30 January 2009

Kondisi RM yang Berhubungan dengan Infeksi HIV

Diterjemahkan dari JADA April 2001; 132: 499-506

Jika dokter gigi ingin menghindari masalah malpraktek, mereka harus mengetahui dua hal. Pertama, mereka harus mengetahui penyakit yang paling umum terjadi dan memiliki manifestasi rongga mulut. Mereka harus mewaspadai kondisi rongga mulut yang berhubungan dengan infeksi HIV, karena penyakit infeksi ini dapat dideskripsikan dengan baik dan prevalen. Jika ditemukan manifestasi HIV dalam rongga mulut, dokter gigi harus melakukan pemeriksaan HIV dan merujuk pasien untuk konsultasi medis dan menjalani pemeriksaan HIV lebih lanjut. Kedua, catatan dental pasien harus berisi rekomendasi bahwa rujukan perawatan, pemeriksaan, atau keduanya telah dibuat, dan harus dijaga sedemikian rupa sehingga kerahasiaan pasien tetap terjadi sesuai dengan aplikasi hukum.
Terdapat banyak literatur dental yang membahas tentang pengenalan lesi rongga mulut yang berhubungan dengan infeksi HIV. Literatur tersebut akan diringkas dan membahas kemampuan lesi untuk diidentifikasi sebagai potensi infeksi HIV. Namun, untuk deskripsi lebih rinci masalah ini dan timbulnya lesi yang berhubungan dengan HIV, kami menganjurkan anda untuk membaca artikel yang terdapat dalam daftar referensi. Para pembaca yang tertarik membaca tentang lesi-lesi yang berhubungan dengan HIV dapat mencarinya di World Wide Web.


Lesi yang merupakan diagnosis penting terjadinya imunosupresi. Terdapat dua tipe lesi yang hampir selalu ditemukan dalam kondisi imunosupresi (kerentanan sistem imun). Oral hairy leukoplakia adalah suatu bercak melekat berwarna putih dan permukaannya kasar, yang bervariasi mulai dari lapisan vertikal sampai plak keriput. Lesi ini biasanya ditemukan bilateral pada bagian ventrolateral lidah namun dapat juga menyerang permukaan dorsal lidah, dan terkadang, mukosa bukal. Karakteristik yang paling khas adalah proyeksi seperti-jari yang tersebar dari dasar lesi. Diagnosis ditegakkan berdasarkan tampilan karakteristik tersebut. Namun, jika perlu dikonfirmasikan untuk menghilangkan kemungkinan lesi putih persisten lainnya, terutama displasia epitelial, harus dilakukan pemeriksaan histopatologis biopsi mukosa untuk mengetahui adanya virus Eipstein-Barr. Alternatifnya, teknik non-invasif menggunakan hibridisasi filter atau cytospin in-situ akan menunjukkan adanya virus Epstein-Barr. Kadang-kadang, pengobatan empiris menggunakan acyclovir dosis tinggi dapat menegakkan diagnosis, meskipun lesi akan rekuren segera setelah terapi dihentikan. Identifikasi oral hairy leukoplakia akan selalu mengarahkan dokter gigi untuk melakukan pemeriksaan HIV.

Sarkoma Kaposi jarang ditemukan pada individu yang tidak mengalami imunosupresi. Populasi lain yang cenderung mengalaminya adalah lansia yang berasal dari Mediterania atau penduduk yang tinggal di Afrika. Dalam infeksi HIV, lesi ini lebih sering ditemukan pada pria, namun diketahui dapat juga terjadi pada wanita. Pada anak-anak, lesi ini sangat jarang ditemukan. Pada tahap awal, Sarkoma Kaposi berupa makula atau nodul berwarna biru-keunguan atau merah dan persisten, serta tidak memucat saat dipalpasi. Lesi ini dapat berkembang menjadi bulky tumescence yang mengganggu fungsi normal. Meskipun lesi ini dapat muncul dimana saja dalam regio orofaring, meskipun memiliki area predileksi, yaitu pada mukosa palatal dan gingiva. Diagnosis bandingnya antara lain bercak ekimositik, hemangioma, dan kandidiasis eritematosus jika terdapat tumor pada palatum. Lesi gingiva mirip dengan lesi-lesi reaktif, seperti granuloma piogenik dan granuloma giant cell perifer. Diagnosis ditegakkan melalui pemeriksaan mikoskopis jaringan lesi. Dokter gigi yang menemukan lesi ini harus mengenali potensi infeksi HIV dan menganjurkan pemeriksaan HIV, serta merujuk pasien ke dokter yang dapat memberikan diagnosis definitif dan penatalaksanaan yang tepat.

