laki berusia 16 tahun memiliki 27,4 gigi [tanpa gigi geraham bungsu], dan seiring dengan pertambahan usia sampai 60 tahun, mereka masih memiliki 27,1 gigi. Mereka telah kehilangan 0,3 gigi dalam 45 tahun usia dewasanya, dan angka mortalitasnya adalah 0,01 gigi/tahun.
Meskipun tidak satupun peserta dalam survei memiliki gigi-geligi yang bebas-plak, harus diketahui bahwa kurang lebih 60-70% dari seluruh permukaan gigi dinyatakan bebas plak atau memilik skor PI I= 1 [plak tak-nampak], dan bahwa dalam semua kisaran usia [16 sampai 60 tahun] hanya 20-30% permukaan gigi yang memiliki skor PI I = 2 [plak nampak].
Indeks gingiva juga kurang bervariasi selama masa dewasa dan berkisar antara GI = 0,1 sampai 0,9. Dengan kata lain, kesehatan gingiva dalam kelompok masyarakat ini termasuk dalam karakteristik baik sampai sangat baik, dan frekuensi skor GI = 2 [berdarah saat probing] hanya ditemukan pada 10-20% daerah pada semua pria berusia 16-60 tahun.
Pada usia 16 tahun, ditemukan kehilangan perlekatan pada beberapa daerah, namun kebanyakan hanya berupa resesi gingiva pada sisi bukal. Pada usia kurang dari 40 tahun, poket yang dalam sangat langka, jarang melebihi 3,4 mm. Kehilangan perlekatan [LA] individual rata-rata dan frekuensi daerah yang mengalami kehilangan perlekatan meningkat selama usia 40 sampai 50 tahun, dan mencapai maksimum [LA = 2,44 mm] saat pria tersebut mendekati usia 60 tahun. Namun, < 50% daerah mengalami kehilangan perlekatan > 4 mm.
Untuk menganalisis peran inflamasi gingiva dalam patogenesis lesi periodontal, dibuat tiga grup indeks keparahan gingiva untuk semua kelompok usia sesuai dengan derajat skor inflamasi klinis selama periode observasi 26 tahun.
Hasilnya menunjukkan bahwa unit gingiva yang terus-menerus memiliki skor GI = 0 memiliki LA kumulatif rata-rata selama 60 tahun sebesar < 2 mm [kisaran 0,08-1,94]. Kehilangan perlekatan ini banyak terjadi pada sisi bukal pria berusia kurang dari 40 tahun, yang mengalami resesi gingiva. Daerah yang mengalami inflamasi ringan [GI = 1] menunjukkan kehilangan perlekatan kumulatif sebesar > 2 mm [kisaran 0,17 – 2,42], dan daerah yang terus-menerus berdarah saat probing [GI = 2] memiliki LA rata-rata sebesar > 3 mm [kisaran 0,04 – 3,53] [Gambar 8].
Antara usia 40 sampai 50 tahun, perluasan dan kedalaman poket pada daerah yang mengalami inflamasi gingiva meningkat. Seiring dengan pertambahan usia pria mendekati 60 tahun, daerah gingiva yang selama periode observasi terus mengalami perdarahan saat probing, memiliki kehilangan perlekatan 70% lebih banyak dibandingkan dengan daerah yang tidak pernah mengalami inflamasi, dan diperoleh odd rasio sebesar 3,22 untuk daerah inflamasi yang berkembang menjadi kehilangan perlekatan. Dan, dalam grup GI = 2, pembentukan kalkulus subgingiva meningkatkan odd rasio daerah yang berkembang menjadi kehilangan perlekatan menjadi 4,22, dibandingkan dengan kohort daerah yang memiliki GI = 0.
Dari analisis tersebut, dapat disimpulkan bahwa perkembangan periodontitis hanya dapat terjadi pada daerah yang mengalami gingivitis jangka panjang, telah terbukti.
Agar dapat menguraikan transisi dari gingivitis menjadi periodontitis, maka dilakukan pengukuran insiden kehilangan perlekatan awal selama masa 60 tahun. Kehilangan perlekatan periodontal pertama sebesar 2 mm atau lebih, yang diukur dari bagian apikal cemento-enamel junction, disebut sebagai kehilangan perlekatan awal [initial loss of attachment/ILA]. Dilakukan penghitungan insiden ILA pada semua kelompok umur, semua gigi dan kelompok gigi, serta tipe lesi yang diekspresikan [resesi gingiva, poket saja, atau kombinasi keduanya] Dan, tidak mengejutkan, pada usia 20 tahun dan sebelum ILA terbentuk di beberapa sisi bukal, pada beberapa individu, hampir semua sisinya mengalami resesi gingiva.
Pada usia 40 tahun, masih terdapat < 10% daerah ILA yang memiliki poket atau kombinasi poket dan kehilangan perlekatan. Namun, saat pria tersebut berusia 50, 55, dan 60 tahun, kurang lebih 30-50% daerah mengalami ILA.
Jadi, pada usia muda, insiden kehilangan perlekatan > 2 mm yang dinyatakan sebagai pertambahan kedalaman poket periodontal tidak nampak lagi atau sangat rendah. Pada kenyataannya, resesi gingiva merupakan tipe dominan kehilangan perlekatan awal pada 40 tahun pertama. Pembentukan poket dimulai sekitar usia 50 tahun, dan insidennya meningkat saat mendekati usia 60 tahun.
Analisis lain dalam kohort unik ini ditujukan untuk menilai pengaruh jangka panjang inflamasi gingiva terhadap daya tahan gigi.
Dalam penghitungan gigi-spesifik, dibuat tiga grup indeks gingiva yang merefleksikan riwayat inflamas selama periode 26 tahun. Jadi, dilakukan penghitungan nilai GI minimal dan maksimal pada semua sisi:
Keparahan tingkat I: Gigi memiliki skor konstan, GI minimum = 0 dan maksimum GI < 1 pada semua sisi.
Keparahan tingkat II: Gigi yang semua sisinya selalu memiliki skor GI minimum = 1 dan maksimum GI < 2 mm.
Keparahan tingkat III: Gigi yang selalu memiliki skor minimum GI = 2 [berdarah saat probing] pada semua sisi dan semua observasi.
Jika gigi-geligi lainnya tidak memenuhi kriteria tersebut, maka tidak disertakan dalam evaluasi selanjutnya.
Pada tahun 1969, dilakukan follow up pada 487 tujuh pasien dan 13.285 gigi dalam sekurang-kurangnya 2 survei. Dari 487 subyek, 412 [85%] diantaranya tidak ada gigi yang hilang dan 75 individu yang menjalani pemeriksaan ulang, telah kehilangan 126 gigi.
Kaplan-Meier cumulative survival distribution [Gambar 9] ketiga grup Keparahan GI menunjukkan bahwa sebelum gigi berusia 15 tahun, kehilangan gigi jarang terjadi. Setelah gigi berusia 20 tahun, Grup Keparahan GI III mengalami peningkatan kehilangan gigi kumulatif jika dibandingkan dengan Grup Keparahan GI I dan II.
Harus diperhatikan bahwa Grup Keparahan GI I, dimana tidak pernah ditemukan perdarahan saat probing selama periode observasi, memiliki tingkat daya tahan gigi kumulatif sebesar 99,5% pada usia gigi 51 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa gingiva yang secara klinis terlihat sehat, merupakan indikator prognostik daya tahan gigi.
Fakta bahwa Grup Keparahan GI II memilki tingkat daya tahan kumulatif sebesar 94% setelah 51 tahun usia gigi, mendukung konsep bahwa terkadang perdarahan saat probing memilki resiko kehilangan gigi yang lebih kecil dibandingkan dengan gingiva yang terus-menerus mengalami perdarahan.
Resiko kehilangan gigi memiliki kisaran odd rasio yang luas. Gigi-geligi yang selalu dikelilingi oleh gingiva sehat atau mengalami inflamasi ringan, memiliki resiko kehilangan gigi 8,4 kali lebih rendah dibandingkan dengan gigi yang dikelilingi oleh gingiva inflamasi dan terkadang mengalami perdarahan saat probing, dan 45,8 kali lebih rendah dibandingkan dengan gigi-geligi yang selalu mengalami inflamasi gingiva dan berdarah saat probing. Gigi-geligi yang gingiva-nya mengalami inflamasi ringan memiliki resiko kehilangan gigi 5,4 kali lebih rendah dibandingkan dengan gigi-geligi yang mengalami perdarahan saat probing.
Penelitian ini menegaskan bahwa inflamasi gingiva adalah salah satu faktor resiko kehilangan gigi. Gigi-geligi yang gingiva-nya terus-menerus mengalami inflamasi pada semua survei selama periode observasi 26 tahun, memiliki resiko kehilangan gigi yang secara signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan gigi-geligi yang sehat atau mengalami inflamasi ringan.
1 komentar:
hey dini, thank you buat artikelnya sangat berguna loh... btw, boleh minta journal yang inggrisnya? thank you
Post a Comment