Lesi infeksi yang merupakan indikasi infeksi HIV jika muncul kembali atau rekuren. Terdapat beberapa manifestasi infeksi HIV dalam rongga mulut yang juga ditemukan pada individu yang tidak terinfeksi HIV. Biasanya, individu yang terinfeksi HIV memiliki kondisi yang lebih parah dan sulit dirawat. Pasien yang terinfeksi HIV cenderung mengalami rekurensi setelah perawatan dinyatakan berhasil. Terdapat empat golongan umum infeksi ini.

Infeksi Kandida. Terdapat empat tipe infeksi kandida yang berhubungan dengan infeksi HIV. Angular cheilitis memiliki karakteristik fissura berwarna merah, bersisik, atau jaringan ulseatif pada sudut mulut. Biasanya disebabkan oleh Candida albicans namun dapat juga disebabkan oleh Staphylococcus aureus saja atau bersama-sama dengan C. albicans. Lesi ulseratif mirip dengan herpes labialis. Dan dapat didiagnosis melalui pemeriksaan sederhana.

Kandidiasis pseudomembranous, yang dikenal sebagai thrush, memiliki karakteristik plak lunak dan creamy berwarna putih yang mirip dengan dadih susu. Terkadang, lesi ini dapat diapus menggunakan gauze, yang meninggalkan daerah eritematosus, terkadang terjadi perdarahan pada permukaannya. Meskipun dapat menyerang daerah rongga mulut manapun, mukosa bukal dan vestibuler, bagian ventral lidah dan palatum lunak merupakan daerah yang paling sering terserang. Sensasi terbakar, sulit menelan, dan bau tidak sedap adalah keluhan utamanya.


Kandidiasis eritematosus memiliki karakteristik berupa makula dan bercak halus-sampai-granuler berwarna merah, sertasensasi terbakar. Palatum, mukosa bukal dan dorsal lidah adalah daerah yang paling sering terkena. Bentuk kandidiasis ini mirip dengan eritroplakia dan stomatitis kontak.
Leukoplakia hiperplastik, yang juga dikenal sebagai leukoplakia kandidal, memiliki karakteristik berupa lesi putih melekat dengan permukaan kasar yang biasanya asimptomatik. Bentuk kandidiasis ini memiliki predileksi pada mukosa bukal anterior dan lidah, serta seringkali disebabkan oleh kebiasaan merokok kronis. Diagnosis banding lesi tipe ini antara lain keratosis frictional, leukoplakia dan lichen planus.
Gambaran klinis dan respon terhadap terapi antifungal adalah tanda-tanda utama untuk menegakkan diagnosis kandidiasis. Sitologi eksfoliatif merupakan suatu metode non-invasif untuk mendeteksi mikroorganisme jamur superfisial secara mikroskopis, meskipun dianjurkan untuk melakukan biopsi insisional jika terdapat lesi oral pra-kanker dalam diagnosis bandingnya. Diagnosis definitif spesies jamur juga dapat dilakukan melalui kultur.
Meskipun kondisi medis juga ditemukan pada individu yang tidak terinfeksi HIV, biasanya hal tersebut merupakan akibat sekunder dari perawatan mengunakan antibiotik spektrum luas, kortikosteroid, atau akibat xerostomia. Tampilan lesi ini seharusnya menimbulkan kecurigaan terjadinya infeksi HIV kecuali pasien memiliki faktor resiko kandidiasis lainnya. Terjadinya infeksi HIV cenderung terjadi jika ditemukan lesi berulang atau rekuren setelah dilakukan perawatan konvensional.

Infeksi virus herpes simpleks rekuren. Ulser herpes simpleks umum ditemukan pada individu yang terinfeksi dan yang tidak terinfeksi HIV, lesi ini muncul pada mukosa rongga mulut berkeratin dan cenderung sembuh sendiri (self-limiting) dalam periode yang singkat. Namun, jika lesi ini dimiliki oleh penderita yang terinfeksi HIV, biasanya terlihat lebih menyebar, persisten dan tampilannya atipikal; biasanya berupa lesi multipel yang menyatu dan membentuk ulser ireguler berukuran besar. Diagnosis bandingnya antara lain apthous stomatitis, ulser neutropenik, ulser sitomegalovirus, herpes zoster, infeksi mikotik yang dalam, karsinoma sel skuamous, dan limpoma.
Semua penyakit tersebut berhubungan dengan infeksi HIV. Ulser persisten pada individu yang berpotensi menderita HIV membutuhkan biopsi insisional untuk menegakkan diagnosis definitif. Isolasi rongga mulut dari kultur jaringan ulser diindikasikan jika perlu membedakan berbagai jenis virus herpes. Pasien yang mengalami lesi herpes simpleks rekuren dan prah harus selalu dinyatakan beresiko tinggi terinfeksi HIV. Pemeriksaan HIV harus didiskusikan dengan pasien.

Penyakit periodontal. Meskipun gingivitis dan periodontitis adalah penyakit rongga mulut yang umum ditemukan, individu yang terinfeksi HIV mengalami bentuk penyakit yang khas dan perkembangan adult periodontitis kronis lebih cepat. Selain adult periodontitis konvensional, individu yang terinfeksi HIV juga akan mengalami eritema gingival linear, atau LGE; necrotizing ulcerative gingivitis; dan necrotizing ulcerative periodontitis.
LGE memiliki karakteristik berupa pita berwarna merah yang jelas pada free gingival margin, serta eritema difus atau punctate pada attached gingiva. Tanda-tanda LGE utama adalah tidak berdarah saat probing dan jumlah plak sedikit namun eritema parah. Pola gingiva tersebut akan tersebar sampai beberapa gigi atau melibatkan sebagian besar gigi-geligi. Tanda khas penyakit gingiva ini adalah tidak memberikan respon terhadap perawatan rutin biasa. Lichen planus atropik, gingivitis sel-plasma dan lesi gingiva akibat trombositopenia menyerupai gingivitis akibat infeksi HIV ini. Diagnosis dapat ditegakkan melalui tanda-tanda klinis dan sifat persistennya meskipun telah dilakukan pembersihan plak.

Necrotizing ulcerative gingivitis dan periodontitis adalah penyakit yang menimbulkan rasa nyeri akibat kerusakan jaringan yang signifikan. Nekrosis satu atau beberapa papila interdental dan hilangnya arsitektur gingiva normal tanpa kehilangan perlekatan periodontal merupakan karakteristik necrotizing ulcerative gingivitis. Perdarahan yang signifikan dan bau tidak sedap merupakan tanda-tanda fase akut penyakit ini. Biasanya, gingiva anterior adalah daerah yang paling sering terkena, namun lesinya dapat tersebar. Penyakit ini dapat berkembang menjadi necrotizing ulcerative periodontitis, yang menimbulkan rasa nyeri menyebar, ulserasi gingiva, cepatnya kehilangan perlekatan gingiva dan kerusakan tulang alveolar. Mobilitas gigi dan sekuestrasi tulang seringkali menyertai lesi ulseratif ini. Yang paling dramatis adalah kecepatan kehilangan tulang. Pada individu imunokompeten, kerusakan jaringan membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk terjadi, namun hanya terjadi dalam beberapa bulan pada penderita yang terinfeksi HIV jika tidak dilakukan perawatan yang tepat. Kehilangan tulang secara cepat ini juga cenderung terjadi pada individu berusia muda. Biasanya, diagnosis ditegakkan berdasarkan gambaran klinis dan kurangnya respon terhadap debridemen, skeling, dan pengobatan topikal ataupun sistemik. Dokter gigi harus mencurigai HIV sebagai penyebab eritema gingiva linear atau cepatnya perkembangan periodontitis, terutama pada pasien yang berusia muda.

Ulser aphtous. Lesi ini biasa dialami oleh individu imunokompeten, namun jika terjadi pada penderita yang terinfeksi HIV biasanya lebih parah. Secara umum, ulser ini cenderung rekuren dan persisten dalam waktu yang lama, serta bermanifestasi sebagai ulser aphtous mayor atau herpetiform jika menyerang pasien HIV positif. Ulser rongga mulut ini memiliki predileksi pada jaringan tak-berkeratin yang dapat bergerak. Sama dengan ulser rongga mulut persisten lainnya, dibutuhkan biopsi jaringan untuk menegakkan diagnosis definitif. Penatalaksanaan ulser rongga mulut yang persisten dan rekuren ini adalah penggunaan kortikosteroid topikal atau sistemik. Ulser besar yang persisten ini berperan dalam penurunan berat badan dan wasting syndrome yang berhubungan dengan HIV. Penurunan berat badan akan terlihat jelas bagi dokter gigi atau dapat diketahui melalui penelusuran riwayat pasien. Munculnya ulser aphtous yang parah dan rekuren seharusnya membuat dokter gigi mencurigai terjadinya infeksi HIV dan berdiskusi tentang dibutuhkannya pemeriksaan HIV.

1 komentar:

Anonymous,  April 30, 2011 at 10:58 AM  

Don't keep a dog and bark yourself.

Berhitung!

Pasang Aku Yaa

go green indonesia!
Solidaritas untuk anak Indonesia

  © Blogger templates Newspaper III by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP